Hujjah Balighah: Kitab hukum acara perdata pertama di Nusantara

Kodifikasi hukum merupakan tuntutan di sebuah negara hukum, tidak terkecuali di sebuah kerajaan seperti Aceh Darussalam. Bahkan satu hal yang mencerminkan moderatisme, ternyata di Kerajaan Aceh Darussalam juga telah ditulis sebuah kitab hukum acara perdata. Sebagai pegangan para qādī, kitab itu ditulis dalam bahasa Jawi, sungguh mencerminkan keseriusan penerapan hukum. Dan, satu fenomena menarik, kitab ini ditulis di masa-masa kemunduran Aceh secara politik, bukan di masa keemasan.
Sebagaimana umumnya ditulis dalam buku-buku teks sejarah, bahwa masa keemasan Aceh adalah di zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Mungkin kebanyakan kita setuju bahwa kajian keilmuan di masa Sultan Iskandar Muda sudah cukup tinggi. Namun ternyata kitab-kitab berbahasa Jawi yang diwariskan dari masa kekuasaannya, kebanyakan berisi tentang tauhid dan akhlak. Adapun kajian hukum masih menggunakan kitab-kitab berbahasa Arab yang disalin ulang di Aceh.  
Pandangan di atas cukup beralasan karena di pustaka Dayah Tanoh Abe terdapat satu kitab Syarh al-Mahallī ‘alā al-Minhaj, yang disalin ulang di Aceh pada tahun 1029 H/1619 M.[1] Dari tahun yang tertera pada naskah ini tampak bahwa penyalinan dilakukan di masa Sultan Iskandar Muda. Di samping itu, juga terdapat salinan kitab-kitab Syāfiiyyah lainnya yang sudah cukup tua, tapi sayang tidak tertera tahun penyalinannya. Bisa saja kitab-kitab tua itu juga disalin di masa Sultan Iskandar Muda, atau masa sultan-sultan Aceh sebelumnya. Jadi ada benarnya jika disimpulkan; bahwa penulisan materi hukum secara khusus dalam bahasa Jawi belum dilakukan pada masa itu.

