Paradigma Moderat Tafsir Kesetaraan Gender
A. Latar Belakang Masalah
Persoalan paradigmatik
dalam penafsiran ayat Alquran tidak bisa dinafikan. Hal ini merupakan konsekuensi
dari keberadaan Alquran sebagai teks berbahasa Arab, sebab hakikat bahasa
adalah simbol-simbol metaforis. Akibatnya penafsiran Alquran tak lepas dari pra
pemahaman atau paradigma penafsirnya. Hal inilah yang dijadikan dasar oleh kaum
feminis untuk menggugat penafsiran para ulama klasik yang dianggap bias gender
bahkan misoginis. Misalnya masalah penciptaan perempuan dalam Surah al-Nisa
ayat 1.
Para aktivis feminis menggolongkan
pemikiran tafsir klasik ke dalam paradigma teosentris-tekstual. Dengan berlatar
paradigma inilah mereka menghasilkan tafsir yang bias gender. Misalnya tentang
kepemimpinan politik perempuan, dikatakan ayat 34 Surah al-Nisa, oleh sebagian
ulama, selama ini dipahami sebagai ayat yang menempatkan kaum perempuan lebih
rendah dari pada kaum laki-laki. Lalu dikritik bahwa sebenarnya ayat tersebut
bukan berbicara dalam konteks kepemimpinan politik.[1]
Selain tafsir, bias serupa
yang kerap diekspos ada pada fikih dan turunannya yang berwujud peraturan
pemerintah. Misalnya dalam kutipan berikut:[2]
Contoh paling kasat mata adalah berbagai kebijakan publik
yang diskriminatif terhadap perempuan. Misalnya, Perda larangan keluar malam
bagi perempuan, Perda larangan memakai celana panjang, dan Perda wajib
berbusana tertentu bagi PNS. Komnas Perempuan dalam Laporan Akhir Tahun 2013
menyebutkan sejumlah 325 Perda dan kebijakan publik yang diskriminatif terhadap
perempuan.
Perhatikan, ketika kaum
feminis mendeskripsikan masalah, dipakai ungkapan yang seakan ‘memojokkan’ para
mufasir atau fukaha sebagai yang ‘merendahkan perempuan’ atau ‘diskriminasi
terhadap perempuan’ sehingga terkesan menjadi tertuduh. Lebih jauh lagi masalah
diperbesar, bahwa perempuan telah dieksploitasi atas nama agama:[3]
Setelah Rasul wafat, ajaran luhur tentang kemuliaan
perempuan dan relasi gender yang adil dan setara tidak lagi sepenuhnya
terimplementasi dalam kehidupan masyarakat, termasuk di Indonesia. Umat Islam
kembali menerapkan tradisi jahiliyah yang memandang hina perempuan. Mereka
mulai melakukan berbagai diskriminasi, kekerasan dan bahkan eksploitasi
terhadap perempuan dan fatalnya itu dilakukan dengan mengatasnamakan Islam.
Sungguh ironis!!!
Kalimat seperti ini muncul
karena cara berpikir ekstrem, akibatnya terbangun dua kubu yang seolah saling
beroposisi. Penggunaan kata merendahkan dan memuliakan menjadi dua sisi
dikotomik karena yang satu berkonotasi negatif dan yang lain positif.
Berdiri pada posisi yang
berseberangan dengan mufasir yang dikritiknya, kaum feminis berangkat dari
paradigma antroposentrisme. Jika mufasir/fukaha klasik dianggap berparadigma
teosentris-tekstual, maka sebaliknya kaum feminis menganut paradigma
antroposentris-kontekstual yang juga berada pada posisi ekstrem. Dengan
menggunakan pendekatan historis atau dekonstruksi kaum feminis terlepas dari
teks, akibatnya menjadi liberal, kebalikan dari mufasir yang dianggapnya
literal.
Penafsiran yang ekstrem
terhadap Alquran bukan hal baru, baik ekstrem literal mau pun ekstrem liberal.
Sejarah kalam mencatat lahirnya aliran-aliran pemikiran ekstrem, seperti
Jabbariyyah yang ekstrem teosentris dan Qadariyyah yang ekstrem antroposentris.
Demikian pula dalam sejarah fikih, tercatat mazhab-mazhab yang beraliran
ekstrem, baik ekstrem normatif-tekstual (madrasah ahl al-ḥadīṡ)
maupun ekstrem empiris-kontekstual (madrasah ahl al-ra’y).
Padahal Alquran mengajarkan moderasi, perhatikan ayat berikut:
أَفَلَا
يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا
فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا (النساء: 82)
Tidakkah mereka merenungi Alquran, kalau bukan dari sisi
Allah sungguh di dalamnya terdapat kontradiksi. (QS. Al-Nisa’ [4]: 82)
Menurut al-Qurṭubī, ayat
ini merupakan dalil keharusan berpikir (nalar), istidlal, meninggalkan taklid
buta, dan sekaligus dalil atas keberlakuan kias.[4] Pendapat al-Qurṭubī ini menunjukkan bahwa tadabbur
dalam ayat ini berkaitan dengan epistemologi, yaitu kaidah tafsir rasional,
sistematis dan tidak kontradiktif. Menurut Ibn ‘Āsyūr, tadabbur terhadap
Alquran dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, menghayati ayat per
ayat (tafṣīlī) dengan mengkaji petunjukan ayat terhadap makna yang
dikandungnya. Kedua, menghayati Alquran secara keseluruhan, yaitu
mengkaji aspek balagahnya sehingga tampak Alquran itu benar-benar dari Allah
dan kandungannya benar. Cara yang kedua mengantarkan pada temuan tidak adanya
pertentangan antar satu dan lain ayat Alquran.[5]
Ayat di atas menunjukkan
bahwa indikator moderasi adalah tidak ada kontradiksi. Namun sedikit umat Islam
yang paham hakikat moderasi. Perhatikan kutipan berikut:[6]
Yang menarik untuk diperhatikan, tingkat kemoderatan
pendapat keempat imam madzhab tersebut tidak terikat dengan kurun waktu kapan
mereka hidup. Imam Abu Hanifah adalah yang paling tua, tetapi mempunyai
pendapat yang paling moderat, dan Ahmad bin Hanbal paling muda tetapi
pendapatnya cenderung lebih ketat. Seolah-oleh dapat dikesankan bahwa makin
dekat periode itu pada zaman Nabi Muhammad, makin moderat pula pandangan ulama
tersebut.
Sebenarnya moderasi tidak
terkait dengan masa, sebab ia masalah metode yang berakar pada paradigma
berpikir, maka penting mengkaji tentang paradigma moderat. Adapun fokus pada
tafsir karena perannya yang vital dalam penemuan hukum Islam, bahkan diyakini memiliki
akar paradigmatik yang sama dengan paradigma tafsir.
Adapun konsep moderasi
yang dijadikan kerangka teoretik tulisan ini diambil dari konsep yang
dikemukakan oleh Kuntowijoyo. Ia mengatakan:[7]
Agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai
satu-satunya sumber pengetahuan dan melupakan kecerdasan manusia, atau
sebaliknya, menganggap pikiran manusia sebagai satu-satunya sumber pengetahuan
dan melupakan Tuhan. Jadi sumber pengetahuan itu dua macam, yaitu yang berasal
dari Tuhan dan yang berasal dari manusia, dengan kata lain teoantroposentrisme.
