PENDEKATAN SIRKULER DALAM KAJIAN PERBANDINGAN MAZHAB
A.
Pendahuluan
Kajian perbandingan mazhab dalam fikih dapat mengantarkan
peneliti pada temuan sifat saling mengisi antar pendapat yang berbeda. Oleh
karena itu, kajian perbandingan mazhab sangat urgen di tengah keragaman
furukiyah masyarakat muslim, khususnya di Indonesia. Namun jika dilakukan
dengan pendekatan keilmuan yang kurang tepat justru akan bertentangan dengan
nilai islami yang melihat perbedaan sebagai rahmat. Dalam Hadis yang dibukukan
oleh al-Bukhārī (juga al-Nasā’ī), Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ
اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ « إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ
ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ
فَلَهُ أَجْرٌ » .
Diriwayatkan
dari ‘Amr ibn ‘Āş, bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Apabila
seorang hakim berijtihad dan benar maka ia mendapat dua pahala, dan apabila
salah ia mendapat satu pahala.” (H.R. al-Bukhārī).[1]
Hadis ini menunjukkan penerimaan Islam terhadap
pluralitas kebenaran dalam konteks furukiyah, sehingga menjadi basis nilai bagi
fikih, bahwa perbedaan adalah rahmat. Berbeda dengan pendekatan keilmuan sosial—misalnya
yang berbasis teori konflik—diasumsikan bahwa kepentingan adalah unsur alamiah kehidupan
sosial sehingga melahirkan konflik struktural.[2]
Asumsi ini berbanding terbalik dengan nilai islami, karena perbedaan dilihat secara
negatif, yaitu penyebab perpecahan. Sementara Islam melihatnya secara positif, yaitu
sebagai keragaman sebagaimana terungkap dalam Hadis di atas yang dinyatakan
sahih oleh al-Albānī. Dari itu diasumsikan, bahwa jika memakai pendekatan
keilmuan sosial, kajian perbandingan mazhab menuntut pendekatan pascadisipliner[3]
atau metadisipliner.[4]
Terkait soal pendekatan, selain yang bersifat teoretik (bidang
keilmuan tertentu), dapat juga diambil dari skop epistemologis-metodologis. Dalam
skop yang kedua ini, cara pandang menjadi lebih luas dibanding pendekatan yang
perspektifnya diambil dari kaca mata ilmu tertentu saja. Hal ini dimungkinkan
setelah meleburnya batas-batas bidang ilmiah sekarang ini. Mengingat fikih
berlandas nilai “pluralitas kebenaran,” maka penelitian perbandingan mazhab menuntut
kajian komprehensif dan menyeluruh (holistik), tidak atomistik.
Dilihat dari sisi keterkaitan fikih dengan interpretasi
terhadap nas (Alquran dan Sunah),[5]
maka pendekatan atomistik justru dapat menjustifikasi kebenaran pada satu pihak
saja sehingga menafikan pluralitas. Dari itu tidak bisa ditawar lagi, kajian
perbandingan mazhab fikih harus dilakukan secara sirkuler (dialogis) antara berbagai
pendapat dan beragam realitas. Artinya, diperlukan sedikit pemahaman pada
tingkat reflektif-filosofis agar peneliti mampu menempatkan pendekatan
epistemologi bayānī,[6]
burhānī,[7]
dan ‘irfānī dalam posisi yang bersifat saling mengisi dan melengkapi.[8]
Sifat saling mengisi (mutualisme simbiosis) hanya bisa
dibayangkan oleh penganut pemikiran dualisme, tidak oleh penganut monisme. Sebab
sirkularitas hanya dapat terjadi jika disadari bahwa objek kajian perbandingan
ternyata tidak saling menafikan. Oleh karena itu, perlu diwaspadai
kecenderungan jatuh ke dalam pola pikir monisme. Sebab monisme mengantarkan pikiran
pada kecenderungan memihak salah satu dari dua kutub ekstrem. Keduanya saling
menafikan, baik itu ekstrem rasionalisme positivistik, mau pun ekstrem
rasionalisme metafisik.
Untuk keluar dari pola pikir monisme, perlu diingat bahwa
pendekatan sirkuler hanya dapat tumbuh di atas landasan filsafat rasionalisme
kritis. Contohnya bisa dilihat seperti yang kembangkan oleh al-Ghazālī di abad
klasik,[9]
dan Karl R. Popper di abad postmodern.[10]
Artinya, peneliti harus menunda keberpihakan sehingga ada kesempatan untuk
menimbang berbagai perspektif yang berbeda. Dengan demikian, peneliti punya cukup
waktu untuk melihat perbedaan dalam bingkai keragaman. Oleh karena itu, tulisan
ini ingin mengelaborasi pesan Hadis di atas ke dalam kajian perbandingan antar mazhab-mazhab
fikih. Tujuannya untuk menurunkan nilai dari Hadis itu secara implementatif,
sehingga nilai pluralitas kebenaran dapat disaksikan faktual dalam realitas
aktual.
Menurut Amin Abdullah, pendekatan sirkuler adalah
pendekataan yang memerhatikan kekurangan dan kelemahan pada masing-masing
pendapat, dan sekaligus memperbaiki.[11]
Namun Amin menggunakannya untuk kajian perbandingan agama, sementara penulis
berasumsi bahwa pendekatan ini dapat diterapkan pada kajian perbandingan
mazhab. Asumsi ini penulis jadikan hipotesis bagi penelitian dalam artikel ini.
Selain itu penulis juga berhipotesa bahwa pendekatan sirkuler dapat menjawab
kebutuhan kajian metadisipliner dan penempatan pendekatan bayānī, burhānī
dan ‘irfānī pada posisi yang saling mengisi.
Pokok permasalahan yang menjadi objek kajian tulisan ini
tentunya tidak lepas dari kerangka teoretik tertentu sebagai struktur
fundamental.[12]
Oleh karena itu perlu dinyatakan bahwa penulis menyorot persoalan ini dengan
teori pengetahuan manusia sebagai prehensi. Ini berbeda dari teori abad modern
tentang ilmu sebagai evidensi. Menurut Bambang Sugiharto, pandangan tokoh
postmodern terhadap ontologi ilmu manusia telah bergeser, sebab mereka melihat
ilmu sebagai ‘pergaulan’ dengan objek, bukan ‘copy’ objek. Jadi pengetahuan
ilmiah sama sekali bukan hasil jiplakan terhadap realitas, melainkan realitas
hasil konstruksi manusia.[13]
Teori ini cukup relevan digunakan bagi kajian perbandingan mazhab. Alasannya,
karena objek kajian perbandingan mazhab merupakan realitas empirik, yang
mencakup norma hukum yang terkodifikasi, pendapat para fukaha atau
jurisprudensi, maupun implementasi di tengah masyarakat secara sosiologis.
Kajian ini menggunakan filsafat sebagai pendekatan dengan
penekanan pada struktur fundamental (fundamental structure) dan ide
dasar, serta mengabaikan detil persoalan yang kurang relevan.[14]
Dalam hal ini, ide dasarnya adalah sifat saling mengisi dan melengkapi antar
satu dengan lain pendapat fukaha dalam mazhab-mazhab fikih. Penulis melakukan
uji dengan cara membuktikan koherensinya dengan beragam perbedaan dalam
mazhab-mazhab fikih. Dengan demikian, persoalan yang diteliti dalam tulisan ini
adalah tentang ontologi pendekatan sirkuler dan penerapannya dalam kajian
perbandingan mazhab.
Adapun metodenya menggunakan uji falsifikasi dengan
pencarian kasus-kasus yang dapat meruntuhkan hipotesis di atas. Namun karena
keterbatasan halaman, kasus yang dapat diangkat dalam tulisan ini dibatasi.
Penulis berharap, nantinya uji falsifikasi terhadap hipotesis ini dapat
dilakukan dengan bantuan mahasiswa Program Studi Perbandingan Mazhab. Jadi
kajian yang dilakukan mahasiswa didedikasikan sebagai alat falsifikasi.
B.
Pembahasan
Fiqh muqāran tergolong cabang ilmu baru yang
dicetuskan oleh salah seorang Syaikh al-Azhar, yaitu al-Syaikh
al-Maraghī. Adapun al-Azhar University adalah universitas yang pertama kali
menerapkannya sebagai mata kuliah. ‘Alī al-Sāyis menyatakan, mata kuliah ini
tidak dimaksudkan sebagai kajian ilmiah semata, tetapi bertujuan merubah
fanatisme mazhab.[15]
Menurut Prof. Dr. Tgk. Muslim Ibrahim, MA, Fiqh Muqāran adalah
suatu ilmu yang mengumpulkan pendapat-pendapat suatu masalah ikhtilāfiyyah
dalam fikih, mengumpulkan, meneliti dan mengkaji, serta mendiskusikan dalil
masing-masing pendapat secara objektif, untuk dapat mengetahui yang terkuat,
yaitu pendapat yang didukung oleh dalil-dalil yang terkuat, dan paling sesuai
dengan jiwa, dasar dan prinsip umum syariat Islam.[16]
Apa yang dicetuskan oleh al-Syaikh al-Maraghī lalu
menjadi gerakan yang berhasil merubah kebijakan Pemerintah Mesir kala itu.
Sejak tahun 1929 M (1348 H), berangsur-angsur pendapat di luar mazhab resmi mulai
diterima. Perlu diketahui, mazhab resmi di Mesir kala itu adalah mazhab Ĥanafī.[17]
Selain tujuan di atas, mempelajari fiqh muqāran juga dapat
merealisasikan nilai rahmat dalam perbedaan pendapat. Kebanyakan penulis merujuk
Hadis: “Ikhtilāf ummatī raĥmah.” Namun menurut al-Albānī ini bukan
hadis, bahkan bertentangan dengan Alquran dan Sunah.[18]
Tetapi dengan keberadaan Hadis riwayat al-Bukhari, nilai ini bisa diterima
sebagai bentuk moderatisme Islam (al-wasaţiyah).
