Harmonisasi Qanun Acara Jinayat
A. Pendahuluan
Qanun
Acara Jinayat merupakan hukum formil yang akan menjalankan Qanun Jinayat
sebagai hukum materil di Aceh. Keterkaitan kedua qanun ini tentu meng-haruskan
adanya harmonisasi sehingga menjadi padu sebagai satu kesatuan. Oleh karena
itu, perlu dilakukan kajian yang dapat memperlihatkan adanya kepaduan antara
Qanun Jinayat sebagai hukum materil dengan Qanun Acara Jinayat sebagai
perangkat yang akan menjalankan materi hukum Qanun Jinayat.
Diasumsikan
bahwa kedua qanun ini disusun secara paralel dengan mempertimbangkan
butir-butir hukum materil yang ada sehingga dapat dijalankan dengan maksimal.
Namun demikian, ditemukan adanya kesan bahwa Qanun Acara Jinayat juga dipersiapkan
untuk mengakomodir ketentuan jināyah lain yang belum diatur dalam Qanun
Jinayat sekarang. Misalnya jināyah pembunuhan yang dikenakan hukuman qisas. Dari
kesan ini terbuka kemungkinan adanya disharmonisasi antara Qanun Jinayat dengan
Qanun Acara Jinayat. Sebab dimungkinkan beberapa sisi dari Qanun Jinayat
terabaikan karena obsesi menyusun Qanun Acara yang mampu mengakomodir
perkembangan Qanun Jinayat, saat jarīmah yang diatur bertambah.
Berangkat
dari asumsi ini, tulisan ini berusaha melakukan penelitian dengan melakukan
penelusuran terhadap Qanun Jinayat dalam konteks beracara. Usaha penelusuran
lewat makalah ini diharapkan dapat mengkritisi sisi harmoni dan disharmoni
Qanun Acara Jinayat dengan Qanun Jinayat, dan dengan Filsafat Hukum di sisi lain.
B. Gambaran Umum Qanun Jinayat dan Qanun Acara Jinayat
Untuk memperoleh gambaran tentang harmonisasi
Hukum Acara Jinayat, perlu ditelusuri jenis pelanggaran yang diatur dan
ketentuan-ketentuan hukum yang diancamkan sebagai hukuman.
a. Ringkasan Ketentuan Hukum yang Diacarakan
Berikut
ini dipetik ringkasan ketentuan dalam Qanun Jinayat yang akan dijalankan oleh
Qanun Acara Jinayat.
Ketentuan
Hukum Materil Qanun Jinayat
No.
|
Jenis
‘Uqubat
|
Pasal
|
Ketentuan
Hukuman
|
Keterangan
|
|
Ayat
1
|
Ayat
2
|
||||
1
|
‘Uqubat Khamr
|
Pasal
13
|
40
x cambuk
|
Ta’zir
40 x cambuk/ penjara maks. 40 bulan
|
|
2
|
Produsen khamr
|
Pasal
14
|
80
x cambuk/ denda 80 gr emas murni/ penjara 80 bln.
|
Penjual;
20 x cambuk/ denda 200 gr emas murni/ penjara 20 bln.
|
|
3
|
Maisir
|
Pasal
17
|
60
x cambuk/ denda 600 gr emas murni/ penjara 60 bln
|
Penyelenggara;
120 x cambuk/ denda 1200 gr emas murni/ penjara 120 bln
|
|
4
|
Khalwat
|
Pasal
20
|
10
x cambuk/ denda 100 gr emas murni/ penjara 10 bln.
|
-
|
|
5
|
Ikhtilat
|
Pasal
22
|
60
x cambuk/denda 600 gr emas murni/ penjara 60 bln.
|
-
|
|
6
|
Zina
|
Pasal
24
|
100
x cambuk/ rajam
|
‘Uqubat
ta’zir 40 bln penjara
|
|
7
|
Pelecehah Seksual
|
Pasal
27
|
60
x cambuk/ denda 600 gr emas murni/ penjara 60 bln.
