Hubungan Teori Sistem dengan Pendekatan Holistik dalam Ijtihad Kontemporer
Kata sistem berasal dari bahasa Yunani “systema” yang berarti
keseluruhan yang tersusun dari banyak bagian, atau hubungan yang berlangsung di
antara satuan-satuan atau komponen secara teratur.[1]
Dalam kamus al-Mu‘jam al-Falsafī, kata sistem dipadankan dengan kata al-nasaq
yang secara etimologis berarti tatanan (nizām). Lalu secara terminologis
diartikan sebagai kumpulan unsur yang saling berhubungan sebagai satu kesatuan.[2]
Tatang M. Amirin dengan merujuk Shrode dan Voich, dan Murdick dan Ross
mendefinisikan sistem sebagai berikut:[3]
“…sehimpunan
unsur yang melakukan sesuatu kegiatan atau menyusun skema atau tata cara
melakukan sesuatu kegiatan pemrosesan untuk mencapai sesuatu atau beberapa
tujuan, dan hal ini dilakukan dengan cara mengolah data dan/atau energi
dan/atau barang (benda) di dalam jangka waktu tertentu guna menghasilkan
informasi dan/atau energi dan/atau barang (benda).
Memerhatikan definisi ini, terlihat bahwa sistem berkenaan dengan alat
atau organ, dan juga berkenaan dengan ide atau gagasan. Dari itu pemikiran
tentang sistem dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu aspek keilmuan (sciences),
aspek teknologi, dan aspek filosofi.[4]
Dari aspek filosofi, Jasser Auda melihatnya sebagai sistem analisis, di mana
entitas analisis diasumsikan sebagai sebuah sistem.[5]
Di sisi lain entitas analisis juga dilihat sebagai sistem yang berlaku
sebagai metode, atau prosedur yang bersifat preskriptif. Menurut Amirin, inilah
yang dikenal sebagai pendekatan sistem (system approach). Pendekatan ini
beranggapan ada banyak sebab terjadinya sesuatu, jadi pendekatan sistem
berusaha menyadari adanya kerumitan di dalam kebanyakan benda, sehingga
terhindar dari memandangnya sebagai sesuatu yang amat sederhana atau bahkan
keliru.[6]
Berangkat dari pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa pendekatan bayānī
dan burhānī secara sendiri-sendiri belum menghadirkan mekanisme yang komprehensif.
Penerapan pendekatan bayānī semata—semisal al-qiyas—masih
bersifat atomis. Menurut al-Sakkaki, sistem
operasional kias dibuat dari dua objek partikular sehingga tidak mengantar
pengetahuan pada derajat qat‘ī,
akibatnya terjadi fragmentasi hukum syariah karena tidak ada prinsip yang
disepakati.[7] Sebaliknya,
penerapan pendekatan bayānī semata dapat terjebak dalam subjektivitas,
bahkan riskan ditunggangi hawa nafsu yang oleh al-Ghazzālī disebut sebagai maqāsid al-khalq.[8]
Dari itu jelas dibutuhkan suatu pendekatan holistik bagi perijtihadan di abad
kontemporer ini lewat penerapan teori sistem.
Terkait dengan penemuan hukum Islam, Jasser Auda mengasumsikan usūl al-fiqh
sebagai sebuah sistem yang dipakai melakukan analisa. Bagi Auda, usūl al-fiqh
sebagai pendekatan sistem harus memenuhi enam ciri berikut, 1) mampu
menyesuaikan diri secara alamiah (cognitive nature of systems); 2)
bersifat holistik (wholeness); 3) bersifat terbuka (openness); 4)
hirarkinya saling berhubungan (interrelated hierarchy); 5) bersifat
multi dimensi (multy-dimensionality); 6) memiliki tujuan (purposefulness).[9]
Keenam sifat di atas dapat diwujudkan bagi ijtihad kontemporer dengan
memasukkan teori maqasid
sebagai instrumen penetapan hukum. Maka kegiatan ijtihad harus dilakukan dengan
merujuk ilmu usul
al-fiqh, ilmu maqasid,
dan sains yang relevan dengan kasus terkait. Di sini ilmu maqasid dipandang
sebagai ilmu tersendiri[10]
karena dua sebab. Pertama, ilmu maqasid memiliki objek formal
tersendiri yang berbeda dari objek formal ilmu usul al-fiqh
walau objek materialnya satu,[11] lalu
dihasilkan lah kaidah maqasidiyyah[12] yang
berbeda dari kaidah usuliyyah.[13] Kedua,
para mujtahid menggunakan kaidah maqasidiyyah
sebagai tuntunan sebagaimana menggunakan kaidah usuliyyah
menjadi penuntun dalam ijtihad. Keduanya merupakan instrumen dalam penetapan
hukum.
