DINAMIKA TULISAN ARAB-JAWI DI ACEH

(Tulisan ini disampaikan pada Workshop Penulisan Arab-Jawi, diselenggarakan oleh BPPD Aceh, tanggal 20 September 2014 di Banda Aceh.)

A.  Pendahuluan
Sebagai salah satu produk manusia, tulisan menjadi bagian dari budaya yang tidak lepas dari perubahan. Sebagaimana bahasa, tulisan juga mengalami pergeseran dan perkembangan seiring pergerakan ruang dan waktu, jadi ia tidak lepas dari historisitas. Karena keterkaitan dengan ruang dan waktu, maka masalah pergeseran dan perkembangan kerap dilihat dari satu perspektif atau sudut pandang tertentu yang sifatnya paradigmatik.[1]
Dilihat dari perspektif tradisionalis yang berorientasi pada ‘masa lalu,’ maka pergeseran dan perkembangan merupakan perubahan dari masa sebelumnya. Sebaliknya dari perspektif modernis yang berorientasi ‘kekinian,’ pergeseran dan perkembangan merupakan keniscayaan. Cara pandang pertama dilingkupi paradigma keterhubungan dengan masa lalu, sementara cara pandang kedua dilingkupi paradigma keterputusan dengan masa lalu.
Cara pandang tradisionalis diruntuhkan oleh modernis, lalu cara pandang modernis telah digugurkan di era postmodern ini. Maka jelas lah kedua cara pandang itu terbukti ekstrim sehingga diperlukan sikap memoderasi antara keduanya. Sikap moderat (tawasuth) di sini dapat dinyatakan sebagai kemampuan mendudukkan kedua perspektif di atas secara proporsional dalam dimensinya masing-masing sehingga tidak lagi dianggap saling berkontradiksi. Kemampuan ini akan membuka mata untuk melihat dimensi transendentalitas nilai dalam budaya yang harus dipertahankan, sekaligus terbuka bagi dimensi imanensi budaya sebagai produk manusia yang berubah.
Sikap moderat (tawasuth) itu sendiri menuntut cara pandang yang menyeluruh sehingga diperlukan pendekatan holistik untuk memahami suatu objek. Pendekatan inilah yang digunakan dalam tulisan ini untuk memetik hikmah[2] dalam dinamika tulisan Arab-Jawi di Aceh. Maka kajian deskriptif atas dinamika tulisan Arab-Jawi di Aceh hanyalah langkah awal bagi analisis yang menjadi sasaran utama sekaligus tujuan akhir tulisan ini.
Kajian deskriptif menunjukkan bahwa penulisan materi ilmu dalam aksara/skrip Arab Melayu tidak hilang ditelan masa, bahkan ia tetap bertahan walau menghadapi tantangan berat. Di tengah tantangan ini, perlu dilakukan analisis tentang tindakan apa yang harus diambil. Maka permasalahan yang hendak dikaji adalah dinamika tulisan Arab-Jawi itu sendiri. Adapun pertanyaan yang hendak dijawab adalah: 1) apa saja tantangan yang dihadapi; 2) bagaimana sikap yang harus diambil dalam menghadapi tantangan itu?
Kedua pertanyaan di atas dijawab dalam dua sub pembahasan. Pertama, mengkaji secara deskriptif dan memetakan dinamika tulisan Arab-Jawi di Aceh sehingga ditemukan tantangan dan hambatan. Kedua, mendiskusikan nilai-nilai yang melandasi pentingnya tindak pelestarian budaya tulisan Arab-Jawi di Aceh.