Penulisan kitab hukum di Kerajaan Aceh Darussalam
Pada masa setelah Sultan Iskandar Muda, banyak sekali kitab-kitab hukum yang ditulis khusus secara tersendiri dalam bahasa Jawi, baik ditulis oleh ulama dari luar Aceh, mau pun putera. Aceh sendiri. Snouck Hurgronje menginformasikan adanya kitab berjudul Bāb al-Nikāh, buah karya seorang ulama Aceh bernama Muhammad Zayn ibn Jalāl al-Dīn. Menurut Snouck, kitab ini memuat ajaran yang dirancang untuk memenuhi keperluan hidup masyarakat Aceh, ia pernah melihat dan membacanya. Kitab ini pernah dicetak litografi di Konstantinopel pada tahun 1304 H/1886 M dengan judul Bāb al-Nikāh.[2] Sayangnya tahun penulisan kitab ini tidak diketahui, sama halnya dengan kitab Bidāyat al-Hidāyah yang ditulis oleh Muhammad Zayn dalam bidang usūl al-Dīn.[3]
Meski tahun penulisan kitab Bāb al-Nikāh tidak diketahui secara pasti, namun bisa diduga masanya. Snouck Hurgronje mengindikasikan bahwa ayah Muhammad Zayn, yaitu Jalāl al-Dīn, adalah Teungku Lam Gut yang dalam tahun 1826-1827 M, telah menulis kitab Tanbīh al-Ghāfilīn. Menurut Ali Hasjmy, Muhammad Zayn hidup di masa Sultan ‘Alā al-Dīn Mahmūd Syāh (1760-1781 M), dan pernah menjabat sebagai qādī māliku al-‘ādil.[4] Beda perkiraan tahun ini tidak perlu dibahas di sini, yang jelas, penulisan kitab Bāb al-Nikāh ini dapat dipastikan dilakukan pada masa setelah Sultanah Safyyat al-Dīn.
Kitab hukum berbahasa Jawi tertua di Aceh adalah kitab Mir’at al-Tullāb, karya Syekh ‘Abd al-Ra’ūf al-Singkilī yang ditulis tahun 1672 M atas permintaan Sultanah Tāj al-‘Ālam Safiyyat al-Dīn (1641-1675 M). Berikutnya ada kitab Sirāt al-Mustaqīm, karya al-Rānirī yang ditulis tahun 1675. Di masa Sultan Jamāl al-‘Ālam (1704-1726 M), ada pula kitab Ilmu Fikih yang ditulis tahun 1711 M. Namun sayang tidak diketahui siapa penulisnya. Berikutnya pada masa Sultan ‘Alā’ al-Dīn Ahmad Syāh (1727-1735 M), atas permintaan sultan, Jamāl al-Dīn al-Asyī menulis kitab Hidāyat al-‘Awām.
Tiba pada masa Sultan ‘Alā’ al-Dīn Johan Syāh (1735-1760 M), telah ditulis dua kitab penting. Pertama, kitab Safīnat al-Hukkām fī Takhlīs al-Khassām yang berisi hukum perdata. Kedua, kitab Hujjah Bālighah yang khusus tentang hukum acara perdata, suatu kitab khusus yang belum pernah ada dalam tradisi Islam di nusantara sebelumnya.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa kecenderungan penulisan hukum pidana dan perdata Islam secara mandiri telah dimulai pada masa Sultanah Safiyyat al-Dīn. Pada masa ini, hukum pidana dan perdata Islam telah ditulis dalam satu kitab tersendiri, terpisah dari bagian ibadah. Hal ini merupakan terobosan baru, mengingat dalam tradisi Islam, kitab-kitab fikih biasanya ditulis dalam sistematika empat bagian tak terpisah, yaitu rubūibadat, rubūmuamalat, rubūmunakahat, dan rubūjinayat. Sebagai contoh dapat dilihat sistematika penulisan kitab Syarh al-Mahallī ‘alā al-Minhāj yang telah cukup populer di Aceh sejak masa Sultan Iskandar Muda.
Kecenderungan ini semakin kuat pada masa-masa setelahnya, seperti terlihat pada kitab hukum keluarga yang ditulis oleh putera Aceh asli, yaitu Kitab pada Menyatakan Hukum Nikah. Kitab berbahasa Jawi ini khusus memuat tentang hukum keluarga, ditulis oleh Faqīh Abd al-Wahhāb, atau dikenal sebagai Malem Itam. Menurut Snouck Hurgronje, kitab ini sudah berumur satu abad penuh.[5] Seandainya Snouck Hurgronje menemukan kitab ini ketika ia berada di Aceh, maka dapat diperkirakan kitab itu ditulis sekitar tahun 1791, sebab Snouck bermukim di Aceh sejak Juli 1891 sampai Februari 1892.[6]
Sampai di sini dapat disimpulkan, bahwa dalam masa-masa permerintahan sultanah yang merupakan masa kemunduran secara politik, ternyata terjadi kemajuan dalam bidang ilmu dan hukum secara signifikan. Dalam masa ini ditemukan kitab-kitab fikih yang khusus berisi hukum pidana dan perdata dalam bahasa Jawi. Sebagian dari karya ini dapat dinyatakan sebagai bentuk kodifikasi, karena adanya perintah penulisan dari sultan.
Kitab Safīnat al-Hukkām fī Takhlīs al-Khassām ditulis oleh Jalāl al-Dīn ibn Kamāl al-Dīn ibn Baginda Khātib dari Tarusan atas perintah Sultan Alā’ al-Dīn Johan Syāh. Al-Tarusani menerima perintah ini pada hari Jumat, 4 Muharram 1153 H/31 Maret 1740 M. Secara keseluruhan kitab ini berisi hukum perdata, hukum pidana, dan hukum acara. Pembahasan tentang hukum acara yang ditempatkan dalam mukadimah menghabiskan sepertiga isi buku. Hal ini mengindikasikan bahwa bagian ini memang dimaksudkan sebagai tuntunan beracara bagi para hakim. Hanya saja sistematika penulisan tidak dibuat menjadi mandiri sebagai bab khusus.
Bagian isi Safīnat al-Hukkām dibagi dalam tiga bab. Pertama tentang peradilan (kitāb al-aqdiyyah) yang merupakan bagian terbesar dari buku ini. Kelihatannya bagian ini merupakan tujuan utama penyusunan buku ini, sebab isinya merupakan materi hukum perdata tentang perikatan yang disebutnya “kitāb aqdiyyah”, bukan “bab”. Sedangkan materi hukum perdata yang mengatur hukum keluarga, disebut dengan “bāb nikāh”, sama dengan materi hukum pidana yang disebut “bāb jināyah”. Kelihatannya kedua bab ini ditempatkan sebagai bagian berbeda di bawah kitāb al-aqdiyyah sehingga dijadikan bab tersendiri. Namun dari porsi yang diberikan, bāb jināyah lebih kecil porsinya, yaitu seperlima dari seluruh isi kitab. Maka dapat diyakini, bahwa kitab ini memang dimaksudkan sebagai kitab hukum perdata, dan hukum acara perdata.
Masih di masa sultan yang sama, pada tahun 1745 M, ditulis sebuah kitab berjudul Hujjah Bālighah ‘alā Jamā‘at al-Mukhāsamah oleh Faqīh Jalāl al-Dīn ibn Syaykh Kamāl al-Dīn. Satu salinan naskah ini terdapat di pustaka Dayah Tanoh Abe.[7] Selain itu, salinan naskah yang sama juga ada dalam koleksi Saudara Tarmizi A. Hamid, Banda Aceh. Jika penulis Safīnat al-Hukkām adalah juga penulis kitab Hujjah Bālighah, maka ia juga menganggap penting penulisan buku hukum acara perdata secara tersendiri, yaitu kita Hujjah Bālighah.

