LGBT Melawan Fitrah
Lesbian,
gay, biseks dan transgender (LGBT) bukan persoalan baru, sebab sudah terjadi
ribuan tahun lalu di masa Nabi Luth. Alquran merekamnya dalam ayat ini:
Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah)
tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah
itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu.”
Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka),
bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. (Q.S. al-A‘raf [7]: 80-81).
Perhatikan
bahasa Alquran yang santun, padahal sedang membongkar sesuatu yang keji. Terkesan
Alquran menggunakan perdekatan persuasif-akhlaqi dalam menanggapi persoalan
ini. Menariknya, Alquran berhasil mendeskripsikan dengan sangat jelas, tanpa
harus memakai kata-kata vulgar atau emosional.
Bandingkan,
Alquran mendefinisikan hakikat homoseksualitas sebagai perbuatan (ta’tuna al-rijal/mendatangi
laki-laki), yaitu sodomi/sadomasokistis. Sementara
ilmu psikologi modern mendefinisikannya sebagai: Homosexuality being attracted to people
of the same sex. Contrast with heterosexuality (Statt, 1981: 66). Tampak hakikat homoseksualitas dianggap kodrati/fitrah.
Sebaliknya Alquran melihat ontologi homoseksualitas sebagai perbuatan (sodomi) sehingga
dapat disematkan predikat penyimpangan.
Kiranya di sini perlu dituntaskan tentang hubungan
homoseksualitas dengan sodomi. Entah bagaimana mulanya, homoseksualitas sebagai
konsep dibedakan lalu dilepas dari sodomi sebagai perbuatan. Memang pada
hubungan heteroseksual dapat terjadi praktik serupa yang disebut analseks, tetapi
homoseksualitas hanya punya satu cara, yaitu sodomi. Jadi homoseksualitas
identik dengan sodomi. Bahkan terma homoseksual muncul untuk menyebut perilaku
seks berwujud sodomi, bukan analseks.
Ini
bermula dari ilmu psikologi modern yang menerima teori Sigmund Freud tentang
libido. Menurut Freud, homoseksualitas
bawah sadar dapat ditemukan dalam diri setiap orang, sebab ia bagian dari
kemampuan libido asal yang tidak bisa diubah. Teori Freud ini telah digugat
oleh Erich Fromm, jadi bukan tidak terbantah. Fromm membuktikan homoseksualitas
muncul belakangan, akibat rasa takut terhadap lawan jenis, atau takut terhadap
tanggung jawab orang dewasa. Dalam tafsir al-Qurthubi dinukil, bahwa itu
muncul pada kaum Luth setelah diajar—secara tutorial—oleh iblis yang datang
dalam jelmaan seorang pemuda belia, jadi bukan alamiah. Masalahnya sekarang,
apakah kita mau mengikuti akal sehat untuk mencapai kebenaran?
Jika homoseksualitas adalah fitrah, berarti ia
tercipta sejak awal mula pertumbuhan embrional seseorang. Namun sampai hari ini
ilmu pengetahuan tidak bisa mendeteksinya. Kalau begitu pernyataan homoseksualitas
sebagai fitrah hanya waham semata, bukan pembuktian ilmiah. Dengan kata lain—meminjam
istilah Erich Fromm—homoseksualitas bukan permasalahan klinis. Dari itu kita
harus meninggalkan ranah saintifik-empirik, dan masuk ke ranah falsifikasi,
untuk menguji isu ini sebagai ‘ide’ yang hakikatnya abstrak, konseptual dan
metafisis.
Menurut ilmu psikologi, selain mencintai, di antara fitrah
dasar manusia adalah dorongan untuk mencapai maslahat dan menghindari mudarat. Secara
a priori (dharuri) kita tahu fitrah-fitrah itu tidak mungkin
kontradiktif. Lalu perhatikan, sodomi mempertemukan bagian tubuh yang terbuka
(saat ejakulasi) dengan batkteri/virus yang terkumpul di anus, bahkan di
antaranya menyebabkan AIDS. Dengan mengetahui efek yang ‘menjijikkan’ ini, orang
akan urung bersodomi. Lalu logiskah dinyatakan sebagai fitrah?