B.  Tulisan Arab Jawi dari Masa ke Masa
Sebagai yang ada (mawjud) tulisan Arab-Jawi bisa dibuktikan eksistensinya secara empirik sejak dari masa Kerajaan Samudra Pasai (1250-1524 M) sampai sekarang. Namun pengetahuan tentang eksistensinya saja tidak cukup untuk dijadikan dasar pertimbangan bagi penentuan sikap ke depan. Sebab nilai pentingnya berkaitan erat dengan lingkungan akademik yang umumnya terbiasa dengan huruf latin. Dari itu diperlukan suatu kajian komprehensif terhadap dinamika tulisan Arab-Jawi, bagi penulis kajian ini dapat dipilah dalam empat periode, yaitu periode kemunculan dan pertumbuhan, periode keemasan, periode kemunduran, dan periode kebangkitan kembali.
a.    Periode kemunculan dan pertumbuhan (Samudra Pasai tahun 1250-1524 M)
Budaya tulis sudah berkembang di Nusantara sejak masa Kerajaan Sriwijaya (650-1200 M), hal ini dibuktikan dengan temuan prasasti tertua, yaitu Prasasti Kedukan Bukit pada tahun 683 M di kaki Bukit Seguntang.[3] Sementara di Aceh, menurut H. M. Zainuddin, dapat dilihat dari temuan batu tulis dan nisan di daerah Tanoh Abe dan Reueng-reueng.[4] Pada masa itu, selain bahasa Sankerta, telah pula digunakan bahasa Melayu kuno sebagai sarana komunikasi berbagai suku-bangsa di Nusantara.[5] Berdasar temuan arkeologis, banyak ahli menyimpulkan bahwa tradisi menulis kala itu menggunakan tulisan Pallawa (Sanskerta) dan tulisan Nagari. Kedua tulisan ini diperkenalkan oleh orang Pala dari Bengala, kira-kira dalam abad VIII Masehi.[6]
Penggunaan bahasa Melayu terus berlanjut di Kerajaan Pasai sehingga para penulis seperti Hamzah Fansuri dan Syiah Kuala mengenalinya sebagai bahasa Pasai. Setelah kedatangan Islam, bahasa tulis di Pasai mengalami peralihan aksara menggunakan skrip Arab (disebut Arab-Jawi).[7] Bisa jadi peralihan ini terjadi dalam abad XIII, sebab Kerajaan Pasai diyakini telah menjadi kerajaan Islam sejak abad XIII. Peninggalan arkeologis menunjukkan bahwa raja pertama, seperti yang terdapat dalam Hikayat Raja-Raja Pasai, bernama Merah Silu atau Sultan Malikul Saleh mangkat pada bulan Ramadhan tahun 696 H/1297 M.[8]
Penggunaan skrip Arab untuk penulisan bahasa tulis Melayu di Pasai diketahui dari batu nisan adanya naskah kuno, yaitu Hikayat Raja-Raja Pasai yang ditulis tahun 1360 M. Menurut Ibrahim Alfian, dalam Hikayat Raja-raja Pasai (Kronika Pasai) terdapat anasir-anasir tua yang tidak ditemukan lagi dalam karangan-karangan berbahasa Melayu yang lebih kemudian.[9]
Gb. 1. Manuskrip Hikayat Raja-raja Pasai yang ditulis tahun 1360 M.
(Sumber: Hermankhan)
Para sejarawan sependapat akan besarnya peran Kerajaan Pasai dalam pertumbuhan bahasa Melayu menjadi bahasa pemersatu dan bahasa ilmiah.[10] Peran ini terlihat dari pengaruh Hikayat Raja-raja Pasai terhadap karya sastra sejarah sesudahnya, misalnya Sejarah Melayu yang menurut Winstedt meniru Hikayat Raja-raja Pasai.[11] Adapun peran Pasai dalam menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa ilmiah terlihat dari catatan Sejarah Melayu (Sulalatus Salatin) tentang kitab Durr al-Manzum, karya Maulana Abu Ishak yang ditulis dalam bahasa Arab. Lalu Sultan Mansur Syah memerintahkan agar kitab ini dibawa ke Pasai untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu.[12] Dari itu dapat disimpulkan bahwa Bahasa Melayu telah dikembangkan menjadi bahasa ilmiah.
Adapun peran Pasai dalam hal penggunaan aksara Arab untuk penulisan bahasa Melayu, terlihat dalam kitab Sejarah Melayu dan tulisan-tulisan lain di masa sesudahnya yang semuanya menggunakan aksara Arab-Jawi. Pengaruh ini bisa dirasakan bekasnya dalam tradisi ilmiah di masa Kerajaan Aceh Darussalam. Penulis melihat masa ini sebagai periode keemasan tulisan Arab-Jawi dalam kehidupan sosial masyarakat Aceh. Pada periode ini, selain bidang sastra dan kebutuhan ilmiah, penggunaan tulisan Arab-Jawi telah meluas sampai ke administrasi pemerintahan dan keseharian masyarakat.

