Pengertian Kaidah Fiqhiyah


 A.  Pengertian, definisi, dan perbedaan
Kata kaidah secara kebahasaan berarti asal atau asas (al-asl wa al-asās).[1] Adapun secara istilah, menurut al-Jarjani kaidah adalah:[2]
القاعدة: هي قضية كلية منطقة على جميع جزئية.
Kaidah adalah proposisi universal yang sesuai bagi partikular di bawahnya.

Kaidah berbeda-beda sesuai ilmu yang membentuknya, misalnya kaidah kebahasaan (seperti nahw dan saraf). Dalam hal ini, ‘Abd al-Karīm Zaydān mengutip definisi Ibn Nujaym berikut untuk menjelaskan hakikat kaidah fiqhiyah:[3]
و في اصطلاح الفقهاء حكم كلي ينطبق على جميع جزئيته أو اكثرها، لتعرف أحكامها منه.
Dalam terminologi fukaha, kaidah fiqhiyah adalah ketentuan umum yang mencakup seluruh atau kebanyakan partikular di bawahnya sehingga hukum diketahui darinya.

Secara formal, dilihat dari segi objek yang membentuk kaidah, pengetahuan (fann) tentang kaidah fiqhiyah ini disebut al-asybāh wa al-nazā’ir (keserupaan dan kesebandingan). ‘Azzām mendefinisikannya sebagai berikut:[4]
الأشباه والنظائر هي: المسائل والفروع الفقهية المتشابهة من حيث اندراجها تحت اصل واحد يجمع بينها في الحكم.
Al-Asybāh wa al-nazā’ir adalah masalah-masalah dan cabang fikih yang serupa dari sudut pandang tercakupnya di bawah satu sumber yang menyatukannya dalam hukum.

Objek ini juga bisa dilihat dari sisi perbedaan kasus di dalamnya yang merupakan pengecualian dari kaidah, maka dari sudut pandang ini ia disebut al-furūq (perbedaan).[5] Al-Furūq juga dipahami sebagai kajian yang membedakan antara kaidah yang satu dengan lainnya, misalnya karya al-Qarāfī berjudul “al-Furūq Anwār al-Burūq fī Anwa’ al-Furūq.”[6] Jadi kaidah fiqhiyah memiliki kekhususan dibanding kaidah lain.
‘Abd al-Wahhāb Khallāf membedakan kaidah fiqhiyah (al-qawā‘id al-fiqhiyyah) dari kaidah ushuliyah. Bagi Khallāf, kaidah ushuliyah terdiri dari kaidah pensyariatan dan kaidah kebahasaan (al-qawā‘id al-usūliyyat al-tasyrī‘iyyah dan al-qawā‘id al-usūliyyat al-lughawiyah).[7] Al-Marīnī mendefinisikan kaidah ushuliyah sebagai berikut:[8]
القاعدة الأصولية: إنها حكم كلي تنبني عليه الفروع الفقهية، مصوغ صياغة عامة، ومجردة، ومحكمة.
Kaidah ushuliyah adalah ketentuan umum yang mana cabang-cabang fikih terbangun di atasnya, berlaku umum, mandiri, dan memiliki kekuatan hukum.

