QURBAN: ISHAK, ATAU ISMAIL? (Penafsiran Ayat 100-103 Surat al-Shaffat)
Allah berfirman:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ
السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ
فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ
شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (الصافات: 102)
Maka tatkala anak itu sampai
(pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah
apa pendapatmu!”. Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan
kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.
(Q.S. al-Shaffat [37]: 102).
Dalam menafsirkan ayat ini, para ulama berbeda pendapat tentang siapa yang
disembelih. Sebagian ulama berpendirian, bahwa yang disembelih adalah Ishak, mereka
berpegang kepada riwayat yang katanya bersumber dari ulama kalangan sahabat dan
tabiin. Antara lain dapat disebut al-‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthallib dan anaknya
‘Abdullah, berdasar riwayat secara marfu‘ yang mengatasnamakan keduanya
oleh al-Tsawri dan Ibn Jurayj. Riwayat-riwayat seperti ini banyak bermunculan,
ada yang disandarkan kepada ‘Ali, Zubayr, Jabir, dan ‘Abdullah ibn ‘Umar yang
mendengar dari ayahnya ‘Umar ibn al-Khattab. Al-Qurthubi dalam tafsirnya al-Jami‘
li Ahkam al-Qur’an menyimpulkan, bahwa dasar pendapat ini disandarkan
kepada tujuh orang sahabat di atas.
Adapun dari kalangan tabiin, pendapat ini dipegang oleh ‘Alqamah,
al-Sya’bi, Mujahid, Sa‘id ibn Jubir, Ka‘ab al-Ahbar, Qatadah, Masruq, ‘Ikrimah,
Qasim ibn Abi Bazzah, ‘Atha’, Muqatil, ‘Abd al-Rahman ibn Sabith, al-Zuhri,
al-Sadi, ‘Abdullah ibn Abi al-Hazil, dan Malik ibn Anas. Semua mereka
sependapat, bahwa yang disembelih adalah Ishak.
Dari kalangan mufasir, pendapat ini diterima oleh al-Thabari, al-Nuhas,
Jalal al-Suyuthi, dan lain-lain. Perlu dicatat, pendapat ulama kelompok pertama
ini, sesuai dengan keyakinan di kalangan ahli kitab, baik Yahudi maupun
Nasrani.
Kelompok kedua, ulama yang berkeyakinan bahwa yang disembelih adalah
Ismail. Dari kalangan sahabat, pendapat ini dinyatakan bersumber dari Abu
Hurayrah, Abu Thufayl, dan anehnya, pendapat ini juga dikatakan bersumber dari
Ibn ‘Umar dan Ibn ‘Abbas. Jadi kedua tokoh sahabat ini terkesan tidak konsisten
dalam hal ini.
Dari kalangan tabiin, pendapat ini dipegang oleh Sa‘id ibn al-Musayyab,
al-Sya‘bi, Yusuf ibn Mihran, Mujahid, al-Rabi‘ ibn Anas, Muhammad ibn Ka‘ab
al-Quradhi, al-Kalabi, dan ‘Alqamah. Di sini juga terdapat tokoh yang terkesan
tidak konsisten, yaitu ‘Alqamah, al-Sya’bi, dan Mujahid. Namun tidak diperoleh
informasi, apakah mereka membatalkan pendapat pertama mereka, atau menguatkan
salah satunya, yang jelas kedua pendapat ini tidak mungkin disatukan karena
kontradiksi.
Kelihatannya sumber kontradiksi muncul akibat sikap sebagian sahabat dan
tabiin yang mencoba memperdetil penafsiran dengan menerima input dari ahli
kitab. Hal ini disebabkan tidak adanya penjelasan dari Rasulullah yang secara
tegas menyatakan siapa yang disembelih oleh Nabi Ibrahim. Itulah kenapa riwayat
tentang penetapan Ishak sebagai anak yang disembelih, semuanya berakhir pada
tabiin atau sahabat saja.
Demikian pula riwayat yang menyatakan Ismail sebagai anak yang disembelih
oleh Nabi Ibrahim, diterima mufasir sebagai interpretasi sahabat dan tabiin,
bukan penjelasan langsung dari Rasulullah. Kondisi ini tentu menyulitkan, karena
masing-masing pihak berusaha menginterpretasi dari teks Alquran. Kedua kelompok
berusaha menemukan alasan pembenar dari Alquran, lalu bagaimana caranya agar
kita bisa menentukan sikap?