b.   Periode keemasan
Penaklukan Pasai oleh Kesultanan Aceh Darusssalam pada tahun 1524 M menyebabkan berpindahnya pusat peradaban Islam dari Pasai ke ibukota Kerajaan Aceh Darussalam. Meskipun masyarakat menggunakan bahasa Aceh dalam keseharian mereka, namun untuk kebutuhan akademik dan administrasi negara atau pemerintahan tetap menggunakan bahasa Melayu. Dalam bidang administrasi negara, dapat dilihat pada surat Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) yang dikirim kepada Raja James I di Inggris.[13] Surat ini ditulis pada tahun 1615 M.
­uf al-Singkili.
Gb. 2. Surat Sultan Iskandar Muda kepada Raja James I (1615 M).
Adapun dalam bidang akademik, tulisan Arab-Jawi digunakan untuk penulisan kitab-kitab yang menjadi pegangan pejabat dan masyarakat. Bidang kajiannya sangat luas, mulai dari teologi, hukum, tasawuf sampai ke ilmu-ilmu yang spesifik seperti tafsir, hadis, dan ilmu falak. Satu hal yang menarik, para ulama penulis tidak memutuskan mata rantai tradisi penulisan. Mereka menyebutkan bahwa tulisan yang digunakan merujuk bahasa Pasai sebagaimana terlihat dalam karya Hamzah Fansuri dan Syaikh ‘Abd al-Ra’
Hamzah Fansuri hidup di masa Kerajaan Aceh Darussalam diperintah oleh Sultan ‘Ala’ al-Din Ri‘ayat Syah IV yang digelar al-Mukammil (997-1011 H = 589-1604 M ).[14] Ia menghasilkan banyak karya, di antaranya kitab Zinat al-Muwahhidin yang di dalamnya ia sebutkan bahwa ia menulis dalam bahasa Jawi (kitab ini telah ditransliterasikan oleh M. Yusuf Musa).[15] Demikian pula halnya dengan Syiah Kuala yang berkarya dalam masa pemerintahan Sultanah Safiyyat al-Din, juga menyatakan bahwa ia menulis dalam bahasa Jawi yang dibangsakan kepada bahasa Pasai.
Pernyataan kedua tokoh ini menunjukkan komitmen untuk menjadikan bahasa dan tulisan Arab-Jawi sebagai bahasa ilmiah. Komitmen ini terbukti dengan lahirnya berbagai kitab pelajaran, bahkan sistem pembelajaran yang kompleks sesuai dengan kebutuhan ‘lidah Melayu.’ Sistem pembelajaran dari Syiah Kuala kemudian menyebar ke wilayah lain di Nusantara, salah satunya, sistem ini dibawa ke Padang oleh murid Syiah Kuala yang bernama Burhanuddin Ulakan.[16]
Sistem pembelajaran khusus memang diperlukan bagi masyarakat nusantara yang asing dengan bahasa Arab. Namun bagi mereka yang tidak menguasai bahasa Melayu (Jawi), kesukaran jadi bertambah sebagaimana diulas oleh Snouck Hurgronje.[17] Tetapi ulasan Snouck ini tidak sepenuhnya benar, sebab ternyata orang asing pun mengakui bahwa bahasa Melayu sangat mudah dipelajari, misalnya kesaksian dari François Martin.[18] Hal ini menjadi alasan mengapa bahasa Melayu (Jawi) dipertahankan sebagai bahasa ilmiah. Di sisi lain penggunaan skrip Arab membuat mudah penulisan istilah yang dominan bersumber dari bahasa Arab. Banyak istilah Arab yang tidak ada padanan katanya dalam bahasa Melayu, lalu diserap menjadi bagian dari bahasa Melayu dengan tetap mempertahankan bentuk asli tulisannya dalam bahasa Arab.
Sejauh ini terlihat bahwa mulai dari masa penaklukan Pasai (1524 M) sampai mangkatnya Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M), tulisan Arab-Jawi telah dipergunakan dalam sastra, dan administrasi Negara. Pada masa berikutnya, yaitu di masa Sultanah Safiyyat al-Din (1641-1675 M), penggunaan tulisan Arab-Jawi meluas sampai pada penulisan kitab hukum untuk kebutuhan para qadi dan masyarakat.[19] Kondisi ini terus berlanjut sampai Pemerintah Kolonial Belanda menguasai sebagian wilayah Aceh.
Gb. 3. Kitab Mir’at al-Tullab dan Kitab Zinat al-Muwahhidin.
(Sumber: Tarmizi A. Hamid dan M. Yusuf Musa)
Melihat penggunaan tulisan Arab-Jawi cukup dominan sejak masa Sultanah Safiyyat al-Din, kiranya dapat diasumsikan bahwa masa keemasan tulisan Arab-Jawi telah dimulai. Tetapi jika aspek dominansi yang menjadi kriteria, puncak keemasan tulisan Arab-Jawi justru terjadi di zaman kolonial. Alasannya karena sebelum perang kolonial, pembelajaran kitab berbahasa Arab dipandang lebih utama dalam mencetak kader ulama, sehingga bahasa Arab-Jawi menjadi bahasa ilmiah kedua. Adapun di masa perang kolonial, timbul kesulitan untuk menyelenggarakan pembelajaran kitab berbahasa Arab, akibatnya bahasa Arab-Jawi menjadi bahasa ilmiah utama. Pada masa ini dikenal istilah ‘malem jawau,’ di mana pimpinan dayah tidak menguasai bahasa Arab.[20]
Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa tulisan Arab-Jawi pernah mencapai puncak keemasan sebagai bahasa ilmiah utama, meski tidak berarti mengesampingkan bahasa Arab dalam konteks kaderisasi ulama. Adapun perannya di tingkat masyarakat akar rumput, dapat dikatakan relatif stabil sejak perkembangan pesat di masa sultanah. Namun pada masa kemerdekaan, peran tulisan Arab-Jawi berkurang seiring berkembangnya tradisi penulisan huruf latin.