|
|
|
8
|
Pelecehan seksual
terhadap anak-anak
|
Pasal
28
|
120
x cambuk/ 1200 gr emas murni/ 120 bln penjara
|
-
|
|
9
|
Pemerkosaan
|
Pasal
29
|
100-200
x cambuk/ 100-200 bln penjara
|
Zina
terhadap anak-anak diancam dg hukuman yang sama.
|
|
10
|
Pemerkosaan thd.
anak-anak
|
Pasal
30
|
100-400
x cambuk/ 100-400 bln penjara
|
-
|
|
11
|
Konpensasi
|
Pasal
31
|
4000
gr emas murni/ penjara 100-400 bln.
|
-
|
|
12
|
Qazhaf
|
Pasal
32
|
80
x cambuk
|
Penjara
40 bln.
|
|
13
|
Liwath/ Musahaqah
|
Pasal
33
|
100
x cambuk/ 1000 gr emas murni/ 100 bln penjara
|
Promotor;
80 x cambuk/ 800 gr emas murni/ 80 bln penjara
|
|
14
|
Liwath/ Musahaqah
thd. anak-anak
|
Pasal
34
|
200
x cambuk/ 2000 gr emas murni/ penjara 200 bln penjara
|
-
|
|
Dari
pemetaan di atas, tampak bahwa kebanyakan tindak pidana yang diatur merupakan
delik pengaduan. Dengan demikian, delik seperti ini menuntut adanya mekanisme
beracara yang dapat memberi pembuktian dengan baik. Keterangan para saksi
memegang peranan kunci dalam delik seperti ini. Berikut ini diberi gambaran
tentang ringkasan isi Qanun Acara Jinayat.
b. Kandungan Qanun Acara Jinayat
Adapun
kandungan Qanun Acara Jinayat dapat digambarkan sebagai berikut:
No.
|
BAB
|
Pasal
per Bagian
|
Jumlah
Pasal
|
|
Bagian
|
Pasal
|
|||
1
|
Ketentuan Umum
|
-
|
Pasal
1
|
1
|
2
|
Ruang Lingkup
Berlakunya Qanun
|
-
|
Pasal
2
|
1
|
3
|
Dasar Peradilan
|
-
|
Pasal
3
|
1
|
4
|
Penyelidik, Penyidik,
dan Penuntut Umum
|
1. Penyelidik
dan Penyidik
|
Pasal
4-9
|
6
|
2. Penyidik
Pembantu
|
Pasal
10-12
|
3
|
||
3. Penuntut
Umum
|
Pasal
13-14
|
2
|
||
5
|
Penangkapan,
Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah, Penyitaan dan Pemeriksaan
Surat
|
1. Penangkapan
|
Pasal
15-18
|
4
|
2. Penahanan
|
Pasal
19-29
|
11
|
||
3. Jaminan
Penangguhan Penahanan
|
Pasal
30-33
|
4
|
||
4. Penggeledahan
|
Pasal
34-39
|
6
|
||
5. Penyitaan
|
Pasal
40-48
|
9
|
||
6. Pemeriksaan
Surat
|
Pasal
49-51
|
3
|
||
6
|
Tersangka dan
Terdakwa
|
-
|
Pasal
52-70
|
19
|
7
|
Bantuan Hukum
|
-
|
Pasal
71-74
|
4
|
8
|
Berita Acara
|
-
|
Pasal
75-76
|
2
|
9
|
Sumpah
|
-
|
Pasal
77
|
1
|
10
|
Wewenang Mahkamah
untuk Mengadili
|
1. Praperadilan
|
Pasal
78-84
|
7
|
2. Mahkamah
Syar'iyah
|
Pasal
85-86
|
2
|
||
3. Mahkamah
Syar'iyah Aceh
|
Pasal
87
|
1
|
||
4. Mahkamah
Agung
|
Pasal
88
|
1
|
||
11
|
Koneksitas
|
-
|
Pasal
89-90
|
2
|
12
|
Ganti Kerugian dan
Rehabilitasi
|
1. Ganti
Kerugian
|
Pasal
91-92
|
2
|
2. Rehabilitasi
|