Konsep yang diajukan
Kuntowojoyo ini bisa diringkas sebagai moderasi-dualisme, yaitu cara pikir yang
menerima dan memadukan dua sisi ekstrem sehingga menjadi pola berpikir
multiperspektif dan multidimensional. Pola pikir ini kebalikan dari pola pikir
monisme, yaitu penganut realitas tunggal.[8] Konsep moderasi-dualisme
ini digunakan untuk menyorot masalah yang menjadi fokus kajian tulisan ini,
yaitu tentang paradigma moderat dalam tafsir kesetaraan gender.
B.
Pembahasan
1.
Pengertian paradigma
Menurut Heddy Shri
Ahimsa-Putra, paradigma adalah seperangkat konsep yang berhubungan satu sama
lain secara logis membentuk sebuah kerangka pemikiran, yang digunakan untuk
memahami, menafsirkan dan menjelaskan kenyataan dan/atau masalah yang dihadapi.[9] Menurut
Thomas S. Kuhn, paradigma adalah keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai,
teknik dan sebagainya yang dimiliki secara bersama oleh suatu komunitas
tertentu.[10]
Kuhn memasukkan beberapa unsur paradigma dalam definisinya. Dalam artian luas paradigma dapat dijelaskan sebagai wacana
atau diskursus (discourses) yang disepakati dalam suatu diskusi untuk
membangun konsep keilmuan tertentu.[11] Sebagai sebuah diskursus, paradigma tersusun dari sembilan
unsur berikut: 1) nilai-nilai; 2) asumsi-asumsi; 3) model; 4) masalah yang
diteliti; 5) konsep-konsep; 6) metode penelitian; 7) metode analisis data; 8) teori;
dan 9) representasi atau etnografi.[12]
Keberadaan tiga dari
sembilan unsur di atas bersifat implisit, yaitu nilai, asumsi dasar dan model.[13]
Oleh karena itu, ketiga unsur tersebut tidak mudah diidentifikasi, bahkan bisa
jadi si pemilik pemikiran sendiri tidak menyadarinya. Ketiga unsur tersebut
cukup menentukan dalam suatu pemikiran, termasuk dalam penafsiran Alquran. Jadi
penting untuk dimoderasi sehingga tulisan ini fokus pada nilai, asumsi dasar
dan model.
Tiga unsur tersebut merupakan bagian dari apa yang disebut oleh Thomas S. Kuhn sebagai empat matriks disipliner, yaitu:
1) generalisasi simbolik; 2) paradigma metafisis; 3) nilai; dan 4) eksemplar.[14]
Generalisasi simbolik adalah model, paradigma metafisis adalah asumsi dasar,
sedangkan nilai adalah kriteria atau patokan yang digunakan untuk menentukan
apakah sesuatu itu baik atau buruk, benar atau salah, bermanfaat atau tidak. Menurut
Ahimsa-Putra, dengan patokan inilah seorang ilmuwan akan menilai hasil
penelitian ilmuwan yang lain, kinerja mereka atau produktivitas mereka.[15] Adapun
eksemplar, oleh Kuhn diartikan sebagai pemecahan masalah konkret yang dihadapi
oleh pelajar sejak pertama kali menekuni pendidikannya, baik di laboratorium,
ujian, maupun bab terakhir karya sainsnya.[16] Jadi
pada eksemplar bisa ditemukan paradigma.
Mari memahami unsur yang
pertama, yaitu nilai. Menurut KBBI, nilai adalah sifat-sifat (hal-hal) yang
penting atau berguna bagi kemanusiaan.[17] Dalam kamus filsafat, kata qīmah (Arab) dipadankan dengan
kata valuer (Perancis) dan value (Inggris) yang berasal dari
kebenaran (ḥaqq) dan kebaikan (khair). Dikatakan nilai bersifat
konkret (‘ayniyyah) dan imanen (kāminah), baik dalam perkataan
(pengetahuan), perbuatan (akhlak) mau pun benda (asyyā’).[18] Dalam konteks paradigma
keilmuan, menurut Kuhn, nilai berguna untuk membuat justifikasi terhadap teori
dan mengidentifikasi krisis. Ia mencontohkan nilai seperti perkiraan yang
akurat, perkiraan kuantitatif yang lebih disukai, marjin kesalahan yang
dibolehkan dan konsistensi.[19] Dalam
konteks tafsir kesetaraan gender, nilai dipakai oleh kaum feminis untuk mengukur
baik-buruk atau benar salah metode penafsiran, teori tafsir dan hasil penafsiran
para mufasir atau fukaha klasik.
Unsur yang kedua asumsi
dasar, oleh Thomas S. Kuhn disebut paradigma metafisis. Menurut filsafat ilmu, asumsi dasar membentuk landasan
filosofis ilmu dan berperan memberi
kerangka, mengarahkan, dan menentukan corak keilmuan yang dihasilkan.[20] Ilmu
tafsir mengasumsikan hakikat ontologis (māhiyah) dari objek material
kajiannya (mawḍū‘) sebagai sesuatu yang ada secara inderawi. Ini
merupakan konsekuensi dari sifat empiris (maḥsūs) lafaz ayat Alquran yang
bisa diucap, dibaca dan bisa didengar. Tetapi yang menjadi fokus kajian (objek
formal) ilmu tafsir bukan teks, melainkan makna yang terkandung di dalam teks. Objek
formal (al-istimdād al-isnādiyyah) ini berupa faktor ekstrinsik (isnādiyyah)
yang berhubungan langsung dengan asumsi dasar epistemologis (kayfiyyah).[21] Faktor
ekstrinsik dimaksud adalah asumsi tentang cara-cara yang diyakini dapat
mengantar pada penemuan makna objektif dari ayat Alquran. Dari itu, metode
tafsir merupakan turunan dari asumsi dasar epistemologis keilmuan tafsir.
Unsur yang ketiga adalah
model yang disebut generalisasi simbolik oleh Thomas S. Kuhn. Generalisasi
simbolik berfungsi seperti hukum alam, tetapi sebagian darinya juga berfungsi
seperti layaknya definisi.[22] Contoh
generalisasi simbolik yang berfungsi seperti hukum alam, misalnya anggapan
bahwa tafsir yang benar bisa diperoleh dari petunjukan teks nas (al-‘ibrah
bi ‘umūm al-lafẓ, lā bi khuṣūṣ al-sabab). Model adalah perumpamaan,
analogi, atau kiasan tentang gejala yang dipelajari.[23] Dalam
konteks keilmuan tafsir, model kerap ditamsilkan seperti air dan wadah
penampungnya. Seorang penafsir akan mengambil air (makna) tapi ia tidak boleh
membuang wadahnya (teks).
Ketiga unsur yang
diuraikan ini (nilai, asumsi dasar dan model) harus dimoderasi, sebab ketiga
unsur ini kerap menimbulkan paradigma berpikir ekstrem. Namun sebelum itu,
harus dipahami lebih dahulu konsep moderasi yang dimaksud.
2.
Pengertian moderasi
Menurut KBBI moderat
berarti selalu menghindari perilaku atau pengungkapan yang ekstrem, atau
kecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah.[24] Berasal
dari bahasa Inggris, kata ‘moderate” sepadan dengan kata “mu‘tadil”
atau “mutawasiṭ”[25]
yang dalam bahasa Arab berarti pertengahan,[26] sebab
kata wasaṭa (w, s, ṭ) berarti sesuatu yang berada
di antara dua tepi.[27]
Menurut ‘Alī Muḥammad al-Ṣalābī, maknanya tidak lepas dari arti kebaikan (al-khayriyyah)
dan pertengahan (al-bayniyyah).[28]
Adapun wacana Alquran tentang wasaṭiyyah dapat dilihat dalam penggunaannya
pada ayat berikut:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ
يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ
لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ
إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ (البقرة: 143)
Dan demikian (pula) Kami telah
menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi
saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas
(perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu
(sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti
Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat
berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan
Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang kepada manusia. (QS. al-Baqarah [2]: 143).