Penafsiran
ayat dengan ayat
Para ulama yang berpendirian Ishak sebagai anak yang disembelih,
mengambil kesimpulan berdasar analisa terhadap kata ghulam halim dalam
ayat 101 surat al-Shaffat berikut ini:
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ
الصَّالِحِينَ (100) فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ (101)
Ya Tuhanku,
anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh
(100). Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar
(101). (Q.S. al-Shaffat [37]: 100-102)
Jadi kata ghulam
halim menjadi kata kunci dalam mencari jawaban tentang siapa anak yang
disembelih oleh Nabi Ibrahim. Menurut ulama kalangan ini, penafsiran makna ghulam
halim dijelaskan oleh ayat 49 surat Maryam berikut ini:
فَلَمَّا اعْتَزَلَهُمْ وَمَا
يَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَكُلًّا
جَعَلْنَا نَبِيًّا (مريم: 49)
Maka ketika
Ibrahim sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah
selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishak, dan Ya’qub. Dan
masing-masingnya Kami angkat menjadi nabi. (Q.S. Maryam [19]: 49).
Selain
menerapkan metode penafsiran ayat dengan ayat (ayat 49 surat Maryam menjadi
penafsir kata ghulam halim dalam ayat 101 surat al-Shaffat), ulama
kelompok ini juga melakukan kajian historis. Hal ini dimungkinkan karena adanya
riwayat tentang Nabi Ibrahim dari khasanah peradaban ahli kitab. Oleh karena
itu, berdasar keterangan ayat di atas, peristiwa itu dapat direkonstruksikan
kembali sesuai dengan perjalanan waktu dalam sejarah.
Menurut catatan sejarah, Nabi Ibrahim dilahirkan di sekitar Urfa, Harran
(sekitar daerah Turki sekarang). Lalu Nabi Ibrahim menyingkir (‘uzlah)
dari kampung halaman karena ulah umatnya yang mengingkari ajaran yang ia bawa.
Nabi Ibrahim menentukan tujuannya ke negeri Syam. Di tengah perjalanan ke negeri
Syam, Nabi Ibrahim berdoa agar diberi anak yang saleh (Q.S. al-Shaffat [37]:
100-101). Dalam perjalanan ini pula, ia dikabari akan memperoleh anak yang
dinyatakan bakal menjadi nabi, yaitu Ishak dan Ya’qub (Q.S. Maryam [19]: 49).
Cerita ini dilanjutkan sesuai dialog Bapak-anak dalam surat al-Shaffat, bahwa
dialog itu merupakan ucapan Nabi Ishak, bukan Nabi Ismail. Lalu ditutup dengan
pernyataan Allah, bahwa anak itu (Nabi Ishak) ditebus dengan seekor sembelihan
yang besar:
وَفَدَيْنَاهُ
بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (107)
Dan Kami
tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (Q.S. al-Shaffat [37]:
107).
Kesimpulan ulama kelompok pertama ini dipandang semakin kuat oleh redaksi
ayat 112 surat al-Shaffat berikut:
وَبَشَّرْنَاهُ
بِإِسْحَاقَ نَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ (112)
Dan Kami beri
dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk
orang-orang yang saleh. (Q.S. al-Shaffat [37]: 112).
Pernyataan ayat 112
surat al-Shaffat ini, dipandang sebagai penguat bagi penafsiran kata ghulam
halim pada ayat 101. Jika penjelasan dalam ayat 49 surat Maryam bercampur
dengan sebutan Nabi Ya’qub, maka dalam ayat 112 surat al-Shaffat justru khusus
tentang Nabi Ishak. Maka hal ini memperteguh keyakinan ulama yang berpendirian
Ishak sebagai anak yang disembelih.