Pasal
93-94
|
2
|
||
13
|
Penggabungan Perkara
Gugatan Ganti Kerugian
|
-
|
Pasal
95-97
|
3
|
14
|
Penyidikan
|
1. Penyelidikan
|
Pasal
98-101
|
4
|
2. Penyidikan
|
Pasal
102-130
|
29
|
||
15
|
Penuntutan
|
-
|
Pasal
131-138
|
8
|
16
|
Pemeriksaan di Sidang
Mahkamah
|
1. Panggilan
dan Dakwaan
|
Pasal
139-140
|
2
|
2. Memutus
Sengketa mengenai Wewenang Mengadili
|
Pasal
141-145
|
5
|
||
3. Acara
Pemeriksaan Biasa
|
Pasal
146-176
|
31
|
||
4. Pembuktian
dan Putusan dalam Acara Pemeriksaan Biasa
|
Pasal
177-198
|
22
|
||
5. Acara
Pemeriksaan Singkat
|
Pasal
199
|
1
|
||
6. Pelbagai
Ketentuan
|
Pasal
200-215
|
16
|
||
17
|
Upaya Hukum Biasa
|
1. Pemeriksaan
Tingkat Banding
|
Pasal
216-226
|
11
|
2. Pemeriksaan
untuk Kasasi
|
Pasal
227
|
1
|
||
18
|
Upaya Hukum Luar
Biasa
|
1. Pemeriksaan
Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum
|
Pasal
228
|
1
|
2. Peninjauan
Kembali Putusan Mahkamah yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap
|
Pasal
229-236
|
8
|
||
19
|
Pelaksanaan Putusan
Mahkamah
|
-
|
Pasal
237-244
|
8
|
20
|
Pengawasan dan
Pengamatan Pelaksanaan Putusan Mahkamah
|
-
|
Pasal
245-251
|
7
|
21
|
Ketentuan Peralihan
|
-
|
Pasal
252
|
1
|
22
|
Ketentuan Penutup
|
-
|
Pasal
253
|
1
|
Jumlah
Pasal
|
253
|
Dari
gambaran di atas terlihat bahwa Qanun Acara Jinayat telah mengatur segala sisi
yang dapat memaksimalkan pelaksanaan hukum materil Qanun Jinayat. Makalah ini
tidak akan mengkritisi semua bagian dalam Qanun Acara Jinayat, tapi hanya
menelusuri satu hal yang dianggap sangat berpengaruh bagi pelaksanaan qanun
ini. Hal tersebut adalah tentang pijakan transendental yang memberi sikap
menerima dari masyarakat, keberadaan penyelidik, dan tentang pembuktian.
C. Pijakan Transenden Keberlakuan Qanun
Secara umum Islam tidak menentukan
bentuk negara tertentu untuk menjalankan hukum Islam, akibatnya muncul beda
pendapat tentang bagaimana menjalankan hukum Islam di tengah bentuk negara
bangsa sekarang ini. Persoalannya adalah bagaimana mengakomodasi pluralisme
agama dan etnis dalam negara bangsa. Dan ini bukan hanya menjadi tantangan bagi
umat Islam, tapi juga bagi Kristen dan Yahudi di Barat.[1] Inti
persoalan –menurut ‘Abid al-Jabiri- adalah pada keberadaan negara sebagai
kekuasaan yang melaksanakan hukum syariat di satu sisi, dan negara sebagai
lembaga sosial di sisi lain.[2]
Dalam konteks ini, menjalankan hukum
Islam sebagai bentuk ketaatan agama tidak bisa dilaksanakan begitu saja.
