وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا (7) فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا (10) Demi jiwa dan penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya . (Q. S. al-Syams [91]: 7-10). Dalam ayat di atas, setelah bersumpah dengan matahari, bulan, siang, malam, langit, dan bumi, Allah bersumpah atas nama jati diri/jiwa manusia dan penciptaannya yang sempurna. Lalu Allah mengilhamkan kefasikan dan ketakwaan ke dalam jiwa/diri manusia. Al-Qurthubi mengatakan bahwa sebagian ulama mengartikan kata ‘ nafs ’ sebagai Nabi Adam, namun sebagian yang lain mengartikannya secara umum, yaitu jati diri manusia itu sendiri. Menurut Ibn ‘Asyur, kata ‘ nafs ’ dalam ayat berbentuk nakirah (tanpa alif lam ta‘rif ), ini menunjukkan nama jenis, sehingga mencakup jati diri seluruh manusia. H
mantap gure
BalasHapusTerimakasih Gure
BalasHapusTerimakasih Gure
BalasHapus