Kembali ke Fitrah: Tafsir ayat 30 Surah al-Rum
Allah berfirman dalam surat al-Rum:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ
لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا
تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (الروم: 30)
Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetap-lah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui. (Q.S. al-Rum [30]: 30).
Menurut al-Zujâj, kata perintah “aqim” dalam ayat
berarti “ikutilah agama yang lurus, dan ikutilah fitrah Allah”, (al-Qurthubî,
t.th.: XIV, 20). Jadi kata aqim
dimaknai atbi‘
dan memiliki dua objek (maf‘ûl), yaitu wajhaka dan fitrat Allah. Sementara al-Thabari menjadikan kata fitrah sebagai
sandaran (masdar)
perintah aqim,
yaitu; karena --secara fitrah-- Allah menciptakan manusia dengan kesiapan untuk
menerima dan me-ngemban agama ini. Penafsiran lain dari Thahir ibn ‘Asyûr
menjadikan kata hanîf sebagai
penjelasan (hâl)
bagi kata al-dîn,
dan kata fitrah sebagai
badal, yaitu
menjelaskan maksud dari kata hanîf.
Ketiga penafsiran di atas sama-sama bertujuan
menjelaskan Islam sebagai fitrah meski berbeda dalam uraian ketatabahasaan (i‘rab). Namun
kelihatan Ibn ‘Asyûr berusaha lebih dekat dengan teks secara sintaksis. Perlu
diingat, bahwa mutu sebuah penafsiran diukur dari seberapa dekatnya pemahaman
itu dengan bunyi dan redaksi teks. Dari perspektif Ibn ‘Asyûr, ayat ini
bermakna; “Hadapkanlah
wajahmu kepada agama Islam yang merupakan fitrah”.
Bagi Ibn ‘Asyûr, semua ajaran Islam merupakan ajaran
yang sesuai dengan fitrah penciptaan manusia, baik itu terkait dengan akidah,
maupun hukum. Pandangan ini berbeda dengan beberapa ulama seperti Fakhr al-Dîn
al-Râzî dan al-Baydhawi yang membatasi kefitrahan Islam hanya dalam bidang
akidah saja. Hal ini dapat dikritisi dengan memahami hakikat kata al-dîn yang mencakup
akidah dan muamalah, redaksi ayat, dan hakikat kata fitrah itu sendiri.
Redaksi ayat juga mendukung penafsiran Ibn ‘Asyûr,
sebab ayat sebelumnya berbicara tentang syirik yang harus dijauhi manusia. Lalu
perintah fa aqim menjadi
semacam kesimpulan bahwa manusia harus mengikuti agama fitrah ini, dan
meninggalkan segala bentuk kekufuran. Penafsiran ini senada dengan
al-Zamakhsyari dalam Tafsir
al-Kasyaf, bahwa Allah menciptakan manusia dengan potensi yang
membuatnya bisa menerima ajaran tauhid dan ajaran Islam lainnya.
Permasalahan yang mengemuka dalam konteks Islam
sebagai agama fitrah, adalah seberapa luas cakupan makna fitrah dalam ayat ini,
apakah merupakan fitrah bagi seluruh manusia, atau hanya fitrah dalam
penciptaan muslim saja.
Pembatasan Makna Fitrah
Dalam kamus Lisan al-‘Arab, kata fitrah diartikan sebagai awal
mula penciptaan sebagaimana juga dapat dipahami dari hadis nabi; “كل مولود يولد
على الفطرة”. Namun dengan
berpijak pada hadis Abu Hurayrah ini, sebagian ulama justru mengartikan kata
fitrah dalam batasan Islam saja. Dengan demikian, kata ‘Kullu Mawlûdin’
dibatasi keumumannya dalam konteks muslim saja, tidak mencakup non-muslim. Bagi
ulama kalangan ini, maksud kata fitrah adalah fitrah penciptaan muslim, bukan
fitrah penciptaan manusia secara umum.