Diperlukan tahap positivisasi ketentuan hukum Islam itu agar dapat dijalankan
dalam konstelasi lembaga negara modern. Selain itu, tidak semua aturan yang
dikehendaki dapat ditemukan dalam bentuk siap pakai dalam Islam, dibutuhkan
usaha ijtihād untuk menemukannya. Hal ini menjadi alasan lain bagi
pentingnya usaha positivisasi.
Lebih jauh lagi setiap aturan yang
dipandang maslahat bagi kehidupan manusia dapat dinyatakan sebagai ketentuan
yang Islami selama tidak bertentangan dengan syariat. Oleh karena itu, para
ulama merumuskan kriteria tertentu sebagai indikator yang menjadi ukuran untuk
menyatakan bahwa suatu ketentuan yang diputuskan tidak bertentangan dengan
hukum Islam.[3] Lalu
untuk kekuatan keberlakuannya, sebagian ulama mengembalikannya kepada filosofi
kehendak komunal seperti pendapat Stammler (Kritisches Rechtspositivismus).[4]
Amir Syarifuddin mencontohkan aturan tentang pencatatan perkawinan secara
resmi. Aturan ini berlaku karena kesepakatan bersama akan pentingnya
keteraturan suatu perkawinan sehingga wajib dicatat.[5] Dalam
hal ini, keberadaan parlemen (anggota DPR) dalam format lembaga negara modern,
dipandang sebagai representasi kehendak yang bersama memiliki kekuatan dalam
rangka positivisasi hukum Islam.
Namun demikian, watak hukum Islam yang
deduktif memposisikan setiap ketentuan baru (yang tidak memiliki rujukan
tekstual kepada nass)
dalam kecurigaan, dipandang rentan ditunggangi oleh hawa nafsu. Hal ini tentu
harus dijawab dengan menunjukkan sisi maslahah yang mempertautkan ketentuan
baru tersebut dengan nass
umum dalam teori maqāsid
sebagaimana dikemukakan oleh al-Syātibī.[6] Kesan
ini juga tidak lepas dari Qanun Jinayat dan Acara Jinayat sebagaimana terlihat
pada beberapa bagian yang dikritisi berikut ini.
Dengan memperhatikan daftar di atas,
tampak bahwa secara umum, beberapa ‘uqubat yang diancamkan dengan hukuman
cambuk dalam Qanun Jinayat diatur berdasar ketentuan yang telah dirumuskan
dalam fikih. Oleh karena itu, tulisan ini berangkat dari asumsi bahwa semua
ketentuan cambuk itu memiliki rujukan kepada nass melalui
per-istinbāt-an
fuqahā’ klasik tanpa perlu mengkritisinya. Dengan demikian tulisan ini
menjadi fokus dan konsentrasinya tidak terganggu oleh pertanyaan tentang
kekuatan pijakan bagi ancaman cambuk yang ditetapkan.
Konsentrasi bagian ini adalah kepada
ditetapkannya ketentuan lain sebagai alternatif setelah cambuk, yaitu denda
dengan emas murni dan penjara yang berimplikasi bagi disharmonisasi materi
hukum ini dalam pengambilan keputusan oleh hakin saat beracara. Hal ini akan
dibahas secara terpisah dalam poin berikut;
1.
Dasar penetapan kadar denda
dalam ukuran emas murni
Dalam 14 perbuatan yang diancam dengan
‘uqubat[7]
cambuk dalam qanun jinayat[8]
pada daftar di atas, dari sisi ancamannya, terlihat adanya keragaman jarīmah.[9] Ada jarīmah yang
diancam dengan hudūd,[10] dan
ada yang diancam dengan ta‘zīr.[11]
Dari keempat belas jarīmah itu, hanya hudūd
pada zina yang tidak diperselisihkan. Oleh karena itu, pasal 24 tidak membuka
ruang ijtihād kepada hakim, hukumannya sudah pasti, cambuk 100 kali
untuk yang belum menikah, dan rajam untuk pezina yang telah menikah.
