ABORSI (Penafsiran Ayat 31 Surat al-Isra’)
Allah berfirman:
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ نَحْنُ
نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرً (الإسراء: 31)
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah
yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh
mereka adalah suatu dosa yang besar. (Q.S. al-Isra’: [17] 31)
Menurut
Ibn Abbas ayat ini turun sehubungan dengan tindakan jahiliyah yang membunuh
anak perempuan mereka, bahkan menguburnya hidup-hidup. Ibn ‘Asyur melihat kata awlad
(anak-anak) di sini bermakna banat (anak perempuan), sebab ayat ini
sangat terkait dengan suasana di masa jahiliyah, di mana anak perempuan dibunuh
karena takut terhina dan fakir.
Pandangan
yang sama juga dikemukakan Ibn Katsir, bahkan ia membandingkan ayat ini dengan
ayat tentang warisan. Bahwa Alquran menetapkan hak mewarisi bagi anak perempuan
sebagai pembatalan atas adat jahiliyah yang tidak memberikan harta warisan
kepada anak perempuan. Demikian pula ayat ini, membatalkan pandangan jahiliyah
yang menganggap hina anak perempuan, tidak produktif, dan mendatangkan
kefakiran.
Asbabun
nuzul di atas menunjukkan, bahwa ayat ini terbatas sebagai dalil bagi hukum
haramnya membunuh anak dalam praktik jahiliyah. Hal ini tekait dengan fakta
sosial kala itu, yang mana fenomena membunuh anak hanya dilakukan oleh kaum
laki-laki. Fakta ini direkam Alquran sebagai berikut:
وَإِذَا
بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ (النحل:
58)
Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan
(kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat
marah.
(Q.S. al-Nahl [16]: 58)
Melihat
fenomena yang terekam dalam teks ayat di atas, kiranya cukup beralasan jika
diasumsikan bahwa peristiwa membunuh anak oleh ibunya baru muncul belakangan,
setidaknya setelah masa hidup Ibn Abbas. Buktinya Ibn Abbas tidak diberitakan
merubah penafsirannya, baginya kata awlad tetap bermakna banat.
Belakangan
ketika fenomena aborsi muncul dalam masyarakat, para ulama tidak menemukan ayat
yang membicarakannya secara khusus, sehingga terbuka untuk dinyatakan bebas
nilai (tidak dihukum). Namun dari segi prakteknya, ada kemungkinan aborsi
tercakup dalam keumuman larangan membunuh. Sebagaimana diketahui, membunuh
dilarang oleh Allah karena (al-‘illah/ta‘lîl/causa)
menghilangkan kehidupan. Oleh karena itu, para ulama berusaha mencari status
hukumnya dengan cara qiyâs berdasar kesamaan alasan (al-‘illah),
yaitu sama-sama melenyapkan kehidupan. Untuk itu, para ulama menafsirkan ayat
ini secara lebih luas, bahwa kata awlad mencakup anak laki-laki dan
perempuan, dan kata wa la taqtulu (jangan membunuh) mencakup aborsi.
Penjelasan
yang dipandang ikut memperkuat argumen ini adalah hadis yang dinyatakan sahih
oleh Muslim (Sahih Muslim, Kitâb nikâh, bâb 22 Hukm al-‘Azal):
عَنْ ابْنِ مُحَيْرِيزٍ أَنَّهُ قَالَ دَخَلْتُ أَنَا وَأَبُو صِرْمَةَ عَلَى أَبِي
سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ فَسَأَلَهُ أَبُو صِرْمَةَ فَقَالَ يَا أَبَا سَعِيدٍ هَلْ
سَمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ الْعَزْلَ
فَقَالَ نَعَمْ غَزَوْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
غَزْوَةَ بَلْمُصْطَلِقِ فَسَبَيْنَا كَرَائِمَ الْعَرَبِ فَطَالَتْ عَلَيْنَا
الْعُزْبَةُ وَرَغِبْنَا فِي الْفِدَاءِ فَأَرَدْنَا أَنْ نَسْتَمْتِعَ وَنَعْزِلَ
فَقُلْنَا نَفْعَلُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ
أَظْهُرِنَا لَا نَسْأَلُهُ فَسَأَلْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ لَا عَلَيْكُمْ أَنْ لَا تَفْعَلُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ خَلْقَ
نَسَمَةٍ هِيَ كَائِنَةٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ إِلَّا سَتَكُونُ
Dari Ibn Muhayriz, ia berkata; Saya bersama
Abu Shirmah menemani Abu Sa‘id al-Khudhri, Abu Shirmah bertanya: “Wahai Abu
Sa‘id, adakah kamu mendengar Rasulullah saw. membicarakan tentang ‘azal?” Abu
Sa‘id menjawab: “Ya, saat kami ikut Rasulullah dalam perang Balmushthaliq, kami
menawan sejumlah wanita Arab yang kami harap akan ditebus. Sementara itu kami
telah lama jauh dari keluarga dan terpikir alternatif melakukan ‘azal, namun
kami harus bertanya dulu kepada Rasulullah saw.,” beliau bersabda: “Jangan,
sekali-kali kamu menyiakan sesuatu yang ditetapkan Allah sebagai makhluk yang
memiliki jiwa (ruh), dia adalah makhluk Allah sampai hari kiamat, hanya saja
belum berwujud.”
