Moderatisme sebagai Dasar Memahami Maqasid al-Syariah
Moderatisme (al-wasathiyyah)
berlaku dalam tiga bidang yang merupakan fitrah berpikir manusia (disebut tiga
kerangka filsafat), yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi (māhiyyah)
berkaitan dengan pertanyaan yang timbul dalam pikiran tentang ‘ada’-nya
sesuatu, maka dipertanyakan hakikat sesuatu, ‘apakah’ ia ada secara
empirik-sensual (terindera), atau secara metafisik (di luar jangkauan indera).
Moderatisme dalam bidang ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Epistemologi (kayfiyyah)
berkaitan dengan cara manusia mengetahui, maka yang dipertanyakan adalah
‘bagaimana’ sesuatu itu bisa diketahui sehingga bisa dinyatakan suatu
pengetahuan itu benar atau salah, atau diputuskan bahwa sesuatu dapat diketahui
atau tidak. Dalam hal ini moderatisme dapat diragakan sebagai berikut:
Aksiologi (ghāyah)
berkaitan dengan tujuan manusia, maka yang dipertanyakan ‘untuk apa’ sesuatu
dilakukan. Aksiologi berkaitan dengan nilai baik dan buruknya sesuatu, dan
indah atau jeleknya sesuatu. Moderatisme di sini dapat digambarkan sebagai
berikut:
Bagi kebutuhan pemahaman maqasid
al-syariah, patut dianjurkan untuk mendahulukan pemahaman tentang epistemologi.
Sebab pengetahuan di bidang ini bisa menjadi dasar saat memasuki diskursus
dalam dua bidang lainnya. Hal ini jelas karena banyaknya pemikiran yang
berkembang—bahkan menjadi aliran—bisa membuat bingung dalam menemukan pendirian
yang tepat (moderat) dalam bidang ontologi dan aksiologi. Salah satu nasehat
yang harus diingat, adalah peringatan dari Louis O Kattsoff, ia menekankan agar
pendirian yang kita pegang dalam kesemua bidang filsafat itu harus konsisten,
kalau tidak kita akan terjebak dalam kontradiksi.
Sementara dalam bidang
epistemologi, kita yang hidup di abad postmodern ini bisa memetik pelajaran
dari perjalanan pergulatan filsafat di Barat. Bahwa filsafat yang pertengahan
itu adalah filsafat rasionalisme kritis yang dikembangkan oleh Karl R. Popper.
Filsafat rasionalisme kritis ini sesuai dengan filsafat yang dikembangkan oleh
Imam al-Ghazali di abad kegemilangan Islam dgn paradigma teoantroposentris. Ini
dapat dinyatakan sebagai pola pemikiran moderat yang mana Islam menganjurkan
moderatisme (al-wasathiyyah).
Asslmkm pak,
BalasHapusSaya ada pertanyaan mengenai pemahaman filsafat. Seperti yang tertera dalam wacana diatas, bahwa Kita harus konsisten dalam suatu bidang filsafat yang kita pegang. Nah, bagaimana bila filsafat yang kita pegang itu dibantah oleh orang lain? Apakah kita harus menerima bantahan tersebut atau tetap kukuhkan pendirian kita pada filsafat yang kita pegang?. Terimakasih pak.
Wa'alaikumussalam wr. wb.
HapusBantah membantah tidak pernah sepi dalam dunia filsafat. Soal berpegang dan bersikukuh juga tidak bisa dipaksakan sehingga menerima dan menolak bukan datang dari luar, tapi dari dalam diri kita. Artinya kita tetap harus terbuka untuk kebenaran sambil terus mengujinya. Konsistensi yang dimaksud adalah jangan sampai terjadi kontradiksi pada ketiga bidang filsafat itu. Makanya kita harus keluar dari doktrin filsafat dengan menjadikan filsafat sebagai metode mengkritisi doktrin berbagai aliran filsafat. Dengan demikian kita bisa tahu di mana posisi kita dan posisi orang yang membantah kita...
maaf prof.salam akenal saya maulidi, mhs s2 uin. mohon tanggapan ttg apa kerangka toeri yg tepat untuk mengkaji moderatisme al-Qaradawi dalam mawqasid syariah.jazakallah chair
Hapus