Demi Jiwa (Penafsiran Ayat 7-10 Surat al-Syams)
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا (7) فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
(8) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا (10)
Demi jiwa dan penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang
yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
(Q. S. al-Syams [91]: 7-10).
Dalam ayat di atas, setelah bersumpah dengan
matahari, bulan, siang, malam, langit, dan bumi, Allah bersumpah atas nama jati
diri/jiwa manusia dan penciptaannya yang sempurna. Lalu Allah mengilhamkan
kefasikan dan ketakwaan ke dalam jiwa/diri manusia. Al-Qurthubi mengatakan
bahwa sebagian ulama mengartikan kata ‘nafs’ sebagai Nabi Adam, namun
sebagian yang lain mengartikannya secara umum, yaitu jati diri manusia itu
sendiri.
Menurut Ibn ‘Asyur, kata ‘nafs’ dalam ayat
berbentuk nakirah (tanpa alif lam ta‘rif), ini menunjukkan
nama jenis, sehingga mencakup jati diri seluruh manusia. Hal ini senada dengan
penggunaan kata yang sama secara nakirah dalam ayat 5 surat al-Infithar:
عَلِمَتْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ
وَأَخَّرَتْ (الانفطار [82]: 5)
Maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan
yang dilalaikannya. (Q. S. al-Infithar [82]: 5).
Oleh karena itu kata ‘wa ma sawwaha’ mengandung
penjelasan bahwa Allah menciptakan diri setiap manusia dalam kondisi yang sama,
tidak berbeda antar satu dengan lainnya. Sebab kesempurnaan bentuk manusia (taswiyyah)
tercapai setelah proses pembentukan janin sempurna, yaitu pada awal masa
kanak-kanak. Karena taswiyyah merupakan pembentukan fisik manusia, penyiapan
kemampuan motorik, dan intelektual. Seiring pertumbuhannya, potensi dalam diri manusia
meningkat sehingga ia siap menerima ilham dari Allah.
Kata ilham sebagaimana pengertian dalam ayat tidak
dikenal di kalangan orang Arab sebelum Islam, sehingga penjelasan untuk kata
ilham tidak bisa dicari dalam syair-syair Arab kuno. Tidak diketahui kapan
pertama kali kata ini muncul, namun diyakini Alquran lah yang menghidupkan kata
ini, sebab ia adalah kata yang mendalam dan mengandung makna kejiwaan. Menurut
Ibn Asyur, kata ilham diambil dari kata “allahm“ yang berarti tegukan
dalam sekali gerak.
Secara terminologis, kata ilham digunakan untuk
menyatakan konsep keilmuan tertentu di kalangan para ahli sufi. Ia diartikan
sebagai hadirnya pengetahuan dalam diri manusia tanpa harus melalui usaha
belajar dan penalaran. Dengan kata lain, ini merupakan ilmu yang tidak berdasar
dalil, yaitu ilmu yang hadir seumpama insting bagi manusia. Bandingannya,
seperti hadirnya pengetahuan pada seseorang agar segera menghindar saat
berhadapan dengan hal yang tidak baik baginya.
Dengan pengertian seperti di atas, Ibn Abbas
menafsirkan kata “fa alhamaha fujuraha wa taqwaha,” bahwa Allah
mengajarkan manusia (‘arrafaha) tentang jalan fasik, dan jalan takwa. Tidak
jauh berbeda, Mujahid juga menafsirkan kata alhamaha sebagai ‘arrafaha;
bahwa Allah memperkenalkan jalan taat dan jalan maksiat bagi manusia.
Penafsiran serupa juga dinyatakan oleh al-Farra’, namun ada juga ulama yang melakukan
penafsiran berbeda.
Diriwayatkan dari Muhammad ibn Ka‘ab, ia berkata:
“Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka diilhamkan
kebaikan baginya sehingga ia berbuat baik. Sebaliknya, jika Allah menghendaki
keburukan terhadap seseorang, maka diilhamkan lah keburukan dalam jiwanya
sehingga ia berbuat jahat.” Pendapat yang serupa juga diriwayatkan oleh al-Dhahhak,
menurutnya bersumber dari Ibn Abbas.
