Kejujuran Ilmiah

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintakan pertanggungjawabannya. (QS. Al-Isra’ [17]: 36).
Al-Qurthubi mengutip berbagai riwayat yang menafsirkan ayat ini dalam konteks larangan bersaksi palsu, menuduh zina, bicara bohong, omongan jalang dan mencekoki keaslian nasab seseorang. Adapun Fukaha (ulama ahli fikih) melihatnya sebagai hujah kebolehan memakai jasa ahli firasat (qa’if) untuk penetapan keterhubungan nasab seseorang dengan ayahnya. Bisa dikatakan penafsiran seperti ini dominan secara kuantitas, sebab hampir semua kitab tafsir begitu. Namun ada sisi terlupakan yang terungkap dalam tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, sepertinya patut direnungkan.
Ibn ‘Asyur—mufasir/ahli bahasa dan sastra Arab—mengungkap analisis sintaksis (nahwiyyah) redaksional berdasar fakta adanya penekanan (al-ihtimam) pada tiga tempat dalam ayat. Pertama, mendahulukan kata “kullu” yang menunjukkan sifat alamiah (naturalitas) permintaan tanggung jawab terhadap pendengaran, penglihatan dan hati. Kedua, menggunakan kata tunjuk “ha’ula’” sehingga mempertajam perbedaan dari anggota tubuh lain. Ketiga, mendahulukan kata “’anhu” dari kata “mas’ula” sehingga menunjukkan penekanan khusus agar diberi perhatian lebih.
Menyadari ketiga penekanan di atas, maka ayat 38 ini menegaskan bahwa setiap pendengaran, penglihatan dan hati, masing-masing dimintai pertanggungjawaban secara tersendiri. Ketiganya menjadi saksi mandiri—tidak bisa diintervensi—yang menjelaskan posisi pemiliknya berdasar apa yang dialaminya masing-masing. Secara balaghah, ketiganya digambarkan berperilaku seperti makhluk hidup yang mampu menjawab saat pertanyaan diajukan. Maka kebohongan pemiliknya terbongkar, sehingga apapun yang menjadi haknya sebagai konsekuensi terungkap secara gamblang.
Mari sejenak merenungi, pantaskan kita berapologi, bersikap apriori dan menjustifikasi sementara hati saja akan bersaksi atas ketidakjujuran kita secara ilmiah. Menghayati larangan dalam ayat ini, jelaslah ini perintah untuk bersikap jujur secara ilmiah. Lebih dalam menurut Ibn ‘Asyur, ini petunjuk pemberdayaan intelektual dengan melatih keterampilan abstraktif pikiran untuk mengkritisi objek metaempirik berupa konsep, teori, atau prinsip. Caranya dengan melatih kemampuan membedakan antara ilmu (‘ilm), hipotesa (zann) dan dugaan tak beralasan (waham).

Realitas faktual kita menunjukkan, tidak jarang oknum intelektual memperdayai kelas awam dengan jargon-jargon wahmiyyah, termasuk di musim kampaye politik. Mereka memanfaatkan retorika dengan kalimat sofistik untuk meruntuhkan logika akal sehat. Akibatnya dapat menimbulkan perpecahan dan kehancuran sosial kemasyarakatan. Mengamalkan ayat di atas, perbaikan intelektualitas masyarakat (ijtima‘) harus dilakukan agar tak termakan jargon wahmiyyah, khususnya jika kampanye kejujuran ilmiah tak termakan oleh ‘oknum.’

Tulisan ini dimuat di Tabloit Pikiran Merdeka, Edisi 98, 16-22 November 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

QURBAN: ISHAK, ATAU ISMAIL? (Penafsiran Ayat 100-103 Surat al-Shaffat)

Kumpulan Kaidah Fiqhiyah

Demi Jiwa (Penafsiran Ayat 7-10 Surat al-Syams)

Bekas di Dahi (Penafsiran Ayat 29 Surat al-Fath)

Ayat-ayat Setan (Satanic Verses): Penafsiran Ayat 52 Surat al-Hajj

Hubungan Teori Sistem dengan Pendekatan Holistik dalam Ijtihad Kontemporer

Pengertian Kaidah Fiqhiyah

Kumpulan Kaidah Maqasidiyah

Kembali ke Fitrah: Tafsir ayat 30 Surah al-Rum

Kumpulan Kaidah Usūliyyah