Tampak lah di sini kontradiksi yang nyata. Pertama,
jika homoseksualitas adalah fitrah, bagaimana mungkin di dalamnya terkandung
hal yang harus dihindari manusia? Kedua, manusia memiliki fitrah
bertahan hidup, sementara sodomi merusak hidup. Lalu bagaimana keduanya bisa
disebut fitrah padahal yang satu meniadakan yang lain? Jelas ini pikiran
irasional, sebab dua hal yang bertentangan tidak mungkin berhimpun.
Menelisik lebih dalam, pemikiran homoseksual sebagai
fitrah muncul akibat pola pikir rancu yang mencampuradukkan idealita dengan
realita. Fitrah sebagai konsep merupakan idealita, sedangkan homoseksualitas
sebagai perilaku seksual adalah realita. Praktik homoseksualitas dalam realita
terkait dengan kehendak, sebab orang bisa memilih melakukan atau tidak. Nah, sesat
pikir terjadi karena realita direduksi ke dalam idealita. Bagaimana mungkin
kita mengabaikan realita; bahwa homoseksual merusak hidup?
Bagi umat Islam, realita itu juga dikuatkan oleh pesan
kitab suci yang diimaninya. Jauh sebelum terungkapnya penyakit yang diakibatkan
oleh sodomi, para ulama klasik telah berbicara tentang bahayanya. Hanya saja
mereka mengkias pada ayat Alquran yang melarang hubungan intim di waktu haid.
Ayat 222 surat al-Baqarah menjelaskan, bahwa haid mengakibatkan penyakit
sehingga tidak boleh berhubungan intim sampai wanita suci dari haid. Menurut
Imam al-Ghazali, jika pada haid dilarang, apalagi pada sodomi. Sebab virus pada
haid sifatnya temporal, sedangkan pada anus bersifat tetap.
Selain itu, Islam melihat seksualitas sebagai sarana
reproduksi yang dilembagakan dalam nikah. Ini dikonsepsikan sebagai tujuan
syariat (maqashid al-syari‘ah). Al-Syathibi membaginya menjadi tujuan
Allah (maqashid li al-Syari‘) dan tujuan manusia (maqashid li
al-mukallaf). Kemudian tujuan Allah (al-Syari‘) dibagi dua: Pertama,
tujuan utama (al-maqashid al-ashliyah) yang merupakan hak Allah semata. Kedua,
tujuan pendukung (al-maqashid al-tabi‘ah) yang berpotongan dengan peran
manusia. Jadi al-maqashid al-tabi‘ah adalah tujuan Allah (al-Syari‘)
yang di dalamnya ada keterlibatan peran manusia.
Reproduksi merupakan salah satu tujuan Allah (al-Syari‘)
yang disebut al-maqashid al-ashliyyah. Ini murni maqashid li al-Syari‘
yang keterwujudannya adalah hak Allah semata. Namun untuk mendukung tercapainya
tujuan utama ini (reproduksi) Allah mensyariatkan nikah. Alquran menjelaskan bahwa
tujuan nikah untuk menciptakan ketenangan (li taskunu). Di sinilah peran
manusia terlibat, sehingga disyariatkan pula talak sebagai hak manusia jika
ketenangan tidak terwujud. Sebaliknya, reproduksi bukan alasan pensyariatan
talak. Sebab tujuannya agar terjadi reproduksi, bukan lahirnya anak dari setiap
pasangan.
Merujuk teori al-Syathibi, homoseksualitas
bertentangan dengan tujuan syariat, karena kontraproduktif dengan tujuan reproduksi.
Hal ini berbahaya jika meluas, sebab pada taraf massif, dapat mengancam
keberlangsungan keturunan manusia. Maka Allah sendiri yang bertindak seperti
yang dialami kaum Luth: “Maka tatkala datang azab Kami, Kami
jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami
hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.” (Q.S. Hud [11]: 82).