Sebagian ulama berpendirian bahwa penafsiran
seperti ini lebih kuat karena bersumber dari keterangan Rasulullah saw. sendiri.
Imam Muslim dalam Sahih-nya (kitab al-Qadr, bab cara penciptaan anak
Adam) meriwayatkan hadis berikut dari Abu al-Aswad al-Dili:
إِنَّ
رَجُلَيْنِ مِنْ مُزَيْنَةَ أَتَيَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَا: يَا رَسُولَ اللهِ أَرَأَيْتَ مَا يَعْمَلُ النَّاسُ الْيَوْمَ، وَيَكْدَحُونَ
فِيهِ، أَشَيْءٌ قُضِيَ عَلَيْهِمْ وَمَضَى فِيهِمْ مِنْ قَدَرٍ قَدْ سَبَقَ، أَوْ
فِيمَا يُسْتَقْبَلُونَ بِهِ مِمَّا أَتَاهُمْ بِهِ نَبِيُّهُمْ، وَثَبَتَتِ الْحُجَّةُ
عَلَيْهِمْ؟ فَقَالَ: " لَا، بَلْ شَيْءٌ قُضِيَ عَلَيْهِمْ وَمَضَى فِيهِمْ،
وَتَصْدِيقُ ذَلِكَ فِي كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ: وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا
فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا "
Bahwa dua orang lelaki dari Muzaynah datang kepada Rasulullah saw.
dan bertanya: “Ya Rasulullah, apa pendapatmu tentang perbuatan dan usaha yang
dilakukan manusia, adakah sesuatu telah ditetapkan atas mereka, dan berlaku
sebagaimana takdirnya dahulu? Atau ketetapan itu berlaku pada masa yang akan datang
sebagaimana diberitakan oleh nabi mereka, dan telah ditetapkan hujah atas diri
mereka?” Rasul menjawab: “Tidak, bahkan sesuatu telah lebih dahulu ditetapkan dan
berlaku atas mereka, hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Kitab Allah ‘Azza wa
Jalla: Wa nafs wa ma sawwaha…” (HR. Muslim)
Penjelasan dari Rasulullah saw. ini tidak menutup
peluang bagi penafsiran lain (seperti penafsiran Mujahid di atas) selama masih
relevan dengan redaksi dan munasabah antarayat, sebab kedua penafsiran ini
berbeda perspektif. Rasul menjelaskan secara metafisis, sedang yang lain
beranjak dari redaksi teks ayat yang ternyata sesuai dengan pola berpikir logis
akal manusia.
Hadis mengisyaratkan pemberian satu jenis ilham
untuk satu orang sesuai dengan takdirnya. Jika seseorang ditakdirkan baik, maka
ia mendapat ilham takwa, sebaliknya jika seseorang ditakdirkan buruk, maka ia
mendapat ilham ke arah maksiat. Sedangkan redaksi dan munasabah ayat memungkinkan
untuk ditafsir bahwa kedua jenis ilham itu diturunkan kepada setiap orang, baik
ia ditakdirkan baik, atau ditakdirkan buruk.
Menurut Ibn Asyur, penurunan ilham ini memiliki
relevansi dengan pengutusan para rasul yang mengajarkan apa itu kefasikan dan
ketakwaan. Sebab jika tanpa ilham tentang kebaikan dan keburukan dalam diri
manusia, maka manusia tidak akan mampu memahami syariat Allah. Tanpa pengilhaman
kedua hal itu, akal tidak akan mampu memahami apa itu fasik dan takwa, demikian
pula manusia tidak akan mampu memahami apa itu dosa dan pahala. Hal ini lah
yang mempertautkan pernyataan ayat 8 dengan konsekuensinya dalam ayat 9 dan 10.