Memerhatikan tujuan di atas, dipastikan ketercapaiannya
sangat bergantung pada pendekatan dan metode kajian perbandingan mazhab itu
sendiri. Keduanya berbeda, sebab metode adalah cara mengerjakan sesuatu,
sedangkan pendekatan adalah cara memperlakukan sesuatu.[19]
Dalam hal ini, ilmu perbandingan mazhab (fiqh muqāran) harus diperlakukan
berbeda dari kajian perbandingan mazhab. Sebab fiqh muqāran
merupakan hasil dari kajian-kajian perbandingan mazhab, sementara kajian
perbandingan mazhab itu sendiri merupakan proses. Sebagai proses, ia dapat
memberi sumbangsih bagi pengembangan ilmu fiqh muqāran, asal
dilakukan dengan pendekatan dan metode yang tepat. Untuk itu perlu dilakukan penelusuran
tentang inti perbedaan pendapat dalam mazhab-mazhab fikih.
1. Inti perbedaan pendapat
dalam mazhab fikih
Fikih merupakan aturan perilaku manusia yang secara
kefilsafatan berada dalam ranah aksiologi, yaitu berbicara tentang nilai. Nilai
tidak lepas dari dugaan subjektivitas karena tiga alasan, sebagaimana dipaparkan
oleh K. Bertens: 1) nilai berkaitan dengan subjek; 2) nilai tampil dalam suatu
konteks praktis; 3) nilai menyangkut sifat yang ditambahkan oleh subjek pada
objek.[20]
Dalam konteks pluralitas kebenaran, subjektivitas nilai mengakibatkan pikiran
terjebak dalam relativisme. Nah untuk keluar dari subjektivitas, Islam
menjadikan Alquran dan Sunah sebagai sumber nilai. Lalu para ulama mensyaratkan
rujukan kepada Alquran dan Sunah, baik secara tekstual maupun kontekstual. Ini
menunjukkan kesepakatan para ulama bahwa Alquran dan Sunah merupakan substansi Islam,
karena ajaran Islam terbentuk dari keduanya.
Keberadaan Alquran sebagai sumber ajaran Islam
mengharuskan kajian fikih dilakukan dengan pendekatan bayānī sebagai
langkah pertama. Sebagaimana terlihat dalam kitab uşūl al-fiqh yang
pertama kali ditulis (al-Risālah), kaidah kebahasaan seperti umum-khusus,
muţlaq-muqayyad, haqīqī-majāzī dan sebagainya,
dibahas cukup detil di samping kias.[21]
Pada langkah pertama ini sudah terlihat adanya perbedaan metode. Lalu perbedaan
semakin melebar saat masuk dalam persoalan interpretasi konteks (al-ma‘nā)
dari kandungan nas. Namun secara epistemologis, perbedaan pendapat dalam fikih
hanya terjadi dalam wilayah pengetahuan aposteriori (‘ilm al-naźarī),
bukan apriori (‘ilm ďarūrī).[22]
Menurut Muşţafā Sa‘īd al-Khinn, perbedaan pendapat dalam
fikih terjadi karena delapan sebab berikut: [23]
1) perbedaan qirā’ah pada ayat;
2) tidak menemukan hadis;
3) ragu tentang kekuatan Hadis;
4) berbeda dalam memahami nas dan tafsirnya;
5) homonim (isytirāk) pada lafaz;
6) adanya pertentangan dalil;
7) tidak ditemukan nas pada suatu masalah;
8) perbedaan dalam kaidah uşūliyyah.
Jika dipertajam, kedelapan sebab perbedaan versi al-Khinn
ini dapat dipilah dalam dua kelompok. Pertama karena keragaman interpretasi
atas teks, kedua akibat perbedaan metode inferensi pada kasus yang tidak
ditemukan nas sebagai dalil.
a. Inti sebab perbedaan
interpretasi
Memerhatikan pendapat Muşţafā Sa‘īd al-Khinn, lima di
antara kategori yang ia buat merupakan perbedaan pendapat dalam fikih akibat
berbeda interpretasi terhadap nas:
1. Perbedaan qirā’ah pada ayat menyebabkan beda
interpretasi.
2. Tidak ditemukan hadis sebagai penjelas ayat menyebabkan
beda interpretasi.
3. Perbedaan dalam memahami nas dan tafsirnya menyebabkan
beda interpretasi.
4. Adanya makna ganda (isytirāk) pada lafaz
menimbulkan ambiguitas sehingga terjadi perbedaan interpretasi.
5. Adanya pertentangan antar satu dan lain dalil sehingga terjadi
beda interpretasi.
Kelima sebab perbedaan pendapat fukaha di atas tersimpul
pada satu persoalan, yaitu tentang dilālah, apakah ia merupakan sifat
bagi pendengar (al-sāmi‘), atau sifat bagi lafaz? Imam al-Zarkasyī (w.
794 H/1392 M) dalam kitabnya al-Baĥr al-Muĥīţ, memilih yang kedua, bahwa
dilālah adalah sifat bagi lafaz. Ia menukil pendapat Ibn Sīnā (w. 428 H/
1037 M),[24]
bahwa yang dimaksud dengan al-fahm adalah al-ifhām. Keduanya
berbeda, sebab al-fahm adalah sifat bagi pendengar (al-sāmi‘),
sedang al-ifhām adalah sifat bagi pembicara (al-mutakallim), atau
secara metafor (majāzī) disebut sifat bagi lafaz.[25]
Al-Ifhām merupakan sifat yang dilihat dari sudut pandang objek (text),
sedangkan al-fahm merupakan sifat dari sudut pandang pembaca (interpreter).
Secara kefilsafatan, yang pertama merupakan sudut pandang ontologis, yaitu
tentang apa yang ‘ada’ di luar sana yang ditunjuk oleh teks. Sedangkan yang
kedua adalah sudut pandang epistemologis, yaitu tentang apa yang bisa ‘diperoleh’
interpreter dari petunjukan teks. Imam al-Syāţibī mengingatkan bahwa syariat
diturunkan dalam bahasa Arab untuk dipahami oleh manusia (waď‘ al-syarī‘ah
li al-ifhām).[26]
Masalahnya, tidak semua interpreter bisa membedakan kedua sudut pandang ini. Lalu
muncul pertanyaan, mungkinkan diperoleh pemahaman yang objektif dari perspektif
mutakallim? Kalau bisa, lalu mengapa terjadi perbedaan penafsiran?
Menurut al-Rāzī (w. 606 H/1210 M) perbedaan dalam
memahami teks merupakan fitrah. Sebab petunjukan dalil-dalil tekstual kepada
makna sangat bergantung pada sepuluh perkara yang semuanya bersifat źannī:[27]
1.
Bergantung kepada mufradāt secara bahasa, naĥw,
dan taşrīf yang diriwayatkan oleh sedikit orang sehingga tidak lepas
dari kemungkinan salah, dari itu ia bersifat źannī.
2.
Bergantung pada ketiadaan isytirāk, karena isytirāk
pada kata dan kalimat berakibat pada adanya kemungkinan bahwa makna yang
sebenarnya bukan seperti yang dipahami. Bahkan dugaan tidak adanya isytirāk
pada suatu ungkapan juga bersifat probabilitas (maznūn), tidak
bisa dipastikan.
3.
Bergantung pada kaidah; bahwa pada dasarnya yang dimaksud
dalam suatu ungkapan adalah makna denotasinya (haqīqah), sebab tidak
jarang suatu ungkapan dimaksudkan secara konotatif (metafor/majāzī).
Maka makna denotasi pada suatu ungkapan masih bersifat probabilitas (maznūn).
4.
Bergantung pada tidak adanya kata tersembunyi (al-idmār dan al-ĥażf).
5.
Bergantung pada tidak adanya yang didahulukan dan
akhirkan dalam struktur kalimat, misalnya mendahulukan objek dari subjek yang
berakibat pada perbedaan makna, ketiadaan hal ini juga bersifat probabilitas (maźnūn).
6.
Bergantung pada ketiadaan pengkhusus (takhşīş),
kebanyakan kata umum dalam Alquran dan Hadis memiliki mukhaşşiş, jadi
ketiadaan mukhaşşiş juga probabilitas (maźnūn).
7.
Bergantung pada ketiadaan pertentangan. Semua dalil lafźiyyah
dimungkinkan memiliki pertentangan, sehingga diperlukan tarjīĥ, maka
menyatakan tiada pertentangan masih berupa dugaan (maźnūn).
8.
Bergantung pada ketiadaan pertentangan dengan dalil akal,
karena pertentangan ini mengharuskan berpaling dari lahiriah teks. Menyatakan
dalil lafźiyyah tidak bertentangan dengan dalil akal menunjukkan
sifatnya yang berupa probabilitas semata (maźnūn).
9.
Dalil lafźiyyah yang bersifat naqliyyah ini
adakala bersifat pasti pada teks (mutawatir), tapi masih dimungkinkan źannī
pada dilālah-nya, maka kepastian dilālah-nya masih bersifat probabilitas
(maźnūn).
10.
Petunjukan lafaz Alquran kepada makna tidak lepas dari
kemungkinan pemahaman atas lawannya, dari itu dilālah lafźiyyah
bersifat źanniyyah.
Apa yang dikemukakan al-Rāzī merupakan ulasan secara
epistemologis, yaitu tentang al-fahm. Dari perspektif ini perbedaan
dalam fikih merupakan fitrah, karena Alquran dan Hadis sebagai teks membuka
kemungkinan bagi munculnya pemahaman yang berbeda di kalangan mujtahid. Namun
hal ini tidak menafikan aspek ontologis, yaitu ‘ada’-nya informasi objektif tertentu
yang hendak disampaikan (al-ifhām). Untuk tujuan al-ifhām, nas (teks)
harus dilihat potensial memuat makna, sebab makna tidak bisa meng-‘ada’ tanpa
nas (teks).
Misalnya tentang idah (masa tunggu/tidak boleh menikah)
bagi wanita yang ditalak. Kata “qurū’” dalam ayat 128 Surah al-Baqarah
menimbulkan perbedaan pendapat, apakah berarti suci atau haid, namun para
fukaha tidak berselisih tentang kewajiban idah.[28]
Ini menunjukkan bahwa perbedaan pendapat hanya terjadi pada cabang (furū‘)
yang sifatnya pengetahuan aposteriori. Sedangkan pada inti informasi apriori
dari nas (kewajiban idah), tidak terjadi beda pendapat. Jadi beda interpretasi terjadi
karena keterbatasan al-fahm, oleh karena itu, penerimaan terhadap
pluralitas kebenaran menjadi satu-satunya pilihan.
Sampai di sini dapat disimpulkan, bahwa inti perbedaan
interpretasi terletak pada keterbatasan pemahaman manusia. Ini merupakan
konsekuensi dari fitrah jasmaniah manusia yang terkurung dalam ruang dan waktu.