Hujjah Bālighah ‘alā Jamā‘at al-Mukhāsamah
Sebagaimana tersimpul di atas, bahwa penulisan materi hukum di Aceh sudah sangat diperhatikan sejak masa Sultanah Safiyyat al-Dīn (1641-1675 M). Namun penulisan pada masa itu masih menyatukan antara materi hukum pidana dengan hukum perdata, dan hukum acara. Perkembangan penulisan ke arah yang lebih spesifik terjadi di masa Sultan Alā’ al-Dīn Johan Syāh (1735-1760 M). Pada masa ini telah ditulis sebuah kitab yang khusus berisi hukum acara perdata,[8] yaitu kitab Hujjah Bālighah. Dalam mukadimah kitabnya, Jalāl al-Dīn ibn Kamāl al-Dīn al-Qādī menulis:
Kemudian dari itu maka tatkala adalah hijrah Nabi saw. seratus lima puluh delapan tahun kemudian daripada seribu pada masa empat hari bulan Muharram waktu dūhā hari Sabtu zaman sayyidina wa mawlāna paduka Sri Sultan ‘Alā’ al-Dīn Johan Syāh berdaulat zill Allāh fī al-‘Ālam telah meminta kepadaku setengah seorang dari pada laki-laki kekasihku, salah seorang daripada pegawai sultan yang tersebut itu, bahwa kusuratkan baginya suatu risalah yang simpan (ringkas) pada menyatakan segala rukun da‘wā dan bayyinah yaitu saksi dan barang yang bergantung dengan keduanya.

Dari mukadimah kitab ini jelas diinformasikan, bahwa kitab ini ditulis atas permintaan pegawai kerajaan, tentunya pegawai yang bertugas dalam bidang peradilan. Maka dapat diperkirakan bagaimana sentralnya posisi kitab ini di Kerajaan Aceh kala itu. Apalagi penulisnya sendiri juga seorang yang sedang menjabat sebagai Qādī Mālik al-‘Ādil. Mengenai nama dan isi kitab ini, Jalāl al-Dīn menulis sebagai berikut:
Dan kunamai akan dia dengan Hujjah Bālighah, kata yang tiada berlawan atas segala jamāah yang bershumat… Dan kutertibkan akan dia atas tiga bab… Bab yang pertama pada menyatakan qādī dan barang yang bergantung dengan dia…. dan bab yang kedua pada menyatakan da’wā dan bayyinah dan barang yang bergantung dengan dia keduanya… dan bab yang ketiga pada menyatakan saksi dan sumpah dan barang yang bergantung dengan keduanya.