Penafsiran di atas diperkuat dengan penalaran logis berdasar urutan
peristiwa perjalanan hidup Nabi Ibrahim. Dari catatan sejarah diketahui, bahwa
saat melakukan perjalanan menuju negeri Syam, Nabi Ibrahim belum berpoligami,
sebab pernikahan dengan Hajar baru dilangsungkan setelah mereka menetap di
negeri Syam. Dengan demikian, saat berita akan memperoleh anak diterimanya
dalam perjalanan itu, kemungkinan memperoleh anak hanya dapat terjadi dari
isterinya yang bernama Sarah. Maka anak yang dimaksud dalam pemberitaan itu ada
Ishak, lalu sesuai dengan rangkaian kisah dalam surat al-Shaffat, anak yang
diberitakan itu diperintah sembelih.
Meski penafsiran ini terlihat cukup beralasan, namun pada tataran
kebenaran, interpretasi di atas tidak bisa mencapai tingkat meyakinkan (qath‘i).
Sebab, metodologi penafsiran yang sama juga digunakan oleh ulama kelompok kedua,
tetapi hasilnya malah bertolak belakang.
Bagi ulama dari kelompok kedua, petunjuk tentang siapa yang disembelih
terkandung dalam kalimat “…satajiduni Insya Allah min al-shabirin” dalam
ayat 102 surat al-Shaffat. Kata kuncinya, adalah kata al-shabirin yang
penafsirannya terkait erat dengan bunyi ayat 85 surat al-Anbiya’ berikut:
وَإِسْمَاعِيلَ وَإِدْرِيسَ
وَذَا الْكِفْلِ كُلٌّ مِنَ الصَّابِرِينَ (الأنبياء: 85)
Dan (ingatlah
kisah) Ismail, Idris, dan Zulkifli. Semua mereka termasuk orang-orang yang
sabar. (Q.S. al-Anbiya’ [37]: 85).
Ayat ini secara gamblang menyebutkan nama Ismail dalam sederetan nama
nabi yang digelar sebagai al-sabirin. Bagi jumhur ulama, alasan
digelarnya Nabi Ismail sebagai al-sabirin adalah; karena kesabarannya
dalam menerima perintah penyembelihan atas dirinya sebagaimana tergambar dalam
dialog pada ayat 102 surat al-Shaffat. Penafsiran ini diperkuat oleh keterangan
dalam ayat 54 surat Maryam berikut:
وَاذْكُرْ
فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا
نَبِيًّا (مريم: 54)
Dan
ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam
Al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah
seorang rasul dan nabi. (Q.S. Maryam [19]: 54).
Sebagian ulama
menyatakan bahwa yang dimaksud dalam ayat di atas adalah Ismail ibn Hazaqil,
tapi bagi jumhur ulama, itu adalah Ismail ibn Ibrahim. Berdasar pendapat jumhur
ulama, ulama kelompok kedua menafsirkan; bahwa alasan disebutnya Nabi Ismail
sebagai orang yang benar janjinya karena ia menepati janji kepada ayahnya, yaitu
akan bersabar menerima penyembelihan.
Bagi ulama kelompok kedua, penjelasan ayat 85 surat al-Anbiya’, dan ayat
54 surat Maryam, merupakan bukti yang kuat bahwa dialog dalam ayat 102 surat
al-Shaffat adalah ucapan Nabi Ismail. Dengan demikian, anak yang disembelih
oleh Nabi Ibrahim adalah Nabi Ismail.
Berdasarkan penafsiran ayat dengan ayat, ulama kelompok kedua membantah
hujah ulama kelompok pertama. Logikanya, pemberitaan tentang Ishak yang akan
menjadi nabi, menunjukkan bahwa ia tidak mungkin disembelih. Mereka juga
menambahkan fakta tentang pengangkatan Ishak sebagai nabi dari surat Hud ayat
71:
وَامْرَأَتُهُ قَائِمَةٌ
فَضَحِكَتْ فَبَشَّرْنَاهَا بِإِسْحَاقَ وَمِنْ وَرَاءِ إِسْحَاقَ يَعْقُوبَ (هود:
71)
Dan isterinya
berdiri (di balik tirai) lalu dia tersenyum, maka Kami sampaikan kepadanya
berita gembira tentang (kelahiran) Ishak dan dari Ishak (akan lahir puteranya)
Ya’qub. (Q.S. Hud [11]: 71).
Dengan fakta
bahwa dari Nabi Ishak akan lahir Nabi Ya’qub, lalu bagaimana mungkin Nabi Ishak
akan disembelih. Disembelih berarti mati, lalu bagaimana mungkin ia akan
menjadi nabi dan memiliki putera Nabi Ya’qub sementara ia harus disembelih?