Menurut al-Ṭabarī, kata “wasaṭa”
dalam ayat ini bermakna pertengahan “al-‘adl,” artinya orang-orang yang baik
“al-khayyār.” Sebab manusia yang baik adalah orang yang bersikap
pertengahan.[29]
Para mufasir menafsirkan ayat ini dengan merujuk ayat berikut:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ
آَمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ
وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ (آل عمران: 110)
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik
bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasik. (QS. Ali ‘Imran [3]: 110).
Menurut Ibn ‘Āsyūr, dua
ayat ini merupakan pujian untuk kaum muslimin, karena Allah mempersiapkan
mereka untuk suatu keutamaan. Mereka dilengkapi dengan bekal yang menjadikan
mereka moderat (tawāsuṭ), yaitu berupa ajaran syariat yang tipologinya
menuntun pikiran. Dengan demikian, selama mengikuti syariat, umat Islam tidak
akan jatuh dalam kesesatan. Inilah yang membedakan umat Islam dari apa yang
terjadi terhadap kebanyakan umat nabi-nabi lainnya.[30]
Merujuk penjelasan Ibn
Āsyūr ini dapat disimpulkan bahwa moderatisme Islam berarti ajarannya yang
pertengahan. Lalu umat Islam dikatakan sebagai umat moderat karena timbul sikap
pertengahan sebagai akibat mengamalkan ajaran Islam. Melihat ajaran Islam dalam
Alquran dan Sunah, maka diyakini ajaran Islam bersifat moderat dalam ontologi,
epistemologi dan aksiologinya.
Mengingat ajaran Islam
bersumber dari Alquran dan Sunah, maka di satu sisi ajaran Islam bersifat
teosentris dan di sisi lain bersifat antroposentris. Ajaran yang teosentris
belaku tetap, yaitu tentang akidah, ibadah, akhlak, dan sebagian masalah khusus
yang terkait dengan hubungan antarindividu (baik perdata mau pun pidana).
Sementara ketentuan yang terkait dengan muamalah termasuk dalam jenis kedua,
hanya disyariatkan kaidah-kaidah dasarnya saja yang bersifat umum. Misalnya
musyawarah (al-syūrā), persamaan di depan hukum (al-musāwah),
keadilan (al-‘adālah), tidak memberatkan (lā ḍarara wa lā ḍirāra)
dan kaidah-kaidah lain yang menjadi dasar bagi furū‘.[31]
3.
Moderasi dalam penafsiran Alquran
Kata tafsīr berarti
menjelaskan (al-iḍāḥ wa al-tabyīn).[32]
Dalam KBBI, kata tafsir diartikan sebagai keterangan atau penjelasan tentang
ayat-ayat Alquran agar maksudnya lebih mudah dipahami.[33]
Secara terminologis, kata tafsir berarti ilmu yang dengannya diketahui tentang
pemahaman kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi saw., penjelasan makna dan
hukum-hukum yang dikeluarkan darinya.[34] Pengertian
ini beda dengan takwil.
Kata ta’wīl secara
bahasa berarti kembali (al-rujū‘),[35]
seolah-olah seorang mufasir mengembalikan ayat Alquran kepada apa yang menjadi
kandungan maknanya.[36]
Dalam KBBI, kata takwil berarti penafsiran makna ayat Alquran, mengandung
pengertian yang tersirat (implisit).[37]
Secara terminologis, menurut ‘Alī al-Ṣābūnī, takwil berarti tarjih sebagian
makna yang diragui (muḥtamal) dari ayat Alquran yang memiliki beberapa
makna.[38]
Menurut Mannā‘ al-Qaṭṭān takwil dan tafsir dipandang sama oleh ulama klasik,
tapi ulama masa kini membedakannya. Maka takwil ia beri arti memalingkan lafaz
dari makna yang jelas ke makna yang kurang jelas berdasar dalil yang
menyertainya.[39]
Berdasarkan uraian ini,
jelaslah persoalan tafsir berkisar pada pengungkapan makna ayat Alquran, antara
teks (ṣīghat) dengan konteks (al-ma‘nā). Oleh karena tafsir
selalu beranjak dari teks/nas (ṣīghat), maka timbul perbedaan tafsir. Menurut
al-Rāzī (w. 606 H/1210 M) perbedaan ini merupakan fitrah, sebab petunjukan nas (ṣīghat)
kepada makna sangat bergantung pada sepuluh perkara yang semuanya bersifat ẓannī:[40]
1. Bergantung kepada mufradāt
secara bahasa, naḥw, dan taṣrīf yang diriwayatkan oleh sedikit
orang sehingga tidak lepas dari kemungkinan salah, dari itu ia bersifat ẓannī.
2. Bergantung pada ketiadaan isytirāk,
karena isytirāk pada kata dan kalimat berakibat pada kemungkinan menyipang
dari makna yang sebenarnya. Bahkan dugaan tidak adanya isytirāk itu
sendiri bersifat probabilitas (maẓnūn), tidak bisa dipastikan.
3. Bergantung pada kaidah;
bahwa pada dasarnya yang dimaksud dalam suatu ungkapan adalah makna denotasi (ḥaqīqah),
sebab tidak jarang yang dimaksud justru makna konotatif (metafor/majāzī).
Jadi makna denotasi masih bersifat probabilitas (maẓnūn).
4. Bergantung pada tidak
adanya kata tersembunyi (al-iḍmār dan al-ḥaẓf).
5. Bergantung pada tidak
adanya yang didahulukan dan yang diakhirkan dalam struktur kalimat, misalnya
mendahulukan objek dari subjek, ini juga probabilitas (maẓnūn).
6. Bergantung pada ketiadaan
pengkhusus (takhṣīṣ), kebanyakan kata umum dalam nas syariat memiliki mukhaṣṣiṣ,
jadi ketiadaan mukhaṣṣiṣ juga probabilitas (maẓnūn).
7. Bergantung pada ketiadaan
pertentangan. Dalil-dalil lafẓiyyah mungkin saja memiliki pertentangan
sehingga diperlukan tarjīḥ, jadi ketiadaan pertentangan adalah maẓnūn.
8. Bergantung pada ketiadaan
pertentangan dengan akal yang mengharuskan berpaling dari lahiriah teks.
Menyatakan dalil lafẓiyyah tidak bertentangan dengan dalil akal
menunjukkan sifatnya yang berupa probabilitas semata (maẓnūn).
9. Dalil lafẓiyyah
yang naqliyyah ada yang pasti karena mutawatir, tapi dimungkinkan
ẓannī pada dilālah-nya, maka qaṭ‘ī dilālah bersifat
probabilitas (maẓnūn).
10. Petunjukan lafaz Alquran
kepada makna tidak lepas dari kemungkinan pemahaman atas lawannya, dari itu dilālah
lafẓiyyah bersifat ẓanniyyah.