Bab pertama dimulai dengan pendefinisian hakim, hukum dan dasar hukum dari ayat dan hadis. Lalu dilanjutkan tentang sikap-sikap ideal qādī, ancaman terhadap qādī yang melakukan penyimpangan, dan balasan bagi qādī yang baik. Pada bab ini juga dijelaskan kewenangan qādī dan wakilnya sebagai pengganti saat berhalangan. Bahwa qādī pengganti hanya boleh ber-tahkīm pada kasus yang tidak diganjar dengan hadd, dan atas dasar persetujuan para pihak.
Dalam bab pertama ini juga diangkat beberapa kaidah fiqhiyyah sebagai pedoman bagi para qādī (kaidah ini dirujuk dari tulisan Jalāl al-Dīn al-Suyūtī). Di sini juga ditegaskan kewajiban qādī untuk bersikap sama terhadap semua orang, larangan meneriman hadiah dan suap (risywah), dan tatacara memutuskan perkara dalam persidangan.
Bab kedua dimulai dengan ayat tentang dawā, dan hadis tentang saksi; “Bermula saksi atas yang mendakwa ia dengan saksi yang sahih tsābit seperti dida‘wā, dan sumpah atas yang munkar jika tiada bersaksi ia atau batal saksi yang menda‘wā, maka sumpahlah si muda‘a ‘alayh, demikian dābit hukum syara‘ dan sabda Nabi saw…
Pembahasan dilanjutkan dengan cara-cara pengajuan dakwaan (perkara), lengkap dengan syarat dan rukunnya secara terperinci, dan uraian sah tidaknya suatu dakwaan.
“Maka da‘wā itu syarat enam perkara, dan rukun da‘wā pun namanya, maka apabila berhimpun ia syarat yang enam itu dalamnya maka yaitulah da‘wā yang sahih namanya. Dan tatkala itu dapatlah diperiksa ia oleh hakim akan muda‘a ‘alayh pada jawabnya.”

Selanjutnya segala bentuk dakwaan dan ikrar di angkat dalam bab ini, mulai dari wasiat, hutang piutang, wakaf, warisan, jual-beli, hibah, dan sebagainya.
Bab ketiga membahas tentang macam-macam saksi, sumpah dan hal-hal yang terkait dengannya. Sebagaimana dua bab sebelumnya, bab ini juga dimulai dengan penjelasan dasar hukum dari ayat dan hadis. Lalu dilanjutkan dengan pembahasan tentang syarat sah saksi, rukun-rukun persaksian, dan tentang taubat bagi seorang saksi.
Dalam bab ketiga ini juga dijelaskan beberapa jenis hukuman dan penjelasan istilah teknis hukuman tertentu. Misalnya tentang hukuman dera:
Bermula dera itu adalah ia dengan cemeti atau rotan jika ada ia kembar empat maka dikira ia bilang, jika sepuluh kali dera maka jadilah bilangan empat puluh maka qiyaskan olehmu yang demikian itu dan adalah pula itu dengan sekira-kira keluar sedikit darahnya supaya terhardik dengan dia orang yang lain dan hendaklah ia atas kain kasar dan diceraikan pula itu atas segala anggotanya dan janganlah pada tempat pemohon.

Kutipan ini menunjukkan seberapa detilnya kandungan isi kitab hukum acara perdata kala itu. Sungguh mencerminkan sebuah produk pemikiran yang sangat moderat.
Dalam kitab ini juga dijelaskan perbedaan antara hukuman hadd dan dera, Jalāl al-Dīn menulis sebagai berikut:
Maka adalah parak (beda) antara hadd dan ta‘zir, maka bahwasanya hadd itu sekurang-kurangnya empat puluh dera, dan sebanyak-banyaknya seratus dera, dan sebanyak ta‘zir itu sepuluh dera, dan sekurang-kurangnya satu dera jua.

Sikap moderat juga terlihat dalam keberanian berijtihad para ulama untuk masalah-masalah baru yang spesifik keacehan yang berhasil merumuskan sampai kepada detil hukum. Contoh detil hukum dapat dilihat pada kutipan berikut:
Fasal, apabila menampar seorang akan seorang dengan tangannya pada mukanya atau pada kepalanya maka wajib atasnya pada tiap-tiap satu tampar itu lima dera, dan jika ada tampar itu dengan kaus (sandal) maka wajib atasnya tiga puluh dera…