c.    Periode Kemunduran
Tradisi tulisan latin di Aceh dimulai dengan didirikannya sekolah oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1907 atas prakarsa Gubernur Sipil dan Militer, Van Daalen.[21] Banyak penulis yang setuju bahwa kolonialisasi Belanda berpengaruh langsung terhadap lunturnya tradisi tulisan Arab-Jawi di Aceh.[22] Namun sebagaimana dikutip oleh Ibrahim Alfian, sampai tahun 1930, jumlah penduduk Aceh yang bebas buta huruf latin mencapai 1,1%.[23] Angka ini menunjukkan lambannya proses perkembangan huruf latin di Aceh, maka otomatis tradisi tulisan huruf Arab-Jawi masih mentradisi di tengah masyarakat, apalagi madrasah cukup berkembang di masa-masa ini.
Gb. 5. Tabel Perbandingan Jumlah Madrasah dan Dayah pada Tahun 1975
Masa kemunduran yang sesungguhnya bagi tulisan Arab-Jawi justru terjadi di masa orde baru. Hal dapat dilihat dari hasil penelitian Baihaqi AK, bahwa perkembangan sekolah umum yang mencolok menimbulkan kecenderungan masyarakat untuk meninggalkan madrasah.[24] Berikut dikutip tabel yang diangkat Baihaqi AK berdasarkan data tahun 1975.
Gb. 4. Tabel Perbandingan Jumlah Sekolah Umum dan Madrasah di Aceh pada Tahun 1975.


d.   Periode kebangkitan kembali
Gencarnya pembangunan sekolah umum di masa Orde Baru tidak mematikan sepenuhnya tradisi tulisan Arab-Jawi. Tradisi ini tetap hidup di tengah masyarakat dan dayah, walau hanya segelintir orang saja yang melakoni. Tulisan Arab-Jawi mengalami kebangkitan kembali seiring peningkatan animo masyarakat terhadap madrasah di era 90-an.[25] Ini beriringan dengan munculnya kritik atas efek-efek modernitas oleh para tokoh postmodern. Selanjutnya isu penerapan syariat Islam menjadi momen yang menggairahkan bagi terangkatnya tulisan Arab-Jawi, maka tahun 2000-an dapat dikatakan sebagai tahun-tahun kebangkitan kembali tulisan Arab-Jawi.  
Kebangkitan kembali tulisan Arab-Jawi ditandai dengan munculnya upaya sistematisasi kaidah penulisan. Sebagai contoh dapat ditunjukkan diktat materi kuliah Tulisan Arab Melayu yang disusun oleh Drs. Razali Mahyiddin, M.Pd. yang diajarkan di FKIP Unsyiah (2005). Contoh lain, buku Kaidah-kaidah Penulisan Arab-Melayu yang disusun oleh Mohd. Kalam Daud (dosen Fakultas Syariah UIN Ar-Raniry, terbit 2014). Ini merupakan terobosan baru yang dilakukan dewasa ini bagi upaya membangkitkan kembali tulisan Arab-Jawi.
Sampai di sini dapat disimpulkan, bahwa tradisi tulisan Arab-Jawi dalam kultur masyarakat Aceh telah mengalami perjalanan panjang. Memerhatikan pasang-surutnya dinamika tulisan Arab-Jawi di Aceh tentu memberikan banyak manfaat bagi penentuan sikap ke depan. Oleh karena itu, perlulah dilakukan serangkaian diskusi dan analisis terhadap dinamika ini.

C.  Nilai-nilai Dasar Pelestarian Aksara Arab-Jawi
Dinamika tulisan Arab-Jawi sebagaimana tergambar dalam periodisasi kesejarahan di atas memberikan kesadaran tentang eksistensinya dalam kultur masyarakat Aceh. Selanjutnya juga perlu dilihat bagaimana eksistensinya dalam kesadaran masyarakat, termasuk kita sekarang. Oleh karena itu, secara ontologis, tulisan Arab-Jawi sebagai objek kajian bisa dilihat dari aspek historisitas yang terus mengalami perubahan, kedua aspek kesadaran yang bersifat tetap.
Menurut filsafat ontologi, aspek pertama merupakan ‘ada’ secara empirik-sensual (mawjud fi al-kharij), sementara aspek kedua merupakan ‘ada’ secara meta-empirik (mawjud fi al-adhhan). Keduanya menuntut metode (epistemologi) yang berbeda dalam analisis, maka kajian ini dipilah dalam dua pembahasan.
a.      Pelestarian tulisan Arab-Jawi dalam kesadaran masyarakat
Sebelumnya telah disinggung tentang Hamzah Fansuri dan Syiah Kuala yang secara sadar melestarikan bahasa Pasai sebagai bahasa ilmiah. Kata “sadar” dalam bahasa Indonesia berarti insaf; merasa; tahu dan mengerti,[26] dengan demikian sadar mengandung dimensi keyakinan, i‘tiqad, dan jazam terhadap sesuatu. Dengan kata lain, kesadaran akan pelestarian tulisan Arab-Jawi termasuk dalam persoalan ideologi yang juga berkaitan dengan paradigma tertentu. Adapun tulisan ini, menawarkan paradigma (cara pandang) moderat (tawasut) yang melihat persoalan secara menyeluruh (holistik), bukan sepihak atau satu sudut pandang saja (atomistik).
Secara moderat diakui bahwa aksara/skrip Arab merupakan huruf yang dipakai sebagai teks Alquran, tetapi aksara tulisan Arab-Jawi bukanlah aksara Alquran. Dengan demikian aksara Arab (Arab-Jawi secara khusus) tidak mengandung sakralitas sebagaimana Alquran, khususnya jika dikaitkan dengan bahasa Alquran yang dinyatakan secara khusus dalam ayat berikut:
حم (1) وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ (2) إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (3) وَإِنَّهُ فِي أُمِّ الْكِتَابِ لَدَيْنَا لَعَلِيٌّ حَكِيمٌ (4)
Haa mim (1). Demi Kitab (Al-Qur’an) yang menerangkan (2). Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya (3) Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu dalam induk Al-Kitab (lauh mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah. (Q.S. Al-Fushilat [43]: 1-3).