Menurut ulama kelompok kedua, menyatakan Ishak sebagai anak yang
disembelih, berarti mendustakan ayat yang memberitakan Ishak akan jadi nabi dan
memiliki putera bernama Ya’qub. Padahal Alquran menyatakan kenabian Ishak dan puteranya
dalam beberapa surat sehingga tidak mungkin ditakwil. Dengan pastinya berita
ini, maka menyatakan penyembelihan Ishak, berarti membohongi perintah sembelih,
atau setidaknya, perintah sembelih terlihat sebagai kepuraan saja.
Logika yang dikemukakan ulama kelompok kedua ini kelihatan cukup mengena,
tapi juga tidak mampu mengantarkan kepada tataran meyakinkan (qath’i).
Menurut Sa‘id ibn Jubir (dari kelompok pertama), berita kenabian dan lahirnya
Ya’qub dari Ishak tidak mendustakan peristiwa penyembelihan. Sebab kedua
peristiwa ini tidak dikaitkan dengan waktu, jadi bisa saja penyembelihan
berlangsung di masa depan setelah Ishak menjadi nabi dan punya anak. Jadi pada
saat diwahyukan, perintah menyembelih tidak terkesan sebagai perintah
pura-pura.
Sampai di sini, hujah dan penalaran dari kedua kelompok ulama terlihat
sama kuat sehingga sulit untuk menentukan sikap. Kiranya kesan sama kuat ini
dapat dilihat dari munculnya kelompok ketiga yang seorang tokohnya dapat
disebut al-Zujaj. Al-Zujaj menyimpulkan, Ismail dan Ishak, kedua-duanya
disembelih. Kelihatannya al-Zujaj tidak mau dipusingkan oleh masalah ini, dan
pendiriannya menjadi mazhab ketiga dalam permasalahan ini.
Ulama kelompok kedua tidak berhenti pada hujah dan logika di atas, mereka
juga melakukan kajian historis. Mereka menunjukkan fakta sejarah, bahwa
penyembelihan terjadi di Mekah, bukan di Syam, sedangkan Ishak tidak pernah ke
Mekah, maka tidak mungkin Ishak yang disembelih. Dengan demikian dapat
dipastikan, bahwa anak yang disembelih adalah Ismail, sebab Ismail lah yang
hidup di Mekah dan membangun Ka’bah bersama Ibrahim.
Solusi
al-Syanqiti
Fakta historis yang diangkat oleh ulama kelompok kedua di atas meyakinkan
banyak orang sehingga jumhur ulama berpendapat bahwa Ismail lah yang
disembelih. Hal ini menjadi pendukung untuk menerima penafsiran kata ghulam
halim pada ayat 101 surat al-Shaffat oleh mufasir yang datang belakangan. Mereka
menafsirkannya dengan cara yang berbeda dengan ulama kelompok pertama di atas. Misalnya
Ibn Katsir (w. 774 H) yang menafsirkan kata ghulam halim sebagai Ismail
karena fakta bahwa Ismail lebih tua dari Ishak.
Menurut Ibn Katsir, ada kesepakatan bersama di kalangan umat Islam dan
ahli kitab, bahwa Ismail lebih tua dari Ishak. Saat Ismail lahir, Ibrahim
berusia 86 tahun, adapun Ishak, lahir kala Ibrahim berusia 99 tahun. Maka berita
bahwa Ibrahim akan memperoleh anak, merujuk kepada anak pertama, yaitu Ismail.
Sampai di sini masih ada satu hal yang belum terjawab, bagaimana dengan
ungkapan wa basysyarnahu bi Ishaq… dalam ayat 112 surat al-Shaffat,
bukankah itu mendukung penafsiran ghulam halim sebagai Ishak karena
masih dalam satu surat?
