Tebarlah Salam

Kalian dijangkiti penyakit sosial, yaitu dengki dan amarah. Ini bukan sekedar merusak empati, tapi malah menghancurkan iman. Demi Allah, kalian tidak akan masuk syurga tanpa iman kepada Allah, sementara kalian takkan bisa memiliki iman sampai kalian saling mencintai. Bukankah telah kukabarkan tentang hal yang ditetapkan Allah sebagai milik paling berharga bagi kalian? Tebarlah salam! (HR. al-Tirmizi)
Hadis yang diriwayatkan dari Zubayr ibn Awam ini menegaskan pentingnya salam dan sekaligus kekhususannya dalam Islam. Perhatikan rangkaiannya yang menghubungkan keterkaitan antara masuk syurga dengan iman, antara iman dengan mencintai sesama, dan antara mencintai sesama dengan salam. Terlihat pula hubungan antara salam dengan penyakit sosial (dengki dan amarah), sehingga perintah memberi salam tidak bisa dipisahkan dari tujuan akhir manusia, yaitu masuk syurga.
Lebih jauh Hadis ini mengisyaratkan salam sebagai indikator kecintaan sesama muslim dan terapi penyakit sosial. Untuk memahaminya diperlukan cara pandang moderat, yaitu dengan memadukan teks dan konteks Hadis di atas seperti dua sisi dari sekeping mata uang yang tak bisa dipisahkan. Di satu sisi teks Hadis di atas memerintahkan kita menebar salam, tapi di sisi lain mengajarkan hikmah yang terkandung dalam salam. Keduanya harus dilihat sebagai dua dimensi yang terpadu.
Dimensi pertama bersifat empiris karena salam diucapkan, didengar dan dijawab dengan pelafalan yang inderawi. Secara umum pengucapan salam bisa dilihat sebagai indikator keimanan dan cinta sesama. Tetapi ini tidak mutlak, sebab si pemberi salam bisa saja munafik, mengucap salam sebagai ‘lip service’ saja. Oleh karena itu perlu penghayatan terhadap dimensi kedua, yaitu hikmah yang terkandung dalam salam. Namun dimensi ini bersifat metaempirik, karena berupa konsep filosofis.
Secara psikologis, memberi salam terwujud berkat adanya dorongan mental dalam diri manusia, yaitu dorongan mencintai. Namun secara rasional manusia butuh alasan untuk mencintai. Nah Alquran dan Sunah menjadikan iman sebagai alasan, sebab konsep cinta seiman mengatasi sifat individualitas cinta sebagai dorongan mental. Di sini jelas mengapa Rasul menyatakan dengki dan amarah menghancurkan iman. Sebab masyarakat muslim dibangun berbasis nilai teologis jamaah.

Dengki dan amarah berarti ingkar terhadap jamaah sebagai nilai teologis. Salah satu norma turunannya adalah “mencintai karena Allah.” Jika hal ini dihayati, maka salam efektif sebagai terapi penyakit sosial, yaitu dengki dan amarah. 

Tulisan ini dimuat di Tabloit Pikiran Merdeka, Edisi 104, 28 Desember 2015 -3 Januari 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

QURBAN: ISHAK, ATAU ISMAIL? (Penafsiran Ayat 100-103 Surat al-Shaffat)

Kumpulan Kaidah Fiqhiyah

Demi Jiwa (Penafsiran Ayat 7-10 Surat al-Syams)

Ayat-ayat Setan (Satanic Verses): Penafsiran Ayat 52 Surat al-Hajj

Bekas di Dahi (Penafsiran Ayat 29 Surat al-Fath)

Hubungan Teori Sistem dengan Pendekatan Holistik dalam Ijtihad Kontemporer

Pengertian Kaidah Fiqhiyah

Nuzulul Quran Penafsiran Ayat 185 Surat al-Baqarah

Kumpulan Kaidah Maqasidiyah

Kembali ke Fitrah: Tafsir ayat 30 Surah al-Rum