Dengan merujuk teori prehensi, yaitu pengetahuan manusia sebagai ‘pergaulan’
dengan objek,[29]
maka perbedaan tidak bisa dihindari. Hal ini berarti interpretasi satu dan lain
orang sebagai al-fahm bisa benar dan bisa salah. Nah, dengan pendekatan
sirkuler, semua interpretasi (al-fahm) diteliti untuk dipertimbangkan
sebagai bagian-bagian yang keberadaannya membuat informasi objektif (al-ifhām)
menjadi utuh. Dengan demikian ciri pendekatan sirkuler adalah asumsi saling mengisi
dan melengkapi (dialogis).
b. Inti sebab perbedaan inferensi
Kembali pada sebab perbedaan pendapat dalam fikih versi
Muşţafā Sa‘īd al-Khinn, tiga di antaranya disebabkan oleh perbedaan metode
inferensi (penyimpulan logis), yaitu:
1. ragu tentang kekuatan Hadis, sehingga harus memilih
antara berpegang pada Hadis itu sendiri atau beralih menggunakan dalil ‘aqlī
(inferensi);
2. tidak ditemukan nas pada suatu masalah sehingga
satu-satunya jalan adalah menggunakan dalil ‘aqlī (inferensi); dan
3. perbedaan dalam perumusan kaidah uşūliyyah sebagai
metode inferensi.[30]
Poin satu dan dua adalah sebab yang mengharuskan
penggunaan akal. Adapun sebab inti perbedaan ada pada poin ketiga yang
merupakan wujud nyata akal sebagai alat penyimpulan. Perbedaan metode inferensi
yang dipilih (kaidah uşūliyyah) menunjukkan perbedaan paradigma yang
dianut seorang fukaha. Suatu paradigma lahir berdasarkan asumsi dasar tertentu,
oleh karena itu teori tertentu bekerja tidak keluar dari ‘wilayah’
paradigmanya.[31] Dengan
demikian, seorang fukaha akan merasa puas dan berhenti ketika simpulan yang diperoleh
telah sesuai dengan paradigma yang dianutnya. Beranjak dari kenyataan ini, maka
jelas bahwa inti perbedaan metode inferensi ditimbulkan oleh perbedaan
paradigma. Perbedaan paradigma seorang fukaha dari fukaha yang lain bermuara pada
terjadinya perbedaan pendapat dalam fikih.
Sejarah fikih menunjukkan adanya dua paradigma dominan
dalam fikih, yaitu madrasah ahl al-ĥadīŝ dan madarasah
ahl al-ra’y.[32]
Kedua paradigma dominan ini dapat didudukkan pada dua kutub ekstrem tanpa
menafikan adanya paradigma moderat di antara keduanya. Secara kefilsafatan, madrasah
ahl al-ĥadīŝ dapat digolongkan ekstrem ke arah tekstualitas
(teologis-linguistik/rasionalisme metafisik), sementara madarasah ahl
al-ra’y ekstrem ke arah rasionalitas (rasionalisme positivistik). Di
antara kedua kutub ekstrem ini ada pemikiran-pemikiran moderat yang bertahan
lebih lama sampai akhirnya filsafat Islam stagnan di abad keenam Hijriyyah.[33]
Menelisik lebih dalam, perbedaan paradigma disebabkan
oleh perbedaan asumsi dasar. Dalam hal ini (epistemologi), perbedaan asumsi
dasar bermula dari asumsi masing-masing fukaha tentang peran akal dalam
penyimpulan logis (inferensi). Karena dalam akal tertanam pengetahuan apriori,
maka terjadi keserupaan antara akal sebagai sumber pengetahuan dan akal sebagai
alat. Hal ini tidak mudah diurai saat masuk ke ranah hukum (fikih), khususnya
pada kasus yang tidak ada penetapan hukum dari nas. Sebab baik dan buruk
sebagai kualitas pada suatu objek/fenomena dipahami akal sebagai dasar hukum.
Tetapi soal ketentuan hukum (boleh-tidaknya melakukan sesuatu/perbuatan manusia)
benarkah bersumber dari akal? Menurut Louay Safi, dalam hal ini akal tidak
bekerja sebagai sumber, tapi sebagai metode atau mekanisme penyimpulan (inferensi)
saja.[34]
Namun yang melihatnya sebagai sumber juga tidak sedikit.
Secara umum, inferensi dilakukan dengan dua cara, yaitu inferensi
langsung (al-istidlāl al-mubāsyir) dan inferensi tidak langsung (al-istidlāl
ghayr al-mubāsyir).[35]
Operasionalisasi inferensi tidak langsung dilakukan dengan metode sillogisme (al-qiyās/al-istintāj)
yang menggunakan dua proposisi untuk sampai pada konklusi. Proposisi pertama
bersifat universal-preskriptif, adapun proposisi kedua bersifat partikular-deskriptif.
Sedangkan inferensi langsung menggunakan satu proposisi untuk sampai pada
konklusi. Inferensi langsung digunakan dalam modus al-istiĥsān, al-maşlaĥat
al-mursalah, al-istişlāĥ, dan sebagainya. Operasionalisasi
masing-masing modus ini berbeda, tetapi secara umum memiliki ciri yang sama,
yaitu merujuk pada proposisi universal (al-qawā‘id al-kulliyyah/al-qaďāya
al-jumaliyyah).
Ada dua hal yang disorot pada proposisi universal,
pertama soal sifat pengetahuan padanya, apakah berupa pengetahuan apriori atau
aposteriori. Kedua soal kebenaran, apakah kebenaran korespondensi atau
koherensi.[36] Kedua
hal ini menimbulkan perbedaan pola berpikir yang kemudian diturunkan pada metode
inferensi. Pengetahuan apriori mewujud dalam pola berpikir deduktif yang metode
inferensinya dilakukan secara tidak langsung (dua proposisi). Sedangkan
pengetahuan aposteriori menjadi pola berpikir induktif yang metode inferensinya
dilakukan secara langsung (satu proposisi). Adapun soal kebenaran, menimbulkan
diskusi lain tentang mana yang lebih kuat dari dua metode inferensi ini.
Terkait masalah kebenaran, perbedaan mendasar pada kedua metode
inferensi ini adalah basis kebenaran proposisinya. Inferensi tidak langsung
menggunakan dua proposisi, di mana proposisi pertama (universal) berupa
pengetahuan apriori yang basis kebenarannya bersifat self evident (benar
dari dalam dirinya sendiri). Adapun proposisi kedua (partikular) adalah
pengetahuan empirik yang basis kebenarannya bersifat inderawi (korespondensi). Dalam
konteks hukum Islam, proposisi pertama (universal) bersumber dari wahyu (tauqīfī),
yaitu Alquran.[37]
Oleh karena itu, ia berupa pengetahuan apriori yang benar dari dalam dirinya
sendiri (self evident). Jadi ia bukan produk akal, bahkan berada di atas
akal sehingga nilai yang terkandung di dalamnya bersifat transenden.
Sebagai contoh, perintah menjauhi khamar dalam ayat 90
Surah al-Mā’idah yang di dalamnya terkandung nilai transenden. Dari ayat ini
dirumuskan satu proposisi universal apriori, bahwa setiap minuman yang
memabukkan adalah harus dijauhi.[38]
Lalu dengan penelitian empirik ditemukan bahwa sifat memabukkan juga ada pada
arak, yaitu air hasil perasan dari enau yang difermentasi. Hasil penelitian
empirik ini dijadikan sebagai proposisi partikular aposteriori. Proposisi ini bersifat
deskriptif semata, namun penggabungan kedua proposisi ini menghasilkan
proposisi preskriptif sebagai konklusi, bahwa arak harus dijauhi. Jadi nilai pada
proposisi pertama lah yang menjadikan konklusi yang preskriptif bukan proposisi
kedua.
Berbeda halnya dengan inferensi langsung, proposisi
universal dirumuskan secara induktif berdasar pada fakta-fakta empirik yang
diamati, jadi ia bersifat deskriptif dan imanen. Ini jelas karena kajian
empirik berurusan dengan dunia ‘apa adanya’ dan bukan yang ‘seharusnya.’ Oleh
karena itu, sifat preskriptif juga tidak terdapat pada proposisi yang dihasilkan
dari penelitian empirik secara induktif. Mengingat inferensi langsung dilakukan
dengan satu proposisi deskriptif, maka simpulan (konklusi) juga bersifat
deskriptif pula. Nah, jika dari proposisi deskriptif ini dikeluarkan konklusi
preskriptif, maka timbul gugatan tentang validitasnya.
Gugatan ini tidak mudah dijawab, sebab proposisi yang
dirumuskan secara aposteriori ini merupakan produk akal manusia dan bersifat
imanen, dengan kata lain ia tidak ada sebelumnya. Dengan demikian, persoalan
kebenaran objektif di sini menemui jalan buntu. Bayangkan, bagaimana kebenaran
objektif bisa dicapai jika kebenaran suatu produk ditanyakan kepada
produsennya, tentu yang didapat adalah jawaban subjektif. Oleh karena itu,
dibutuhkan sumber nilai kebenaran lain (transenden) di luar akal itu sendiri.
Jadi yang sebenarnya dihadapi di sini adalah persoalan kebenaran
objektif-ilmiah di satu sisi, dan kebenaran objektif-moralitas di sisi lain.[39]
Kebenaran yang pertama didasarkan pada kausalitas natural, sedangkan kebenaran yang
kedua didasarkan pada kausalitas moral.[40]
Para fukaha berbeda keyakinan tentang keberlakuan
kausalitas natural dan kausalitas moral. Sebagian bersikap ekstrem dengan memberlakukan
keduanya secara absolut (determinan) atau menolak keduanya secara mutlak. Sebagian
yang lain bersikap moderat dengan cara menempatkan masing-masing kausalitas
pada porsinya.[41]
Bagi yang beraliran determinisme kausalitas ekstrem, akal dilihat sebagai
sumber pengetahuan secara mutlak sehingga mereka berpendirian bahwa hukum bisa
diketahui meski tanpa wahyu. Sebaliknya bagi yang menolak secara ekstrem, hukum
hanya diketahui dari wahyu semata. Jadi masalah ini bermula dari
percampuradukan kausalitas natural dan moral.
