HAJI AKBAR (Penafsiran Ayat 3 Surat al-Taubah)

Seringkali terdengar perbincangan tentang haji akbar, terkait dengan firman Allah dalam surat al-Taubah berikut:
وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ فَإِنْ تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ غَيْرُ مُعْجِزِي اللَّهِ وَبَشِّرِ الَّذِينَ كَفَرُوا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (التوبة :3)
Dan (inilah) suatu pemakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertaubat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu, dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakanlah kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. (Q.S. al-Taubah [9]: 3).

Banyak orang berasumsi bahwa haji akbar terjadi jika wukuf di Arafah jatuh pada hari Jumat. Benar tidaknya asumsi ini tentu harus diukur dari kesahihan terminologi yang digunakan, sehingga dapat dinyatakan sesuai dengan maksud ayat di atas. Jadi harus ditelusuri lebih dahulu maksud kata haji akbar dalam ayat.
Kata haji akbar hanya disebutkan sekali dalam Alquran. Tentunya hal ini menyulitkan identifikasi jika mengandalkan metode tafsîr bi al-ma’tsûr saja. Namun demikian, dapat ditelusuri secara kontekstual dengan panduan konteks ayat, hadis, dan sirah nabawi. Maka pertanyaan yang mendasar apakah ayat ini sedang berbicara tentang haji yang berbeda dari haji yang lain? Beruntung karena untuk menjawabnya, kita mewarisi banyak peninggalan (turats) dari para mufasir terdahulu.
Usaha penafsiran cukup maksimal dilakukan berdasar metode, dan analisa yang dimungkinkan secara metodologis. Namun juga tidak bisa dihindari munculnya beragam pandangan akibat keterbatasan informasi sehingga terkesan intuitif, dan kadang dipengaruhi kecenderungan tertentu sehingga terkesan subjektif. Oleh karena itu, pembahasan ini harus dimulai dari penelusuran asbabunnuzul ayat, dan konteks sosialnya.