‘Azal
adalah
praktek dalam hubungan intim di mana ejakulasi dilakukan di luar vagina untuk
menghindari kehamilan. Maka Hadis ini memperlihatkan bahwa al-‘illah (causa
efficien) dalam larangan ‘azal di atas adalah adanya unsur
kehidupan. Logika yang terbangun, kalau sperma saja sudah dipandang sebagai
kehidupan secara syar’î, apalagi janin. Dengan berpijak pada teks hadis
di atas, maka cukup beralasan jika aborsi juga dinyatakan sebagai pembunuhan,
sebab secara syar’î, embrio/janin sudah memiliki tingkat kehidupan yang
lebih tinggi dari sperma.
Logika di
atas tidak serta merta diterima. Pertanyaannya, apakah larangan ‘azal merupakan
nilai moral yang terkait dengan etika? Atau merupakan norma hukum yang
melibatkan lembaga peradilan? Terkait dengan pertanyaan ini, maka menjadikan
hadis di atas sebagai indikator memasukkan aborsi dalam keumuman larangan
membunuh, menjadi tidak relevan.
Sementara di
lain pihak, ada ulama yang menyatakan bahwa kehidupan janin baru dimulai
setelah ditiupkan ruhnya. Adapun sperma (mani) belum merupakan makhluk hidup,
demikian pula pada masa awal pembuahan (embrio). Mereka berpedoman kepada hadis
yang dinyatakan sahih oleh al-Bukhari dan Muslim berikut ini (Sahih
al-Bukhari, Bâb fî al-Qadr, lihat juga; Sahih Muslim, Kitâb
al-Qadr):
قَالَ إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ
أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ
ذَلِكَ ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ مَلَكًا فَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعٍ بِرِزْقِهِ
وَأَجَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ فَوَاللَّهِ إِنَّ أَحَدَكُمْ أَوْ الرَّجُلَ
يَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا
غَيْرُ بَاعٍ أَوْ ذِرَاعٍ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ
أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ
الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا غَيْرُ ذِرَاعٍ أَوْ
ذِرَاعَيْنِ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ
فَيَدْخُلُهَا
Rasulullah saw.
bersabda: “Sesungguhnya setiap kamu dikumpulkan dalam kandungan ibunya selama
empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal darah dalam tempo yang lebih kurang
sama, kemudian menjadi segumpal daging dalam waktu yang juga hampir sama.
Kemudian Allah mengutus seorang malaikat untuk menetapkan empat perkara, yaitu
rezekinya, ajalnya, buruk dan baik peruntungannya. Maka demi Allah, setiap
orang yang melakukan amal ahli neraka sampai ia terlihat begitu dekat dengan
neraka, sedangkan ia tertulis sebaliknya, maka akhirnya ia akan berbuat amalan
ahli syurga dan masuk ke dalamnya. Sebaliknya jika seseorang melakukan amalan
ahli syurga sehingga terlihat begitu dekat dengan syurga, sedangkan dalam
kitabnya tertulis lain, maka akhirnya ia akan melakukan amalan ahli neraka
sehingga akhirnya masuk neraka.