Seharusnya kausalitas natural dibedakan dari kausalitas
moral, sebab penyamaan keduanya mengakibatkan kontradiksi. Misalnya pada
hubungan kausal antara minum arak dengan mabuk, dianggap sama determinannya
dengan hubungan kausal antara sifat minuman yang memabukkan dengan keharusan
menjauhinya. Padahal yang pertama adalah kausalitas natural yang kembali kepada
sunnatullāh fīl ‘ālam, sedangkan yang kedua kembali pada
pilihan bebas manusia. Adanya pilihan bebas manusia menjadikan kausalitas moral
tidak berlaku secara determinan, maka terjadilah kontradiksi karena menyatukan
dua hal yang bertentangan.
Hal ini berhubungan langsung dengan asumsi dasar terhadap
keberlakuan dan kekuatan metode inferensi. Bagi yang menyamakan kausalitas
moral dengan kausalitas natural, metode inferensi langsung (istiqrā’)
dianggap sama kuat dengan metode inferensi tidak langsung (istintāj). Ini
artinya mereka tidak membedakan antara akal sebagai sumber pengetahuan dengan
akal sebagai metode. Akibatnya, proposisi preskriptif yang dihasilkan
kehilangan landasan objektivitasnya, karena diturunkan dari proposisi
deskriptif, bukan preskriptif yang berupa nilai moralitas tertentu. Dalam
Islam, nilai moralitas dimaksud bersumber dari perintah dan larangan Alquran,
maka tanpanya hasil inferensi dapat tertuduh subjektif (mengikut hawa nafsu).
Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa inti sebab beda
inferensi berada pada tingkat paradigmatik, yaitu persoalan objektivitas
proposisi preskriptif. Karena ini berada di tingkat paradigmatik, maka ia kerap
luput dari kesadaran banyak fukaha, bahkan sebagian jauh terperosok dalam sikap
ekstrem. Sebagian fukaha madrasah ahl al-ĥadīŝ menganut
paradigma teosentris sampai menafikan realitas empirik. Sementara sebagian
fukaha madarasah ahl al-ra’y ekstrem menganut paradigma
antroposentris sampai-sampai abai terhadap realitas metafisik.
Disorot dari kacamata teori prehensi, paradigma yang
berbeda-beda dalam mazhab fikih dapat diperlakukan sebagai sudut pandang yang
saling melengkapi. Oleh karena itu, dalam kajian perbandingan mazhab, dituntut penerapan
satu tahap uji terhadap beragam paradigma di kalangan fukaha, agar dapat
dipertimbangkan sifatnya; apakah bisa melengkapi atau tidak. Inilah alasannya
mengapa kajian perbandingan mazhab harus dilakukan dengan pendekatan sirkuler,
dari tingkat instrumental sampai ke tingkat paradigmatikal.
2. Paradigma moderat dalam perbandingan
mazhab
Uraian terdahulu mengerucutkan sebab perbedaan dalam
fikih menjadi dua, yaitu perbedaan interpretasi dan perbedaan inferensi. Jika
dikritisi lebih dalam lagi, perbedaan interpretasi pun sebenarnya dimunculkan
oleh perbedaan paradigma.[42]
Sebab kecenderungan kepada salah satu dari sekian kemungkinan makna dari teks
ditentukan oleh paradigma yang dianut interpreter. Maka dapat disimpulkan bahwa
sebab inti perbedaan fikih yang sebenarnya adalah paradigma yang dianut oleh
masing-masing fukaha mazhab.
Mengingat perbedaan pendapat didasari oleh perbedaan
paradigma, maka peneliti kajian perbandingan mazhab harus memiliki paradigma
yang lebih luas dari paradigma pemilik pendapat yang dibandingkan. Kalau
memakai salah satu dari paradigma fukaha yang diteliti, maka yang dilakukan
bukan perbandingan, tetapi malah penghakiman terhadap pendapat fukaha lainnya. Oleh
karena itu, objektivitas hanya bisa dicapai jika peneliti menggunakan paradigma
yang moderat, sebab tidak mengandung keberpihakan.
Kata moderat berasal dari bahasa Inggris ‘moderate,”
padanannya dalam bahasa Arab adalah “mu‘tadil” atau “mutawasiţ,”[43]
artinya pertengahan.[44]
Kata wasaţa (w, s, ţ) dalam bahasa Arab berarti
sesuatu yang berada di antara dua tepi.[45]
Dalam Alquran kata ini digunakan dengan beberapa ragam makna, namun tidak lepas
dari arti kebaikan (al-khayriyyah) dan pertengahan (al-bayniyyah).[46]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indoenesia (KBBI), kata moderat berarti sikap yang
selalu menghindari perilaku atau pengungkapan yang ekstrem, atau kecenderungan
ke arah dimensi atau jalan tengah.[47]
Merujuk uraian sebelumnya, perbedaan pendapat dipicu oleh
pola berpikir monisme, yaitu menganut kepercayaan bahwa realitas hanya satu.[48]
Akibatnya terjadi kecenderungan pada salah satu paradigma ekstrem, kalau bukan
ekstrem pada paradigma teosentrisme[49]
maka seseorang akan cenderung ekstrem pada paradigma antroposentrisme.[50]
Nah, untuk keluar dari paradigma ekstrem, maka seseorang harus bersikap mendua
sehingga berada di tengah. Dengan demikian, moderatisme (pertengahan) berarti
dualisme, yaitu menganut paradigma teoantroposentrisme[51]
yang merupakan perpaduan antara teosentrisme dan antroposentrisme.
Mengartikan moderatisme sebagai dualisme tidak lepas dari
fakta, bahwa pola pikir monisme terjebak dalam kontradiksi antara pengetahuan
partikular dan univesal. Sebab secara epistemologis,[52]
generalisasi pengetahuan partikular menimbulkan reduksi, padahal masalah sangat
kompleks. Hal ini tidak disadari oleh orang yang berparadigma monisme, karena
ia hanya melihat dari satu perspektif. Kompleksitas masalah hanya disadari oleh
penganut paradigma dualisme. Alasannya jelas, sebab dengan paradigma dualisme, pikiran
akan terbuka dan tergugah untuk mencoba cara pandang dari sudut yang berbeda.
Terkait dengan kajian perbandingan mazhab, hal ini bisa
dijelaskan sebagai alasan perlunya pendekatan sirkuler. Sebab seorang peneliti dalam
kajian perbandingan mazhab yang berparadigma satu (monisme), hanya punya satu
perspektif atomistik sehingga tidak muncul kesadaran perlunya analisis
holistik. Demikian pula peneliti yang berparadigma teosentrisme hanya punya
satu sudut pandang atomistik dari perspektif teosentris (monisme). Peneliti yang
berparadigma atomistik segera berhenti kala kajian telah memuaskan paradigmanya,
maka dipastikan kajian perbandingan telah gagal. Oleh karena itu, peneliti
perbandingan mazhab harus menggunakan paradigma teoantroposentris, agar
penelitian dilakukan secara holistik.
3. Pendekatan sirkuler dalam
perbandingan mazhab
Paradigma berkaitan dengan keyakinan subjektif, bukan
pengetahuan objektif. Itulah mengapa Thomas S. Kuhn mengatakan bahwa perubahan
paradigma adalah revolusi, sebab ia terjadi tiba-tiba dan bersifat intuitif.[53]
Dengan demikian, seorang fukaha tidak bisa keluar dari paradigma yang diyakininya,
bahkan menuntutnya keluar berarti membebankan sesuatu yang tidak bisa dilakukan
(taklīf mā lā yuţāq).[54]
Dalam hal ini Alquran mengingatkan sebagaimana dapat dibaca dalam ayat berikut:
أَوَمَنْ كَانَ
مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ
كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا كَذَلِكَ زُيِّنَ
لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (الأنعام: 122ا)
Dan apakah
orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya
cahaya yang terang yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah
masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap
gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami
jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. al-An ‘am [6]: 122).
Ayat ini menjawab pertanyaan
tentang orang-orang musyrik yang terus bertahan dalam kesyirikannya. Padahal
Alquran telah memberi tuntunan yang kebenarannya dapat diterima secara
rasional, lalu apakah rasionalitas tidak bisa menuntun kepada kebenaran? Menariknya, Alquran menamsilkan mereka seperti orang yang
terjebak di dalam kegelapan dan tidak bisa keluar darinya. Memerhatikan
lanjutan ayat, maka ‘kegelapan’ yang dimaksud itu dapat dipadankan dengan kata
paradigma. Dari itu sikap yang realis adalah menerima perbedaan pendapat
sebagai fitrah yang diakibatkan oleh paradigma berpikir. Namun ini tidak
berarti nihilnya kebenaran sejati sehingga terjatuh dalam relativisme.
Meski lamban, namun kebenaran tetap akan tersingkap
seiring perubahan paradigma. Thomas S. Kuhn menegaskan bahwa proses
perkembangan dan perubahan dalam paradigma ilmu pengetahuan berjalan lambat dan
besifat tetap. Tetapi menurut Karl R. Popper, hal ini bisa lebih cepat jika
seseorang bersedia mencoba perspektif lain dalam memandang sesuatu.[55]
Kedua cara ini tentunya juga bekerja dalam ranah fikih, dan kajian perbandingan
mazhab memberi kontibusi besar guna memahami paradigma yang berkembang di
kalangan fukaha. Namun dengan syarat dilakukan dengan pendekatan sirkuler. [56]
Sikularitas adalah salah satu prinsip yang menjadi ciri
sebuah sistem.[57]
Dalam konteks filsafat, kata sirkuler (dawr) diartikan sebagai lingkar
yang tidak berujung pangkal.[58]
Oleh karena itu, sirkularitas sebuah sistem berarti hubungan antar komponen
secara sirkuler, artinya hubungan awal yang bersifat kausalitas tidak bisa dilacak
berasal dari sebuah komponen tertentu.[59]
Sirkuler berbeda dengan dialektika, sebab dialektika berarti komfirmasi antar
satu dengan lainnya, sedangkan sirkuler berarti saling membutuhkan dan bahkan
ketergantungan antar satu dengan lainnya. Menurut Amin Abdullah, pendekatan
sirkuler adalah pendekataan yang memerhatikan kekurangan dan kelemahan pada
masing-masing pendapat, dan sekaligus memperbaiki.[60]
Memerhatikan uraian di atas, maka pendekatan sirkuler
dalam perbandingan mazhab dapat dipahami sebagai penelitian yang menempatkan
pendapat berbeda dalam mazhab secara saling melengkapi. Artinya peneliti
perbandingan mazhab melihat perbedaan sebagai keragaman, bukan pertentangan. Alasannya
karena pengetahuan manusia adalah ‘pergaulan’ dengan objek, bukan ‘copy’ objek.[61]
Hasil ‘pergaulan’ itu tidak lah lengkap, dan kelengkapan hanya terwujud jika semua
hasil ‘pergaulan’ itu dipadukan sebagai kesatuan pengamatan menyeluruh. Dengan
demikian, pendapat yang berbeda dalam fikih diasumsikan sebagai bagian-bagian
dari pengamatan yang menyeluruh sehingga saling melengkapi.