Uraian al-Rāzī ini
menunjukkan bahwa inti masalah tafsir tersimpul pada satu persoalan, yaitu
tentang dilālah. Masalahnya, apakah dilālah itu sifat bagi
pendengar (al-sāmi‘) atau sifat bagi lafaz? Dengan kata lain, apakah dilālah
itu pemahaman subjektif pembaca (al-fahm), atau makna objektif (al-ifhām)
dari lafaz? Imam al-Zarkasyī (w. 794 H/1392 M) memilih yang kedua, bahwa dilālah
adalah sifat bagi lafaz. Ia mengkritik pendapat Ibn Sīnā (w. 428 H/1037 M) yang
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-fahm adalah al-ifhām. Menurut
al-Zarkasyī keduanya berbeda, sebab al-fahm adalah sifat bagi pendengar
(al-sāmi‘), sedangkan al-ifhām adalah sifat bagi pembicara (al-mutakallim),
atau secara metafor (majāzī) disebut sifat bagi lafaz.[41]
Pada diskusi ini tampak
paradigma ekstrem dalam menyikapi tafsir, sebab pendapat yang mengidentikkan dilālah
dengan al-fahm berujung pada salah satu dari dua sikap ekstrem: 1) meyakini
semua tafsir benar, padahal nyatanya ada tafsir yang keliru; 2) menolak kemungkinan
adanya tafsir yang objektif, padahal tujuan teks justru untuk menyampaikan
makna. Sebagaimana dikatakan oleh al-Syātibī, bahwa syariat diturunkan dalam bahasa Arab untuk dipahami oleh umat (wad‘ al-syarī‘ah li al-ifhām),[42] maka tidak logis jika
dikatakan tidak ada tafsir yang bisa sampai pada makna (al-ifhām).
Sampai di sini dapat
disimpulkan adanya dua paradigma ekstrem dalam bidang tafsir. Pertama paradigma
pluralisme tafsir, yaitu mereka yang melihat semua tafsir itu benar, akibatnya
kelompok ini mengalami kontradiksi ketika berbicara tentang kekeliruan tafsir
tertentu. Kedua, mereka yang menganut nihilisme dalam tafsir, akibatnya mereka
jatuh dalam kontradiksi internal, karena apa yang mereka tafsirkan juga harus
dinyatakan nihil. Oleh karena itu, kedua paradigma ekstrem ini harus
dimoderasi.
Sikap moderat bisa dilihat
pada pendapat yang menyatakan bahwa dilālah adalah al-ifhām,
sebab mengakui adanya potensi salah dan benar dalam penafsiran, dan juga meyakini
adanya cara untuk mencapai penafsiran yang objektif. Seperti diingatkan oleh al-Ghazālī,
agar di satu sisi tidak mendustakan akal, dan di sisi lain tidak memaksakan
takwil.[43]
Oleh karena itu, perlu dibangun kesadaran epistemologis, agar penafsiran
dilakukan dengan metode yang moderat dan holistik, tidak subjektif dan
atomistik.[44]
4.
Paradigma moderat dalam tafsir kesetaraan gender
Uraian terdahulu telah
membicarakan tiga unsur paradigma yang implisit, yaitu nilai, asumsi dasar dan
model. Sekarang ketiga unsur paradigma tersebut didiskusikan dalam konteks
tafsir kesetaraan gender. Untuk itu diambil satu contoh, yaitu tentang
penciptaan perempuan yang dibahas cukup komprehensif oleh Nurjannah Ismail
dalam bukunya Perempuan dalam Pasungan, terbit pertama
kali tahun 2003. Contoh ini hanya dijadikan sarana untuk mendemonstrasikan
hakikat paradigma moderat. Sebab hakikat ontologis paradigma yang meng-‘ada’
secara abstrak-konseptual menjadikannya sulit dipahami jika dijelaskan secara
deskriptif saja. Oleh karena itu, diperlukan contoh kasus sehingga pembaca
dapat mengilustrasikan keberadaan paradigma moderat tersebut.
Mengawali diskusi ini,
mari mengingat kembali permasalahan pokok seputar tiga unsur paradigma yang
implisit:
1.
Nilai, berguna untuk
membuat justifikasi terhadap teori dan mengidentifikasi krisis;
2.
Asumsi dasar tentang cara
yang dapat mengantar pada penemuan makna objektif;
3.
Model, yaitu perumpamaan,
analogi, atau kiasan tentang gejala yang dipelajari.
Perlu diingatkan bagi
pembaca yang menaruh minat, hendaknya membaca referensi di atas, sebab di sini
hanya dikutip inti yang memenuhi syarat sebuah kasus penelitian.
a.
Moderasi pada nilai
Sebagaimana dikatakan di
awal, bahwa ketiga unsur paradigma di atas bersifat implisit, sehingga bisa
saja pemilik pemikiran sendiri tidak menyadari paradigma yang menuntunnya
sampai pada simpulan. Perhatikan paragraf berikut:[45]
Ayat-ayat yang dikemukakan di atas memberikan informasi
bahwa penciptaan manusia sejak awal tidak menunjukkan adanya perbedaan
substansi antara laki-laki dan perempuan. Demikian juga dalam proses reproduksi
selanjutnya, tidak ditemukan perbedaan. Keduanya dinyatakan bersumber dari
unsur yang sama dan dalam mekanisme yang sama. Tidak terdapat perbedaan secara
substansial dan secara struktural antara keduanya. Dengan demikian, secara
alamiah dalam proses keberadaan laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan.
Oleh karena itu tidak bisa dicari-cari alasan untuk memojokkan perempuan atau
mengistimewakan salah satu jenis kelamin manusia.
Perhatikan kalimat
penyimpul pada paragraf ini; “Oleh karena itu tidak bisa...” di sini terkandung
nilai yang menurut Thomas S. Kuhn berguna untuk membuat justifikasi terhadap
teori dan mengidentifikasi krisis. Dalam konteks justifikasi terhadap teori,
bisa ditelusuri tentang ukuran akurasi tafsir menurut penulis ini, marjin
kesalahan yang ditoleransi dan ukuran konsistensi yang bagi penulis ini
diterima sebagai dasar dalam menilai kebenaran sebuah tafsir. Adapun dalam
konteks identifikasi krisis, bisa ditelusuri ada indikator yang dijadikan
sebagai batas keberlakuan teori penafsir yang dikritiknya.
Dalam sebuah tafsir, nilai
haruslah inheren di dalam ayat yang ditafsirkan. Dengan kata lain, nilai
tersebut ditunjukkan oleh struktur yang terbangun dalam wacana ayat yang
ditafsir. Jika pada teks dan konteks ayat tidak berhasil dibangun strukturnya,
maka nilai tidak memiliki landasan sehingga tidak bisa dijadikan dasar untuk melakukan
justifikasi terhadap sebuah tafsir. Adapun struktur itu sendiri terbangun dari
jalinan antara asumsi dasar dan model yang padu dan tidak mengalami kontradiksi
internal.
Tampak di sini betapa
nilai terkait langsung dengan asumsi dasar dan model. Maka dua unsur ini harus
dibahas terlebih dahulu, baru kembali lagi pada diskusi tentang nilai.
b.
Moderasi pada asumsi dasar
Unsur paradigma implisit
yang kedua adalah asumsi dasar, atau disebut paradigma metafisis oleh Kuhn, yaitu asumsi tentang cara-cara
yang diyakini dapat mengantar pada penemuan makna objektif. Perhatikan kalimat
pembuka pada paragraf simpulan di atas, dimulai dengan kalimat: “Ayat-ayat yang
dikemukakan di atas memberikan informasi bahwa...” Ini menunjukkan asumsi dasar
epistemologis, bahwa tafsir secara tafṣīlī terhadap satu ayat saja tidak
memberikan hasil yang objektif, yaitu terhadap ayat berikut:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ
الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ
مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ
بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (1)
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS.
