Mengenal Fakir dan Miskin
Alllah swt. berfirman:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ
وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ
وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ
حَكِيمٌ (60)
Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf
yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang,
untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(Q.S. al-Tawbah [9]: 60).
Memerhatikan ayat di atas, dapat
dipahami bahwa fakir dan miskin adalah dua kelompok yang berhak menerima zakat.
Menurut Ibn Manzhur, secara etimologis kata al-faqir merupakan lawan
kata al-ghani (kaya) sehingga memiliki kesamaan makna dengan kata al-miskin.
Lalu ia mengutip pendapat yang membedakan dan yang menyamakan kata al-faqir
dari kata al-miskin (Lisan al-‘Arab, jld. VII, hlm. 138). Al-Syafi‘i
dan Hanbali mengatakan fakir adalah orang yang tidak memiliki harta dan
pekerjaan yang mencukupi kebutuhan sehari-hari sehingga lebih buruk dari
miskin. Dalam hal ini, Wahbah al-Zuhayli kelihatan cenderung pada pendapat ini,
sebab dalam ayat 60 surat al-Tawbah kata fakir lebih dahulu disebut dari kata
miskin (Al-Zuhayli.
2005: 279).
Berbeda dari al-Syafi‘i dan Hanbali, mazhab
Hanafi dan Maliki justru melihat miskin lah yang lebih buruk dari fakir.
Penulis menemukan, Ibn ‘Asyur al-Maliki yang telah merekonstruksi teori maqashid
malah cenderung mengikuti pendapat ini dalam tafsirnya al-Tahrir wa
al-Tanwir tanpa penjelasan memadai (Ibn ‘Asyur, jld. X, 1984: 235).
Kiranya sikap ini menunjukkan kecenderungan mengikuti pendapat mazhab pada saat
tarjih secara semantik (dilalah) tidak bisa dilakukan.
Bagi penulis, dalam hal ini sikap moderat (tawasuth)
telah dicontohkan oleh al-Qurthubi. Ia mengatakan bahwa pendapat yang
menyatukan ontologi fakir dan miskin lebih dekat dengan kebenaran. Adapun
lahiriah teks secara semantik (dilalah) menunjukkan bahwa kedua senif
itu berbeda secara epistemologis, yaitu tingkat kebutuhan yang satu lebih besar
dari yang lain (Al-Qurthubi, jld. VIII, t.th.: 144.). Sekilas pendapat ini terkesan kontradiktif,
sebab bagaimana mungkin fakir dan miskin dinyatakan satu padahal Alquran
membedakan keduanya? Masalah ini penulis dekati dengan penalaran kausasi (ta‘liliyyah)
agar dapat melakukan abstraksi (tashawwur).
Penalaran ta‘lili berangkat dari
komformitas (munasabah/kesesuaian) antara ketetapan hukum dengan objek
hukum. Dalam hal ini, hak menerima zakat merupakan hukum (sebagai predikat
dalam proposisi, yaitu ibahah/mubah), sedangkan fakir dan miskin adalah
objek hukum (subjek dalam proposisi, yaitu al-mahkum bih). Proposisinya
berbunyi: “Fakir dan miskin adalah orang yang mubah/boleh/berhak menerima
zakat.” Perlu digarisbawahi bahwa al-mahkum ‘alayh yang dibebani taklif
adalah amil atau muzakki.
Hubungan antara hukum dengan objek hukum
menunjukkan adanya komformitas (al-ma‘na al-munasib), yaitu kesesuaian
antara hukum dengan objek hukum yang berlaku sebagai al-‘illah berupa
kebutuhan (al-hajah). Namun al-‘illah di sini menjadi qashirah
(tidak bisa digunakan untuk memperluas hukum [ta‘diyyat al-hukm]
melalui kias), sebab penerima zakat ditentukan secara determinan (tawqifi)
dalam ayat. Meski tidak bisa untuk kias, tetapi ma‘na munasabah
ini bisa digunakan untuk mendefinisikan senif-senif itu, sebab ia berlaku bagi
kedelapan senif yang disebutkan dalam ayat 60 di atas.
Saat hendak mendefinisikan (ta‘rif)
masing-masing senif, diperlukan ketuntasan di ranah ontologi (mahiyyah)
untuk sampai pada predikabel (menentukan genus [jins], diferensia [fashl],
aksidensia [‘aradh], spesies [naw‘], proporium [khash]).
Pada tataran ini ditemukan bahwa ontologi fakir dan miskin adalah memiliki
kebutuhan (al-hajah) yang sama, yaitu kebutuhan di ranah homeostatik
(kebutuhan dasar). Ini jelas berbeda dengan kebutuhan pada amil, muallaf,
budak, garim, sabilillah, dan ibn sabil yang ontologi kebutuhannya adalah
sekunder. Dengan demikian, kebutuhan fakir dan miskin adalah sama secara
ontologis, yaitu sama-sama kekurangan pada kebutuhan homeostatic (meminjam
istilah Abraham Maslow).
Melihat persamaan ontologi kebutuhan ini,
ditambah dengan adanya kekaburan dalam pendekatan semantik (dilalah),
maka pembedaan oleh Alquran harus dilihat secara epistemologis (kayfiyyah).
Penulis yakin pendekatan semantik dan sintaksis tidak bisa memberi solusi (murajjih)
bagi pertentangan dua pendapat di atas. Dari itu diperlukan pendekatan baru
yang holistik dengan menerapkan teori sistem.