Asbabunnuzul ayat
Menurut Ibn Sa‘ad, ayat di atas bersama beberapa ayat lain awal surat al-Taubah, diturunkan setelah Abu Bakar memulai perjalanan haji yang dipimpinnya dalam bulan Zulkaidah tahun 9 Hijrah. Agak berbeda, Ibn Katsir dalam tafsirnya menyebut penurunan ayat ini setelah kepulangan Nabi saw. dari perang Tabuk. Versi Ibn Katsir didukung oleh penyataan Abu Hurairah yang diriwayatkan al-Bukhari dalam kitab Sahih-nya, karena ia diperintah Abu Bakar untuk mendampingi Ali membuat pengumuman ayat bara’ah itu.
Berdasar Sahih al-Bukhari, kuat dugaan awal surat al-Taubah turun sebelum Abu Bakar berangkat haji. Jadi selain memimpin jamaah haji, Abu Bakar juga mengemban tugas membuat pengumuman bara’ah. Setengah perjalanan, Rasulullah mengutus Ali menyusul rombongan, mereka bertemu di suatu tempat bernama Dhanjanân. Peristiwa ini memunculkan khilaf di tengah umat Islam, bahkan sebagian golongan secara subjektif menggiring ke arah pengutamaan Ali dari Abu Bakar.
Ibn Hajar al-‘Asqalani, dalam kitabnya Fath al-Bari, menengahi khilaf ini secara moderat. Sebagaimana hadis sahih Bukhari, Abu Bakar memang mengemban tugas membuat pengumuman; 1) musyrikin tidak boleh berhaji pada tahun berikutnya, 2) tidak boleh tawaf secara telanjang. Lalu Rasulullah mengutus Ali untuk tugas tambahan yang lebih spesifik, yaitu terkait dengan pemutusan perjanjian damai dengan musyrikin. Hal ini dilakukan Rasulullah karena hukum adat Quraysy menggariskan, bahwa perjanjian hanya boleh diakhiri oleh orang yang mengikatnya, atau setidaknya oleh keluarga terdekatnya (ahl al-bayt). Maka semua setuju, bahwa orang yang paling tepat melakukannya adalah Ali, lalu butir pengumuman pun bertambah menjadi empat poin. Dari itu dapat disimpulkan, bahwa perjalanan haji Abu Bakar ini sejak semula memang didisain sebagai misi lanjutan setelah ekspedisi Tabuk yang sukses itu.
Perlu dicatat, bahwa Nabi saw. memulai ekspedisi Tabuk pada awal bulan Rajab, menetap berjaga selama 29 hari, dan tiba kembali di Madinah menjelang puasa Ramadhan. Sedangkan Rombongan haji pimpinan Abu Bakar berangkat di bulan Zulkaidah, jadi benar ayat itu turun setelah ekspedisi Tabuk. Dengan demikian, Ibn Katsir menunjukkan kondisi sosial yang melatari turunnya awal surat al-Taubah.
Sebagaimana diketahui, dalam perang Tabuk Rasulullah berhasil membuat gentar negara Adidaya, Romawi, sehingga mereka menarik diri, bertahan dalam benteng, dan mengikat perjanjian. Meski peperangan tidak sempat pecah, tapi sudah lebih dari cukup untuk membuktikan kekuatan Madinah, sehingga membuat kecut para musyrikin. Di samping itu, ekspedisi Tabuk melewati rintangan terberat, 30.000 pasukan menempuh perjalanan jauh dalam cuaca bulan Rajab yang sangat panas dengan perbekalan yang terbatas. Sulit dipercaya, kekuatan macam apa yang mampu membuat mereka bertahan di medan seberat ini. Dengan melewati ujian ini, kredibilitas umat Islam semakin disegani, dan Negara Islam Madinah sudah cukup siap untuk melanjutkan misi yang secara revolusioner telah dimulai saat Pembebasan Mekah.
Saat pembebasan Mekah yang terjadi pada bulan Ramadhan tahun 8 Hijrah, kaum muslimin telah berhasil meruntuhkan berhala yang menjadi simbol keangkuhan paganisme. Tugas selanjutnya membersihkan kota Mekah dari sisa-sisa pengaruh keberhalaan, dan tugas ini menjadi mulus setelah hapusnya ancaman dari negara adidaya Romawi. Maka musim haji tahun 9 Hijrah merupakan waktu yang tepat untuk melanjutkan misi.
Rasulullah sendiri tidak ikut berhaji. Hal ini dapat dimaklumi, sebab ibadah haji kali ini masih terganggu oleh musyrikin yang juga berhaji. Mereka kerap mengganggu dengan ucapan talbiyah syirik mereka. Mereka tawaf tanpa seutas benang ditubuh, katanya agar hadir sebagaimana kondisi saat dilahirkan ibunya. Rasulullah tidak bisa melarang mereka, sebab masih terikat perjanjian damai, dan Allah mengingatkan:
(Inilah pernyataan) pemutusan perhubungan daripada Allah dan Rasul-Nya (yang dihadapkan) kepada orang-orang musyrikin yang kamu (kaum muslimin) telah mengadakan perjanjian (dengan mereka). Maka berjalanlah kamu (kaum musyrikin) di bumi selama empat bulan dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat melemahkan Allah, dan sesungguhnya Allah menghinakan orang-orang kafir. (Q.S. al-Taubah [9]: 1-2).

Menurut Haekal, pada hari berkumpulnya jamaah haji di Mina, Ali membacakan ayat 1-36 surat al-Taubah, lalu mengumumkan empat perkara; 1) orang yang kufur tidak akan masuk syurga, 2) sesudah tahun ini, orang musyrik tidak boleh lagi naik haji, 3) tidak dibolehkan lagi bertawaf secara telanjang, 4) ikatan perjanjian dengan Rasulullah hanya berlaku sampai habis temponya.
Dari pembahasan ini tampak bahwa awal surat al-Taubah diturunkan sebagai bentuk proklamasi bagi kedaulatan penuh Islam atas tanah haram. Waktu proklamasinya dicatat Alquran dengan identifikasi; hari haji akbar. Lalu bagaimana haji akbar itu dipahami?