Adapun pada ‘uqubat khamr (Pasal
13), meskipun telah ditetapkan hudūd-nya
40 kali cambuk, namun masih ada peluang menerapkan ta‘zīr, maka ayat dua
dalam pasal 13 mengatur tentang hal ini. Lain halnya pada pemerkosaan,
kelihatannya Islam tidak memperkenalkan istilah ini, dan perkosaan dianggap
sama dengan zina. Namun qanun ini memandang perkosaan sebagai sesuatu yang
lebih berat dari zina (Pasal 29) sehingga dikenakan ta‘zīr yang lebih
berat dari hadd
zina. Ketentuan hukumnya boleh mencapai 200 kali cambuk, dan dapat dikenakan ta‘zīr
penjara maksimal 200 bulan. Bahkan perkosaan terhadap anak-anak (Pasal 30)
dapat dihukum sampai dua kali lipat perkosaan biasa, mencapai 400 kali cambuk.
Selain dari tiga hal di atas (khamr,
zina dan perkosaan), ‘uqubat yang dikenakan terkesan berpola dalam tiga
tingkatan. Pertama cambuk, lalu denda, dan ketiga penjara. Pertanyaannya,
susunan yang berpola ini mengandung makna peringkat sehingga harus berurutan
dalam penjatuhannya? Atau ini hanya menunjukkan keragaman jenis ‘uqūbah
yang dibolehkan bagi hakim untuk memilih hakim? Jawaban atas pertanyaan ini
kembali kepada filsafat penghukuman, bahwa penghukuman adalah untuk memberi
efek jera, atau sebagai pelajaran dan pembinaan bagi pelaku jarīmah.
Kenyataan beragamnya kemampuan terdakwa
terkait ketiga jenis ‘uqubat di atas, mengharuskan adanya kebebasan bagi hakim
untuk ber-ijtihād. Namun sayang, qanun ini tidak mengatur hal ini,
bahkan secara prinsip, positivisasi ini justru mengikat hakim untuk hanya
menghukum sesuai dengan butir-butir pasal qanun. Oleh karena itu, penulis
melihat adanya peluang disharmoni pada masalah ini sebagaimana perbandingan
berikut;
§ Misalnya dalam pasal 13 tentang khamr, Ayat (1)
menyatakan ketentuan hudūd
yang pasti sejumlah 40 kali cambuk.[12]
Lalu pada kasus ini diberi peluang menambah-kan ‘uqubat lain berupa ta‘zīr
(denda atau penjara).[13] Dan
jika terdakwa ditahan selama pemeriksaan, masa tahanan itu dapat dimasukkan
oleh hakim sebagai bagian dari ta‘zīr tanpa rasa was-was akan keliru
dalam memutuskan perkara.[14] Menurut
penulis, rasa was-was di sini wajar adanya, menjalankan ketentuan jinayat
berarti membuat keputusan atas nama agama.
§ Sebaliknya pada ketentuan yang lain seperti pada pelecehan
seksual (pasal 27),[15]
Qanun Jinayat menetapkan hukuman ta‘zīr bersamaan dengan denda, lalu
dialternatifkan dengan penjara. Maka dalam beracara, apa yang dapat dipedomani
hakim sebagai dasar menentukan jumlah cambukan dan besar denda. Selain itu,
jika ia akan berpindah kepada ‘uqubat penjara, apa dasar keberpindahannya?
2.
Dasar penetapan masa
tahanan
Dilihat dari penetapan ‘uqubat dalam
Qanun Jinayat secara umum, terkesan bahwa ‘uqubat intinya adalah cambuk, karena
cambuk dikenakan pada hudūd
dan ta‘zīr. Kesan ini juga tampak dari ketentuan denda dan masa tahanan
yang tampak terpola mengikuti jumlah bilangan cambuk. Namun Qanun Jinayat tidak
menjadikan denda sebagai alternatif setelah cambuk, tapi menjadikan denda
sebagai hukuman yang dikenakan bersamaan dengan cambuk. Hal in terlihat dengan
penggunaan kata “dan” dalam setiap pasal yang memberlakukan cambuk sebagai ta‘zīr.