Teori sistem memberi paradigma holistik bagi
para peneliti, sebab sebuah sistem terbuka bagi unit-unit yang berbeda dimensi
tapi bersatu dalam tujuan. Dalam kasus ini, fakir dan miskin adalah sama dalam
dimensi ontologis (mahiyyah), tapi berbeda dalam dimensi epistemologis (kayfiyyah).
Tanpa kesadaran atas teori sistem, persamaan dan perbedaan fakir dengan miskin
hanya dilihat dari satu perspektif/dimensi saja, maka kontradiksi tidak
terhindarkan. Padahal ketika ditempatkan dalam dimensi masing-masing, keduanya
tidak kontradiktif, bahkan saling melengkapi secara aksiologis (ghayah),
yaitu jika dilihat dari kacamata tujuan syariat (maqashid al-syari‘ah).
Sifat saling melengkapi ini semakin tegas saat
menerapkan kaidah dari teori maqashid tentang pertingkatan maqashid.
(Al-Yubi. 1998: 449.).
تكاليف
الشريعة ترجع إلى حفظ مقاصدها في الخلق، وهذه المقاصد ثلاثة أقسام: أحدها أن تكون
ضرورية، والثانى أن تكون حاجية، والثالث أى تكون تحسينية.
Taklif syariat kembali kepada pemeliharaan maqashid
al-syari‘ah pada makhluk, dan maqashid ini terbagi tiga, pertama dharuriyyah,
kedua hajiyyah, dan ketiga tahsiniyyah.
Berdasarkan kaidah ini, maka pembedaan antara fakir
dan miskin dalam ayat harus dipahami sebagai maksud al-Syari‘ yang
hendak memilah ‘jatah’ kelompok yang kebutuhan homeostatiknya (basic need)
di tingkat primer (dharurah) dengan yang di tingkat sekunder
(hajiyyah). Namun untuk dapat membuat definisi yang membedakan keduanya
diperlukan langkah lain di ranah linguistik.
Jika kata fakir dan miskin tidak
bisa dibedakan maknanya secara semantik dalam arti konvensi linguistik (wadh‘
lughawi), maka cara pandang al-Qurthubi patut diterima, bahwa kedua kata
ini berbeda dalam terminologi syarak (wadh‘ syar‘i). Cara pandang ini
merupakan penerapan paradigma holistik (menyeluruh dan komprehensif) yang
moderat (tawasuth), sebab paradigma linguistik justru menjebak pikiran
dalam keterbatasan linguistik. Misalnya Ibn ‘Asyur, ia hanya terpikir tentang
kemungkinan penyebutan kata “masakin” sebagai penguat (ta’kid)
bagi kata “fuqara’” (karena kata “masakin” disebut setelah kata “fuqara’”).
Ia tidak bisa keluar dari asumsi linguistik bahwa kata “fuqara’” dan “masakin”
itu sama artinya. Lalu penyebutan kedua kata itu secara berdampingan pastilah
sebagai ta’kid, kalau tidak ia akan berarti kesia-siaan. Padahal kesiaan
adalah mustahil dalam Alquran.
Berdasarkan paradigma
holistik-moderat (menyeluruh dan pertengahan), adanya terminologi syarak (wadh‘
syar‘i) yang lepas dari konvensi linguistik (wadh‘ lughawi) bisa
diterima akal. Ini berarti seseorang telah keluar dari paradigma linguistik,
sehingga keberadaan terminologi syarak di luar konvensi linguistik tidak
dianggap sebagai kontradiksi. Maka kedua kata itu harus dianggap sebagai
terminologi khusus secara syar‘i sebagaimana bunyi kaidah ushuliyyah
(Al-Najjar. 2013: 310).
إذا ورد اللفظ
في خطاب الشارع حمل على المسمى الشرعي.
Apabila ditemukan sebuah lafaz (spesifik)
dalam khithab al-Syari‘, maka ia harus dipertanggungkan atas referensi
terminologi syar‘i itu sendiri.
Memerhatikan kaidah ini, dapat disimpulkan bahwa
pemaknaan kata fakir dan miskin tidak bisa disorot dari aspek konvensi
linguistik (wadh‘ lughawi) saja.
Melihat kata “fuqara’” dan
“masakin” sebagai terminologi khusus syariat, maka urutan yang
mendahulukan kata “fuqara’” dari “masakin” dapat diduga ada
pengaruhnya. Sebab tidak jarang al-Syari‘ menjadikan urutan sebagai hal
penting dalam ayat Alquran, misalnya urutan dalam wuduk. Maka ini menjadi
proposisi universal (qadhaya jumaliyyah), yaitu kaidah umum yang dapat
diterapkan pada objek yang didiskusikan pada tulisan ini. Maka dapat
disimpulkan bahwa fakir lebih buruk dari miskin, dari itu dapat dibuat definisi
berikut:
1.
Fakir adalah orang yang
mengalami krisis kebutuhan homeostatik pada tingkat dharurah.
2.
Miskin adalah orang yang
mengalami krisis kebutuhan homeostatik pada tingkat hajiyyah.
Kedua kelompok orang ini harus
dibantu, maka pemilahan ‘jatah’ bagi keduanya dalam penyaluran zakat lebih dapat
mewujudkan maslahat. Jika pada suatu waktu kelompok fakir lebih sedikit dari
miskin, maka bantuan untuk mereka lebih besar, dan ini cukup pantas kerena
mereka mengalami kekurangan pada tingkat primer (dharurah). Sebaliknya
jika pada suatu masa kelompok fakir lebih banyak dari miskin (misalnya akibat
bencana alam), maka zakat bisa diarahkan untuk satu senif saja. Wallahu
a‘lam.
Kafir miskin ad nggak
BalasHapus