Kerangka teori ini sesuai dengan teori yang dibangun
dalam fiqh al-ikhtilāf, bahwa perbedaan dilihat dalam dua
kategori, yaitu berupa keragaman (tanawwu‘) di satu sisi,[62]
dan pertentangan (taďādud) di sisi lain.[63]
Jika suatu perbedaan mengandung kontradiksi, maka itu adalah pertentangan. Tapi
jika tidak mengandung kontradiksi, maka perbedaan itu adalah keragaman (al-ta‘addud
al-tanawwu‘).[64]
Ciri kontradiksi adalah kondisi di mana salah satu dari pendapat yang
bertentangan itu harus dinyatakan invalid.
Kontradiksi terjadi dalam dua ranah, pertama dalam ranah
universal, kedua dalam ranah partikular. Kontradiksi dalam ranah universal
adalah kontradisi yang terjadi pada konsep-konsep yang lepas dari ruang dan
waktu. Dalam hal ini, kontradiksi merupakan pelanggaran terhadap
prinsip-prinsip akal.[65]
Kontradiksi pada ranah ini dapat diketahui dengan adanya inkonsistensi atau
inkoherensi pada sebuah konsep yang digunakan pemilik pendapat sebagai
perspektif. Kontradiksi pada ranah partikular terjadi ketika dua pendapat
berbeda mengalami pertentangan dalam ruang dan waktu yang sama, sebab ciri
partikularitas adalah sifatnya yang kasuistik serta terikat dengan ruang dan
waktu. Sebaliknya keragaman akan terlihat ketika dua pendapat yang bertentangan
dapat dinyatakan berlaku pada ruang dan waktu yang berbeda.
Berdasar uraian ini dapat disimpulkan, bahwa kajian
perbandingan mazhab dengan pendekatan sirkuler dilakukan dalam dua konteks umum
berikut:
1. Mengkaji perspektif dari pendapat yang dibandingkan. Jika
yang satu menggunakan perspektif teosentris dan yang lain antroposentris, maka
keduanya dapat diduga saling melengkapi. Sebab yang satu berlaku sebagai idealita
(yang seharusnya), sedangkan yang lain berlaku sebagai realita (yang
senyatanya). Idealita terlepas dari ruang dan waktu, sedangkan realita terikat
dalam ruang dan waktu tertentu. Keduanya tidak bertentangan, sebab yang satu
berlaku secara universal sedang yang lain berlaku secara partikular.
Persperktif yang antroposentris menjadi ciri partikularitas atau lokalitas,
sebab pendapat seseorang tidak lepas dari budaya dan perspektif yang mempengaruhinya.
2. Mengkaji ruang dan waktu keberlakuan pendapat yang
dibandingkan. Jika masing-masing pendapat yang dibandingkan dapat berlaku dalam
ruang dan waktu yang berbeda maka kedua pendapat itu bersifat saling
melengkapi.
Kedua konteks di atas bisa saja dilakukan bersama-sama dalam
satu penelitian, tetapi umumnya kajian strata satu terbatas pada konteks yang
kedua saja. Sampai di sini dapat disimpulkan, bahwa kajian perbandingan mazhab dengan
pendekatan sirkuler bertujuan untuk menemukan sifat saling melengkapi.
4. Contoh kasus
Berikut dikutip contoh pada masalah
zakat yang harus dikeluarkan dari dua harta yang bercampur. Para fukaha berbeda
pendapat dalam hal zakat dua harta yang bercampur. Jika kedua harta yang
bercampur itu masing-masing mencapai nisab sendiri-sendiri, apakah zakat wajib
atas keduanya secara sendiri-sendiri?
Menurut Imam al-Syāfi‘ī, jika
dua orang yang mencampurkan harta itu ahli zakat keduanya, maka keduanya
mengeluarkan satu zakat. Dengan catatan, terpenuhinya syarat-syarat percampuran
harta, yaitu satu tempat minum (masyrab), satu tempat istirahat (masrah), satu kandang (al-murāh), satu tempat
memerah susu (mawda‘ al-halab), satu pejantan
(al-fahl), satu penggembala
(al-rā‘ī), satu penjaga (al-nātūr). Dalam hal pertanian, disyaratkan satu tempat
pengeringan buah (al-jarīn fī al-thimār), satu tempat penjualan (al-dukkān),
satu penjaga (al-hāris), satu tempat
penyimpanan (makān al-hifz),
dan yang seumpamanya. Dikatakan, jika ahli zakat berserikat pada binatang
ternak (māsyiyyah, baik unta, sapi, atau domba), keduanya mengeluarkan
zakat seperti milik satu orang.[66]
Hal ini juga berlaku pada
percampuran yang masih dapat dipisah (mujāwarah), dengan syarat tidak
dibedakan tempat minum (masyrab), tempat istirahat (masrah), kandang (al-murāh), tempat memerah (mawda‘ al-halab), pejantan (al-fahl), dan penggembala (al-rā‘ī).
Menurut pendapat terkuat (al-asahh), bersatunya tempat memerah susu (al-niyah)
tidak menjadi syarat. Selain pada ternak, menurut pendapat al-azhar, percampuran memiliki pengaruh bagi
zakat, baik pada buah-buahan, biji-bijian, mata uang, atau harta perniagaan,
dengan syarat tidak dibedakan penjaga (al-nātūr), tempat pengeringan buah (al-jarīn fī
al-thimār), tempat penjualan (al-dukkān), penjaga (al-hāris), tempat penyimpanan (makān al-hifz), dan yang
seumpamanya.[67]
Pendapat di atas merupakan
hasil ijtihad terhadap dua Hadis berikut:[68]
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ
اللَّهِ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ حَدَّثَنِي ثُمَامَةُ أَنَّ
أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّثَهُ: أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ كَتَبَ لَهُ الَّتِي فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَلَا يُجْمَعُ بَيْنَ مُتَفَرِّقٍ وَلَا يُفَرَّقُ بَيْنَ مُجْتَمِعٍ
خَشْيَةَ الصَّدَقَةِ
Dari Anas, ia berkata: Abū Bakr ra. Menulis
kepadanya sesuatu yang difardhukan Rasulullah saw.: Jangan disatukan yang
terpisah, dan jangan dipisahkan antara yang disatukan karena takut zakat. (H.R. al-Bukhārī).
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ حَدَّثَنِي ثُمَامَةُ أَنَّ
أَنَسًا حَدَّثَهُ: أَنَّ أَبَا بَكْرٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ لَهُ الَّتِي فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا كَانَ مِنْ خَلِيطَيْنِ فَإِنَّهُمَا يَتَرَاجَعَانِ
بَيْنَهُمَا بِالسَّوِيَّةِ.
Dari Anas, ia berkata: Abū Bakr ra. Menulis
kepadanya sesuatu yang difardhukan Rasulullah saw.: Sesuatu yang telah
disatukan, maka sungguh keduanya kembali secara sama di antara keduanya. (H.R. al-Bukhārī).[69]
Hadis “lā yujma‘ bayna
mutafarriq...” dinafsirkan sebagai percampuran seratus dua puluh ekor
kambing, Jika dizakati bersama, maka yang wajib hanya satu ekor kambing. Adapun
jika kambing itu dimiliki oleh tiga orang, dan menzakati sendiri-sendiri, maka
masing-masing mengeluarkan satu ekor kambing (jumlah zakat menjadi tiga ekor).
Oleh karena itu, jangan dipisahkan dari kumpulan, maka yang wajib hanya satu
ekor kambing. Sebaliknya jika dua orang masing-masing memiliki kambing sejumlah
seratus dan seratus satu ekor, apabila dikumpulkan mereka harus mengeluarkan
tiga ekor kambing, dan jika terpisah masing-masing mengeluarkan satu ekor. Maka
jangan disatukan, tapi dikeluarkan sendiri-sendiri.[70]
Bagi ulama kalangan
Syāfi‘iyyah, maksud kata takut (al-khasyyah) pada teks Hadis di atas
adalah ketakutan pemerintah terhadap menurunnya jumlah zakat. Sementara di
pihak pemilik harta, ketakutannya adalah bertambahnya jumlah zakat yang harus
dikeluarkan. Jadi Hadis ini memberi jalan tengah bagi dua ketakutan ini. Di
sisi lain, teks Hadis “ma kāna min al-khalītayn...” ditafsirkan bahwa percampuran ini memberi
kesamaan jumlah (taswiyyah) zakat yang dikeluarkan oleh masing-masing
pemilik, sebagaimana ditafsirkan oleh al-Syāfi‘ī dalam kitabnya al-Umm.[71]
Penafsiran yang sama juga diberikan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal.