Kata ‘dan’ memberi makna bahwa hukuman cambuk dan denda ditimpakan bersamaan
kepada terdakwa, misalnya Pasal 14[16]
tentang produsen/importer khamr, Pasal 17 tentang maisir, dan
pasal-pasal lain yang sejenis.
Namun bunyi pasal yang hanya menyebut
batas tertinggi dari hukuman (baik cambuk, denda maupun penjara), memberi kesan
mempermudah bagi hakim untuk bisa beralih dari ketentuan cambuk dan denda yang
disebut pertama pada kasus orang yang tidak mampu membayar denda. Sebaliknya,
hakim bisa dengan mudah mengabaikan hukuman penjara untuk orang yang mampu
membayar denda. Bisa saja hakim membuat perjanjian dengan terdakwa untuk jumlah
angka tertentu, lalu mengurangi jumlah yang harus dibayarkan sebagai denda. Hal
seperti ini tidak diantisipasi oleh Qanun Acara Jinayat, maka tidak salah jika
sebagian orang menyatakan adanya kesan bahwa orang yang bisa membayar akan
dapat terbebas dari hukum.
Dari sudut pandang ini, perlu adanya
aturan yang beracara yang membatasi wilayah filosofis yang terlalu luas dan
ambigu. Harus perjelas alasan-alasan yang tegas tentang kondisi yang
membolehkan hakim untuk beralih dari satu ‘uqubat ke alternatif ‘uqubat
lainnya. Kalau tidak, hal ini akan memberikan ketidakpastian hukum, dan membuka
peluang dipermainkannya hukum sampai kehilangan supremasi.
3.
Dasar pembedaan ‘uqubah
pada kasus yang korbannya anak-anak
Hal lain yang juga menyulitkan dalam
beracara adalah tidak jelasnya dasar pertimbangan dalam pembatasan usia
anak-anak.[17] Dalam
Qanun Jinayat, masa anak-anak didefinisikan dengan batas usia delapan belas
tahun tanpa penjelasan logika apa yang menjadi pertimbangannya. Mungkin
orang-orang akan menduga, bahwa ditetap-kannya ‘uqubat yang lebih berat pada jarīmah
yang dilakukan terhadap anak-anak, karena ia di bawah umur. Ketidakmengertian tentang
seks berefek trauma psikis bagi diri anak-anak sehingga cukup layak dikenakan ‘uqūbah
dua kali lipat.
Logika yang menduga-duga ini cukup
relevan dan mendapat pembenaran saat dihadapkan kepada kasus pemerkosaan[18]
terhadap anak-anak,[19] dan
kasus pelecehan seksual[20]
terhadap anak-anak.[21] Tapi
logika ini segera terbantah saat dalam Pasal 21[22]
tentang khalwat,[23] membatasi
perbuatan khalwat terhadap anak-anak hanya jika dilakukan dengan anak-anak di
atas usia 12 tahun.[24]
Pasal ini menggiring logika makna kata
anak-anak dalam dua dimensi, usia 12 tahun sebagai sudah mengerti masalah
seksual sehingga bisa berkhalwat, dan di bawah 12 tahun yang tidak dianggap
khalwat. Masalah ini berlanjut dalam pasal ikhtilat,[25] dalam
pasal 23 tidak dibatasi anak-anak dalam usia tertentu seperti pada pasal
khalwat. Hal ini dapat mengakibatkan bias dalam beracara, sebab bisa saja
seseorang dituduh berikhtilath, padahal ia mencium seorang anak perempuan yang
usianya belum sampai dalam batas yang disyahwati pria.