Rujukan pada ilmu usul
al-fiqh diperlukan karena perijtihadan tidak lepas dari nas (Alquran dan
Sunah), baik untuk memahami makna semantik (dilalah),
sintaksis (al-nahw),
maupun konteks (al-siyaq).
Konteks itu sendiri ada yang berupa linguistic context (al-siyaq al-lughawi) yang
terkait dengan faktor internal bahasa dan ada pula yang terkait dengan faktor
eksternal bahasa berupa context of situation (al-siyaq ghayr al-lughawi).[14] Makna
konteks kebahasan dibahas oleh usuliyun dalam masalik al-‘illah
saat membahas tentang kausasi (ta‘lil)
dalam metode kias.[15] Namun
konteks kebahasaan saja tidak cukup, maka penting memerhatikan kontekstur (nazm) dan
situasi untuk mencapai makna yang objektif,[16]
di sinilah ilmu maqasid
memainkan peran.
Merujuk pada ilmu maqasid
penting untuk memverifikasi pemahaman terhadap nas partikular sehingga
kebenaran sebuah interpretasi atas teks nas dapat diterima.[17] Dari
hasil interpretasi seperti inilah nilai-nilai yang relevan ditemukan untuk
disematkan pada kasus partikular yang belum ada ketentuannya. Pada tataran ini
proses ijtihad berkolaborasi dengan sains dalam proses identifikasi masalah
partikular (tahqiq al-manat). Menurut Ahmad al-Raysuni, jika
identifikasi ditinggalkan maka hukum tidak akan berada pada tempat yang seharusnya.[18]
Selain identifikasi, rujukan pada sains juga diperlukan untuk mengukur
keselarasan antara maqasid
al-khalq/maqasid
al-mukallaf dengan maqasid
al-Syari‘.
Sebab manusia bisa saja melakukan suatu perbuatan baik untuk tujuan buruk.[19]
Maka sains yang dibangun berdasarkan kausalitas natural dapat memprediksi efek negatif
sehingga diambil tindakan preventif. Oleh karena itu pertimbangan efek (i‘tibar ma’alat) dipandang
penting oleh al-Raysuni dalam ijtihad
kontemporer.[20]
Berdasar uraian di atas, maka ijtihad kontemporer dapat dilakukan dalam 7
langkah berikut:
2. Menemukan nas (Alquran dan Sunah) yang relevan dengan substansi dari masalah/kasus.
3. Menetapkan nilai yang merupakan maqasid al-syari‘ah dengan cara al-istiqra’ al-ma‘nawi, penelusuran kausasi (ta‘lil), atau merujuk nas partikular yang mengandung makna universal.
4. Menginventarisir solusi yang ditawarkan oleh tiap anggota tim ijtihad kolektif, termasuk hasil eksplorasi terhadap khazanah klasik.
5. Memerhatikan potensi keselarasan maqasid al-khalq/maqasid al-mukallaf dengan maqasid al-Syari‘ dalam setiap solusi yang ditawarkan anggota tim ijtihad kolektif.
6. Mempertimbangkan efek (i‘tibar ma’alat) yang mungkin ditimbulkan oleh solusi yang ditawarkan dengan memerhatikan kausalitas natural dan kausalitas moral.
7. Menetapkan ketentuan hukum.
Langkah-langkah di atas dilaksanakan secara runtut.
Daftar
Pustaka
Amirin, Tatang M.. Pokok-pokok Teori Sistem,
cet. VIII. Jakarta: Rajawali Pers, 2003.
Auda,
Jasser. Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law; A System Approach.
London: IIIT, 2007.
‘Awatif.
Al-Dilalat
al-Siyaqiyyah
‘ind al-Lughawiyin.
Libanon: Dar
al-Siyab,
2007.
Al-Ghazzālī. Al-Mustasfā fī ‘Ilm al-Usūl. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000.