Al-Nisa’ [4]: 1)
Asumsi dasar epistemologis
tersebut jelas menjadi keyakinan yang dipegang teguh oleh penulis ini. Buktinya
ia bersungguh-sungguh melakukan eksplorasi terhadap ayat-ayat yang bertemakan
penciptaan manusia (tafsir mauḍū‘ī), setelah itu baru ia simpulkan. Hal
ini menimbulkan pertanyaan, apakah tafsir yang benar hanya secara mauḍū‘ī?
Perlu diketahui, pola tafsir
mauḍū‘ī dicetuskan pertama kali oleh al-Syāṭibī yang disebut al-istiqrā’
al-ma‘nawī.[46] Maka
lahir metode baru yang menggeneralkan nas-nas partikular (juz’iyyāt)
menjadi universal (kullī) sebagai satu kesatuan utuh (al-wiḥdah).[47] Metode
istiqrā’ dapat mencapai derajat qaṭ‘ī karena bisa dilakukan
induksi sempurna (al-istiqrā’ al-tāmm). Tapi tidak semua masalah
tersedia nas yang cukup untuk di-istiqrā’ dan tidak semua kaidah
universal (qawā‘id kulliyyah) mencapai derajat qaṭ‘ī. Maka mensyaratkan
kepastian dalam hal ini adalah bertentangan dengan kenyataan.[48]
Oleh karena itu, Syaikh Ibn ‘Āsyūr memanfaatkan alternatif istidlāl
lainnya, yaitu:
1.
Berpegang pada istiqrā’
terhadap ketetapan syarak, baik al-‘illah maupun dalilnya;[49]
2.
berpegang pada satu ayat
Alquran yang jelas dilālah-nya, yaitu ayat-ayat yang lemah petunjukannya
pada makna kedua. Jadi dengan lemahnya petunjukan makna kedua, maka makna
pertama yang merupakan pemahaman yang jelas dari lahiriah kebahasaan ayat dapat
diyakini sebagai pemahaman yang benar;[50]
3. berpegang pada hadis-hadis mutawatir, baik mutawātir
ma‘nawī ma pun ‘amalī.[51]
Ketiga cara ber-istidlāl
di atas memperlihatkan sikap moderat Ibn ‘Āsyūr yang tidak membatasi dalil
hanya kepada hasil istiqrā’, sebab belum tentu tersedia cukup ayat untuk
digeneralisasi. Dengan demikian, pendapat yang menetapkan tafsir tematik (tafsir
mauḍū‘ī) sebagai satu-satunya metode tafsir yang valid adalah ekstrem.
Demikian pula pendapat yang mencukupkan tafsir secara tafṣīlī saja,
menjadi ekstrem karena menolak potensi tafsir yang lebih komprehensif melalui
metode tafsir tematik (tafsir mauḍū‘ī).
c.
Moderasi pada model
Unsur paradigma implisit
yang ketiga adalah model yang oleh Thomas S. Kuhn disebut generalisasi
simbolik, ia berfungsi seperti hukum alam. Kembali pada paragraf yang dijadikan
contoh kasus di atas, bisa ditemukan penggunaan satu model. Untuk memahaminya perhatikan kata yang dipertebal pada kalimat ini:
“...bahwa penciptaan manusia
sejak awal tidak menunjukkan adanya perbedaan substansi antara laki-laki
dan perempuan. Demikian juga dalam proses reproduksi selanjutnya, tidak
ditemukan perbedaan. Keduanya dinyatakan bersumber dari unsur yang sama dan
dalam mekanisme yang sama. Tidak terdapat perbedaan secara substansial dan
secara struktural antara keduanya....”
Di sini tampak model penyisihan makna tekstual untuk beralih pada makna
kontekstual, yaitu lewat justifikasi istiqrā’ yang menganut kebenaran koherensi.[52]
Berdasar teori koherensi, suatu pernyataan dianggap benar, bila pernyataan itu
bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang
telah dianggap benar. Sebaliknya, berdasar teori korespondensi, suatu
pernyataan dianggap benar jika berhubungan (berkorespondensi) dengan objek yang
dituju oleh pernyataan tersebut.[53]
Dalam tafsir Alquran, harusnya dua ukuran kebenaran ini dimoderasi, sebab bisa
jadi ada informasi khusus yang mengharuskan satu ayat dikeluarkan dari konsep
general tertentu.
5.
Paradigma moderat dalam tafsir ayat penciptaan perempuan
Uraian di atas menunjukkan
adanya paradigma ekstrem dan juga moderat dalam tiga unsur paradigma yang implisit.
Moderasi di sini dapat diringkas sebagai berikut:
Unsur Paradigma |
Ekstrem tekstual |
Ekstrem kontekstual |
Moderasi |
Nilai |
Nilai adalah subjektif |
Nilai adalah objektif |
Nilai berdasar struktur |
Asumsi dasar epistemologis |
Tafsir hanya valid secara tafṣīlī |
Tafsir hanya valid secara mauḍū‘ī |
Mengikuti umum-khusus &
kuantitas ayat setema |
Model |
Menolak konteks |
Meninggalkan teks |
Menjaga stabilitas relasi teks dan makna |
Merujuk pada konsep
moderasi-dualisme, tampak bahwa sikap dualisme dalam rangka moderasi dilakukan terhadap
tiga unsur paradigma: 1) moderasi nilai (aksiologi) antara teosentrisme dan
antroposentrisme; 2) moderasi asumsi dasar (epistemologi), yaitu antara
tekstualisme dan kontekstualisme; dan 3) moderasi model (ontologi) antara
univesalia dan partikularia. Mari melihat ketiga konteks moderasi ini dengan
cara merujuk satu penafsiran, untuk itu dipilih tafsir Ibn ‘Āsyūr.
Membaca kitab Tafsīr
al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, Ibn ‘Āsyūr mengawali tafsirnya dengan mengemukakan
tujuan ayat, yaitu untuk menyampaikan bahwa umat manusia berasal dari satu
keturunan sehingga pantaslah mereka menganut satu i‘tiqād. Kemudian ia
menjelaskan bahwa kata “nafs wāḥidah” dalam ayat berarti Nabi
Adam as., dan kata “khalaqa minhā” berarti bagian (tab‘iḍiyyah),
maka lahir ayat menunjukkan bahwa Hawa diciptakan dari Adam. Lalu dikutip
beberapa pendapat yang mengatakan penciptaan itu bukan dari bagian tubuh Adam
tanpa menyalahkan pendapat-pendapat tersebut.[54]
Satu hal yang menarik dari
Ibn ‘Āsyūr, ia melihat redaksi ayat ini mengandung satu informasi khusus, yaitu
keajaiban penciptaan Hawa dari Adam. Ia mengatakan:[55]
ولو غير هذا الأسلوب فجيء بالصورة المفصّلة دون
سبق إجمال، فقيل: الذي خلقكم من نفس واحدة وبثّ منها رجالاً كثيراً ونساء لفاتت
الإشارة إلى الحالة العجيبة.
Jika uslub ini diubah
menjadi bentuk rincian yang tidak diawali oleh uraian global, maka redaksinya
menjadi: “...menciptakan kamu dari diri yang satu dan memperkembang biakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak...” Kalau begitu sungguh luputlah isyarat
terhadap peristiwa yang luar biasa tersebut (al-‘ajībah).
Isyarat terhadap
penciptaan yang luar biasa ini didukung oleh Hadis yang mengatakan Hawa
diciptakan dari tulang rusuk Adam. Mengikuti keterangan Hadis ini, maka “min”
pada ayat dimaknai “ibtidā’” (awal mula penciptaan) sehingga redaksinya
menjadi: “akhraja khalq Hawā min ḍal‘ Ādam.”