Definisi ini memperlihatkan perbedaan kaidah ushuliyah dari kaidah fiqhiyah, bahwa kaidah ushuliyah menjadi dasar penetapan hukum bagi masalah-masalah cabang fikih, sedangkan kaidah fiqhiyah hanya mencakup saja. Merujuk pada kategorisasi Khallāf, maka perbedaan juga dilihat dari unsur pembentuk kaidah. Al-Qawā‘id al-usūliyyat al-tasyrī‘iyyah dirumuskan dari proses induksi terhadap hukum syariat, dan kausa efisien (al-‘illah) yang dikandung hukum.[9] Sedangkan al-qawā‘id al-usūliyyat al-lughawiyah, dirumuskan dari kedalaman bahasa Arab dan petunjukannya atas hukum.[10]
Sebagaimana diketahui, para usūliyūn menyatakan aksiologi ilmu usūl al-fiqh adalah menetapkan kaidah perijtihadan, di samping menemukan ketetapan hukum. Dari itu, materi (mawdū‘) ilmu usūl al-fiqh adalah dalil-dalil umum, hukum-hukum umum, dan kaidah-kaidah istinbat umum terhadap dalil yang di antaranya merupakan kaidah kebahasaan.[11] Sedangkan al-qawā‘id al-fiqhiyyah merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa dalam kaidah yang menghimpun dan menyatukannya.[12]
Dapat disimpulkan bahwa al-qawā‘id al-fiqhiyyah berbeda dengan al-qawā‘id al-usūliyyah. Sebab al-qawā‘id al-usūliyyah merupakan metode (manhaj) menetapkan hukum partikular (furū‘). Sedangkan al-qawā‘id al-fiqhiyyah merupakan dasar (mabādī), ia mengandung ketentuan umum yang cocok dengan kasus baru sesuai cakupannya.[13] Meski sebagian penulis melihat al-qawā‘id al-fiqhiyyah juga berperan untuk mengetahui hukum pada kasus baru,[14] namun hal ini tidak dapat dijadikan alasan menyamakan fungsinya dengan kaidah ushuliyah.
Selain perbedaan dengan kaidah ushuliyah, al-qawā‘id al-fiqhiyyah juga dibedakan dari al-dawābit al-fiqhiyah, dan al-nazariyyat al-fiqhiyah. Menurut Zaydān, kaidah seperti ini cukup banyak dalam fikih di mana setiap kaidah menjadi ukuran untuk menyatukan berbagai masalah fikih. Bedanya al-dawābit al-fiqhiyah hanya mencakup partikularitas dalam satu bab tertentu, misalnya dawābit tentang sucinya kulit binatang dengan cara disamak berdasarkan Hadis:[15]
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: أيما إهباب دبغ فقد طهر.
Rasulullah saw. bersabda: Kulit yang telah disamak adalah suci.

Adapun al-nazariyyat al-fiqhiyah berbeda dari al-qawā‘id al-fiqhiyyah dalam dua sisi. Pertama, al-qawā‘id al-fiqhiyyah mengandung hukum yang diturunkan kepada cabang-cabangnya, sedangkan al-nazariyyat al-fiqhiyah hanya mengandung ketentuan hukum yang umum. Kedua, al-qawā‘id al-fiqhiyyah tidak mencakup atas rukun dan syarat, berbeda dari al-nazariyyat al-fiqhiyah yang meniscayakan rukun dan syarat. Misalnya kaidah “kebiasaan menjadi hukum; kebiasaan diterima jika konsisten,” dan yang sejenis dengannya, dapat dikategorikan teori kebiasaan (nazariyyat al-‘urf).[16]

