Pendekatan Maqāşidī
Pendekatan tidak sama dengan metode, sebab metode adalah
cara mengerjakan sesuatu, sedangkan pendekatan adalah cara memperlakukan
sesuatu.[1]
Dengan kata lain, pendekatan merupakan ‘cara’ dari perspektif subjek (peneliti)
sedangkan metode merupakan ‘cara’ dari perspektif objek (masalah yang diteliti).
Menurut Heddy Shri Ahimsa-Putra, hakikat metode penelitian adalah proses
pengumpulan data, maka inti metode dalam penelitian adalah cara-cara yang
digunakan peneliti untuk mengumpulkan data.[2]
Hal ini menunjukkan perbedaan mendasar antara metode dengan pendekatan, sebab
pendekatan adalah ‘cara’ memperlakukan sesuatu dari perspektif peneliti. Dengan
demikian, pendekatan bersifat abstrak dan berupa konsep mental si peneliti.[3]
Mengingat hakikatnya sebagai konsep mental, maka pemilihan
suatu pendekatan dalam sebuah penelitian dipengaruhi oleh paradigma yang dianut
peneliti dan cenderung subjektif. Namun hal ini bisa diantisipasi dengan
mengajukan pertanyaan epistemologis, yaitu sifat hubungan yang terjalin antara
yang mengetahui atau calon yang mengetahui dengan sesuatu yang dapat diketahui.[4] Sifat hubungan itu bisa keterpisahan objektif atau
keterlibatan subjektif peneliti dengan objek yang diteliti (persoalan etik-emik).
Jawaban terhadap pertanyaan ini juga ditentukan oleh ranah kajian, apakah
berada dalam ranah nomotetik atau ideografik. Jawaban atas pertanyaan
epistemologis dapat dijadikan indikator objektivitas sebuah pendekatan. Khususnya
jika jawaban epistemologis selaras dengan asumsi dasar ontologis objek
penelitian, dan jawaban terhadap pertanyaan metodologis.
Keselarasan cenderung mudah diketahui pada penelitian
empirik (nomotetik), tapi lebih susah pada penelitian teoretik (ideografik),
apalagi bagi pemula. Hal ini disebabkan oleh sifat objek penelitian teoretik
yang filosofis-konseptual seperti pada penelitian dalam keilmuan syariah. Hanya
mereka yang telah terlatih bergulat dengan objek-objek filosofis-konseptual
saja yang dapat memilih pendekatan yang tepat. Oleh karena itu, guna memudahkan
pemula yang hendak melakukan kajian keilmuan syariah, tulisan ini merekomendasikan
pendekatan maqāşidī, khususnya pada bidang
hukum.
Menurut al-Khādimī, pendekatan maqāşidī adalah
beramal dengan maqāşid al-syarī‘ah, menjadikannya rujukan, dan
memperhitungkannya dalam melakukan ijtihad fikih.[5]
Dalam penerapan, pendekatan maqāşidi menuntut adanya dua tahap
penelitian, yaitu tahap penemuan nilai dan tahap pemahaman terhadap realitas. Tahap
penemuan nilai, dalam ilmu uşūl al-fiqh disebut dengan takhrīj al-manāţ.
Adapun tahap kedua disebut tahqīq al-manāţ.[6]
Dalam penelitian, masing-masing tahap ini menuntut penggunaan metode yang
berbeda.
Untuk tahap yang pertama, penemuan nilai dilakukan dengan
menggunakan metode induksi tematik (al-istiqrā’ al-ma‘nawī).[7]
Tetapi bagi peneliti di tingkat strata satu, tahap ini cukup dipadai dengan
merujuk kaidah maqāsidiyyah yang telah dirumuskan oleh para ulama. Salah satunya kaidah
yang disusun oleh Muhammad Sa‘ad ibn Ahmad ibn Mas‘ūd al-Yūbī,
yaitu sejumlah tujuh puluh tujuh kaidah.[8] Satu kaidah yang relevan dengan objek penelitian dipilih
sebagai teori, atau bisa dikatakan sebagai objek formal untuk menyorot objek material.
Hal ini tidak menutup kemungkinan adanya anak S1 yang mampu menggunakan metode
induksi tematik. Tetapi setidaknya, dengan penggunaan kaidah maqāşidiyyah, penelitian dapat
dipastikan telah menggunakan pendekatan maqāsidī.
