Postingan

Menampilkan postingan dari 2015

Kejujuran Ilmiah

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintakan pertanggungjawabannya . (QS. Al-Isra’ [17]: 36). Al-Qu r thubi mengutip berbagai riwayat yang menafsirkan ayat ini dalam konteks larangan bersaksi palsu, menuduh zina , bicara bohong, omongan jalang dan mencekoki keaslian nasab seseorang. Adapun Fukaha (ulama ahli fikih) melihatnya sebagai hujah kebolehan memakai jasa ahli firasat ( qa’if ) untuk penetapan keterhubungan nasab seseorang dengan ayahnya . Bisa dikatakan penafsiran seperti ini dominan secara kuantitas, sebab hampir semua kitab tafsir begitu. Namun ada sisi terlupakan yang terungkap dalam tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir , sepertinya patut direnungkan. Ibn ‘Asyur—mufasir/ahli bahasa dan sastra Arab—mengungkap analisis sintaksis ( nahwiyyah ) redaksional berdasar fakta adanya penekanan ( al-ihtimam ) pada tiga tempat dalam ayat. Pertama , mendahulukan kata “ kull

Bijaksana Ala Alquran

Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu. Dan janganlah kamu mengadakan tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela lagi dijauhkan (dari rahmat Allah) . (QS. Al-Isra’ [17]: 39). Ayat ini merupakan penutup dari rangkaian 17 ayat dalam surat ke 17 (al-Isra’) yang mengajarkan tentang kebijaksanaan (hikmah), yaitu mulai ayat 23 sampai ayat 39. Jika diperhatikan, rangkaian ayat ini berisi dua belas larangan, enam perintah, dan tiga penegasan. Pada ayat 38 dinyatakan, bahwa semua larangan dalam ayat sebelumnya merupakan keburukan yang dibenci Allah. Lalu pada ayat 39 dinyatakan, bahwa semua ini adalah sebagian hikmah yang wahyukan Allah. Dua belas larangan mulai dari ayat 23 adalah: 1) larangan menyembah selain Allah; 2) larangan menyakiti orang tua; 3) larangan boros ( tabzir ); 4) larangan kikir; 5) larangan royal pada harta karena berakibat penyesalan, 6) larangan membunuh anak karena takut miskin; 7) larang

Ahli Hikmah

Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Luqman [31]: 12). Sebagian ulama mengira Lukman al-Hakim adalah nabi. Namun Ibn Umar pernah mendengar penjelasan Rasul bahwa Lukman bukan nabi, tapi seorang hamba Allah yang banyak melakukan perenungan. Benar, sebab ayat ini sama sekali tidak menyiratkan kenabian Lukman. Maka kata al-hikmah disini bermakna pengetahuan tentang hakikat sesuatu oleh selain nabi. Jadi ini merupakan pengakuan, bahwa manusia biasa juga bisa mencapai kebijaksanaan. Selain pengakuan ayat di atas juga mencontohkan, bahwa hikmah bukan hanya pengetahuan, tapi tindakan yang bijaksana. Bersyukur adalah contoh terbaik yang diberikan Alquran, sebab ia puncak hikmah. Hikmah berarti mendahulukan yang lebih bermanfaat dari lain

Hikmah

Allah menganugerahkan al-hikmah, dan barangsiapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak, dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran . (QS. Al-Baqarah [2]: 269). Menurut Tafsir Jalalayn , kata al-hikmah di sini dapat dipahami sebagai ilmu bermanfaat yang mengantar pada amalan. Demikian pula menurut tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir , al-hikmah adalah ilmu yang kokoh dan perbuatan dijalankan berdasar ilmu tersebut. Adapun pendalaman terhadap kata ini menimbulkan ragam pendapat dalam tiga konteks. Pertama dalam konteks Alquran, antara lain Ibn ‘Abbas. Ia mengatakan hikmah adalah pemahaman terhadap Alquran seperti tafsir, atau tentang muhkam dan mutasyabih -nya. Pendapat yang sama juga diriwayatkan dari Abu ‘Aliyah. Kedua , dalam konteks kenabian. Menurut Abu Malik, hikmah adalah Sunah Rasulullah. Adapun al-Sadi mengatakan bahwa hikmah dalam ayat ini adalah kenabian ( nubuwah ), namun ditolak oleh ulama lain.

