Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

Zakat dan Riba; Tafsir ayat 39 Surah al-Rum

Membicarakan ajakan membayar zakat menimbulkan pertanyaan, bukankah zakat telah diperintahkan langsung oleh Allah? Maka perintah Allah ini sudah lebih dari cukup sebagai ajakan. Lalu apa faedahnya ajakan membayar zakat? Berbagai jawaban bisa diajukan, tetapi Alquran menetapkan agar setiap ajakan dilakukan dengan hikmah dan maw‘idhah hasanah (QS. Al-Nahl [16]: 125). Hal ini meniscayakan ajakan membayar zakat juga dilakukan dengan menyentuh kesadaran muzakki. Untuk itu, perlu dikemukakan satu persoalan dalam zakat yang menuntut sikap bijaksana sehingga ajakan membayar zakat dapat dilakukan dengan hikmah dan maw‘idhah hasanah pula. Mengingat substansi Islam adalah ajaran Alquran dan Sunah, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengeksplor wacana Alquran tentang zakat. Dalam hal ini, menarik ketika Alquran mengemukakan wacana dalam ayat berikut: وَمَا آَتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آَتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُر

Kembali ke Fitrah: Tafsir ayat 30 Surah al-Rum

Allah berfirman dalam surat al-Rum: فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (الروم: 30) Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetap-lah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui . (Q.S. al-Rum [30]: 30). Menurut al-Zujâj, kata perintah “aqim” dalam ayat berarti “ikutilah agama yang lurus, dan ikutilah fitrah Allah”, (al-Qurthubî, t.th.: XIV, 20). Jadi kata aqim dimaknai atbi‘ dan memiliki dua objek ( maf‘ûl ), yaitu wajhaka dan fitrat Allah . Sementara al-Thabari menjadikan kata fitrah sebagai sandaran ( masdar ) perintah aqim , yaitu; karena --secara fitrah-- Allah menciptakan manusia dengan kesiapan untuk menerima dan me-ngemban agama ini. Penafsiran lain dari Thahir ibn ‘A

Memfitnah Islam (?)

رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِلَّذِينَ كَفَرُوا وَاغْفِرْ لَنَا رَبَّنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (الممتحنة: 5) “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami fitnah bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami Ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkau, Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 5) Ayat ini merupakan rangkaian dari penjelasan Alquran tentang interaksi dengan nonmuslim. Kala ayat ini turun, umat Islam yang baru berhijrah masih berharap agar dapat kembali mesra dengan kerabatnya yang musyrik. Lalu umat Islam diingatkan agar tidak menjadi penyebab fitnah bagi orang kafir. Menurut Ibn Asyur kata “ fitnah ” dalam ayat ini merupakan kiasan ( kinayah ) sehingga maknanya menjadi: “Janganlah Engkau jadikan mereka mendominasi ( ghalabah /menguasai) terhadap kami.” Adapun makna yang terkandung dalam kata “ fitnah ” menurut Ibn Asyur adalah: “Dan jauhkanlah cacat dan keburukan dari kami agar tidak menjadi sebab fitnah terhadap orang

Puasa dan Fitrah (Ayat 46 Surah al-Hajj)

Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada . (Q.S. al-Hajj [22]: 46). Menurut Qatadah dan Ibn Jubayr, asbabunnuzul ayat ini adalah pertanyaan Ibn Ummi Maktum yang buta matanya: “Ya Rasulullah, kami ini buta di dunia, apakah kami juga buta di akhirat?” Lalu turunlah ayat ini sebagai jawaban, bahwa yang sebenarnya buta—dunia-akhirat—adalah mereka yang ‘buta mata hati’-nya. Masalahnya, apakah ‘buta mata hati’ di sini bersifat majazi (metafor), atau haqiqi ? Secara redaksional ayat ini berupa metafor, sebab ayat sebelumnya berbicara tentang negeri yang dihancurkan (al-Hajj ayat 45: fa ka’ayyin min qaryah ahlaknaha ) yang dapat disaksikan dengan mata kepala atau informasi yang sampai ke telinga. Lalu ayat 46 menyuruh manusia berjalan di muka bumi agar memili