Redaksi dan munasabah menunjukkan bahwa kedua ayat
ini merupakan kesatuan dengan ayat sebelumnya, jadi tidak bisa ditafsirkan
secara terpenggal. Logika yang terbangun; setelah Allah menjelaskan adanya
pengilhaman fujur dan taqwa dalam diri manusia, lalu Allah
menyatakan konsekuensinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa
itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
Logika ini cukup relevan dengan redaksi ayat, sebab
ayat 8 menggunakan waw ‘athaf yang berarti fujur dan taqwa
sama-sama diilhamkan dalam jiwa manusia, maka pernyataan dalam ayat 9 dan 10
menunjukkan akibat dari fujur dan taqwa itu. Dari itu manusia
patut disifatkan sebagai orang yang beruntung atau rugi, karena ia sendiri yang
memilih untuk menyucikan, atau mengotori jiwanya. Sebab sebelumnya ia telah
diberi ilham sehingga dapat membedakan antara fujur dan taqwa, bahkan
para nabi pun telah diutus untuk memberinya pengajaran.
Jika logika yang sama diterapkan kepada hadis di
atas, maka akan terjadi kontradiksi dengan ayat 9 dan 10. Sebab hadis
menyatakan ilham fujur diberikan kepada orang yang ditakdirkan masuk
neraka, dan ilham taqwa diberikan kepada orang yang ditakdirkan masuk
syurga. Dari itu, perbuatan membersihkan, atau mengotori jiwa menjadi bukan perbuatan
manusia. Akibatnya, untung dan rugi tidak patut dinyatakan sebagai akibat
perbuatan manusia sendiri. Dengan demikian, logika ini tidak cocok untuk
memahami penjelasan metafisis Rasulullah, sebab Allah menyatakan tidak ada
kontradiksi dalam Alquran sebagaimana bunyi ayat berikut:
أَفَلَا
يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ
اخْتِلَافًا كَثِيرًا (النساء [4]: 82)
Tidakkah kamu merenungkan isi Alquran? Kalau bukan datang dari Allah,
tentu kamu akan menemukan banyak kontradiksi di dalamnya. (Q.S. al-Nisa’ [4]:
82).
Menurut penulis, penjelasan Rasulullah saw. itu tidak
menunjukkan kontradiksi antarayat Alquran, tapi menunjukkan adanya dimensi berbeda
dalam Alquran. Jadi kita harus melihat Alquran sebagai kitab hidayah yang di
samping berbicara dalam dimensi kemanusiaan, tapi juga menyampaikan informasi tentang
hakikat/metafisika dalam dimensi ketuhanan. Lalu bagaimana kesan kontradiksi
antara penjelasan hadis dengan redaksi ayat itu ditengahi?
Bagi penulis, Hadis di atas harus diperlakukan
sebagai informasi penyeimbang, bukan hujah yang bisa dijadikan proposisi
sehingga disimpulkan; tidak ada gunanya seseorang membersihkan jiwa, sebab fujur
dan taqwa-nya telah ditentukan oleh Allah. Kesimpulan seperti ini malah
tidak logis, sebab seseorang tidak bisa mengetahui takdir Allah atas dirinya,
lalu bagaimana ia bisa menyatakan amalannya menjadi tidak berguna? Yang logis,
justru menjadikan Hadis itu sebagai petunjuk, agar kita menggunakan logika yang
berbeda untuk informasi metafisika.
Benar bahwa Allah telah menentukan siapa penghuni
syurga dan siapa penghuni neraka sejak dalam sulbi ayahnya. Tetapi tidak ada
seorang pun manusia yang bisa mengetahui tentang dirinya, apakah ia ditakdirkan
sebagai isi neraka, atau isi syurga. Jadi pernyataan (proposisi) di atas tidak
bisa diturunkan dalam pengalaman manusia. Demikian pula kesimpulan; “bahwa amal
manusia menjadi tidak berguna,” ini tidak bisa dijadikan dasar bertindak dalam
pengalaman manusia, karena tidak ada dasar pembenarnya dalam pengalaman
manusia.
Logikanya, informasi di luar pengalaman manusia itu
hanya menegaskan ketidakniscayaan pengalaman manusia. Oleh karena seseorang
tidak bisa mengetahui apa yang telah ditakdirkan Allah atas dirinya, maka ia harus
terus memperbaiki seluruh amalnya. Sebab sebaik apa pun amal yang telah ia
kerjakan, tetap tidak bisa dijadikan jaminan untuk memastikan dirinya sebagai
isi syurga. Demikian pula bagi orang yang terjerumus dalam kenistaan, jangan berputus
asa dan mengira tidak ada jalan keluar. Sebab meskipun ia sedang bergelimang
dosa, tapi itu belum tentu merupakan petunjuk atas takdirnya, karena tidak ada
seorang pun yang bisa memastikan itu sebagai takdir Allah atas dirinya.
