Postingan

Menampilkan postingan dari 2017

Pendekatan Maqāşidī

Gambar
Pendekatan tidak sama dengan metode, sebab metode adalah cara mengerjakan sesuatu, sedangkan pendekatan adalah cara memperlakukan sesuatu. [1] Dengan kata lain, pendekatan merupakan ‘cara’ dari perspektif subjek (peneliti) sedangkan metode merupakan ‘cara’ dari perspektif objek (masalah yang diteliti). Menurut Heddy Shri Ahimsa-Putra, hakikat metode penelitian adalah proses pengumpulan data, maka inti metode dalam penelitian adalah cara-cara yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan data. [2] Hal ini menunjukkan perbedaan mendasar antara metode dengan pendekatan, sebab pendekatan adalah ‘cara’ memperlakukan sesuatu dari perspektif peneliti. Dengan demikian, pendekatan bersifat abstrak dan berupa konsep mental si peneliti. [3] Mengingat hakikatnya sebagai konsep mental, maka pemilihan suatu pendekatan dalam sebuah penelitian dipengaruhi oleh paradigma yang dianut peneliti dan cenderung subjektif. Namun hal ini bisa diantisipasi dengan mengajukan pertanyaan epistemologis, yaitu si

Kekuatan Kata

إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (يس: 82) Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia. (Q.S. Yasin [36]: 82). Ayat ini dan beberapa ayat lain yang senada kerap ditakwil karena dianggap tidak rasional. Karena terjadinya sesuatu merupakan akibat dari perbuatan, sedangkan kata juga hasil perbuatan. Jadi tidak logis dikatakan sesuatu mewujud hanya dengan kata-kata. Dari itu, “kun” ditakwil sebagai aksi yang lebih dari sekadar kata. Mungkin logika ini kokoh dari perspektif fisika newtonian modern. Tetapi dari perspektif fisika quantum logika ini tidak cukup bertahan. Fisika quantum mengungkapkan bahwa inti atom berupa energi yang disebut elektron, proton dan sebagainya. Sementara kata disampaikan lewat suara yang berupa gelombang. Temuan-temuan ini sinergi dengan perkembangan filsafat postmodern yang melihat fenomena berbahasa sebagai inti filsafat. Berbahasa dilihat sebagai

Perkataan Buruk

لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا (148) إِنْ تُبْدُوا خَيْرًا أَوْ تُخْفُوهُ أَوْ تَعْفُوا عَنْ سُوءٍ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا قَدِيرًا (149) Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Jika kamu menyatakan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa. (QS. Al-Nisa’ [4]: 148-149). Menurut para mufasir, kata la yuhibbu (tidak menyukai) di sini bermakna dilarang. Sebab suka dan benci merupakan dorongan psikologis ( infi‘al ) yang mustahil adanya pada diri Allah. Bahkan dilihat dari dimensi ilahiah, penciptaan alam dengan fenomena positif negatif di dalamnya merupakan kosekuensi dari sunnatullah. Dalam hal ini, Allah tidak punya kepentingan dengan kedua sisi sunnatullah ini. Lain halnya dari dimensi in

MENGGAGAS TAFSIR AYAT HUKUM DALAM KERANGKA FIQH AL-IKHTILĀF

Tulisan ini telah dimuat di Jurnal Substantia, Vol 18, No. 2, tahun 2016  http://www.substantiajurnal.org/index.php/subs/article/view/175 Abstrak Perbedaan pendapat dalam penafsiran terhadap ayat hukum dapat menimbulkan kesan adanya disharmoni antara satu sama lain ajaran Alquran. Padahal ayat 82 Surah al-Nisa menegaskan bahwa tidak ada kontradiksi dalam Alquran. Namun persoalan ini tidak terakomodir dalam kajian fikih karena perbedaan dilihat sebagai masalah furukiyah saja. Padahal tidak sedikit perbedaan itu terjadi pada isu-isu fundamental ajaran Islam. Sayangnya hal ini juga tidak tertangani oleh disiplin ilmu tafsir karena orientasinya yang terfokus pada penemuan makna. Oleh karena itu, tulisan ini menawarkan agar tafsir ayat hukum dilakukan dalam kerangka teoretik fiqh al-ikhtil ā f yang melihat perbedaan sebagai keragaman ( al- ta‘addud al- tanawwu‘ ). Dalam tulisan ini, metode deduktif interpretif dipadukan dengan metode analisis kritis, lalu digunakan untuk melakukan

PENDEKATAN SIRKULER DALAM KAJIAN PERBANDINGAN MAZHAB

A.   Pendahuluan Kajian perbandingan mazhab dalam fikih dapat mengantarkan peneliti pada temuan sifat saling mengisi antar pendapat yang berbeda. Oleh karena itu, kajian perbandingan mazhab sangat urgen di tengah keragaman furukiyah masyarakat muslim, khususnya di Indonesia. Namun jika dilakukan dengan pendekatan keilmuan yang kurang tepat justru akan bertentangan dengan nilai islami yang melihat perbedaan sebagai rahmat. Dalam Hadis yang dibukukan oleh al-Bukhārī (juga al-Nasā’ī), Rasulullah saw. bersabda: عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ « إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ » . Diriwayatkan dari ‘Amr ibn ‘Āş, bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Apabila seorang hakim berijtihad dan benar maka ia mendapat dua pahala, dan apabila salah ia mendapat satu pahala.” (H.R. al-Bukhārī). [1]