Berbeda dari ulama
Syāfi‘iyyah, ulama Hanafiyyah
justru berpendapat percampuran itu tidak berpengaruh bagi zakat yang
dikeluarkan. Pemilik harta hanya wajib mengeluarkan sejumlah zakat yang
dikenakan sebelum hartanya disatukan. Bagi mereka, maksud kata “lā yujma‘
bayna mutafarriq...” dalam teks Hadis, adalah jangan disatukan dalam hal
kepemilikan, bukan pada tempat. Jika seseorang memiliki empat puluh ekor
kambing, dan yang lain memiliki empat puluh ekor kambing, maka tidak boleh
disatukan agar bisa membayar zakat satu ekor kambing saja. Lalu bagi orang yang
memiliki kambing empat puluh ekor, jangan dipisahkan sehingga tidak terkena
zakat. Dan juga bagi yang memiliki delapan puluh ekor kambing, jangan
dipisahkan sehingga harus membayar dua ekor kambing. Sementara kalimat “mā
kāna min al-khalītayn...” diartikan
sebagai kongsi (al-syārikayn), maka keduanya membayar secara kongsi.[72]
Berbeda dari dua pendapat di
belakang, kalimat “mā kāna min al-khalītayn...” bagi Mālik berarti tidak wajib zakat, kecuali
masing-masing mereka memiliki jumlah yang sampai nisab. Adapun jika seseorang
memiliki domba sejumlah empat puluh ekor lebih, sedangkan teman kongsinya
kurang dari empat puluh ekor, maka yang wajib zakat hanya terhadap orang yang
memiliki empat puluh ekor lebih. Jadi taswiyyah di sini, diartikan
sama-sama memiliki harta yang mencapai jumlah nisab.[73]
Sementara Hadis “lā yujma‘
bayna mutafarriq...” ditafsir sebagai larangan menyatukan harta untuk
menghindar dari zakat. Karena tiga orang yang masing-masing memiliki empat
puluh ekor kambing, wajib membayar satu ekor kambing per orang. Tapi jika
disatukan, jumlahnya menjadi lebih kecil (satu ekor untuk bertiga), dari itu
mereka harus dilarang menyatukannya. Demikian pula yang dipisahkan untuk
mengurangi jumlah zakat, harus dilarang. Misalnya dua orang yang masing-masing
memiliki seratus satu domba yang bercampur, harus membayar tiga ekor domba,
tapi jika dipisah hanya dibayar dua ekor saja.[74]
Sekilas pendapat-pendapat di
atas terkesan mengalami kontradiksi. Tetapi ketika diteliti, ternyata masing-masing
pendapat mazhab di atas dapat berlaku dalam tiga konteks dan waktu yang berbeda.
Pendapat Imam al-Syāfi‘ī cocok dipegang dalam menengahi
konflik antara kepentingan pemerintah dengan hak masyarakat. Sedangkan Abu
Hanifah berada dalam konteks pertimbangan pribadi di tengah masyarakat. Adapun
pendapat Imam Mālik
dapat dirujuk dalam konteks menengahi persoalan di antara orang-orang yang
berserikat itu sendiri. Jadi dengan pendekatan sirkuler, seorang peneliti
perbandingan mazhab dapat memosisikan pendapat yang berbeda menjadi saling
mengisi. Dengan demikian, kajian perbandingan mazhab dapat merealisir makna perbedaan
sebagai rahmat.
C.
Penutup
Memerhatikan perkembangan mutakhir di Aceh secara khusus,
perbedaan mazhab tampak rentan memunculkan konflik. Hal ini merupakan tantangan
berat, terutama bagi Fakultas Syariah. Bagi penulis, jalan keluar untuk
menjawab tantangan ini harus dimulai dari Fiqh Muqaran. Sebab Fiqh Muqaran
mampu mengajarkan sikap moderat (tawāsut) yang akan mewarnai setiap
aspek peristinbatan yang dilakukan ulama, khususnya saat menempuh jalan keluar
berbagai masalah kekinian. Namun untuk itu, Fiqh Muqaran harus dkembangkan
dengan penelitian dan kajian perbandingan mazhab yang dilakukan dengan
pendekatan sirkuler.
Pendekatan sirkuler menjadikan peneliti memulai kajiannya
dengan cara pandang positif. Sebab dari awal termotivasi mencari ruang dan
waktu keberlakuan pendapat-pendapat yang berbeda. Dengan demikian, peneliti
diarahkan untuk menghargai berbagai pendapat. Di sisi lain, peneliti akan memiliki
ketajaman analisis yang menyeluruh, sebab ia diarahkan untuk mencoba berbagai
perspektif yang berbeda.
Kajian perbandingan mazhab dapat dilakukan dalam dua
konteks. Pertama, mengkaji perspektif dari pendapat yang dibandingkan,
khususnya pada pembelajaran di strata dua dan tiga. Kedua, mengkaji ruang dan
waktu keberlakuan pendapat yang dibandingkan. Kajian pada tingkat ini cocok
diterapkan pada strata satu, khususnya pada Program Studi Perbandingan Mazhab.
Kedua konteks kajian ini dapat menjadi kekhususan bagi Fakultas Syariah, dan
UIN pada umumnya. Sebab lulusan yang dihasilkan memiliki spesifikasi ilmu yang
dapat berdaya guna di tengah pluralitas pemahaman keagamaan masyarakat muslim
di Indonesia.
Daftar Pustaka
Abū
Zahrah, Muĥammad. Uşūl al-Fiqh. Beirut: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1985.
Ahmad
Baidowi, dkk. (penyunting). Rekonstruksi Metodologi Ilmu-ilmu Keislaman.
Yogyakarta: SUKA Press, 2003.
Ahmad
Daudy. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Akhyar
Yusuf Lubis. Postmodernisme: Teori dan Metode. Jakarta: Rajawali Pers,
2014.
Al-Albānī,
Muĥammad Nāşir al-Dīn. Silsīlat al-Aĥādiŝ al-Ďa‘īfah wa al-Mawďū‘ah,
terj. A. M. Basalamah, cet. IV, jld. I. Jakarta: GIP, 1988.
Atabik
Ali dan A. Zuhdi Muhdlor. Kamus Kontemporer Arab Indonesia, cet. VIII.
Krapyak, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003.
Baker,
Anton dan Ahmad Charis Zubair. Metodologi Penelitian Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Bambang
Sugiharto, I. Postmodernisme; Tantangan bagi Filsafat, cet. V.
Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Al-Barhāmī,
Yāsir Ĥusayn. Fiqh al-Khilāf bayn al-Muslimīn; Da‘wah ilā ‘Alaqah Afďal bayn
al-Ittijāhāt al-Islāmiyyah al-Mu‘āşirah. Kairo: Dār al-‘Aqīdah, 2000.
Al-Ba‘albakī
Munīr. Al-Mawrid; Qāmūs Inklīzī-‘Arabī, edisi keenam. Beirut: Dār
al-‘Ilm li al-Malāyīn, 1973.
Bertens,
K. Etika. Jakarta: Gramedia, 2004.
Blackburn,
Simon. Kamus Filsafat, cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
A.
C. Ewing, The Fundamental Questions of Philosophy. London: Routledge,
1951.
Al-Bukhārī,
Muĥammad ibn Ismā‘īl Abū ‘Abd Allāh. Al-Jāmi‘ al-Şaĥīĥ al-Mukhtaşar,
cet. III. Beirut: Dār Ibn Kaŝīr, 1987.
Al-Ghazzālī.
Al-Mustaŝfā min ‘Ilm al-Uşūl. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000.
________.
Muĥk al-Nazari fi al-Mantiq. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000.
________.
Al-Mankhūl min Ta‘līqāt
al-Uşūl.
Beirut: Dār al-Fikr, 1998.
________.
Asās al-Qiyās. Riyad: Maktabah al-‘Ubaykān, 1993.
Husni Muadz, M. Anatomi Sistem Sosial:
Rekonstruksi Normalitas Relasi Intersubyektivitas dengan Pendekatakan Sistem.
Mataram: IPGH, 2014.
Graib,
Ian. Teori-teori Sosial Modern; dari Parsons sampai Habermas, terj. Paul
S. Baut, T. Effendi, cet. II. Jakarta: Rajawali Pers, 1992.
Ibn
Manźūr. Lisān al-‘Arab, jld. III. Kairo: Dār al-Ĥadīŝ, 2003.
Jabbar
Sabil, “Masalah Ontologi dalam Kajian Keislaman” Jurnal Ilmiah Islam
Futura XIII, No. 02, 2014.
Al-Jabiri,
Muhammad Abed. Formasi Nalar Arab, terj. Imam Khoiri. Yogyakarta:
IRCiSod, 2003.
Al-Khinn,
Muşţafā Sa‘īd. Aŝr al-Ikhtilāf fī al-Qawā‘id al-Uşūliyyah. Beirut:
Mū’assasah al-Risālah, 2000.
Kuhn,
Thomas S. The Structure of Scientific Revolutions, edisi kedua. Chicago:
University of Chicago Press, 1970.
Kuntowijoyo.
Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, edisi kedua.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Madkūr,
Ibrāhīm. Fī al-Falsafat al-Islāmiyyah: Manhaj wa Taţbiquh. Kairo: Dār al-Ma‘ārif,
2003.
Al-Maĥallī,
Jalāl al-Dīn. Syarĥ Minhāj al-Ţālibīn. Kairo: Muşţafā al-Bāb al-Halabī,
t.th.
Mahmoud Syaltout dan M. Ali as-Sayis. Perbandingan
Mazhab dalam Masalah Fiqih, terj. Ismuha. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Majma‘ al-Luhghah al-‘Arabiyyah. Al-Mu‘jam al-Falsafī.
Kairo: al-Amīriyyah, 1983.
Mālik. al-Muwaţţā’. Beirut: Maktabah al-‘Aşriyyah,
2003.
Al-Mīdānī, ‘Abd al-Raĥmān al-Jankah. Ďawābiţ
al-Ma‘rifah. Damaskus: Dār al-Qalam, 1993.
Mohammad
Muslih. Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka
Teori Ilmu Pengetahuan, edisi revisi, cet. II. Yogyakarta: Belukar, 2005.
Muhyar
Fanani. Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi Pengetahuan sebagai Cara
Pandang, cet. 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Muslim Ibrahim. Pengantar Fiqh Muqaran. Jakarta:
Erlangga, 1991.
Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi
Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, cet. II. Yogyakarta:
Belukar, 2005.
Al-Nasā’ī, Aĥmad ibn Syu‘ayb Abū ‘Abd al-Raĥmān. Sunan
al-Nasā’ī, jld. VIII. Kairo: Maktabah al-Maţbū‘at al-Islāmiyyah, 1986.
Popper,
Karl R. Logika Penemuan Ilmiah, terj. Saut Pasaribu dan Aji
Sastrowardoyo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Al-Qaradhawi,Yusuf.
Fiqh Perbedaan Pendapat Antar Sesama Muslim, terj. Airur Rofiq Shaleh
Tamhid. Jakarta: Robbani Press, 1991.
Rapar, Jan Hendrik. Pengantar Logika; Asas-asas
Penalaran Sistematis. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Al-Rāzī.
Al-Matālib al-‘Āliyyah. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Arabī, 1987.
Safi,
Louay. The Foundation of Knowledge; A Comparative Study in Islamic and
Western Methods of Inquiry. Malaysia: International Islamic University
Press, 1996.