Bin Zaghibah ‘Izz al-Din. Al-Maqasid al-‘Ammah li al-Syari‘at al-Islamiyyah.
Kairo: Dar al-Safwah, 1996.
Al-Kaylānī, ‘Abd al-Rahmān Ibrāhīm. Qawā‘id al-Maqāsid ‘ind al-Imām
al-Syātibī; ‘Aradan wa Dirāsatan wa Tahlīlan. Beirut: Dār
al-Fikr, 2000.
Majma‘ al-Luhghah al-‘Arabiyyah. Al-Mu‘jam
al-Falsafī. Kairo: al-Amīriyyah, 1983.
Nasuka. Teori Sistem; Sebagai Salah Satu
Alternatif Pendekatan dalam Ilmu-ilmu Agama Islam. Jakarta: Kencana, 2005.
Sabil, Jabbar. Menalar Hukum Tuhan; Akar
Penalaran Ta‘lili dalam Pemikiran
Imam
al-Ghazali. Banda Aceh:
LKAS, 1999.
Safi, Louay. The Foundation of Knowledge.
Malaysia: IIUM Press, 1996.
UGM, Tim Penyusun Fakultas Filsafat. Filsafat
Ilmu; Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Klaten: Intan Pariwara,
1997.
Yūsuf ibn Abū Bakr Al-Sakkākī. Miftāh al-‘Ulūm. Beirut:
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.
[1] Tatang
M. Amirin. Pokok-pokok Teori Sistem, cet. VIII (Jakarta: Rajawali Pers,
2003), hlm. 1
[2] Majma‘
al-Luhghah al-‘Arabiyyah. Al-Mu‘jam al-Falsafī (Kairo: al-Amīriyyah,
1983), hlm. 200. نسق: جملة من العناصر يعتمد بعضها على
بعض بحيث تكون كلا منظما
[3]
Amirin. Pokok-pokok Teori Sistem, hlm. 11.
[4]
Nasuka. Teori Sistem; Sebagai Salah Satu Alternatif Pendekatan dalam
Ilmu-ilmu Agama Islam (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 18. Dalam aspek
keilmuan, sistem adalah eksplorasi ilmiah dan teori tentang sistem dalam
berbagai bidang ilmu seperti Fisika, Biologi, Psikologi, ilmu-ilmu sosial, dan
teori sistem umum sebagai doktrin atau prinsip yang berlaku bagi semua atau
subklas sistem.
Sistem
dari aspek teknologi membahas tentang problem yang muncul pada teknologi modern
dan masyarakat. Sistem teknologi mencakup piranti keras dan lunak, perkembangan
teori dan disiplin.
Sistem filosofi merupakan reorientasi pemikiran dan
pandangan dunia yang timbul karena diperkenalkannya sistem sebagai sebuah
paradigma ilmiah baru.
[5] Jasser Auda. Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic
Law; A System Approach (London:
IIIT, 2007), hlm. 33.
Systems analysis is based on the definition of system itself, i.e., the
analiyst assumes that the analysed entity is ‘a system.’
[6]
Amirin. Pokok-pokok Teori Sistem, hlm. 7.
[7] Yūsuf
ibn Abū Bakr Al-Sakkākī. Miftāh
al-‘Ulūm (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), hlm. 504.
[9]
Auda. Maqāsid…,
hlm. 45.
[10] Muhammad al-Tāhir ibn ‘Āsyūr. Maqāsid al-Syarī‘at
al-Islāmiyyah (Kairo: Dār
al-Salām, 2005), hlm. 6. Ibn
‘Asyur (w. 1394 H/1973 M) adalah
orang pertama yang menyatakan
kemandirian ilmu maqasid.
[11] UGM,
Tim Penyusun Fakultas Filsafat. Filsafat Ilmu; Sebagai Dasar Pengembangan
Ilmu Pengetahuan (Klaten: Intan Pariwara, 1997), hlm. 13. Objek material
adalah sesuatu hal yang dijadikan sasaran pemikiran (gegenstand).
Sesuatu hal yang diselidiki, atau sesuatu hal yang dipelajari. Objek material
mencakup apa saja, baik hal-hal konkret, misalnya manusia, tumbuhan, dan batu
mau pun hal-hal yang abstrak, misalnya ide-ide, nilai-nilai, dan kerohanian. Objek
formal adalah adalah cara memandang atau cara meninjau yang dilakukan
oleh seorang peneliti terhadap objek materialnya, serta prinsip-prinsip yang
digunakannya. Objek formal suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu,
tetapi pada saat yang sama dibedakannya dari bidang-bidang lain. Satu objek
material dapat ditinjau dari berbagai sudut pandangan sehingga menimbulkan ilmu
yang berbeda-beda.