Secara
implisit, Hadis ini menyatakan bahwa kehidupan dimulai setelah 120 hari usia
kandungan. Lalu, apakah hadis ini tidak bertentangan dengan hadis sebelumnya
yang mengatakan sperma sebagai makhluk hidup (nasmah). Di sinilah para
ulama yakin bahwa larangan ‘azal merupakan nilai moral, karena itu berarti
cikal bakal kehidupan (illa satakun). Maka diyakini, bahwa yang dapat
disepakati sebagai pembunuhan adalah aborsi yang dilakukan setelah 120 hari
usia kehamilan, atau setelah kandungan mencapai usia empat bulan.
Dengan
demikian, telah ada satu indikator untuk memasukkan aborsi dalam keumuman
larangan membunuh yang memiliki konsekuensi hukum. Berdasarkan hadis di atas,
aborsi dapat dimasukkan dalam keumuman larangan membunuh, antara lain, pada
ayat 33, surat al-Isra’, dan ayat 8 sampai 9 surat al-Takwir.
وَلَا
تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَمَنْ قُتِلَ
مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ
إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا (الإسراء: 33)
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan
barangsiapa dibunuh secara zalim maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan
kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam
membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. (Q.S. al-Isra’ [17]: 33).
وَإِذَا
الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ، بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ (التكوير: 8-9)
Apabila bayi-bayi perempuan yang
dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah ia dibunuh? (Q.S. al-Takwir [81]: 8-9).
Keharaman
aborsi di atas adalah ketentuan umum yang masih memungkinkan untuk mendapat
pengkhususan pada kasus-kasus tertentu sehingga hukumnya akan dapat berbeda.
Dengan demikian, tidak semua aborsi menjadi haram jika meninjau adanya kondisi
mudarat yang harus dikecualikan. Ini mengharuskan kita meninjau bentuk-bentuk
praksis aborsi itu sendiri.
Dalam tataran
praksis, dalam dunia kedokteran dikenal tiga macam aborsi. Pertama,
aborsi spontan atau alamiah yang berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan
disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma. Kedua,
aborsi buatan (Abortus Provocatus Criminalis), yaitu pengakhiran
kehamilan sebelum usia kandungan 20 minggu, atau berat janin kurang dari 500
gram sebagai suatu akibat dari tindakan yang disengaja dan disadari, baik oleh
calon ibu maupun si pelaksana aborsi. Ketiga, aborsi terapeutik (Abortus
Provocatus Therapeuticum), yaitu pengguguran yang dilakukan atas indikasi
medik. Contohnya seorang calon ibu yang sedang hamil mempunyai penyakit darah
tinggi menahun, atau penyakit jantung yang parah, dan membahayakan janin dan
calon ibu itu sendiri.
Dari ketiga
jenis aborsi yang di atas, hanya jenis kedua yang memiliki relevansi dengan
pembahasan ini. Adapun aborsi jenis pertama tidak memiliki konsekuensi hukum,
karena peristiwa aborsi (keguguran) di sini dapat digolongkan sebagai sejenis
kecelakaan. Kalau pun dibutuhkan, keterlibatan perangkat hukum hanya dalam hal
menetapkan ada-tidaknya unsur kesengajaan dalam suatu kasus. Sedangkan pada
aborsi jenis ketiga telah berlaku peringanan hukum (rukhshah), sehingga
mengecualikannya dari hukum umum, karena ia termasuk dalam penerapan maslahat
pada tingkat darurat. Ini berarti pemberlakuan Qanun Ilahi tertinggi
yang diterapkan atas seluruh syariat ketika dibutuhkan, sebagaimana firmah
Allah:
وَمَا
لَكُمْ أَلَّا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ
لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ وَإِنَّ
كَثِيرًا لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ
أَعْلَمُ بِالْمُعْتَدِينَ (الأنعام: 119)
Mengapa kamu tidak
mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika
menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa
yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. dan
sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang
lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhan-mu, Dia-lah yang
lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas. (Q.S. al-An‘am [6]: 119).
Menurut Fathî al-Duraynî, kekuatan dharûrah
sebagai pengecuali (mustathnâ’) sampai kepada masalat yang pasti (qath’î)
yang diputuskan dengan ijmak, (al-Duraynî, 1975: 614).