Dari pembahasan ini tampaklah bahwa kitab Hujjah Bālighah ‘alā Jamā‘at al-Mukhāsamah ini berisi pembahasan yang cukup memadai bagi sebuah kitab hukum acara perdata di zamannya. Demikian pula dua kitab lainnya yang telah disebutkan di atas, telah cukup memadai sebagai pedoman bagi para qādī dalam hal materi hukum perdata.
Sebagai sebuah eksplorasi awal, tulisan ini masih pada tataran deskripsi ringkas terhadap kitab Hujjah Bālighah ‘alā Jamā‘at al-Mukhāsamah. Namun sejauhmana kitab ini efektif berlaku sebagai hukum acara perdata, tentu harus dilihat dari dua sisi. Pertama bagaimana posisi kitab-kitab ini dalam tata hukum Kerajaan Aceh Darusssalam. Kedua, sejauhmana dapat dibuktikan bahwa kitab ini telah dirujuk dalam persidangan di pengadilan. Kedua pertanyaan ini menuntut kajian dan penelitian mendalam. Oleh karena itu, tulisan ini merekomendasikan agar dilakukan penelitian komprehensif atas kitab Hujjah Bālighah ‘alā Jamā‘at al-Mukhāsamah. Sebab kitab ini merupakan bukti keseriusan usaha penerapan syariat islam di Aceh, dan dapat memberi inspirasi bagi usaha yang sama di era kontemporer Aceh sekarang.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Jalil, Tuanku. Adat Meukuta Alam. Banda Aceh: PDIA, 1991.
Kansil, C. S. T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. ketujuh, Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
Khallāf, ‘Abd al-Wahhāb. ‘Ilm al-Usūl al-Fiqh, cet. 12. Kuwait: Dār al-Kalâm, 1978.
Lombard, Denys. Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda, terj. Winarsih Arifin. Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
Oman Fathurrahman, Katalog Naskah Dayah Tanoh Abee Aceh Besar, Jakarta: Komunitas Bambu, 2010.
Said, Mohammad. Aceh Sepanjang Abad, cet. II. Medan: Waspada, 1981.
Siegel, James T. The Rope of God. Barkeley: University of California Press, 1969.
Al-Singkili, Abdurrauf. Mir’at al-Thullâb. Banda Aceh: manuskrip koleksi Tarmizi A. Hamid, 1672 M.
Hurgronje, Snouck. Achehnese, terj. Ng. Singarimbun. Jakarta: Soko Guru, 1985.
_____, De Atjèhers, terj. Sutan Maimoen, Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya. Jakarta: INIS, 1996.
Al-Tarusani, Jalaluddin. Hujjah Bâlighah ‘alâ Jamâ‘at al-Mukhâshamah, Banda Aceh: manuskrip koleksi Tarmizi A. Hamid, 1745 M.
Al-Tarusani, Jalaluddin. Safînat al-Hukkâm fî Takhlish al-Khashshâm. Banda Aceh: Pusat Penerbitan dan Penerjemahan IAIN ar-Raniry, 2001.
Tim Redaksi KBBI Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat. Jakarta: Gramedia, 2008.
Van Langen, KFH. Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan, terj.: Aboe Bakar. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi, 1997.



[1] Fathurrahman, Oman. Katalog Naskah Dayah Tanoh Abee Aceh Besar (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), hlm. 151.
[2] Hurgronje, Snouck. Achehnese, terj. Ng. Singarimbun (Jakarta: Soko Guru, 1985), jld. II, hlm. 22.
[3] Fathurrahman. Katalog…, hlm. 57.
[4] Hasjmy, A. “Nafas Islam dalam Kesusateraan Aceh,” dalam; Panitia Penyelenggara MTQN 12. Dari Sini Ia Bersemi (Banda Aceh: Pemerintah Daerah Istimewa Aceh, 1981), hlm. 274.
[5] Hurgronje. Achehnese…, jld. II, hlm. 22.
[6] Hurgronje, Snouckh. De Atjèhers, terj. Sutan Maimoen, Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya (Jakarta: INIS, 1996), jld. I, hlm. xvii.
[7] Fathurrahman. Katalog…, hlm. 183.
[8] Hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan hukum yang menentukan bagaimana cara-cara mengajukan perkara ke depan pengadilan, serta cara-cara hakim memberi putusan. Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. ketujuh (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hlm. 329. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

QURBAN: ISHAK, ATAU ISMAIL? (Penafsiran Ayat 100-103 Surat al-Shaffat)

Kumpulan Kaidah Fiqhiyah

Demi Jiwa (Penafsiran Ayat 7-10 Surat al-Syams)

Bekas di Dahi (Penafsiran Ayat 29 Surat al-Fath)

Ayat-ayat Setan (Satanic Verses): Penafsiran Ayat 52 Surat al-Hajj

Hubungan Teori Sistem dengan Pendekatan Holistik dalam Ijtihad Kontemporer

Pengertian Kaidah Fiqhiyah

Kumpulan Kaidah Maqasidiyah

Kembali ke Fitrah: Tafsir ayat 30 Surah al-Rum

Kumpulan Kaidah Usūliyyah