[12] ‘Abd al-Rahmān Ibrāhīm al-Kaylānī. Qawā‘id
al-Maqāsid ‘ind al-Imām al-Syātibī; ‘Aradan wa Dirāsatan wa Tahlīlan (Beirut: Dār
al-Fikr, 2000), hlm. 55. Menurut ‘Abd al-Rahmān Ibrāhīm al-Kaylānī, kaidah maqāsidiyyah ialah pengertian umum yang disimpulkan
dari berbagai dalil syariat, ia merupakan hal yang dituju oleh al-Syāri‘
untuk ditegakkan dalam setiap ketetapan hukum.
[13]
Al-Marīnī, al-Jīlālī. Al-Qawā‘id al-Usūliyyah ‘ind al-Imām al-Syātibī: min
Khalāl Kitābih al-Muwāfaqāt (Kairo: Dār Ibn al-Qayyim, 2002), hlm. 55. Menurut
al-Marīnī, Kaidah ushuliyah adalah ketentuan umum yang mana cabang-cabang fikih
terbangun di atasnya, berlaku umum, mandiri, dan memiliki kekuatan hukum.
[14] ‘Awatif. Al-Dilalat al-Siyaqiyyah ‘ind
al-Lughawiyin,
(Libanon: Dar
al-Siyab,
2007), hlm. 52, dan 76.
[15] Jabbar
Sabil. Menalar Hukum Tuhan; Akar Penalaran Ta‘lili dalam Pemikiran
Imam
al-Ghazali (Banda Aceh:
LKAS, 1999), hlm. 121.
[16] Louay
Safi. The Foundation of Knowledge (Malaysia: IIUM Press, 1996), hlm. 46.
[17] Ibn ‘Asyur. Maqasid..., hlm. 13. Maqasid
dibutuhkan oleh mujtahid dalam semua bentuk peristinbatan yang mereka lakukan,
yaitu: 1) memahami teks nas; 2) mengkaji pertentangan dalil; 3) melakukan kias;
4) menjawab permasalahan yang belum ada ketentuan dari nas yang tidak bisa
dikias; 5) menetapkan sifat ta‘abbud pada suatu hukum.
[18] Ahmad
al-Raysūnī, dan Muhammad
Jamāl Bārūt. Al-Ijtihād; al-Nass,
al-Wāqi‘ wa al-Maslahah (Beirut:
Dār al-Fikr, 2000), hlm. 65.
[19] Bin Zaghibah ‘Izz al-Din. Al-Maqasid al-‘Ammah li al-Syari‘at al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Safwah, 1996), hlm. 330. pada kasus yang
menimbulkan kerugian bagi orang lain terdapat dua kemungkinan; 1) bisa saja
dilakukan dengan sengaja; dan 2) tidak sengaja. Dalam kasus merugikan
orang lain yang dilakukan dengan sengaja, maka terlihat ada dua kemungkinan
efek; 1) efeknya dapat bersifat umum; 2) efeknya bersifat khusus. Dalam hal
efek mafsadat yang bersifat khusus, terdapat dua kemungkinan; 1) pelaku
melakukan dengan penuh kesadaran, dan memandang perlu melakukannya; 2) pelaku
sengaja melakukan, tapi tidak bermaksud menimbulkan mudarat terhadap orang
lain. Dalam kasus tidak bermaksud menimbulkan mudarat terhadap orang lain, ada
tiga kemungkinan; 1) efek mudaratnya dapat dipastikan; 2) jarang berefek
mudarat; 3) efek mudaratnya banyak terjadi pada banyak kasus. Pada model kasus
ketiga ini terdapat dua kemungkinan; 1) umumnya memang dilakukan untuk
menimbulkan mudarat terhadap orang lain; 2) banyak kasus yang menunjukkan bahwa
perbuatan ini dilakukan untuk menimbulkan mudarat terhadap orang lain.
[20] Al-Raysūnī
dan Jamāl Bārūt. Al-Ijtihād…, hlm. 67.
Komentar
Posting Komentar