Dasar filosofi yang jelas bagi
pendefinisian anak-anak dalam pasal-pasal di atas sangat penting diperjelas
karena pasal-pasal ini sangat mugkin dipolitisir untuk kepentingan yang
bersifat menjebak. Mungkin sangat tepat jika standar makna maksud dari
anak-anak dalam Qanun Jinayat dibatasi dalam kontek batas syahwat. Dengan
batasan ini, hubungan intim antar anak yang telah baligh secara syahwat, tetap
dianggap zina karena ia terbukti telah memahami masalah seksual. Fakta adanya
zina di kalangan anak berusia di bawah 18 tahun, membuktikan bahwa secara
biologis ia tidak bisa lagi dianggap anak-anak, meski secara finansial ia belum
siap menjadi ayah dan ibu.
PENUTUP
Demikianlah
sekilas pembahasan tentang Harmonisasi Qanun Acara Jinayat dengan Qanun Jinayat.
Penulis sadar bahwa makalah ini baru menyentuh satu sisi saja, bahwa sebenarnya
masih banyak sisi urgen yang belum terangkat.
Wa
Allāh A’lām bi al-sawāb.
Daftar Pustaka
‘Abid al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syariah, terj.
Mujiburrahman, Yogyakarta : Fajar Pustaka, 2001
Ahmad Sukarja, Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945; Kajian
Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, Jakarta : UI Press, 1995
Hefner, Rober. W, Islam di Era Negara Bangsa, Yogyakarta :
Tiara Wacana, 2001
Qanun Aceh, Nomor … Tahun 2009 Tentang Hukum Jinayat
Qanun
Aceh Nomor … Tahun 2009 Tentang Hukum Acara Jinayat
Syarifuddin, Amir, Meretas Kebekuan Ijtihad, Jakarta : Ciputat Press, 2005
Al-Syātibī,
al-Muwāfaqāt fī Usūl
al-Syarī‘ah, Kairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah, t.th.
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta : Kanisius, 1982
[2]
‘Abid al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syariah, terj.
Mujiburrahman, (Yogyakarta : Fajar Pustaka,
2001) hlm. 62
[3] Ahmad
Sukarja, Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945; Kajian Perbandingan
tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta: UI
Press, 1995), hlm. 12
- Isinya sesuai atau
sejalan, atau tidak bertentangan dengan syariat Islam.
- Peraturan itu
meletakkan persamaan kedudukan manusia di depan hukum dan pemerintahan.
- Tidak memberatkan
masyarakat
- Untukmenegakkan
keadilan
- Dapat mewujudkan
kemaslahatan masyarakat
- Prosedur pembentukannya melalui musyawarah.
[4]
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta:
Kanisius, 1982), hal. 154
[6] Al-Syātibī, al-Muwāfaqāt
fī Usūl
al-Syarī‘ah, (Kairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah, t.th.), jld. I, hlm. 29
[7] Pasal 1, ayat 11; ‘Uqubat adalah hukuman yang dijatuhkan
oleh hakim terhadap pelanggaran jarimah.
[9] pasal 1, ayat 10; Jarimah adalah perbuatan yang dilarang
oleh Syariat Islam yang dalam qanun ini diancam dengan ‘uqubat hudud dan/atau ta‘zīr.
[10] Pasal 1, ayat 12; Hudud adalah jenis ‘uqubat yang jumlahnya telah ditentukan dalam qanun
ini dan dijatuhkan oleh hakim tanpa menambah atau menguranginya.
[11] Pasal 1, ayat 13; Ta’zir adalah jenis ‘uqubat pilihan yang
telah ditentukan dalam qanun ini dan dapat dijatuhkan oleh hakim dalam batas
tertinggi dan/atau terendah.
[12] Pasal 13 ayat (1) “Setiap orang yang dengan
sengaja meminum khamar diancam
dengan ‘uqubat hudud 40 (empat puluh) kali cambuk”.
[13] Ayat (2); “Pelaku jarimah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) juga dapat dikenakan ‘uqubat ta’zir cambuk paling banyak 40 (empat
puluh) kali atau penjara paling lama 40 (empat puluh) bulan”.