Mengingat reproduksi merupakan hak Allah, maka
pantaslah Alquran tidak menetapkan hukuman tertentu untuk dijalankan manusia.
Tetapi manusia diberi tanggung jawab lewat penerapan hukuman ta‘zir oleh
yang berwenang. Para ulama berbeda pendapat, ada yang menetapkan hukuman bakar,
bunuh, rajam, cambuk, penjara seumur hidup, atau penjara sampai pelaku
bertobat. Di sini perlu dipertimbangkan upaya preventif (sadd al-zari‘ah),
sebab perbuatan segelintir orang bisa meluas menjadi massif. Jadi itu harus
dicegah sebelum mengundang ‘turun tangan’ Allah langsung.
Adapun dasar penghukuman adalah pelanggaran terhadap
nilai/norma islami. Sebagian ulama mengkiaskan pada zina karena sama-sama
fahisyah. Namun kiranya, yang lebih bertanggungjawab adalah melihatnya sebagai norma
akhlaqi, sehingga pemerintah harus menurunkannya lebih dahulu ke tingkat
norma hukum secara positif. Sumber nilainya pernyataan Alquran: “…wanita adalah
ladang bagimu…” (QS. Al-Baqarah [2]: 223). Ayat ini mengandung norma, bahwa
fitrah manusia adalah heteroseksual. Lalu ayat lain tentang nikah, azab
terhadap homoseksual dan ayat terkait lain menjadikan pemahaman komprehensif
dan utuh tentang fitrah heteroseksual ini.
Seperti dinyatakan Ibn ‘Asyur, satu ayat yang
mengandung makna umum dapat dijadikan prinsip/kaidah yang berlaku umum. Maka
norma dalam ayat 223 surat al-Baqarah berada pada urutan ketiga hirarki tata
nilai islami. Pertama, nilai tertinggi (al-qiyam al-‘aliyah),
yaitu maslahat sebagai tujuan tertinggi. Kedua, nilai menengah (al-qiyam
al-wasiliyah) berupa sarana untuk mencapaikan nilai tertinggi, yaitu
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Ketiga, nilai khusus
(al-qiyam al-khassah) yang terkait dengan persoalan tertentu.
Memerhatikan teori di atas, maka homoseksualitas dapat
ditetapkan sebagai pelanggaran terhadap nilai khusus, yaitu fitrah heteroseksualitas
manusia. Ini berarti pelanggaran atas nilai pada hirarki kedua, yaitu
pemeliharaan keturunan. Bahkan jika meluas dapat melanggar nilai pemeliharaan
agama. Terakhir, perbuatan itu adalah mafsadat karena berlawanan dengan tujuan
syariat, yaitu mewujudkan maslahat. Jadi homoseksualitas menentang syariat dan
sekaligus menentang fitrah sehingga dapat dijatuhi hukuman.
Kiranya ada yang sulit menemukan konsep penghukuman homoseksual
karena Alquran tidak memberi ketetapan langsung. Tetapi jika prinsip fitrah heteroseksual
manusia bisa diterima sebagai nilai islami yang bersumber dari Alquran, maka
masalah ini teratasi. Sebab menurut ulama ahli
usul al-fiqh, Alquran tidak pernah memberi perintah atau larangan pada
perbuatan yang bersifat gharizah/tabiat.
Selain itu, manusia diciptakan dengan fitrah bertahan
hidup, sehingga secara naluriah akan berusaha mencapai kebaikan dan menghindari
keburukan. Lalu tahu adanya kotoran dan sumber penyakit pada anus sudah cukup
sebagai stimulus bagi bangkitnya fitrah bertahan hidup, sehingga ‘jijik’ pada
sodomi. Maka dari Alquran, cukup perintah memberdayakan akal dan larangan membinasakan
diri saja. Sebab yang terjerumus hanya mereka yang meninggalkan akal sehat.
Tulisan ini telah dipublikasi di Tabloid Pikiran Merdeka, edisi 113, 29 Februari-6 Maret 2016.
Komentar
Posting Komentar