Pembenaran atas penafsiran ini seringkali dikaitkan
dengan ayat berikut:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ
لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا
وَلَهُمْ آَذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ
أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ (الأعراف: 179)
Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai. (Q.S. al-A ‘raf [7]: 179).
Sebagian ulama, dengan berdasar ayat di atas memaknai
fitrah; bahwa sebagian orang diciptakan sebagai isi neraka, dan sebagian lagi
sebagai isi syurga. Mereka juga merujuk kepada hadis berikut:
وروى أبو سعيد الخُدْرِي قال : صلّى بنا
رسول الله صلى الله عليه وسلم العصر بنهار؛ وفيه : وكان فيما حفِظْنا أن قال : «
ألا إن بني آدم خُلقوا طبقات شتّى فمنهم من يولد مؤمناً ويحيا مؤمناً ويموت مؤمناً
، ومنهم من يولد كافراً ويحيا كافراً ويموت كافراً ، ومنهم من يولد مؤمناً ويحيا
مؤمناً ويموت كافراً ، ومنهم من يولد كافراً ويحيا كافراً ويموت مؤمناً ، ومنهم
حَسَن القضاء حَسَن الطلب »
Dari
Abu Sa‘îd al-Khudri, ia berkata: “Kami salat bersama Rasul pada suatuhari, dan
kala itu kami mendengar sesuatu yang terhafal oleh kami dari ucapan beliau;
[Ketahuilah bahwa Bani Adam diciptakan dalam banyak tingkatan, sebagian dari
mereka dilahirkan sebagai mukmin, hidup dan mati sebagai mukmin. Sebagian yang
lain dilahirkan kafir, hidup dan mati sebagai kafir, sebagian lagi lahir
sebagai mukmin, hidup sebagai mukmin, tapi mati sebagai kafir. Adapun sebagian
yang lain, lahir sebagai kafir, hidup sebagai kafir, namun mati sebagai mukmin.
Sebagian dari mereka baik qadha-nya
dan baik tujuannya.
Hadis
ini ditakhrij oleh al-Thaylisi, sanadnya bernilai lemah (dha‘if)
sehingga tidak dapat dijadikan hujah. Namun secara makna, ternyata hadis ini
senada dengan hadis sahih riwayat Muslim berikut ini:
قالت عائشة رضي الله عنه: [ دعي رسول الله صلى الله عليه و سلم إلى
جنازة غلام من الأنصار فقلت : يا رسول الله طوبي لهذا عصفور من عصافير الجنة لم
يعمل السوء ولم يدركه ! قال : أو غير ذلك يا عائشة ! إن الله خلق للجنة أهلا خلقهم
لها وهم في أصلاب آبائهم وخلق للنار أهلا خلقهم لها وهم في أصلاب آبائهم ]
Suatu
hari Rasulullah saw. diminta mengunjungi jenazah seorang anak dari kalangan
Anshar, lalu ‘A’isyah ra. berkata; “Ya Rasulullah, berbahagialah untuk kembang
syurga ini, ia tidak berbuat buruk dan tidak disentuh keburukan”. Beliau menanggapi: “Atau
tidak demikian ya ‘Ā’isyah, sesungguhnya Allah telah menciptakan penghuni bagi
syurga, padahal mereka masih berada dalam shulbi bapaknya. Demikian pula Allah
menciptakan penghuni bagi neraka, padahal para penghuni itu masih dalam shulbi
bapaknya”.
Senada
dengan hadis di atas, dalam konteks berbeda para ulama mencontohkah penciptaan
iblis untuk maksiat, meski ia beramal salih bersama malaikat namun kemudian
kembali kepada kemaksiatan dan kekufuran sesuai fitrahnya. Demikian pula halnya
dengan manusia, jika telah digariskan sebagai isi neraka, maka ia akan kembali
dalam fitrahnya sebagai isi neraka, meskipun ia beramal saleh.