[14] Ayat (3) “Masa penahanan atas pelaku jarimah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang ditahan dalam proses penyidikan,
penuntutan dan persidangan tersebut dihitung sebagai ‘uqubat ta’zir”.
[15] Pasal 27; “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
pelecehan seksual, diancam dengan ‘uqubat cambuk paling banyak 60 (enam puluh)
kali dan denda paling banyak 600 (enam ratus) gram emas murni atau penjara
paling lama 60 (enam puluh) bulan”.
Ayat (1) Setiap orang yang dengan
sengaja memproduksi, menyimpan/menimbun, mempromosikan, memasukkan khamar baik
legal maupun illegal, atau mengimpor khamar dari luar negeri baik legal maupun
illegal diancam dengan ‘uqubat cambuk paling banyak 80 (delapan puluh) kali dan
denda paling banyak 800 (delapan ratus) gram emas murni atau penjara paling
lama 80 (delapan puluh) bulan.
Ayat (2) Setiap orang yang dengan sengaja
menjual/membeli, membawa/mengangkut, atau
menghadiahkan khamar diancam dengan ‘uqubat cambuk paling banyak 20 (dua
puluh) kali dan denda paling banyak 200 (dua ratus) gram emas murni atau
penjara paling lama 20 (dua puluh) bulan.
[17] Pasal 1 ayat, 35; Anak adalah orang yang belum mencapai umur
18 (delapan belas) tahun dan belum menikah.
[18] Pasal 1, ayat 24; Pemerkosaan adalah hubungan seksual terhadap faraj atau dubur
korban dengan zakar pelaku atau benda lainnya yang digunakan pelaku atau
terhadap faraj atau zakar korban dengan mulut pelaku atau terhadap mulut korban
dengan zakar pelaku, dengan kekerasan atau paksaan atau ancaman terhadap
korban, tidak termasuk hubungan seksual yang dilakukan dengan suami atau
isteri.
[19] Pasal 29 ayat (2); Setiap orang yang melakukan zina dengan
anak-anak dianggap melakukan pemerkosaan diancam dengan ‘uqubat cambuk paling
sedikit 100 (seratus) kali dan paling banyak 200 (dua ratus) kali atau penjara
paling sedikit 100 (seratus) bulan dan paling lama 200 (dua ratus) bulan
[20] Pasal 1, ayat 21; Pelecehan Seksual adalah perbuatan cabul yang
dilakukan terhadap orang lain tanpa kerelaannya.
[21] Pasal 28; Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
jarimah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 (pelecehan seksual, pen.) terhadap
anak-anak, diancam dengan ‘uqubat cambuk paling banyak 120 (seratus dua puluh)
kali dan denda paling banyak 1200 (seribu dua ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 120 (seratus
dua puluh) bulan.
[22] Pasal 21; Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
jarimah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 (khalwat, pen.) terhadap anak yang
berumur di atas 12 (dua belas) tahun, diancam dengan ‘uqubat cambuk paling
banyak 20 (dua puluh) kali dan denda paling banyak 200 (dua ratus) gram
emas murni atau penjara paling lama 20
(dua puluh) bulan.
[23] Pasal 1 ayat (16); Khalwat adalah perbuatan berada pada tempat tertutup atau
tersembunyi antara 2 (dua) orang yang
berlainan jenis kelamin yang bukan mahram dan tanpa ikatan perkawinan.
[24] Pasal 21 ayat (2); Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
jarimah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 terhadap anak yang berumur di atas
12 (dua belas) tahun, diancam dengan ‘uqubat cambuk paling banyak 20 (dua
puluh) kali dan denda paling banyak 200 (dua ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 20 (dua puluh)
bulan.
[25] Pasal 1, ayat 17; Ikhtilath adalah perbuatan bermesraan antara laki-laki dan
perempuan yang bukan suami isteri atau mahram baik pada tempat tertutup atau
terbuka.
Komentar
Posting Komentar