B.  Kemunculan dan perkembangan
Menurut Mustafā Syalabī, orang pertama yang merumuskan al-qawā‘id al-fiqhiyah ialah Abū Tāhir al-Dibās dari mazhab Hanafi yang hidup antara abad ketiga dan empat hijriyah. Ia merumuskan tujuh belas kaidah, di antaranya al-darār yuzāl, al-yaqīn lā yazūl bi al-syakk, al-‘ādah muhakkamah, al-masyaqqah tajlīb al-taysīr. Kemudian kaidah ini ditambah oleh Abū al-Hasan al-Karakhī (w. 340 H), yang mana keduanya tidak menyertakan contoh. Orang pertama yang menyertakan contoh dalam penulisan al-qawā‘id al-fiqhiyah ialah al-Imām Najm al-Dīn ‘Umar al-Nasafī (w. 537 H).[17]
Al-Suyutī meriwayatkan sebuah kisah dari Al-Qādī Abū Sa‘īd al-Harwī. Ia menceritakan, sebagian pemuka mazhab Hanafi di Harrah menyampaikan padanya tentang al-Imām Abū Tāhir al-Dibāsī di Wara’ al-Nahr yang meringkas fikih mazhab Hanafi dalam tujuh belas kaidah. Maka ia pergi menemui Abū Tāhir yang ternyata buta, beliau mengulang kaidah itu setiap malam sesudah mengunci pintu masjid. Ketika orang-orang sudah pergi, al-Harwī bersembunyi di gulungan tikar. Setelah mengunci pintu, Abū Tāhir membaca kaidah-kaidah itu sebanyak tujuh buah. Tanpa sengaja al-Harwī menguap sehingga ketahuan oleh Abū Tāhir, maka ia dipukul dan diusir dari masjid. Setelah itu Abū Tāhir tidak lagi mengulang bacaan kaidah itu seperti dulu. Al-Harwī pun pulang dan membacakan tujuh kaidah itu kepada sahabatnya. Menurut al-Qādī Abū Sa‘īd al-Harwī, ketika kaidah dari Abū Tāhir al-Dibās sampai kepada al-Qādī Husayn, ia pun meringkas kajian dalam mazhab al-Syāfi‘ī menjadi empat kaidah utama. Pertama, kaidah al-yaqīn lā yuzāl bi al-syakk, kedua, kaidah al-masyaqqah tajlīb al-taysīr, ketiga, kaidah al-darār yuzāl, keempat, kaidah al-‘ādah muhakkamah.[18]
Sejak dari masa pertama kemunculannya, al-qawā‘id al-fiqhiyah telah mengalami pengembangan yang pesat. Menurut ‘Abd al-‘Azīz Muhammad ‘Azzām, al-qawā‘id al-fiqhiyah telah menjadi ilmu tersendiri di samping ilmu fikih, dan usūl al-fiqh.[19] Dari itu Ya‘qūb ibn ‘Abd al-Wahhāb al-Bahisayn melakukan studi yang mendalam, merumuskan definisi berikut:[20]
العلم الذي يبحث فيه عن القضايا الفقهية الكلية، من حيث معناها، وماله صلة به، ومن حيث بيان أركانها، وشروطها، ومصدرها، وحجيتها، ونشأتها وتطورها، وما تنطبق عليه من الجزئيات، وما يستثنى منها.
Ilmu kaidah fiqhiyah adalah ilmu yang membahas tentang proposisi fikih yang universal dari aspek maksud yang terkandung di dalamnya, hal-hal yang berhubungan dengannya, penjelasan rukun, syarat, landasan, kehujahan, kemunculan dan perkembangannya, partikular yang tercakup di bawahnya, dan hal-hal yang dikecualikan darinya.

Definisi ini menunjukkan sikap penulisnya yang melihat kaidah fiqhiyah telah mandiri sebagai ilmu tersendiri. Tentang kemandirian sebagai ilmu tersendiri ini masih menuntut kajian mendalam.

C.  Karya-karya
Setelah masa Abū Tāhir al-Dibāsī, muncullah karya-karya yang fokus pada kaidah fiqhiyah, di sini disajikan beberapa kitab sebagai berikut:
1.    Kitab Ta’sīs al-Nazar, karya Abu Zayd al-Dabūsī;
2.    Kitab Qawā‘id al-Ahkām fī Masālih al-Anām, karya ‘Izz al-Dīn ibn ‘Abd al-Salām;
3.    Kitab al-Furūq Anwār al-Burūq fī Anwa’ al-Furūq. Karya Ahmad ibn Idrīs al-Qarāfī;
4.    Kitab al-Qawā‘id, karya ‘Abd al-Rahmān ibn Rajab.
Kaidah dalam kitab-kitab di atas belum berbentuk seperti yang dikenal sekarang, baru pada kitab di bawah ini sistematika itu muncul:
5.    Kitab al-Asybāh wa al-Nazā’ir, karya al-Tāj al-Subkī;
6.    Kitab al-Asybāh wa al-Nazā’ir, karya al-Suyūtī;
7.    Kitab al-Asybāh wa al-Nazā’ir, karya Ibn Nujaym;
8.    Kitab Majāmi‘ al-Haqā’iq, karya Abū Sa‘īd al-Khādimī;
9.    Kitab al-Farā’id al-Bahiyyah al-Qawā‘id wa al-Fawā’id al-Fiqhiyyah, karya Syaykh Muhammad Hamzah al-Husaynī.