Menurut ulama kalangan ini, seandainya fitrah Islam
mencakup semua manusia, sungguh tidak akan ada lagi kafir, padahal Allah
menciptakan sebagian manusia sebagai isi neraka. Jika pemahaman seperti ini
diikuti, maka Islam menjadi sangat eksklusif, hanya terbatas kepada muslim
saja, dan dakwah menjadi tidak perlu. Padahal universalitas Islam telah
dibuktikan dengan banyaknya ilmuwan nonmuslim yang memilih masuk Islam setelah
melakukan kajian terhadap ajaran Islam. Sampai di sini dituntut sikap yang
moderat guna mengetahui pendirian yang lebih dekat dengan maksud teks.
Hakikat
Fitrah
Berbeda
dari pendapat di atas, sebagian ulama merujukkan kata fitrah kepada hadis sahih
yang ditakhrij oleh Muslim dalam Kitâb al-Jannah wa shifat na‘îmiha wa
ahliha:
ألاَ أحدّثكم بما حدّثني الله في كتابه ، أن
الله خلق آدم وبنيه حنفاء مسلمين ، وأعطاهم المال حلالاً لا حرام فيه فجعلوا مما
أعطاهم الله حلالاً وحراماً . . .
Bukankah
telah kujelaskan kepadamu tentang apa yang disampaikan Allah dalam kitab-Nya,
bahwa Allah menciptkaan Adam dan keturunannya dalam keadaan lurus dan muslim,
dan Allah memberikan mereka harta secara halal, tidak ada keharaman di
dalamnya. Maka mereka menjadikan/memilah pemberian Allah sebagai halal dan
haram...
Kata
hunafa (hanif) dalam hadis di atas berarti fitrah penciptaan
manusia yang lurus oleh Allah, karena kata Adam dan keturunannya jelas menunjuk
seluruh manusia, baik muslim maupun nonmuslim. Dari sini disimpulkan bahwa
manusia diberi potensi untuk menjadi muslim meskipun ia masih dalam kondisi
nonmuslim, atau memilih tetap menjadi nonmuslim. Lalu, apakah kedua hadis ini
kontradiksi?
Kedua
hadis ini tidak kontradiksi, sebab hadis ‘Ā’isyah di atas menjelaskan tentang
kehendak Allah yang tidak bisa diselidiki manusia, tidak ada akses untuk itu.
Manusia tidak pernah bisa tahu tentang siapa yang dikehendaki Allah sebagai isi
syurga dan siapa isi neraka. Sedangkan hadis kedua menjelaskan tentang
penciptaan manusia yang bisa diselidiki, dan neurosains telah membuktikan
adanya god spot sebagai alat menerima ajaran tauhid dan konsep keadilan
Islam.
Semua
manusia memiliki alat ini, yaitu akal dan nurani yang hardware-nya
diduga sebagai otak dan hati. Jadi kedua hadis ini berbeda perspektif, yang
satu dalam perspektif keimanan agar manusia kenal Tuhannya, dan satu
lagi dalam perspektif pengalaman agar manusia kenal potensi dirinya. Hal ini
hanya bisa dipahami jika kita mampu bersikap moderat, mampu menempatkan kedua
perspektif ini dalam porsi masing-masing secara proporsional.
Cara berpikir moderat ini telah dicontohkan oleh al-Ghazālī
dalam kitabnya Jawahir
al-Qur’an wa Duraruh. Al-Ghazālī menghimpun ayat-ayat tentang
penciptaan yang harus didekati dengan iman dalam tema jawahir. Ayat-ayat jawahir itu
dimaksudkan sebagai media manusia dalam usaha mengenal Tuhannya. Sementara ayat-ayat
tentang peciptaan dalam pengalaman manusia dihimpunnya di bawah tema durar yang
dimaksudkan sebagai cermin di mana manusia bisa mengenali diri sendiri.
Sikap moderat di sini mengambil bentuk pertengahan
dengan tidak terlalu kaku dalam memahami teks secara tekstual, dan tidak
meninggalkan teks secara bebas sehingga menjadi liar tak terkendali. Sikap
pertengahan seperti ini yang disebut sebagai cara pandang moderat yang
mengantarkan kita pada pemahaman yang lebih mendekati maksud dari teks ayat dan
hadis di atas, baik secara sintaksis maupun semantik. Pemahaman dari cara
pandang seperti ini bersifat komprehensif sehingga lebih tepat dibanding
pemahaman lain yang terkesan atomistik.