Di sisi lain, adanya Hadis di atas mengharuskan
manusia untuk mampu berfikir moderat, yaitu berfikir pertengahan sehingga
informasi metafisik dari hadis tidak kontradiksi dengan rasionalitas yang
ditunjukkan oleh redaksi ayat. Oleh karena itu, logika yang dibangun Alquran
harus diikuti, bahwa orang yang membersihkan jiwanya akan beruntung, adapun
orang yang mengotori jiwanya akan merugi. Namun logika ini tidak boleh
dijadikan sebagai suatu prinsip yang niscaya (determinan), melainkan harus disikapi
secara pertengahan.
Perlu dicatat, ilmu konseptual manusia hanya lah berupa
kemungkinan (probabilitas), jadi tidak ada sesuatu pun yang bisa dipastikan
manusia sampai sesuatu terjadi dalam kasus partikular. Demikian kesimpulan
Kenneth T. Gallagher setelah melihat runtuhnya ‘keniscayaan kausalitas’ sains
modern pasca temuan fisika kuantum. Manusia harus puas dengan probabilitas.
Maka keberuntungan bagi orang yang membersihkan jiwanya memiliki probabilitas yang
lebih tinggi dibanding kebalikannya. Demikian pula kerugian bagi orang yang mengotori
jiwanya, tentu lebih tinggi probabilitasnya dibanding keberuntungan yang
mungkin didapatnya. Dengan demikian, ia tidak bertentangan dengan penjelasan
metafisis yang disampaikan oleh Rasulullah.
Sampai di sini dapat disimpulkan, bahwa informasi metafisik
harus diterima manusia apa adanya berdasar wahyu melalui lisan para nabi. Jadi kebenaran
nabi lah yang menjadi jaminan kebenaran bagi informasi ini. Maka hadis di atas
harus diperlakukan sebagai penjelasan tentang hakikat yang hanya diketahui oleh
Allah dan Rasul-Nya saja, dan tidak bisa dipahami dengan pendekatan
rasionalitas-intelektualitas berdasar pengalaman manusia.
Keberadaan manusia sebagai bagian dari alam membuat
kemampuan meneliti dan berpikir manusia terbatas sesuai sunnatullah. Kemampuan
dan logika berpikir manusia terikat dengan hukum yang diberlakukan Allah atas
alam ini. Karena terikatnya rasionalitas akal manusia dengan alam fisik yang
dihuninya, maka Allah menurunkan Alquran dengan bahasa dan logika yang sesuai
dengan kemampuan memahami yang ada dalam diri manusia. Namun manusia juga
disuguhi informasi metafisik, agar sunnatullah yang mengikat
rasionalitas akal manusia tidak dikira berlaku secara niscaya. Sekali lagi,
kausalitas yang dipersepsikan manusia hanya lah probabilitas.
Dari itu dapat disimpulkan, bahwa kesan
kontradiksi dari ayat-ayat di atas muncul karena manusia melihat informasi
metafisika berdasar rasionalitas akalnya yang terbatas, yaitu terbatasi oleh
berlakunya sunnatullah terhadap alam fisik ini. Jadi penjelasan Rasul
dalam hadis di atas tidak menunjukkan adanya kontradiksi antar ayat, tapi menegaskan
probabilitas. Bahwa memperoleh keberuntungan akhirat lebih tinggi probabilitasnya
bagi orang yang membersihkan jiwanya. Namun karena tidak bersifat niscaya, maka
manusia dituntut untuk terus menerus membersihkan jiwanya…
dimana letak keadilan Allah? ketika sebagian manusia diberi potensi baik... dan sebagian manusia diberi potensi baik...?
BalasHapussementara semua manusia di tuntut untuk menjadi taqwa.....
karena ketika lahir... manusia juga membawa sifat turunan yang dominan... sehingga surga neraka sudah pasti di tentukan.... hanya manusia merasa dia telah berusaha... padahal Allah yang telah merancang nya...