Dengan adanya pengecualian dalam kasus
kehamilan yang dicontohkan di atas, muncul dugaan; adanya kemungkinan mengecualikan
keharaman pada kasus tertentu lainnya. Di antaranya adalah kasus kehamilan yang
terjadi karena perkosaan. Sebagian orang melihat adanya suatu kondisi darurat
dalam kasus ini, sehingga cenderung memberlakukan rukhshah.
Ketegasan Islam melarang aborsi
Ketegasan Islam terhadap keharaman
aborsi tampak dalam penerapannya pada kehamilan yang terjadi karena zina. Hal
ini telihat dari satu hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, bahwa Rasulullah
tidak secara langsung merajam seorang wanita yang hamil, tapi menununggu sampai
ia melahirkan, dan selesai masa menyusu anaknya. Padahal kehamilannya itu
akibat zina, tapi Islam justru tidak memperbolehkan kandungan itu terusik sama
sekali, sampai-sampai rajam pun ditangguhkan, (Sahih Muslim, Kitâb
Hudûd; Bâb man i‘tarafa ‘alâ nafsihi bi al-zinâ).
Islam mengajarkan sikap menghormati dan
menjaga kehidupan janin sebagaimana kehidupan manusia itu sendiri, dan janin
tidak bersalah karena orang tuanya berzina. Dalam kondisi yang lain, Allah
membolehkan berbuka puasa (fardhu Ramadhan) demi menjaga kebaikan kandungan,
bahkan adakalanya justru diwajibkan berbuka, (Yûsuf al-Qaradhâwî, Fatwa-fatwa
Kontemporer, jld. II, hlm. 770).
Bagi sebagian ulama, bayi dalam
kandungan setelah ditiupkan rohnya, harus diperlakukan sebagaimana layaknya
manusia, ia sudah mempunyai hak memiliki meski pun belum dapat memikul beban
hukum (talkîf). Oleh karena itu, membunuh janin sama dengan membunuh
manusia sempurna. Ibn Hazm malah mewajibkan zakat fitrah bagi seorang bayi yang
dipukul dalam kandungan lalu lahir dalam kondisi tak bernyawa. Bagi Ibn Hazm,
bayi/janin itu dipandang sama dengan manusia yang pernah hidup dalam masa wajib
zakat, (Ibn Hazm, al-Muhalâ bi al-Atsâr, jld. XI, hal. 11).
Usia kandungan juga ikut menjadi
pertimbangan bagi sebagian ulama dalam menetapkan ketentuan hukum yang terkena
bagi seseorang yang melakukan jinâyah atas janin. Bahkan menurut Imam
al-Ghazzâlî, usia kehamilan juga berpengaruh bagi berbedanya tingkat keharaman
aborsi. Aborsi dalam masa 40 hari pertama lebih berat dosanya dari ‘azal.
Karena dalam 40 hari itu telah terjadi persiapan menerima kehidupan, berbeda
dari sperma sebelum membuahi sel telur. Demikian seterusnya dalam 40 hari
kedua, dan lebih-lebih lagi setelah mencapai 40 hari ketiga (120 hari), karena
dipastikan telah ditiupkan ruhnya, (Al-Ghazzâlî, Ihya’ ‘Ulûm al-Dîn,
jld. II, hlm. 76).
Berpijak
pada dasar pemikiran Imam al-Ghazzâlî di atas, Dr. Yûsuf al-Qaradhâwî
menyimpulkan, bahwa keharamaman aborsi pada masa 40 hari pertama lebih ringan,
sehingga masih boleh digugurkan (rukhshah) dengan ‘uzr yang mu‘tabar.
Adapun keharaman aborsi pada masa 40 hari kedua lebih berat lagi sehingga hanya
boleh digugurkan dengan ‘uzr yang lebih berat dengan penetapan ahli
fikih. Keharaman itu bertambah kuat dan berlipat ganda setelah 40 hari ketiga
(120 hari), yaitu tahap peniupan roh. Dalam tahap ini tidak boleh digugurkan
kecuali dengan mudarat yang pasti (qath‘î). Menurut Yûsuf al-Qaradhâwî,
mudaratnya hanya satu bentuk, yaitu apabila dibiarkan akan mengancam keselamatan
si calon ibu.
Komentar
Posting Komentar