Berpikir Merdeka

Barangsiapa yang memiliki seorang budak, lalu ia memberinya pendidikan sebaik-baiknya, dan diajarkannya adab se baik -baiknya , kemudian ia merdekakan dan nikahkan, maka ia mendapat dua pahala . (HR. Bukhari). Sedikit perenungan akan membawa kita pada kesadaran, mengapa dalam Hadis di atas Rasulullah mendahulukan pendidikan dan a dab dari pada pemerdekaan. Ternyata inilah hakikat merdeka yang melebihi kemerdekaan dalam arti leksikal, sebab pendidikan dan adab memerdekakan seseorang walau jasmaninya terpenjara. Jika tuntunan Rasulullah diterapkan , m aka sempurnalah kemerdekaan seorang budak. Sebaliknya jika tuntunan itu diabaikan, maka tidak ada artinya kemerdekaan si budak, sebab ia tetap diperbudak oleh kebodohan. Berdasarkan logika ini, maka hapusnya perbudakan sekarang ini tidak menirmaknakan Hadis di atas . Sebab, m eski secara semantik terlihat berbicara tentang budak, namun secara sintaksis-redaksional pokok pikiran Hadis adalah hubungan relasional. Yaitu relasi kewa

Mengenal Fakir dan Miskin

Alllah swt. berfirman: إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (60) Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana . (Q.S. al-Tawbah [9]: 60). Memerhatikan ayat di atas, dapat dipahami bahwa fakir dan miskin adalah dua kelompok yang berhak menerima zakat. Menurut Ibn Manzhur, secara etimologis kata al-faqir merupakan lawan kata al-ghani (kaya) sehingga memiliki kesamaan makna dengan kata al-miskin . Lalu ia mengutip pendapat yang membedakan dan yang menyamakan kata al-faqir dari kata

Hubungan Teori Sistem dengan Pendekatan Holistik dalam Ijtihad Kontemporer

Kata sistem berasal dari bahasa Yunani “ systema ” yang berarti keseluruhan yang tersusun dari banyak bagian, atau hubungan yang berlangsung di antara satuan-satuan atau komponen secara teratur. [1] Dalam kamus al-Mu‘jam al-Falsafī , kata sistem dipadankan dengan kata al-nasaq yang secara etimologis berarti tatanan ( ni z ām ). Lalu secara terminologis diartikan sebagai kumpulan unsur yang saling berhubungan sebagai satu kesatuan. [2] Tatang M. Amirin dengan merujuk Shrode dan Voich, dan Murdick dan Ross mendefinisikan sistem sebagai berikut: [3] “…sehimpunan unsur yang melakukan sesuatu kegiatan atau menyusun skema atau tata cara melakukan sesuatu kegiatan pemrosesan untuk mencapai sesuatu atau beberapa tujuan , dan hal ini dilakukan dengan cara mengolah data dan/atau energi dan/atau barang (benda) di dalam jangka waktu tertentu guna menghasilkan informasi dan/atau energi dan/atau barang (benda) . Memerhatikan definisi ini, terlihat bahwa sistem berkenaan dengan alat atau or

Moderatisme sebagai Dasar Memahami Maqasid al-Syariah

Gambar
Moderatisme ( al-wasathiyyah ) berlaku dalam tiga bidang yang merupakan fitrah berpikir manusia (disebut tiga kerangka filsafat), yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi ( māhiyyah ) berkaitan dengan pertanyaan yang timbul dalam pikiran tentang ‘ada’-nya sesuatu, maka dipertanyakan hakikat sesuatu, ‘apakah’ ia ada secara empirik-sensual (terindera), atau secara metafisik (di luar jangkauan indera). Moderatisme dalam bidang ini dapat diilustrasikan sebagai berikut: Epistemologi ( kayfiyyah ) berkaitan dengan cara manusia mengetahui, maka yang dipertanyakan adalah ‘bagaimana’ sesuatu itu bisa diketahui sehingga bisa dinyatakan suatu pengetahuan itu benar atau salah, atau diputuskan bahwa sesuatu dapat diketahui atau tidak. Dalam hal ini moderatisme dapat diragakan sebagai berikut:  Aksiologi ( ghāyah ) berkaitan dengan tujuan manusia, maka yang dipertanyakan ‘untuk apa’ sesuatu dilakukan. Aksiologi berkaitan dengan nilai baik dan buruknya sesuatu, dan inda