Penggunaan kaidah maqāşidiyyah disahihkan berdasar teori maqāşid yang dibangun oleh
al-Syaykh Muhammad al-Ţāhir ibn ‘Āsyūr. Ia melakukan pengembangan teori maqāşid
dengan perpaduan antara pendekatan epistemologi bayānī (dialektik)[9]
dan burhānī (demonstratif)[10]
secara integratif. Hal ini melahirkan teori baru, bahwa kelompok kaidah yang
bersifat pasti (qaţ‘ī) menjadi rujukan dalam penelitian. Ia menyatakan:
وإنما أردت أن تكون ثلة من
القواعد القطعية ملجأ نلجأ إليه عند الإختلاف والمكابرة
Sesungguhnya yang saya kehendaki adalah menjadikan
kelompok kaidah yang pasti sebagai rujukan, yang mana kaidah itu menjadi
rujukan pada saat terjadi perbedaan.[11]
Adapun pada tahap kedua yang berupa pemahaman terhadap
realitas, pendekatan maqāşidī diterapkan dengan menggunakan metode tahqīq al-manāţ. Menurut ‘Abd al-Raĥmān al-Zaydī, metode
ini merupakan pengamatan terhadap realitas (al-wāqi‘) dan pengamatan
terhadap efek/kosekuensi (al-mā’al). Realitas yang diamati adalah
keadaan (al-hāl), masa (al-zamān), tempat (al-makān), dan
manusia sebagai individu dan masyarakat (al-asykhāş).[12]
Secara lebih detil, pemahaman terhadap realitas dapat dicapai dengan
menggunakan ragam metode penelitian kualitatif yang berkembang di abad
kontemporer ini. Sebagai contoh, bisa digunakan metode etnografi, studi kasus,
atau metode biografi, semua bisa digunakan asalkan sesuai dengan tuntutan dari
objek penelitian.
Setelah dua tahap penelitian di atas dilakukan, maka
peneliti sampai pada tahap analisis. Dalam pendekatan maqāşidī, analisis dilakukan untuk
menemukan adanya kesesuaian atau penyimpangan (deviasi). Artinya, realitas yang
telah dipahami dianalisis kesesuaiannya dengan nilai-nilai syarak yang telah
ditemukan pada tahap pertama penelitian. Metode analisis seperti ini diperlukan
agar hasil penelitian terhadap realitas tidak bersifat deskriptif semata.
Kajian deskripsi murni hanya berupa laporan yang kering, karena tidak berhak
memberi nilai bagi kehidupan nyata. Padahal sebuah penelitian hanya bermanfaat
bagi manusia jika dapat menyaraankan perubahan ke arah yang lebih baik. Hal ini
lah yang ditawarkan dalam pendekatan maqāşidi, sebab nilai-nilai syarak menjadi ukuran bagi realitas
yang diamati. Dengan demikian, langkah-langkah penelitian dengan pendekatan maqāşidī ini dapat digambarkan
sebagai berikut:
Mengikuti langkah-langkah penelitian ini, maka hasil
penelitian deskriptif terhadap realitas sosial dapat dirumuskan menjadi
proposisi preskriptif. Hal ini dimungkinkan karena penemuan nilai maqāşid
al-syarī‘ah dilakukan untuk
menunjukkan keadaan yang seharusnya. Lalu fakta dari realitas sosial yang
diamati akan dilihat sebagai keadaan yang normal jika sesuai dengan nilai maqāşid
al-syarī‘ah. Tetapi jika realitas
sosial itu menyimpang dari nilai maqāşid, al-syarī‘ah, maka ia
dianggap sebagai deviasi. Lalu peneliti dapat menyampaikan saran-saran tentang
bagaimana caranya agar realitas dapat diubah menjadi sesuai dengan nilai-nilai
syarak.
Daftar Pustaka
‘Alwān, Fahmī Muhammad. Al-Qiyam
al-Darūriyyah wa Maqāsid al-Tasyrī‘ al-Islāmī. Kairo: al-Hay’ah
al-Misriyyah: 1989.
Guba, Egon G., dan Yvonna
S. Lincoln, “Berbagai Paradigma yang Bersaing dalam Penelitian Kualitatif,”
dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln (ed.). Handbook of Qualitative
Research, cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Heddy Shri Ahimsa-Putra. Paradigma
Profetik Islam; Epistemologi, Etos, dan Model. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2015.
Ibn ‘Āsyūr, Muhammad
al-Tāhir. Maqāsid al-Syarī‘at al-Islāmiyyah. Kairo: Dār al-Salām, 2005.
Al-Jabiri, Muhammad Abed. Formasi
Nalar Arab, terj. Imam Khoiri. Yogyakarta: IRCiSod, 2003.
Al-Khādimī, Nūr al-Dīn ibn
Mukhtār. Al-Ijtihād al-Maqāsidī; Hujjiyatuhu, Dawābituhu, wa Majālātuhu.
Qatar: Wizārat al-Awqāf wa Syu’ūn al-Islāmiyyah, 1998.
Muhyar Fanani. Metode
Studi Islam; Aplikasi Sosiologi Pengetahuan sebagai Cara Pandang, cet. 2.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Poespoprodjo, W. Logika
Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu, cet. II. Bandung: Pustaka
Grafika, 2007.
Al-Yūbī, Muhammad Sa‘ad ibn Ahmad ibn Mas‘ūd. Maqāsid al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah. Riyad: Dār al-Hijrah, 1998.