Bagi Ibn ‘Āsyūr, ini tidak kontradiktif, sebab penggunaan kata zawj di
kalangan orang Arab bersifat netral, digunakan untuk pria dan wanita. Bahkan menurut
Ibn ‘Āsyūr, penggunaan kata zawjah secara khusus bagi perempuan bukanlah
kalam yang fasih dalam bahasa Arab.[56]
Memerhatikan uraian Ibn
‘Āsyūr ini, maka jelaslah ayat 1 Surah Al-Nisa’ ini memuat informasi spesifik
yang tidak ada pada ayat lainnya. Ini informasi teosentris, karena menjelaskan
‘perbuatan Allah’ dalam proses penciptaan Hawa yang tidak bisa diselidiki
benar-salahnya. Oleh karena informasi ini berada dalam dimensi ilahiah, maka
penerimaan atasnya didasari oleh iman semata, bukan landasan kebenaran ilmiah.
Berikutnya dilihat dari asumsi
dasar atau paradigma metafisis. Epistemologi Ibn ‘Āsyūr dalam menafsirkan ayat
ini dibangun dari moderasi terhadap teks dan konteks. Ia menimbang kemungkinan
makna kontekstual dengan menyitir ragam pendapat tentang penciptaan Hawa dari
Adam. Tetapi karena menangkap adanya isyarat tentang informasi khusus, maka ia bertahan
pada kekhususan tersebut dan tidak melakukan takwil. Dengan demikian, moderasi
di sini berarti menempatkan ayat sesuai konteksnya.
Adapun dari aspek model,
penafsiran Ibn ‘Āsyūr ini cukup moderat, karena ia mempertahankan teks tanpa
mengabaikan konteks. Caranya, ia mempersempit konteks ayat pada informasi
khusus tersebut, dari itu ia tidak perlu mengembangkan konteks yang lebih luas
di luar dilālah ayat ini. Jika tidak, ia harus menggugurkan kalimat “khalaqa
minha zawjaha” dari redaksi ayat, ini artinya meninggalkan teks.
Dengan demikian, Ibn ‘Āsyūr telah memoderasi antara teks dan konteks ayat,
sebab ia mengungkap makna tanpa merusak teks. Dengan kata lain, ia meminum air
tanpa memecahkan gelasnya.
Selanjutnya dilihat dari
aspek nilai, yaitu terkait dengan akurasi tafsir, marjin kesalahan yang
dibolehkan dan konsistensi. Ibn ‘Āsyūr membangun makna berdasar struktur yang
terkandung dalam teks ayat. Perhatikan bagaimana ia menjelaskan konteks
informasi khusus dalam ayat ini sebagai konsekuensi dari pilihan kata dan
jalinan redaksi ayat. Ia berbicara tentang penggunaan isim mawṣūl, ṣilat
dan ‘ā’id yang menjadi petunjuk bagi informasi khusus penciptaan
perempuan dengan cara yang mencengangkan. Inilah struktur yang dianggapnya menjadi
dasar kebenaran penafsirannya. Dengan kata lain, ia mengungkapkan apa adanya,
bukan memaksakan pemahamannya terhadap ayat.
Sampai di sini, mari
kembali pada paragraf yang diangkat sebagai contoh kasus di belakang,
perhatikan kalimat yang ditebalkan pada paragraf berikut:[57]
Ayat-ayat yang dikemukakan di atas memberikan informasi
bahwa penciptaan manusia sejak awal tidak menunjukkan adanya perbedaan
substansi antara laki-laki dan perempuan. Demikian juga dalam proses reproduksi
selanjutnya, tidak ditemukan perbedaan. Keduanya dinyatakan bersumber dari
unsur yang sama dan dalam mekanisme yang sama. Tidak terdapat perbedaan secara
substansial dan secara struktural antara keduanya. Dengan demikian, secara
alamiah dalam proses keberadaan laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan. Oleh
karena itu tidak bisa dicari-cari alasan untuk memojokkan perempuan atau
mengistimewakan salah satu jenis kelamin manusia.
Perhatikan kembali,
kalimat penyimpul pada paragraf ini mengandung nilai yang menjustifikasi penafsiran
yang oleh penulis ini dianggap keliru. Ukuran kekeliruan di sini adalah
subjektifitas penafsir, yaitu disebabkan oleh tidak adanya struktur yang
menjadi dasar bagi pemahaman penafsir. Lalu benarkah para mufasir seperti
Syaikh Muḥammad al-Ṭāhir ibn ‘Āsyūr mencari-cari alasan untuk memojokkan
perempuan?
C.
Penutup
Berdasar pembahasan yang
baru dilalui, tampak bahwa paradigma penafsir dapat dibedah dengan mengungkap tiga
unsur paradigma yang implisit, yaitu nilai, asumsi dasar dan model. Di dalam
masing-masing dari tiga unsur paradigma ini, tersembunyi keyakinan ideologis
pemilik pemikiran yang hanya bisa terungkap lewat pemetaan kutub ekstrem pada
nilai, asumsi dasar dan model. Dengan membedah kutub ekstrem itu, maka dapat
dibangun potensi-potensi moderasi sesuai dengan dilālah yang ada pada
ayat dan kemungkinan makna yang mengemuka.
Kajian dalam tulisan ini
mennggunakan konsep moderasi-dualisme, yang mana kutub ekstrem ditempatkan
sesuai konteks dari ayat yang dikaji. Masalah yang menjadi fokus kajian tulisan
ini adalah tentang paradigma moderat dalam tafsir kesetaraan gender. Ternyata
ditemukan bahwa ayat 1 Surah al-Nisa’ mengandung informasi khusus yang tidak
ada pada ayat lain, yaitu tentang awal mula penciptaan perempuan dari Adam.
Oleh karena kekhususan informasi ini, maka konteks ayat membangun struktur
tersendiri.
Daftar Pustaka
Al-‘Alimī, ‘Abd al-Ḥamīd. Manhaj al-Dars al-Dilālī
‘ind al-Imām al-Syāṭibī, cet. I. Maroko: al-Mamlakah al-Maghrībiyyah;
Wizārat al-Awqāf wa Syu’ūn al-Islāmiyyah, 2001.
Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor. Kamus Kontemporer
Arab Indonesia, cet. VIII. Krapyak, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003.
Al-Ba‘albakī, Munīr. Al-Mawrid; Qāmūs Inklīzī-‘Arabī,
edisi keenam. Beirut: Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn, 1973.
Al-Ghazālī, Abū Ḥāmid. Qanūn al-Ta‘wīl. Beirut:
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992.
Heddy Shri Ahimsa-Putra. Paradigma Profetik Islam:
Epistemologi, Etos, dan Model, cet. II. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2016.
Ibn Manẓūr. Lisān al-‘Arab. Kairo: Dār al-Ḥadīŝ,
2003.
Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005.
Kattsoff, Louis O. Pengantar Filsafat,
terj.Soejono Soemargono, cet. X. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007.
Kuhn, Thomas S. The Structure
of Scientific Revolutions, edisi
ketiga. Chicago: The University of Chicago Press, 1996.
Kuntowijoyo. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi,
Metodologi, dan Etika, edisi kedua. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Majma‘ al-Luhghat al-‘Arabiyyah. Al-Mu‘jam al-Falsafī.
Kairo: al-Amīriyyah, 1983.
Mohammad Muslih. Filsafat Ilmu; Kajian
atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, cet. II.
Yogyakarta: Belukar, 2005.