Ayat ini berbicara tentang Al-Qur’an yang berbahasa Arab, sedangkan tulisan Arab-Jawi adalah bahasa Melayu Pasai, hanya saja aksaranya menggunakan skrip Arab. Jadi penulisannya dalam aksara Arab bukan alasan sehingga tulisan Arab-Jawi dapat dinilai sakral. Di sisi lain, tidak bisa dipungkiri bahwa menulis dengan aksara Arab dapat mendekatkan orang dengan aksara Alquran. Tetapi ini tidak termasuk dalam persoalan ideologi karena sifatnya yang empirik, hal ini dianalisis dalam sub pembahasan berikutnya.
Persoalan lain yang bersifat ideologis adalah kesadaran akan pentingnya memelihara identitas bangsa lewat budaya. Maka tulisan Arab-Jawi merupakan salah satu budaya yang perlu dikritisi, apakah ia merupakan identitas bangsa sehingga perlu dipertahankan? Namun sebelum sampai ke sana perlu dipertanyakan, apakah mempertahankan identitas bangsa merupakan tindakan islami?
Identitas atau jati diri adalah apa yang dikenali dari seseorang, kelompok atau bangsa sebagaimana kesadaran dalam diri seseorang, kelompok atau bangsa itu sendiri.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13)
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. Al-Hujurat [49]: 13).

Ayat ini menunjukkan bahwa munculnya berbagai bangsa dan suku di alam ini adalah bagian dari sunnatullah, jadi merupakan fitrah manusia. Namun Alquran mengarahkan pada pemeliharaan identitas keislaman (takwa) bukan identitas kebangsaan sebagaimana dikuatkan ayat berikut:
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (93)
Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S. Al-Nahl [16]: 93).

Secara moderat, dari dua ayat ini dapat disimpulkan bahwa mempertahankan identitas bangsa hukumnya boleh (mubah) selama tidak kontradiksi dengan identitas keislaman (takwa). Bagi penulis, pandangan moderat memberi sikap pertengahan, bahwa identitas bangsa yang menunjukkan identitas keislaman perlu dipelihara. Namun harus diingat, bahwa kata ‘perlu’ di sini berarti hanya pada tingkat sekunder (hajiyyah), tidak sampai ke tingkat primer (darurah).
Gb. 06. Hubungan antara Artifacts, Sosiofacts, dan Ideofacts.
Hal ini menjadi perlu (hajah), karena kesadaran diri itu bersifat abstrak sehingga perlu dikonkretkan dalam tindakan/ perbuatan. Maka tulisan Arab-Jawi sebagai budaya merupakan salah satu perbuatan yang menjadi indikator bagi identitas suatu bangsa. Dalam ilmu antropologi, tindakan dan perbuatan dilihat sebagai manifestasi dari ideologi. Maka benda budaya sebagai hasil suatu perbuatan dianggap mengandung nilai-nilai yang dianut oleh si pembuat (turun dari ideasnya).
Lalu, apakah tulisan Arab-Jawi mengandung nilai-nilai dari si pembuat sehingga menjadi identitas bangsa yang pantas dipertahankan? Hal ini dapat dibenarkan, sebab sebelumnya bahasa Melayu ditulis dalam aksara Pallawa, lalu diganti dengan aksara Arab setelah kedatangan Islam. Karena aksara Arab identik dengan bahasa Arab sebagai bahasa Alquran, maka tulisan Arab-Jawi dapat menunjukkan identitas keislaman penggunanya. Oleh karena itu, berdasarkan qiyas kulli  dapat disimpulkan bahwa tulisan Arab-Jawi merupakan sarana (wasa’il) mengekspresikan identitas keislaman suatu bangsa yang bukan Arab (‘ajam). Maka berlakulah hukum maqasid bagi wasa’il sebagaimana bunyi kaidah fiqhiyyahli al-wasa’il hukm al-maqasid.”