Daftar Pustaka

‘Azzām, ‘Abd al-‘Azīz Muhammad. Al-Qawā‘id al-Fiqhiyyah; Dirāsah ‘Ilmiyyah Tahlīliyyah Muqāranah. ‘Ayn al-Syams: Maktabah al-Risālah, 2000.
Al-Bahisayn, Ya‘qūb ibn ‘Abd al-Wahhāb. Al-Mufassal fī al-Qawā‘id al-Fiqhiyyah, cet. II. Riyad: Dār al-Tadmuriyyah, 2011.
Ibn Manzūr. Lisān al-‘Arab. Kairo: Dār al-Hadīth, 2003.  
Fayrūzābādī. Qāmūs al-Muhīt. Kairo: Hay‘at al-Misriyyah, 1301 H.
Jalāl al-Dīn al-Suyūtī, al-Asybāh wa al-Nazā’ir. Singapura: al-Harāmayn, 1960.
Al-Jarjānī. Kitāb al-Ta‘rīfāt. Singapura: al-Haramayn, t.th.
Khallāf, ‘Abd al-Wahhāb. ‘Ilm al-Usūl al-Fiqh, cet. XII. Kuwait: Dār al-Qalam, 1978.
Al-Marīnī, al-Jīlālī. Al-Qawā‘id al-Usūliyyah ‘ind al-Imām al-Syātibī: min Khalāl Kitābih al-Muwāfaqāt. Kairo: Dār Ibn al-Qayyim, 2002.
Al-Qarafi, Ahmad ibn Idrīs ibn ‘Abd Allāh al-Sanhājī. Kitāb al-Furūq Anwār al-Burūq fī Anwa’ al-Furūq. Tahkik: Muhammad Ahmad Sarrāj dan ‘Alī Jumu‘ah Muhammad. Kairo: Dār al-Salām, 2001.
Syalabī, Muhammad Mustafā. Usūl al-Fiqh al-Islāmī. Beirut: Dār al-Jāmi‘ah, 1974.
_____. Al-Madkhal fī Fiqh al-Islāmī. cet. X, Beirut: Dār al-Jāmi‘ah, 1985.
Zaydān, ‘Abd al-Karīm. Al-Madkhal li Dirāsat al-Syarī‘at al-Islāmiyyah. Iskandariah: Dār Ghabr ibn al-Khattāb, 1969.
_____. Al-Wajīz fī Syarh al-Qawā‘id al-Fiqhiyyah fī al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah. Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 2001.