Al-Sarakhsī,
Syams al-Dīn. Al-Mabsūţ,. Beirut Dār al-Fikr, 1989.
Al-Sāyīs, Muĥammad ‘Alī. Tārīkh al-Fiqh al-Islāmī.
Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.
Soerjanto
Poespowardojo T. M., dan Alexander Seran. Filsafat Ilmu: Hakikat Ilmu
Pengetahuan, Kritik terhadap Visi Positivisme Logis, serta Implikasinya
(Jakarta: Kompas, 2015.
Al-Syāfi‘ī. Al-Umm. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009.
Al-Syahrastānī. Al-Milal
wa al-Niĥal. Beirut: Dār al-Fikr, 2005.
al-Syarbīnī,
Syams al-Dīn. Mughnī al-Muhtāj ilā Ma‘rifah Ma‘ānī Alfāź al-Minhāj.
Kairo: Muşţafā al-Bāb al-Halabī, t.th.
Al-Syātibī.
Al-Muwāfaqāt. Kairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah, 2003.
Al-Syawkānī,
Muĥammad ibn ‘Alī ibn Muĥammad. Irsyād al-Fuĥūl. Beirut: Dār al-Fikr,
t.th.
Tim KBBI. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi
keempat. Jakarta: Gramedia, 2008.
Al-Zarkasyī. Al-Bahr al-Muhit, cet. III. Kairo: Dār al-Kutub, 2005.
[1] Muĥammad ibn Ismā‘īl
Abū ‘Abd Allāh al-Bukhārī, al-Jāmi‘al-Şaĥīĥ al-Mukhtaşar, cet. III, jld.
VI (Beirut: Dār Ibn Kaŝīr, 1987), 2676. Kitāb I‘tişām bi al-Kitāb wa
al-Sunnah, bāb ajr al-ĥākim iża ijtahada fa aşaba aw akhţa’a. Lihat juga: Aĥmad
ibn Syu‘ayb Abū ‘Abd al-Raĥmān al-Nasā’ī, Sunan al-Nasā’ī, jld. VIII
(Kairo: Maktabah al-Maţbū‘at al-Islāmiyyah, 1986), 223.
[2] Ian Graib, Teori-teori
Sosial Modern; dari Parsons sampai Habermas, terj. Paul S. Baut, T.
Effendi, cet. II (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), 91.
[3] Akhyar Yusuf Lubis, Postmodernisme:
Teori dan Metode (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 96.
[4] Soerjanto Poespowardojo
T. M., dan Alexander Seran. Filsafat Ilmu: Hakikat Ilmu Pengetahuan, Kritik
terhadap Visi Positivisme Logis, serta Implikasinya (Jakarta: Kompas,
2015), 335.
[5] Jabbar Sabil, “Masalah
Ontologi dalam Kajian Keislaman” Jurnal Ilmiah Islam Futura
XIII, No. 02 (2014), 18.
[6] Epistemologi
bayānī adalah ijtihad dalam memahami teks keagamaan di dalam wilayah sirkulasinya
sendiri. Pemecahannya harus dicari di dalam dan melalui teks, dan qiyās
sama sekali bukan rakyu, tetapi “suatu proses yang dilakukan berdasar dalil
sesuai dengan informasi yang telah ada dalam kitab dan sunah.” Muhammad Abed al-Jabiri.
Formasi Nalar Arab, terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: IRCiSod, 2003),
171-172.
[7] Epistemologi burhānī
adalah metode ilmu-ilmu rasional dan dasar-dasar epistemologisnya: dasar “akal
universal.” Al-Jabiri, Formasi…, 504.
[8] Epistemologi ‘irfānī
adalah pengetahuan yang diperoleh tanpa pencarian, tanpa usaha keras dan tidak
membutuhkan waktu, tapi atas kehendak Allah dengan cara membersihkan jiwa. Ilmu
seperti ini merupakan ilmu para rasul, yaitu melalui imaginasinya (intuisi).
Al-Jabiri, Formasi…, 395 dan 409.
[9] Bagi al-Ghazālī, semua
mujtahid benar, berarti ia menerima pluralitas kebenaran di bidang hukum
(halal, haram, dsb.). Sebab sesuatu yang halal bagi seseorang dapat berstatus
haram bagi orang lain, dan ini tidak kontradiktif. Pandangan seperti ini
menghindarkan mujtahid dari sikap yang mengabsolutkan kebenaran satu pihak
tertentu. Al-Ghazālī, Al-Mustaŝfā min
‘Ilm al-Uşūl (Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2000), 350.
[10] Menurut Popper, ilmu
kita bukanlah pengetahuan (episteme): ia tidak pernah dapat mengklaim
telah memperoleh kebenaran, atau bahkan penggantinya, seperti probabilitas.
Karl R. Popper, Logika Penemuan Ilmiah, terj. Saut Pasaribu dan Aji
Sastrowardoyo (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 254.
[11] Ahmad Baidowi, dkk.
(penyunting), Rekonstruksi Metodologi Ilmu-ilmu Keislaman (Yogyakarta:
SUKA Press, 2003), 22.
[12] Struktur fundamental
adalah ‘kerangka’ paradigma keilmuan (asumsi filosofis), yang dengannya bisa
dilihat konsistensi ‘kerja’ konsep-konsep atau teori-teori keilmuan. Mohammad
Muslih, Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka
Teori Ilmu Pengetahuan, edisi revisi, cet. II (Yogyakarta: Belukar, 2005),
24.
[13] Bambang Sugiharto, I, Postmodernisme;
Tantangan bagi Filsafat, cet. V (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 39.
[14] Anton Baker dan Ahmad
Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius,
1992), 116.
[15] Muĥammad ‘Alī al-Sāyis,
Tārīkh al-Fiqh al-Islāmī (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.),
hlm. 189.
[16] Muslim Ibrahim. Pengantar
Fiqh Muqaran (Jakarta: Erlangga, 1991),
7.
[17] Mahmoud Syaltout dan M.
Ali as-Sayis. Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqih, terj. Ismuha
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 15.
[18] Muĥammad Nāşir al-Dīn
al-Albānī. Silsīlat al-Aĥādiŝ al-Ďa‘īfah wa al-Mawďū‘ah, terj. A. M.
Basalamah, cet. IV, jld. I (Jakarta: Gema Insani Press, 1988), 68.
[19] Muhyar Fanani, Metode
Studi Islam; Aplikasi Sosiologi Pengetahuan sebagai Cara Pandang, cet. 2
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), xxiii.
[20] Bertens, K.. Etika
(Jakarta: Gramedia, 2004), 141.
[21] Muĥammad Abū Zahrah, Uşūl
al-Fiqh (Beirut: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1985), 13-14.
[22] Menurut al-Ghazzali, pengetahuan yang
diperoleh lewat pendengaran termasuk pengetahuan apriori. Al-Ghazzali, Muĥk al-Nazari fi al-Mantiq, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
2000), 232.
[23] Muşţafā Sa‘īd al-Khinn,
Aŝr al-Ikhtilāf fī al-Qawā‘id al-Uşūliyyah (Beirut: Mū’assasah
al-Risālah, 2000), 38, dst.
[24] Ahmad Daudy, Kuliah
Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), 66. Ibn Sīnā, nama
lengkapnya Abū ‘Alī al-Husein ibn ‘Abd Allāh ibn Hasan ibn ‘Alī ibn Sīnā. Lahir
tahun 370 H/980 M, di Desa Efsyanah, Bukhara .
Ia dikenal sebagai filosof besar Islam, ahli kedokteran, matematika, fisika, dan
logika, wafat tahun 428 H/1037 M).
[28] Al-Khinn, Aŝr
al-Ikhtilāf…, 72.
[29] Sugiharto, Postmodernisme…,
39.
[30] Al-Khinn, Aŝr
al-Ikhtilāf…, 38, dst.
[31] Mohammad Muslih, Filsafat
Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan,
cet. II (Yogyakarta: Belukar, 2005), 30.
[32] Muĥammad ‘Alī al-Sāyīs, Tārīkh al-Fiqh al-Islāmī (Beirut: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), 111.
[33] Ibrāhīm Madkūr, Fī al-Falsafat al-Islāmiyyah: Manhaj wa Taţbiquh,
jld. II
(Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 2003), hal. 45 dan 54. Stagnasi
ini terlihat dari pendapat-pendapat kalāmiyyah yang mengemuka setelahnya
hanyalah berupa pengulangan dari pendapat-pendapat sebelumnya.
[34] Louay Safi. The
Foundation of Knowledge; A Comparative Study in Islamic and Western Methods of
Inquiry (Malaysia: International Islamic University Press, 1996), 175.
[35] ‘Abd al-Raĥmān
al-Jankah al-Mīdānī, Ďawābiţ al-Ma‘rifah (Damaskus: Dār al-Qalam, 1993),
150. Inferensi langsung (al-istidlāl al-mubāsyir) dilakukan berdasarkan
satu proposisi (qaďiyyah), sedangkan inferensi tidak langsung (al-istidlāl
ghayr al-mubāsyir) dilakukan dengan dua proposisi atau lebih. Jan Hendrik
Rapar, Pengantar Logika; Asas-asas
Penalaran Sistematis
(Yogyakarta: Kanisius, 1996), 40.
[36] A. C. Ewing, The Fundamental
Questions of Philosophy (London: Routledge, 1951), 53,55. Menurut teori
korespondensi, kebenaran tergantung pada adanya relasi antara pengetahuan
dengan fakta. Sedangkan menurut teori koherensi, kebenaran ditentukan oleh
relasi di antara penilaian-penilaian itu sendiri.
[38] Al-Ghazzālī, Asās
…, 43. Menurut
al-Ghazzālī, setiap al-‘illah yang telah ditunjukkan oleh dalil sebagai
tempat bergantung hukum, maka darinya tersusun proposisi umum yang berlaku
sebagaimana berlakunya lafaz umum dari al-Syāri‘. Bahkan lebih kuat,
karena keumuman lafaz masih memiliki kemungkinan takhşīş.
Sedangkan manāţ
al-ĥukm
menghimpun
semua sifat (al-‘illat al-murākabah) yang berlaku umum dan tidak mungkin
di-takhşīş.
[39] Husni
Muadz, M., Anatomi Sistem Sosial: Rekonstruksi Normalitas Relasi
Intersubyektivitas dengan Pendekatakan Sistem (Mataram: IPGH, 2014), 42.