Dengan memadukan semua ayat dan hadis di atas,
diperoleh pemahaman moderat bahwa Allah menciptakan manusia dalam satu fitrah,
yaitu kemampuan untuk mencerna dan menerima agama tauhid. Meskipun ada manusia
yang ditakdirkan menjadi isi neraka, hal ini tidak menafikan adanya potensi
pada dirinya untuk bisa menerima kebenaran agama tauhid. Justru penolakannya
terhadap agama tauhid menjadi tolok ukur pengingkarannya terhadap fitrah
dirinya, dan itu menjadi alasan kenapa ia masuk neraka.
Maka fitrah dalam ayat 30 Surat al-Rum berarti suatu
aturan yang dijadikan oleh Allah untuk setiap makhluknya. Fitrah manusia
berarti aturan Allah dalam menciptakan manusia, baik zahir, maupun batin, baik
akal maupun jasmani. Dengan demikian, fitrah penciptaan manusia secara
jasmaniah adalah berjalan dengan kaki, maka berjalan dengan tangan adalah
bentuk penyimpangan fitrah. Aturan penyimpulan logika melalui sebab akibat
merupakan fitrah penciptaan akal manusia, maka setiap kesimpulan yang tidak
logis merupakan penyimpangan terhadap fitrah akal.
Berdasarkan penafsiran ini, pernyataan Islam sebagai
agama fitrah berarti ajaran yang sesuai dengan fitrah penciptaan akal. Hal ini
bisa dipahami dengan mempelajari ajaran Islam, baik akidah maupun syariatnya,
semua merupakan ajaran yang dapat dipahami secara ‘aqliyyah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
Islam merupakan agama yang disyariatkan berdasar fitrah manusia. Jadi semua
manusia bisa memahaminya, walaupun ia terlahir sebagai nonmuslim. Artinya Islam
diturunkan sesuai dengan kemampuan akal manusia untuk menerima dan meyakininya.
Hal ini berlaku dalam semua ajaran Islam, termasuk dalam perintah puasa.
Pertama,
sebagai ajaran yang sesuai dengan fitrah penciptaan manusia, pastilah perintah
berpuasa masih dalam batas kemampuan manusia melakukannya. Kedua, sesuai dengan
fitrah penciptaan akalnya, manusia pasti mampu mencerna hikmah dan manfaat dari
perintah berpuasa. Oleh karena itu, hanya manusia yang malas berpikir saja yang
melihat perintah puasa sebagai siksaan.
Jika seseorang telah mampu melihat perintah berpuasa
sebagai perintah yang sesuai dengan fitrah jasmaniahnya, maka ia telah sampai
pada penerimaan Islam sebagai agama yang sesuai dengan kemanusiaannya. Tahap
berikutnya, jika seseorang mampu mencerna hikmah di balik perintah berpuasa,
maka ia akan terpesona dengan kebijaksanaan Allah dalam menciptakan alam ini.
Jika kedua hal ini berpadu, maka seseorang telah sampai pada penerimaan Allah
sebagai Tuhannya, dan Islam sebagai agamanya walaupun sebelumnya ia nonmuslim.
Pada saat ini, seseorang menjelma menjadi manusia paripurna, inilah artinya
kembali kepada fitrah…
Dari
pembahasan ini dapat dipahami, bahwa kembali kepada fitrah di Hari Raya Idul
Fitri berarti kembali kepada keyakinan Islam secara penuh kesadaran dan
keyakinan. Sebab perintah berpuasa merupakan perintah terberat yang diembankan
kepada manusia. Bagi yang tidak bisa menemukan fitrah kemanusiaannya akan merasakan
adanya perlawanan dan pemberontakan dalam dirinya atas perintah berpuasa. Maka
perintah berpuasa hanya dapat diselesaikan oleh manusia-manusia yang sadar akan
fitrah, dan ini layak dirayakan!
Komentar
Posting Komentar