Al-Zaydī, ‘Abd al-Rahmān. Al-Ijtihād bi Tahqīq al-Manāţ fī al-Fiqh al-Islāmī. Kairo: Dār al-Ĥadith,
2005.
[1] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi
Pengetahuan sebagai Cara Pandang, cet. 2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010), hlm. xxiii.
[2] Heddy Shri Ahimsa Putra, Paradigma Profetik Islam;
Epistemologi, Etos, dan Model (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2015), hlm 32.
[3] W. Poespoprodjo, Logika Scientifika:
Pengantar Dialektika dan Ilmu, cet. II (Bandung: Pustaka Grafika, 2007)
hlm. 67. Yang membuat kita tahu atau menangkap sesuatu disebut konsep mental,
sedangkan apa yang kita tangkap tentang objek yang disodorkan konsep mental
kepada akal budi disebut konsep objektif.
[4]
Egon G. Guba dan Yvonna S. Lincoln,
“Berbagai Paradigma yang Bersaing dalam Penelitian Kualitatif,” dalam Norman K.
Denzin dan Yvonna S. Lincoln (ed.), Handbook of Qualitative Research,
cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 133.
[5] Nūr
al-Dīn ibn Mukhtār al-Khādimī, al-Ijtihād al-Maqāsidī; Hujjiyatuhu,
Dawābituhu, wa Majālātuhu (Qatar: Wizārat al-Awqāf wa Syu’ūn al-Islāmiyyah,
1998), hlm. 39.
[6] ‘Abd al-Rahmān al-Zaydī, al-Ijtihād
bi Tahqīq al-Manāţ fī al-Fiqh
al-Islāmī (Kairo: Dār al-Ĥadith,
2005), hlm. 174.
[7] Fahmī Muhammad ‘Alwān, al-Qiyam al-Darūriyyah wa
Maqāsid al-Tasyrī‘ al-Islāmī (Kairo: al-Hay’ah al-Misriyyah: 1989), hlm.
63. Al-Istiqrā’ al-ma‘nawī berbeda dari al-istiqrā’ al-mantiqī
yang bersifat probabilitas (ihtimālī) sehingga tidak bersifat pasti,
karena seseorang mengamati objek yang terindera (mahsūs) untuk sampai
pada abstraksi (ma‘qūl).
الإستقراء المعنوى هو
المنهج الذى لا يعتمد على دليل واحد، بل يجمع كل الظواهر والعمومات والمطلقات
والمقيدات والجزئيات فى أعيان مختلفة، هذا مع ما ينضاف إلى ذلك من قرائن وأحوال.
Induksi tematik (al-istiqrā’ al-ma‘nawī)
adalah metode yang tidak berpegang pada satu dalil saja, tapi menyatukan semua
dalil, baik yang bersifat umum, terbatas, maupun partikular kasuistik. Ini
dilakukan bersama petunjuk dan kondisi-kondisi yang menyertai dalil-dalil itu.
[8] Muhammad Sa‘ad ibn Ahmad ibn Mas‘ūd al-Yūbī, Maqāsid al-Syarī‘ah
al-Islāmiyyah (Riyad: Dār al-Hijrah,
1998), hlm. 449-466.
[9] Maksud pendekatan epistemologi bayānī di sini merujuk
kepada konstruk yang dipetakan Abed al-Jabiri, yaitu ijtihad dalam memahami
teks keagamaan di dalam wilayah sirkulasinya sendiri. Pemecahannya harus dicari
di dalam dan melalui teks, dan qiyās sama sekali bukan ra’y,
tetapi “suatu proses yang dilakukan berdasar dalil sesuai dengan informasi yang
telah ada dalam kitab dan sunnah” Dengan demikian, agar qiyās bisa
berlangsung, harus ada khabar (yakni teks) dalam kitab atau sunnah yang
dijadikan sebagai sumber dan dalil, dan harus ada persesuaian, baik persesuaian
makna atau kemiripan, antara cabang (furū‘) yakni kasus baru yang hendak
dicari hukumnya, dengan sumbernya. Muhammad Abed al-Jabiri, Formasi Nalar
Arab, terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: IRCiSod, 2003), hlm. 171-172.
[10] Maksud dengan pendekatan epistemologi burhānī di
sini adalah metode ilmu-ilmu rasional dan dasar-dasar epistemologisnya: dasar
“akal universal.” Al-Jabiri, Formasi Nalar Arab…, hlm. 504.
[11] Muhammad al-Tāhir ibn ‘Āsyūr, Maqāsid al-Syarī‘at
al-Islāmiyyah (Kairo: Dār al-Salām, 2005), hlm. 6.
[12] ‘Abd al-Raĥmān al-Zaydī, al-Ijtihād bi Taĥqīq
al-Manāţ…, hlm. 196.
Komentar
Posting Komentar