[40] Saeful Anwar, Filsafat
Ilmu Al-Ghazali; Dimensi Ontologi dan Aksiologi (Bandung: Pustaka Setia,
2007), 160. Kausalitas natural adalah prinsip, atau hukum umum tentang
hubungan sebab akibat peristiwa alam, bahwa sebab efektif menghasilkan akibat.
Maka secara objektif dan konstan (mekanik deterministik), sebab yang sama
dipandang pasti menghasilkan akibat yang sama pula. Adapun kausalitas moral
adalah hukum sebab akibat perbuatan moral-kreatif manusia, bahwa ia pasti
terbit dari sebab tertentu dan menimbulkan akibat tertentu. Demikian pula sebab
yang sama dianggap akan menimbulkan akibat yang sama.
[41] Muĥammad
ibn ‘Alī ibn Muĥammad al-Syawkānī, Irsyād al-Fuĥūl (Beirut: Dār
al-Fikr, t.th.), 207. Ragam
pandangan uşūliyūn tentang al-‘illah adalah sebagai berikut;
1. Pendapat
yang mengatakan bahwa al-‘illah adalah al-mu‘arrif bagi hukum
dengan dijadikannya oleh al-Syâri‘ sebagai tanda atas hukum, hukum
menjadi ada dengan adanya tanda.
2. Bahwa
al-‘illah mewajibkan wujud hukum dengan sendirinya, bukan dengan
dijadikan oleh Allah.
3. Al-‘illah
adalah pengwajib wujudnya hukum dengan dijadikan oleh Allah.
4. Al-‘illah
adalah sesuatu yang secara adat menjadi pengwajib wujudnya hukum.
5. Al-‘illah
adalah motivasi dalam penetapan hukum, yaitu al-maşlaĥah.
6. Al-‘illah
adalah sesuatu yang diketahui oleh Allah sebagai kebaikan dalam mengikuti
ketentuan hukum.
7. Al-‘illah adalah al-ma‘nā yang
dibangun hukum atasnya.
[42] Muslih, Filsafat
Ilmu…, 76. Paradigma merupakan seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar
yang menentukan seseorang dalam bertindak pada kehidupan sehari-hari.
[43] Munīr al-Ba‘albakī, al-Mawrid;
Qāmūs Inklīzī-‘Arabī, edisi keenam (Beirut: Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn,
1973), 586.
[44] Atabik Ali dan A. Zuhdi
Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, cet. VIII (Krapyak,
Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003), 1621, 1760.
[46] ‘Alī Muĥammad
al-Şalābī, al-Wasaţiyyah fī al-Qur’ān al-Karīm (Kairo: Maktabah
al-Tābi‘īn, 2001), 38.
[48] Monisme menemukan satu
sedangkan dualisme menemukan dua. Fisikalisme adalah dokritn bahwa segala yang
ada bersifat fisik, sebuah monisme, lawan dari dualisme jiwa-tubuh; idealisme
absolut adalah doktrin
bahwa satu-satunya realitas terdapat dalam modifikasi yang Absolut. Permenides
dan Spinoza yakin terdapat alasan filosofis yang kuat untuk mengasumsikan hanya
ada satu jenis hal yang ril dan sanggup menunjang dirinya sendiri. Simon
Blackburn, Kamus Filsafat, cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2013), hlm. 549.
[49] Kuntowijoyo, Islam
sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, edisi kedua (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2006),
96. Teosentrisme,
orang yang mengagungkan wahyu sebagai satu-satunya kebenaran.
[50] Kuntowijoyo, Islam
sebagai Ilmu…, 51. Antroposentrisme dalam rasionalisme manusia menempati
kedudukan yang tinggi. Manusia menjadi pusat kebenaran, etika, kebijaksanaan
dan pengetahuan. Manusia adalah pencipta, pelaksana, dan konsumen produk-produk
manusia sendiri.
[51] Kuntowijoyo, Islam
sebagai Ilmu...,
54. Agama memang mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika, hukum,
kebijaksanaan, dan sedikit pengetahuan. Agama tidak pernah menjadikan wahyu
Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan melupakan kecerdasan manusia,
atau sebaliknya, menganggap pikiran manusia sebagai satu-satunya sumber
pengetahuan dan melupakan Tuhan. Jadi sumber pengetahuan itu dua macam, yaitu
yang berasal dari Tuhan dan yang berasal dari manusia, dengan kata lain teoantroposentrisme.
[52] Karl R. Popper. The
Logic of Scientific Discovery (New York: Science Edition Inc., 1961), 15.
Menurut Karl R. Popper, tugas epistemologi ialah memberikan analisis logis
terhadap metode dan prosedur penelitian, terutama mengenai ilmu-ilmu empirik,
untuk menghasilkan apa yang disebut “rekonstruksi rasional” pada tahap yang
membawa saintis menemukan kebenaran-kebenaran baru.
[53] Thomas S. Kuhn, The
Structure of Scientific Revolutions, edisi kedua (Chicago: University of
Chicago Press, 1970), 122-123. Paradigms are not corrigible by normal science
at all. Instead, as we have already seen, normal science ultimately leads only
to the recognition of anomalies and to crises. And these are terminated, not by
deliberation and interpretation, but by a relatively sudden and unstructured
event like the gesalt swich. Scientists then often speak of the “scales falling
from the eyes” or of the “lightning flash” that “inundates” a previously
obscure puzzle, enabling its components to be seen in a new way that for the
first time permits its solution.
[54] Al-Syahrastānī,
al-Milal wa al-Niĥal (Beirut: Dār al-Fikr, 2005), 77. Taklīf mā lā yuţāq adalah pembebanan sesuatu yang
di luar kemampuan seseorang untuk melakukannya. Pendapat umum para pengikut
Asy‘ariyyah justru menerima Taklīf mā lā yuţāq. Namun tokoh moderat
seperti al-Ghazzālī justu menolaknya. Al-Ghazzālī,
al-Mankhūl min Ta‘līqāt al-Uşūl (Beirut: Dār al-Fikr, 1998), 81. Lebih
jelas lihat catatan kaki nomor 10.
[55] Soerjanto Poespowardojo
T. M., dan Alexander Seran. Filsafat Ilmu…, 98.
[56] Kata sirkuler dalam
bahasa Inggris (circle, circular) berarti gerak melingkar, padanannya
dalam bahasa Arab adalah mustadīr atau dā’irī. Al-Ba‘albakī, al-Mawrid…,
hlm. 179.
[57] Husni Muadz, Anatomi
Sistem Sosial…, hlm. 58, dst. Beberapa konsep teoretik sistem adalah: 1)
keutuhan (unity), 2) organisasi dan struktur sistem, 3) determinisme
struktur sistem, 4) keterhubungan dan penyesuaian struktural, 5) sirkularitas,
6) fitur kebaruan.
[58] Majma‘ al-Luhghah
al-‘Arabiyyah, al-Mu‘jam al-Falsafī (Kairo: al-Amīriyyah, 1983),
hlm. 85.
[59] Husni Muadz, Anatomi
Sistem Sosial…, hlm. 71.
[60] Ahmad Baidowi, dkk.
(penyunting), Rekonstruksi Metodologi Ilmu-ilmu Keislaman (Yogyakarta:
SUKA Press, 2003), 22.
[61] Sugiharto, Postmodernisme…,
39. Jadi pengetahuan ilmiah sama sekali bukan hasil jiplakan
terhadap realitas, melainkan realitas hasil konstruksi manusia.
[62] Yāsir Ĥusayn al-Barhāmī, Fiqh al-Khilāf bayn al-Muslimīn; Da‘wah ilā
‘Alaqah Afďal bayn al-Ittijāhāt al-Islāmiyyah al-Mu‘āşirah (Kairo: Dār
al-‘Aqīdah, 2000), 12. Ikhtilāf sebagai keragaman (ikhtilāf al-tanawwu‘) berarti pendapat yang satu tidak berlawanan dengan
pendapat yang lain, bahkan semua pendapat itu benar.
[63] Al-Barhāmī, Fiqh al-Khilāf..., 19. Ikhtilāf sebagai pertentangan (ikhtilāf al-taďādud) berarti semua pendapat berbeda saling bertentangan satu
dengan lainnya, dan salah satunya harus dinyatakan valid atau invalid.
[64] Yusuf
al-Qaradhawi, Fiqh Perbedaan Pendapat Antar Sesama Muslim, terj. Airur
Rofiq Shaleh Tamhid (Jakarta: Robbani Press, 1991), 10.
[65] Jan Hendrik Rapar. Pengantar
Logika; Asas-asas Penalaran Sistematis (Yogyakarta: Kanisius, 1996),
18. Ada empat prinsip dasar akal (universal
postulates of all reasoning), keempat prinsip itu adalah: 1) prinsip
identitas (principium identitatis/law of identity); 2) prinsip
kontradiksi (principium contradictionis/law of contradiction); 3)
prinsip penyisihan jalan tengah (principium exclusi tertii/law of excluded
middle); 4) prinsip alasan memadai (principium rationis sufficient/law
of sufficient reason). Tiga yang pertama dirumuskan oleh Aristoteles
(382-322 SM), sedangkan yang keempat dirumuskan oleh Gottfried Wilhelm Leibniz
(1645-1716 M).
[66] Jalāl al-Dīn al-Maĥallī,
Syarĥ Minhāj al-Ţālibīn (Kairo: Muşţafā al-Bāb al-Halabī, t.th.), jld.
II, hlm. 11.
[67] Syams al-Dīn
al-Syarbīnī, Mughnī al-Muhtāj
ilā Ma‘rifah Ma‘ānī Alfāź al-Minhāj
(Kairo: Muşţafā al-Bāb al-Halabī, t.th.), jld. I, hlm. 276-278.
[68] Al-Bukhārī, Sahīh al-Bukhārī, jld. II, hlm. 117. Dalam Kitāb
al-Zakāh,bāb lā yujma‘ bayna mutafarriq...
[69] Al-Bukhārī, Sahīh al-Bukhārī, jld. II, hlm. 117. Dalam Kitāb
al-Zakāh,bāb mā kāna min al-khalītayn...
[73] Mālik, al-Muwaţţā’, (Beirut: Maktabah al-‘Aşriyyah, 2003), hlm.156.
[74] Mālik, al-Muwattā’, hlm.157.
Komentar
Posting Komentar