b.      Pelestarian tulisan Arab-Jawi di tengah masyarakat yang berubah
Melihat tulisan Arab-Jawi secara empirik-sensual (mawjud fi al-kharij) jelaslah ia berupa produk sosial. Dengan kata lain, ia adalah produk kebudayaan yang terus mengalami perubahan. Namun begitu, tidak bisa dinafikan adanya sisi tetap dalam sebuah produk budaya, yaitu sisi yang berpotongan dengan fitrah manusia. Dengan demikian, upaya pelestarian tulisan Arab-Jawi harus mempertimbangkan aspek perubahan dan aspek yang berlaku tetap dari tulisan itu sendiri.
Dari aspek pertama, ditemukan kenyataan terjadinya perubahan tulisan Arab-Jawi dari masa ke masa seiring perubahan bahasa Melayu itu sendiri. Dengan demikian, pelestarian tulisan Arab-Jawi mengandung makna kemampuan tulisan Arab-Jawi dalam hal menampung perkembangan bahasa. Misalnya perkembangan istilah-istilah ilmiah yang muncul seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, maka tulisan Arab-Jawi harus mampu mengakomodirnya.
Sampai di sini dapat disimpulkan, bahwa diperlukan upaya serius bagi perumusan kaidah-kaidah penulisan yang komprehensif. Jika kaidah penulisan yang mampu menampung perkembangan istilah akademik tidak dapat dirumuskan, maka tulisan Arab-Jawi kehilangan nilai pentingnya. Oleh karena tujuan penulisan tidak tercapai, orang dapat menyatakannya tidak tepatguna dibanding tulisan Latin yang sekarang luas dipakai.
Adapun dari aspek kedua, yaitu sisi tetap dari tulisan Arab-Jawi yang berpotongan dengan fitrah manusia, yaitu kemudahan dalam membaca teks ayat Alquran karena terbiasa dengan aksara Arab. Hal ini terbukti secara empirik dari dinamika tulisan Arab-Jawi itu sendiri sebagaimana dideskripsikan sebelumnya. Perkembangan yang dinamis dari masa kemunculan, keemasan sampai masa kebangkitan kembali, memperlihatkan hubungan yang erat dengan kecintaan kepada Alquran. Maka melestarikan tulisan Arab-Jawi dapat menjadi sarana pendukung bagi terlaksananya perintah membaca Alquran, sehingga tercipta kedekatan pelajar dengan tulisan Alquran. Dengan demikian, pembelajaran tulisan Arab-Jawi bagi para siswa di sekolah dan madrasah di Aceh, dapat mendukung terwujudnya tujuan pendidikan Islami.

D.  Penutup
Tulisan Arab-Jawi di Aceh telah mengalami perjalanan panjang yang eksistensinya di Aceh dapat dibagi menjadi empat periode: 1) periode kemunculan dan perkembangan; 2) periode keemasan; 3) periode kemunduran; 4) periode kebangkitan kembali. Berdasar kajian atas empat periode ini, ternyata dinamika tulisan Arab-Jawi mengalami perkembangan yang sangat dinamis. Maka tidak tertutup kemungkinan untuk melakukan pembaruan kaidah penulisan agar tulisan itu dapat mengakomodir perkembangan bahasa Melayu itu sendiri.
Di sisi lain, tulisan Arab-Jawi sebagai bagian dari budaya bangsa perlu dilestarikan, karena ia termasuk salah satu identitas bangsa yang mencerminkan identitas keislaman. Pada tataran cita-cita bersama mewujudkan pendidikan Islami, pengajaran tulisan Arab-Jawi di sekolah dan madrasah dapat membentuk kedekatan dan kecintaan siswa kepada Alquran.
Melihat kondisi kekinian, penulis merasa prihatin dengan semakin terasingnya remaja Aceh dari teks Alquran. Penulis juga prihatin melihat keterputusan akses remaja terhadap karya para ulama Aceh masa lalu, akibatnya sedikit demi sedikit identitas bangsa mulai tanggal dari diri mereka. Oleh karena itu perlu lah mengajak segenap elemen masyarakat Aceh untuk mendulang hikmah dari karya para ulama Aceh masa lalu. Mari mengambil pelajaran dari warisan intelektual ulama Aceh yang hampir lenyap ditelan waktu, agar identitas Islam tetap bertahan pada generasi yang akan datang.

Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik (ed.). Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali, bekerjasama dengan Yayasan Ilmu Ilmu Sosial [YIIS] 1983.
Abdul Hadi WM. Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya. Bandung: Mizan, 1995.
A. Samad Ahmad. Sulalatus Salatin: Sejarah Melayu. Cet. 4. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, 1986.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat. Jakarta, Gramedia, 2008.
Edwar Djamaris dan Saksono Prijanto. Hamzah Fansuri dan Nuruddin Ar-Raniri. Jakarta: Depdikbud, 1996.
Gallop. Golden Letters: Writing Traditions of Indonesia, Surat Emas: Budaya Tulis di Indonesia. Jakarta: Yayasan Lontar, 1991.
Al-Halabi, ‘Ali Muhammad Muhammad. Al-Wasatiyyah fi al-Qur’an al-Karim. Kairo: Maktabah al-Tabi‘in, 2001.
Hurgronje, Snouck. Aceh di Mata Kolonialis, terj. Ng. Singarimbun, Jakarta: Soko Guru, 1985.
Liaw Yock Fang. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Obor, 2011.
Hasjmy, A. Ulama Aceh: Mujahid Kemerdekaan dan Pembangun Tamadun Bangsa. Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
Iskandar, Teuku. Kesusasteraan Melayu Klasik Sepanjang Abad. Jakarta: Libra, 1996.
Ibrahim Alfian. Kronika Pasai: Sebuah Tinjauan Sejarah, Cet. II. Yogyakarta: Ceninnets, 2004.
Ibrahim Alfian. Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah. Banda Aceh: PDIA, 2004.
Ibrahim Alfian. Kontribusi Samudra Pasai terhadap Studi Islam Awal di Asia Tenggara. Yogyakarta: Ceninnets, 2005.
Jabbar Sabil, “HUJJAH BÂLIGHAH: Kitab Hukum Acara Perdata Pertama di Aceh,” Jurnal Ilmiah Islam Futura, vol. 09, No. 02 Februari 2010, hlm. 133.
Mu’jizah. Iluminasi dalam Surat-Surat Melayu Abad ke-18 dan ke-19. Jakarta: KPG dan KITLV, 2009.
M. Yusuf Musa. Zinatul Muwahhidin. Banda Aceh: Dinas Kebudayaan, 2005.
Noeng Muhajir, Filsafat Ilmu; Kualitatif dan Kuantitatif untuk Pengembangan Ilmu dan Penelitian, edisi III revisi. Yogyakarta: Rake Sarasin, 2006.
Othman Mohd. Yatim dan Abdul Halim Nasir. Epigrafi Islam Terawal di Nusantara. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1990.
Reid, Anthony (penyusun). Sumatera Tempo Doeloe: dari Marco Polo sampai Tan Malaka. Jakarta: Komunitas Bambu, 2010.
Susanto Zuhdi (ed.). Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutera: Kumpulan Makalah Diskusi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Karya Agung, 1993.
Zainuddin, H. M. Tarich Atjeh dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961.