Hal ini dapat diselesaikan oleh penafsir lain, yaitu al-Syanqithi. Menurut
al-Syanqithi, petunjuk itu cukup jelas dalam redaksi ayat-ayat dalam surat
al-Shaffat itu sendiri. Setelah ayat 100 yang berisi doa Nabi Ibrahim (rabbi
hab li min al-shalihin), dilanjutkan dengan jawaban (fa basysyarnahu bi
ghulam halim). Lalu pada ayat 112 yang memberitakan tentang Ishak (wa
basysyarnahu bi Ishaq…), redaksi ayat menggunakan huruf ‘athaf. Hal
ini menunjukkan bahwa objek berita yang kedua, berbeda dari objek berita
pertama. Karena pada berita yang kedua (ayat 112) disebut secara jelas nama
Ishak, maka berita pertama (ayat 101) dapat dipastikan bukan Ishak. Jadi kata ghulam
halim dapat dimaksudkan sebagai kata yang merujuk kepada Ismail.
Bagi al-Syanqithi, menafsirkan kata ghulam halim sebagai Ishak
tidak sah, sebab sebutan nama Ishak pada pemberitaan ayat 112 mengakibatkan
pengulangan yang tidak berfaedah. Pengulangan sia-sia seperti ini tidak mungkin
terjadi dalam kalam Allah, oleh karena itu, redaksi ayat menjadi sangat jelas,
bahwa yang dimaksud dengan ghulam halim dalam ayat 101 adalah Ismail.
Jika penafsiran ini diikuti, maka Nabi Ibrahim menerima dua
pemberitahuan, pertama pemberitahuan akan mendapat anak yang akan disembelih,
yaitu Nabi Ismail. Kedua, akan mendapat anak seorang nabi yang nantinya
berputerakan Nabi Ya’qub, yaitu Nabi Ishak. Dengan demikian, ayat 49 surat
Maryam, dan ayat 71 surat Hud, merupakan penjelasan tersendiri tentang
pemberitaan kelahiran Nabi Ishak. Sementara surat al-Shaffat, merupakan versi
lengkap tentang peristiwa menyingkirnya Nabi Ibrahim dari tanah kelahiraanya.
Penjelasan redaksional al-Syanqithi di atas, dipadu dengan fakta sejarah,
bahwa peristiwa pernyembelihan terjadi di Mekah, kiranya dapat mengantarkan
kita kepada penafsiran yang lebih beralasan. Wallahu a‘lam.
Syukron
BalasHapusTrimakasih ilmunya, runtut, netral, insya Allah bermanfaat
HapusPembahasan yang lengkap dan runut, sehingga jelas posisi imail dan ishak.
BalasHapusterimakasih
BalasHapusSama2
HapusSama2
HapusTerimakasih banyak atas ilmunya wassalam
BalasHapusMatur suwun
BalasHapusArtikel terbaik abad ini
HapusMakasih
BalasHapussangat bermanfaat. thanks
BalasHapusTinggal tanya sama orang yahudi ajalah.. masak yg memutuskan kebenarannya orang arab? Emangnya itu ibrahim arab? 🤣
BalasHapusJadi mana satu yang benar Ishak atau Ismail?
BalasHapusAnak yang dimaksubkan itu ada pada ayat (As-Saaffaat 37:100)(As-Saaffaat 37:101)
BalasHapusAnak itu adalah Ismail (as). Wallahu a‘lam.
(As-Saaffaat 37:100)
Wahai Tuhanku! Kurniakanlah kepadaku anak yang terhitung dari orang-orang yang soleh!"
(As-Saaffaat 37:101)
Lalu Kami berikan kepadanya berita yang mengembirakan, bahawa ia akan beroleh seorang anak yang penyabar.
(As-Saaffaat 37:102)
Maka ketika anaknya itu sampai (ke peringkat umur yang membolehkan dia) berusaha bersama-sama dengannya, Nabi Ibrahim berkata: "Wahai anak kesayanganku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahawa aku akan menyembelihmu; maka fikirkanlah apa pendapatmu?". Anaknya menjawab: "Wahai ayah, jalankanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah, ayah akan mendapati daku dari orang-orang yang sabar".
Terima kasih
BalasHapus🤣
BalasHapusIki opo ae
BalasHapusismail lahir saat nabi ibrahim usia 86 thn
BalasHapusperintah khitan saat usia nabi ibrahim 99 thn, usia ismail 13 thn
ishak lahir saat usia nabi ibrahim 100 thn
apakah peristiwa penyembelihan anak sebelum ada perintah khitan /sesudahnya adalah kunci tambahan siapa yg dikurbankan.
Sangat luar biasa, mantap
BalasHapus