[1] Ibn Manzūr. Lisān al-‘Arab (Kairo: Dār al-Hadīth, 2003), jld. VII, hlm. 434. Fayrūzābādī. Qāmūs al-Muhīt (Kairo: Hay‘at al-Misriyyah, 1301, H), jld. I, hlm. 365.
[2] Al-Jarjānī. Kitāb al-Ta‘rīfāt (Singapura: al-Haramayn, t.th.), hlm. 171.
[3] Zaydān, ‘Abd al-Karīm. Al-Wajīz fī Syarh al-Qawā‘id al-Fiqhiyyah fī al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah. Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 2001), hlm. 7.
[4] ‘Abd al-‘Azīz Muhammad ‘Azzām. Al-Qawā‘id al-Fiqhiyyah; Dirāsah ‘Ilmiyyah Tahlīliyyah Muqāranah (‘Ayn al-Syams: Maktabah al-Risālah, 2000), hlm. 46.
[5] Jalāl al-Dīn al-Suyūtī, al-Asybāh wa al-Nazā’ir, (Singapura: al-Harāmayn, 1960), hlm. 5.
[6] Ahmad ibn Idrīs ibn ‘Abd Allāh al-Sanhājī al-Qarāfī. Kitāb al-Furūq Anwār al-Burūq fī Anwa’ al-Furūq. Tahkik: Muhammad Ahmad Sarrāj dan ‘Alī Jumu‘ah Muhammad (Kairo: Dār al-Salām, 2001), jld. I, hlm. 72.
[7] Khallāf, ‘Abd al-Wahhāb. ‘Ilm al-Usūl al-Fiqh, cet. XII (Kuwait: Dār al-Qalam, 1978), hlm. 13, 140, dan 197.
[8] Al-Marīnī, al-Jīlālī. Al-Qawā‘id al-Usūliyyah ‘ind al-Imām al-Syātibī: min Khalāl Kitābih al-Muwāfaqāt (Kairo: Dār Ibn al-Qayyim, 2002), hlm. 55.
[9] Khallāf, ‘Ilm al-Usūl al-Fiqh, hlm. 197. ‘Abd al-Wahhāb Khallāf menyebut lima kaidah:
1.     المقاصد العام للشارع من تشريعه الأحكام هو اتحقيق مصالح الناس بكفالة ضرورياتهم، وتوفير حاجتهم و تحسينياتهم.
2.     أفعال المكلفين التي تعلقت بها الأحكام الشرعية، إن كان المقصود بها مصلحة المجتمع عامة فحكمها حق خالص لله وليس للمكلف فيه حيار، وتنفيزه لولي الأمر.
3.     لا مساغ للإجتهاد فيما فيه نص صريح قطعي.
4.     لا نسخ لحكم شرعي قي القرآن أو السنة بعد وفاة الرسول الله صلى الله عليه و سلم.
5.     إذا تعرض نصان ظاهرا وجب البحث و الإجتهاد في الجمع و التوفيق بينهما بطريق صحيح من طروق الجمع و التوفيق. فإن لم يمكن وجب البحث و الإجتهاد في ارجيح أحدهما بطريق من طرق الترجيح. 
[10] Khallāf, ‘Ilm al-Usūl al-Fiqh, hlm. 9.
[11] Muhammad Mustafā Syalabī. Usūl al-Fiqh al-Islāmī (Beirut: Dār al-Jāmi‘ah, 1974), hlm. 32, 56.
[12] ‘Azzām. Al-Qawā‘id al-Fiqhiyyah, hlm. 21.
[13] ‘Abd al-Karīm Zaydān. Al-Madkhal li Dirāsat al-Syarī‘at al-Islāmiyyah (Iskandariah: Dār Ghabr ibn al-Khattāb, 1969), hlm. 90. 
[14] ‘Azzām. Al-Qawā‘id al-Fiqhiyyah…, hlm. 10.
هي الحكم الكلي المنطبق على جميع جزئياته غالبا، لتعرف أحكامها منه.
Al-Qawā‘id al-fiqhiyyah adalah ketentuan umum yang—biasanya—cocok atas partikularnya sehingga status hukum partikular diketahui.
[15] Zaydān. Al-Wajīz, hlm. 7.
[16] ‘Azzām. Al-Qawā‘id al-Fiqhiyyah, hlm. 28.
[17] Syalabī. Al-Madkhal fī Fiqh al-Islāmī. cet. X (Beirut: Dār al-Jāmi‘ah, 1985), hlm. 326.
[18] Al-Suyūtī. Al-Asybāh, hlm. 6.
[19] ‘Azzām. Al-Qawā‘id al-Fiqhiyyah, hlm. 21.
[20] Ya‘qūb ibn ‘Abd al-Wahhāb al-Bahisayn. Al-Mufassal fī al-Qawā‘id al-Fiqhiyyah, cet. II (Riyad: Dār al-Tadmuriyyah, 2011), hlm. 21.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

QURBAN: ISHAK, ATAU ISMAIL? (Penafsiran Ayat 100-103 Surat al-Shaffat)

Kumpulan Kaidah Fiqhiyah

Demi Jiwa (Penafsiran Ayat 7-10 Surat al-Syams)

Bekas di Dahi (Penafsiran Ayat 29 Surat al-Fath)

Ayat-ayat Setan (Satanic Verses): Penafsiran Ayat 52 Surat al-Hajj

Hubungan Teori Sistem dengan Pendekatan Holistik dalam Ijtihad Kontemporer

Kumpulan Kaidah Maqasidiyah

Kembali ke Fitrah: Tafsir ayat 30 Surah al-Rum

Kumpulan Kaidah Usūliyyah