Dimensi Dosa

رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ « كُلُّ أُمَّتِى مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ ، وَإِنَّ مِنَ الْمَجَانَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ ، فَيَقُولَ يَا فُلاَنُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ » . Seluruh umatku dimaafkan, kecuali orang yang mempertontonkan dosanya. Perumpamaannya seperti orang yang berbuat dosa di malam hari, lalu ia menyambut pagi dalam kondisi dosanya ditutupi oleh Allah. Ironisya, ia malah membeberkan: “Wahai Polan, aku telah melakukan ini dan itu tadi malam.” Jadilah ia membuka selubung yang ditutupkan Allah untuknya . (HR. al-Bukhari) Hadis ini membicarakan dosa dalam tiga dimensi, yaitu dimensi empirik, metaempirik dan metafisik. Ketiga dimensi ini disampaikan secara lugas oleh Rasulullah, dengan membuat perumpamaan gelap malam sebagai selubung. Perumpamaan ini membangun citra dalam imajinasi kita sebagai re

Masyarakat Berbasis Jamaah

فَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ Senantiasalah kamu dalam jamaah, sebab serigala hanya memangsa yang menyendiri . (HR. al-Nasa’i) Secara utuh, al-Nasa’i meriwayatkan Hadis ini dalam konteks ibadah (salat jamaah). Suatu hari Abu Thalhah al-Ya‘muri bertemu dengan Abu Darda’. Setelah dialog ringan tentang tempat domisili, Abu Darda’ menyatakan pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah setiap tiga orang dalam satu daerah atau tempat terpencil yang tak mendirikan salat, kecuali mereka dikuasai setan. Oleh karena itu senantiasalah kamu dalam jamaah, sesungguhnya serigala hanya memangsa yang menyendiri.” Meski disampaikan dalam konteks ibadah, namun Hadis di atas mengandung nilai filosofis universal tentang kebaikan jamaah. Sebab nyatanya perintah “ ‘alaykum bil jama‘ah ” juga disampaikan Rasul dalam konteks sosial kemasyarakatan dan siyasah/politik. Dalam khutbahnya, Khalifah Umar berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya aku berdiri di had

LGBT Melawan Fitrah

Lesbian, gay, biseks dan transgender (LGBT) bukan persoalan baru, sebab sudah terjadi ribuan tahun lalu di masa Nabi Luth. Alquran merekamnya dalam ayat ini: Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu.” Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas . (Q.S. al-A‘raf [7]: 80-81). Perhatikan bahasa Alquran yang santun, padahal sedang membongkar sesuatu yang keji. Terkesan Alquran menggunakan perdekatan persuasif-akhlaqi dalam menanggapi persoalan ini. Menariknya, Alquran berhasil mendeskripsikan dengan sangat jelas, tanpa harus memakai kata-kata vulgar atau emosional. Bandingkan, Alquran mendefinisikan hakikat homoseksualitas sebagai perbuatan ( ta’tuna al-rijal /mendatangi laki-laki), yaitu sodomi/ sadomaso

Duka Aisyah (Penafsiran Ayat 33 Surat al-Ahzab)

Allah berfirman: وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا (الأحزاب: 33) Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak memalingkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya . (Q.S. al-Ahzab [33]: 33) Dalam ayat di atas, kata “ بُيُوتِكُنَّ ” yang berbentuk jamak muannas merujuk kepada para isteri Nabi yang menghuni rumah sesuai dengan penempatan oleh Nabi, bukan kepemilikan rumah. Gaya bahasa seperti ini memang lazim digunakan Alquran, misalnya dalam ayat berikut: لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ (الطَّلَاق: 1) Jangan engkau mengeluarkan mereka d

Tebarlah Salam

Kalian dijangkiti penyakit sosial, yaitu dengki dan amarah. Ini bukan sekedar merusak empati, tapi malah menghancurkan iman. Demi Allah, kalian tidak akan masuk syurga tanpa iman kepada Allah, sementara kalian takkan bisa memiliki iman sampai kalian saling mencintai. Bukankah telah kukabarkan tentang hal yang ditetapkan Allah sebagai milik paling berharga bagi kalian? Tebarlah salam! (HR. al-Tirmizi) H adis yang diriwayatkan dari Zubayr ibn Awam ini menegaskan pentingnya salam dan sekaligus kekhususannya dalam Islam. Perhatikan rangkaiannya yang menghubungkan keterkaitan antara masuk syurga dengan iman, antara iman dengan mencintai sesama, dan antara mencintai sesama dengan salam. Terlihat pula hubungan antara salam dengan penyakit sosial (dengki dan amarah), sehingga perintah memberi salam tidak bisa dipisahkan dari tujuan akhir manusia, yaitu masuk syurga. Lebih jauh Hadis ini mengisyaratkan salam sebagai in d ikator kecintaan sesama muslim dan terapi penyakit sosial. Untuk mem