Muḥammad al-Ṭāhir ibn ‘Āsyūr, Maqāṣid al-Syarī‘at
al-Islāmiyyah (Kairo: Dār al-Salām, 2005.
____. Tafsīr al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, cet. II.
Tunisia: al-Syirkah al-Tūnisiyyah li al-Tawzī‘, 1985.
Musda Mulia. Kemuliaan Perempuan dalam Islam. Jakarta:
Megawati Institute, 2014.
Nasaruddin Umar. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif
Al-Qur’an. Jakarta: Paramadina, 1999.
Noeng Muhajir. Filsafat Ilmu; Kualitatif dan
Kuantitatif untuk Pengembangan Ilmu dan Penelitian, edisi III revisi.
Yogyakarta: Rake Sarasin, 2006.
Nurjannah Ismail. Perempuan dalam Pasungan:
Bias Laki-laki dalam Penafsiran , cet. I. Yogyakarta:
LKiS, 2003.
Popper, Karl R. The Logic of Scientific Discovery.
New York: Science Edition Inc., 1961.
Al-Qaṭṭān, Mannā‘. Mabāḥiṡ fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut:
Mansyūrāt al-‘Aṣr al-Ḥadīṡ, 1973.
Al-Qurtubī. al-Jāmi‘ li Ahkām al-Qur‘ān. Kairo: Maktabah
al-Tawfīqiyyah, t.th.
Al-Ṣābūnī, Muḥammad ‘Alī. Al-Tibyān fī ‘Ulūm al-Qur’ān.
Beirut: Dār al-Kutub al-Islāmiyyah, 2003.
Al-Ṣalābī, ‘Alī Muḥammad. Al-Wasaṭiyyah fī al-Qur’ān
al-Karīm. Kairo: Maktabah al-Tābi‘īn, 2001.
Al-Syāṭibī, Ibrāhīm ibn Mūsā al-Lakhmī al-Gharnaṭī
al-Mālikī. Al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarī‘ah. Kairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah,
2003.
Rabi‘, ‘Abd Allāh. Al-Qaṭ‘yyah wa al-Ẓanniyyah fī Uṣūl
al-Fiqh, cet. I. Kairo: Dār al-Nahar, 1996.
Al-Rāzī. Al-Maṭālib al-‘Āliyyah. Beirut: Dār
al-Kutub al-‘Arabī, 1987.
Al-Ṭabarī. Tafsīr al-Ṭabarī. Beirut: Dār al-Fikr,
t.th.
Tim KBBI. Kamus Besar Bahasa
Indonesia, edisi keempat. Jakarta: Gramedia, 2008.
‘Ulwān, Fahmī Muḥammad. Al-Qiyam al-Ḍarūriyyah wa Maqāṣid
al-Tasyrī‘ al-Islāmī. Kairo: al-Hay’ah al-Miṣriyyah. 1989.
Verhaak. C dan R. Haryono Imam. Filsafat Ilmu Pengetahuan; Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-ilmu. Jakarta: Gramedia, 1995.
Al-Zarkasyī, al-Baḥr al-Muḥīṭ, cet. III, jld. II. Kairo: Dār al-Kutub, 2005.
Zaydān, ‘Abd al-Karīm. Al-Madkhal li Dirāsat
al-Syarī‘at al-Islāmiyyah. Iskandariah: Dār Ghabr ibn al-Khattāb, 1969.
[1] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif
Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm.
[2] Musda Mulia, Kemuliaan Perempuan dalam Islam (Jakarta:
Megawati Institute, 2014), hlm. viii.
[3] Musda Mulia, Kemuliaan Perempuan..., hlm. 19.
[4] Al-Qurṭubī, al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur‘ān, jld. VI
(Kairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah, t.th.), hlm. 185.
[5] Muḥammad al-Ṭāhir ibn ‘Āsyūr, Tafsīr al-Taḥrīr wa
al-Tanwīr, cet. II, jld. II (Tunisia: al-Syirkah al-Tūnisiyyah li
al-Tawzī‘, 1985), hlm. 18.
[6] Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan:
Bias Laki-laki dalam Penafsiran , cet. I
(Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 319.
[7] Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi,
Metodologi, dan Etika, edisi kedua (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm.
54.
[8] Louis O Kattsoff, Pengantar Filsafat,
terj.Soejono Soemargono, cet. X (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), hlm. 52, 150.
Penganut monisme hanya mengakui adanya satu substansi. Monisme epistemologis
menghadapi permasalahan kebenaran, sebab pengetahuan bisa berbeda dari objek.
[9] Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma Profetik Islam:
Epistemologi, Etos, dan Model, cet. II (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2016), hlm. 22.
[10] Thomas S. Kuhn, The Structure of
Scientific Revolutions, edisi
ketiga, (Chicago: The University of Chicago
Press, 1996), hlm.
175.
[11] Noeng Muhajir, Filsafat Ilmu; Kualitatif dan
Kuantitatif untuk Pengembangan Ilmu dan Penelitian, edisi III revisi
(Yogyakarta: Rake Sarasin, 2006), hlm. 46.
[12] Ahimsa-Putra, Paradigma Profetik Islam..., hlm.
24, dst.
[13] Ahimsa-Putra, Paradigma Profetik Islam..., hlm.
39, dst.
[14] Kuhn, The Structure..., hlm.
182.
[15] Ahimsa-Putra, Paradigma Profetik Islam..., hlm.
26.
[16] Kuhn, The Structure..., hlm.
187.
[17] Tim KBBI, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat (Jakarta: Gramedia, 2008),
hlm. 963.
[18] Majma‘ al-Luhghat al-‘Arabiyyah, al-Mu‘jam al-Falsafī
(Kairo: al-Amīriyyah, 1983), hlm. 151.
[19] Kuhn, The Structure..., hlm.
185.
[20] Mohammad Muslih, Filsafat
Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan,
cet. II (Yogyakarta: Belukar, 2005), hlm. 30. Proses dan hasil keilmuan
pada jenis ilmu apa pun ditentukan oleh landasan filosofis yang mendasarinya,
yaitu terdiri dari: 1) asumsi dasar; 2) kerangka teori (theoretical
framework); dan 3) paradigma.
[21] Al-Zarkasyī, al-Baḥr al-Muḥīṭ, cet. III, jld. II
(Kairo: Dār al-Kutub, 2005), 46.
[22] Kuhn, The Structure..., hlm.
183.
[23] Ahimsa-Putra, Paradigma Profetik Islam..., hlm.
28. Sering kali model juga terlihat seperti asumsi dasar. Meskipun demikian
model bukanlah asumsi dasar. Sebagai perumpamaan dari suatu kenyataan, sebuah
model bersifat menyederhanakan. Artinya tidak semua aspek, sifat, atau unsur
dari realitas dapat tampil dalam sebuah model. Model dapat dibedakan mejadi
dua, yakni (1) model utama (primary model); dan (2) model
pembantu (secondary model). Model yang dimaksudkan di sini adalah
primary model.
[24] Tim KBBI, Kamus Besar..., hlm.
924.
[25] Munīr al-Ba‘albakī, al-Mawrid; Qāmūs Inklīzī-‘Arabī,
edisi keenam (Beirut: Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn, 1973), hlm. 586.
[26] Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer
Arab Indonesia, cet. VIII (Krapyak, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003),
hlm. 1621, 1760.
[27] Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab (Kairo: Dār al-Ḥadīṡ,
2003), hlm. 297.
[28] ‘Alī Muḥammad al-Ṣalābī, al-Wasaṭiyyah fī al-Qur’ān
al-Karīm (Kairo: Maktabah al-Tābi‘īn, 2001), hlm. 38.