[1] Noeng Muhajir, Filsafat Ilmu; Kualitatif dan Kuantitatif untuk Pengembangan Ilmu dan Penelitian, edisi III revisi (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2006), hlm. 46. Paradigma adalah wacana atau discourses yang disepakati dalam mendiskusikan untuk membangun konsep keilmuan tertentu.
[2] Secara etimologis, kata hikmah (al-hikmah) digunakan dengan arti adil (al-‘adl), ilmu (al-‘ilm), kasih sayang (al-hilm), dan juga bermakna Alquran dan Sunah Rasul. Adapun secara terminologis, hikmah berarti kebenaran dalam perkataan dan perbuatan serta menempatkan sesuatu pada tempatnya. Rukun hikmah ada tiga, yaitu ilmu (al-‘ilm), kasih sayang (al-hilm), dan kesabaran (al-unnah) dalam arti tidak tergesa-gesa. ‘Ali Muhammad Muhammad al-Halabi. Al-Wasatiyyah fi al-Qur’an al-Karim (Kairo: Maktabah al-Tabi‘in, 2001), hlm. 135, 138, dan 145.
[3] Anthony Reid (penyusun). Sumatera Tempo Doeloe: dari Marco Polo sampai Tan Malaka (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), hlm. 5. Ibrahim Alfian. Kontribusi Samudra Pasai terhadap Studi Islam Awal di Asia Tenggara (Yogyakarta: Ceninnets, 2005), hlm. 28.
[4] H. M. Zainuddin. Tarich Atjeh dan Nusantara (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961), hlm. 18. Kedua daerah ini merupakan pemukiman orang-orang Hindu imigran dari India sejak abad III Masehi.
[5] Teuku Iskandar. Kesusasteraan Melayu Klasik Sepanjang Abad (Jakarta: Libra, 1996), hlm. xxvii.
[6] Othman Mohd. Yatim dan Abdul Halim Nasir. Epigrafi Islam Terawal di Nusantara (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1990), hlm. 5.
[7] Kata Jawi (Jawa), namun yang dimaksud adalah jawa kecil yaitu Sumatera. Sementara pulau Jawa yang dikenal sekarang disebut jawa besar, untuk diskusi mendalam baca: Ibrahim Alfian. Kontribusi Samudra Pasai…, hlm. 37, dst.
[8] Teuku Ibrahim Alfian, “Pasai dan Islam,” dalam: Susanto Zuhdi (ed.). Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutera: Kumpulan Makalah Diskusi (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993), hlm. 148.
[9] Menurut Ibrahim Alfian, bahkan Kerajaan Pasai kehilangan bahasanya setelah ditaklukkan oleh Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1524, sebab orang-orang Pasai makin terbiasa bertutur dalam bahasa Aceh. Ibrahim Alfian. Kronika Pasai: Sebuah Tinjauan Sejarah, Cet. II (Yogyakarta: Ceninnets, 2004), hlm. 11.
[10] Ibrahim Alfian. Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah (Banda Aceh: PDIA, 2004), hlm. 52.
[11] Liaw Yock Fang. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik (Jakarta: Obor, 2011), hlm. 436.
[12] A. Samad Ahmad. Sulalatus Salatin: Sejarah Melayu. Cet. 4 (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, 1986), hlm. 157.
[13] Mu’jizah. Iluminasi dalam Surat-Surat Melayu Abad ke-18 dan ke-19 (Jakarta: KPG dan KITLV, 2009), hlm. 11. Gallop. Golden Letters: Writing Traditions of Indonesia, Surat Emas: Budaya Tulis di Indonesia (Jakarta: Yayasan Lontar, 1991), hlm. 35-50.
[14] Edwar Djamaris dan Saksono Prijanto. Hamzah Fansuri dan Nuruddin Ar-Raniri (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), hlm. 2. Abdul Hadi WM. Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 13.
[15] M. Yusuf Musa. Zinatul Muwahhidin (Banda Aceh: Dinas Kebudayaan, 2005), hlm. 23.
[16] Mahmud Yunus. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Karya Agung, 1993), hlm. 20.
[17] Snouck Hurgronje. Aceh di Mata Kolonialis, terj. Ng. Singarimbun (Jakarta: Soko Guru, 1985), jld. II, hlm. 7.
[18] Anthony Reid (penyusun). Sumatera Tempo Doeloe…, hlm. 81. François Martin mengatakan: “Di Hindia ada satu bahasa, seperti halnya bahasa Latin yang ada di Eropa. Bahasa ini sangat indah dan mudah dipelajari. Namanya Bahasa Melayu.”
[19] Sampai di sini dapat disimpulkan, bahwa dalam masa-masa permerintahan sultanah yang merupakan masa kemunduran secara politik, ternyata terjadi kemajuan dalam bidang ilmu dan hukum secara signifikan. Dalam masa ini ditemukan kitab-kitab fikih yang khusus berisi hukum pidana dan perdata dalam bahasa Jawi. Sebagian dari karya ini dapat dinyatakan sebagai bentuk kodifikasi, karena adanya perintah penulisan dari sultan. Jabbar Sabil, “HUJJAH BÂLIGHAH: Kitab Hukum Acara Perdata Pertama di Aceh,” Jurnal Ilmiah Islam Futura, vol. 09, No. 02 Februari 2010, hlm. 133.
[20] Salah seorang pimpinan Dayah Tanoh Abey, Tgk. Muhammad Ali al-Baghdady tidak menguasai bahasa Arab, tetapi dapat membaca kitab-kitab berbahasa Melayu. Beliau lah yang kemudian menyelamatkan koleksi naskah-naskah tua di Dayah Tanoh Abey saat diserang Belanda, sebagian naskah dibawa lari ke pedalaman (Tangse), sementara yang tidak terbawa dipercayakan pada masyarakat sekitar dayah. A. Hasjmy. Ulama Aceh: Mujahid Kemerdekaan dan Pembangun Tamadun Bangsa (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hlm. 10.
[21] Ibrahim Alfian. Wajah Aceh… , hlm. 195.
[22] Menurut Ismuha, sebelum Belanda dapat menguasai Aceh, semua orang Aceh dapat membaca huruf Arab, meskipun tidak semuanya dapat menulis. Sesudah Belanda mengajarkan huruf latin, maka mulailah huruf Arab kurang mendapat perhatian. Lebih-lebih lagi pada zaman Jepang. Taufik Abdullah (ed.). Agama dan Perubahan Sosial. (Jakarta: Rajawali, bekerjasama dengan Yayasan Ilmu Ilmu Sosial [YIIS] 1983), hlm. 66.
[23] Ibrahim Alfian. Wajah Aceh… , hlm. 197.
[24] Taufik Abdullah (ed.). Agama dan Perubahan Sosial, hlm. 190.
[25] Akhyar Yusuf Lubis. Postmodernisme: Teori dan Metode (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), hlm. 9.
[26] Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat (Jakarta, Gramedia, 2008), hlm. 1198.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

QURBAN: ISHAK, ATAU ISMAIL? (Penafsiran Ayat 100-103 Surat al-Shaffat)

Kumpulan Kaidah Fiqhiyah

Hubungan Teori Sistem dengan Pendekatan Holistik dalam Ijtihad Kontemporer

Demi Jiwa (Penafsiran Ayat 7-10 Surat al-Syams)

Bekas di Dahi (Penafsiran Ayat 29 Surat al-Fath)

Ayat-ayat Setan (Satanic Verses): Penafsiran Ayat 52 Surat al-Hajj

Kumpulan Kaidah Usūliyyah

Kumpulan Kaidah Maqasidiyah

Paradigma Moderat Tafsir Kesetaraan Gender

Nuzulul Quran Penafsiran Ayat 185 Surat al-Baqarah