[29] Al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, jld. II (Beirut: Dār
al-Fikr, t.th.), hlm. 6.
[30] Ibn ‘Āsyūr, Tafsīr al-Taḥrīr..., jld. II, hlm.
18.
[31] ‘Abd al-Karīm Zaydān, al-Madkhal li Dirāsat
al-Syarī‘at al-Islāmiyyah (Iskandariah: Dār Ghabr ibn al-Khattāb, 1969),
hlm. 52-54.
[32] Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab..., jld. VII, hlm.
101.
[33] Tim KBBI, Kamus Besar..., hlm. 1409.
[34] Muḥammad ‘Alī al-Ṣābūnī, al-Tibyān fī ‘Ulūm al-Qur’an
(Beirut: Dār al-Kutub al-Islāmiyyah, 2003), hlm. 65.
[35] Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab..., jld. I, hlm. 279.
[36] ‘Alī al-Ṣābūnī, al-Tibyān..., hlm. 66.
[37] Tim KBBI, Kamus Besar…, hlm. 1382.
[38] ‘Alī al-Ṣābūnī, al-Tibyān..., hlm. 66.
[39] Mannā‘ al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fī ‘Ulūm al-Qur’ān
(Beirut: Mansyūrāt al-‘Aṣr al-Ḥadīṡ, 1973), hlm. 326.
[40]Al-Rāzī, al-Maṭālib al-‘Āliyyah, jld. IX (Beirut:
Dār al-Kutub al-‘Arabī, 1987), hlm. 113-118.
[41] Al-Zarkasyī, al-Baḥr al-Muḥīṭ..., hlm. 268.
[42] Al-Syāṭibī, Ibrāhīm ibn
Mūsā al-Lakhmī al-Gharnaṭī al-Mālikī, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarī‘ah,
jld. II (Kairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah, 2003), hlm. 54.
[43] Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Qanūn al-Ta‘wīl (Beirut:
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), 21-22.
[44] Karl R. Popper. The Logic of Scientific Discovery
(New York: Science Edition Inc., 1961), 15. Menurut Popper, tugas epistemologi
ialah memberikan analisis logis terhadap metode dan prosedur.
[45] Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan...,
hlm. 250.
[46] Fahmī Muḥammad ‘Ulwān, al-Qiyam al-Ḍarūriyyah wa Maqāṣid
al-Tasyrī‘ al-Islāmī (Kairo: al-Hay’ah al-Miṣriyyah. 1989), hlm. 62.
[47] ‘Abd al-Ḥamīd al-‘Alimī, Manhaj al-Dars al-Dilālī
‘ind al-Imām al-Syāṭibī, cet. I (Maroko: al-Mamlakah al-Maghrībiyyah;
Wizārat al-Awqāf wa Syu’ūn al-Islāmiyyah, 2001), hlm. 416.
[48] ‘Abd Allāh Rabi‘, al-Qaṭ‘yyah wa al-Ẓanniyyah fī Uṣūl
al-Fiqh, cet. I (Kairo: Dār al-Nahar, 1996), hlm. 74.
[49] Muḥammad al-Ṭāhir ibn ‘Āsyūr, Maqāṣid al-Syarī‘at
al-Islāmiyyah (Kairo: Dār al-Salām, 2005), hlm. 17. Dua istiqrā’
dimaksud adalah: pertama istiqrā’ terhadap hukum-hukum yang telah
diketahui al-‘illah-nya melalui masālik al-‘illah.
Misalnya jual beli kurma kering dengan
kurma basah (al-muzābanah) yang al-‘illah-nya ditetapkan secara īmā’
dari hadis. Demikian pula pada larangan jual beli yang tidak ditimbang (juzāf),
diketahui al-‘illah-nya adalah tidak diketahuinya timbangan. Dari
kasus-kasus lain yang serupa diketahui, bahwa tujuan syarak adalah membatalkan
tipuan dalam transaksi. Maka semua transaksi yang mengandung tipuan dinyatakan
batal secara syar‘ī. Kedua, istiqrā’ terhadap dalil-dalil hukum
yang memiliki kesamaan al-‘illah, sehingga diyakini bahwa al-‘illah
itu merupakan maqāsid al-syarī‘ah.
[50] Yang dimaksud dengan ayat yang jelas dilālah-nya
adalah ayat-ayat yang petunjukan makna lahiriahnya lebih kuat dari indikator
petunjukan beramal dengan makna kandungannya. Hal ini didasarkan kepada standar
penggunaannya dalam bahasa Arab, di mana makna lahiriah itu tidak diragukan
lagi. Misalnya teks ayat yang berbunyi “kutiba ‘alaykum al-siyām,” kata kutiba
bermakna diwajibkan, jika ada yang mengartikan dituliskan, maka ia salah.
Bagi Ibn ‘Āsyūr, petunjukan ini sampai pada taraf yakin,
mengingat hubungan yang jelas antara teks dengan maksud syarak yang
dikandungnya. Alasannya, karena Alquran bersifat mutawatir secara tekstual (lafẓ)
sehingga dapat dipastikan qaṭ‘ī. Sebagaimana diketahui, bahwa meski qaṭ‘ī
secara teks, namun ayat Alquran memiliki sisi ẓannī dalam hal petunjukan
kepada makna. Oleh karena itu petunjukan yang jelas (dilālah wāḍiḥah)
dari ayat menjadi sarana untuk melemahkan kemungkinan beramal dengan makna yang
lain atasnya. Jadi, jika teks yang qaṭ‘ī bersatu dengan dilālah wāḍiḥah,
maka darinya dapat ditarik maqāṣid al-syarī‘ah secara meyakinkan.
[51] Cara ini hanya bisa ditempuh lewat hadis mutawātir
ma‘nawī, dan hadis mutawātir ‘amalī. Pertama, hadis
mutawātir ma‘nawī merupakan persaksian sahabat atas amalan
Rasulullah, maka semua sahabat yang menyaksikan memahami dalam konteks yang
sama. Dari sini muncul konsepsi pengetahuan yang ḍarūrī, yaitu
pengetahuan yang tidak harus melalui penalaran, misalnya pengetahuan tentang
hukum sedekah, atau ketentuan khutbah hari raya yang dilakukan lebih dahulu
dari salat. Kedua, mutawātir ‘amalī di mana individu
masing-masing sahabat menyaksikan amal Rasulullah secara berulang-ulang.
[52] Verhaak. C dan R. Haryono Imam. Filsafat Ilmu
Pengetahuan; Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1995),
hlm. 122. Sampai dengan abad ke-19 di antara para ilmuwan kiranya dapat kita
temukan dua pandangan dasar, yang dapat digolongkan sebagai anggapan yang
paling mementingkan objek yang diketahui serta bagaimana berlangsungnya pengetahuan
itu. Kedua pandangan klasik tersebut dapat dicirikan sebagai teori tentang
kebenaran sebagai persesuaian antara si pengenal dengan apa yang dikenal (correspondence
theory of truth) dan teori kebenaran sebagai keteguhan (coherence
theory of truth).
[53] Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu; Sebuah
Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hlm. 55, 57.
[54] Ibn ‘Āsyūr, Tafsīr al-Taḥrīr..., jld. IV, hlm. 214,
215.
[55] Ibn ‘Āsyūr, Tafsīr al-Taḥrīr..., jld. IV, hlm.
216.
[56] Ibn ‘Āsyūr, Tafsīr al-Taḥrīr..., jld. IV, hlm.
216.
[57] Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan...,
hlm. 250.
Komentar
Posting Komentar