Beberapa pendapat
Tafsir al-Qurthubi mengangkat pendapat beberapa ulama tentang maksud haji akbar. Satu pendapat diriwayatkan bersumber dari Mujahid (w. 104 H) menyatakan, bahwa haji besar (al-hajj al-akbar) adalah haji qiran. Istilah al-hajj al-akbar ini diperhadapkan dengan istilah al-hajj al-ashghar (haji kecil) yang menurut Mujahid adalah haji ifrad. Al-Qurthubi tidak setuju dengan pendapat ini, sebab tidak berdasar nas.
Mujahid juga punya pendapat lain yang sama dengan pendapat ‘Athâ’ (w. 114 H), bahwa haji kecil (al-hajj al-ashghar) adalah umrah. Jadi haji akbar adalah ibadah haji itu sendiri yang dilaksanakan lengkap dengan wukuf di Arafah. Al-Thabari dalam tafsirnya menambahkan tokoh tabiin lainnya yang berpendirian sama, yaitu al-Sya‘bi. Sementara Ibn Hajar dalam Fath al-Bari menyatakan adanya riwayat serupa yang disampaikan ‘Abd al-Razzaq dari Abdullah ibn Syadad.
Pendapat lain dari al-Hasan (w. 97 H), dan ‘Abd Allah ibn al-Harits ibn Nawfal (w. 79 H), bahwa penamaan haji akbar itu karena pada masa itu non muslim juga ikut berhaji. Namun pendapat ini dibantah oleh Ibn ‘Athiyah, sebab tidak mungkin alasan seperti ini menjadi dasar penamaan oleh Alquran. Al-Hasan juga berpendapat, bahwa penamaan haji akbar karena pada haji tahun 9 Hijrah itu, Abu Bakar membawa misi pengumuman bara’ah, dan pemutusan perjanjian damai dengan musyrikin Quraysy.
Sementara Ibn Sîrîn (w. 110 H) menyatakan bahwa haji akbar adalah haji wada’, penamaan itu karena Nabi saw. sendiri ikut serta di dalamnya bersama umat. Selain itu juga ada pendapat bahwa hari haji akbar adalah seluruh hari peribadatan haji. Menurut Ibn Hajar, pendapat ini bersumber dari al-Tsawri, dan dikuatkan oleh al-Suhayli, karena Ali diperintah menyampaikan pengumuman dalam hari-hari haji tanpa ditentukan satu hari yang khusus.
Semua pendapat di atas menunjukkan pola yang sama, bahwa pemilik pendapat berasumsi adanya afdhaliyah pada satu rangkaian ibadah haji sehingga disebut haji akbar. Namun mereka berbeda dalam hal bandingannya yang disebut al-hajj al-asghar. Sayangnya pendapat dalam pemetaan pertama ini tidak dikuatkan petunjuk nas, baik Alquran maupun Hadis.
Adapun pemetaan yang kedua, polanya lebih kepada pencarian satu hari yang disebut sebagai hari haji akbar di antara hari-hari pelaksanaan ibadah haji. Maka al-hajj al-asghar adalah seluruh hari-hari haji setelah dikecualikan satu hari yang akbar. Di sini terpecah menjadi dua pendapat, sesuai dengan hadis yang menjadi dasar pegangan.
Pendapat pertama, menyatakan hari haji akbar jatuh pada hari Arafah, yaitu tanggal 9 Zulhijjah. Artinya, hari Arafah merupakan hari terbesar di antara hari-hari pelaksanaan ibadah haji. Dasarnya hadis yang diriwayatkan dari Umar, Usman, Ibn Abbas, Thaus, dan Mujahid. Mereka juga berpegang pada Hadis riwayat Ismail al-Qadhi, bahwa Rasulullah menyatakan hari haji akbar adalah hari Arafah. Menurut al-Qurthubi, pendapat ini juga dipegang oleh Abu Hanifah dan Imam Syafi’i. Sayangnya hadis yang dipegang bernilai dha‘if, sebab dalam sanadnya terdapat Sufyan ibn Waki‘ yang dicatat Ibn Hajar dalam kitab Tahzib al-Kamal sebagai orang yang diduga dusta.
Pendapat kedua, menyatakan hari haji akbar jatuh pada hari Nahar, yaitu dimulai dari terbitnya fajar tanggal 10 Zulhijjah. Artinya, hari terbesar dari hari-hari pelaksanaan ibadah haji adalah hari Nahar. Pendapat ini didasarkan pada dua hadis, pertama, hadis yang dipandang sahih oleh Abu Daud, di mana Rasulullah bertanya; “Hari apa ini?”, sahabat menjawab; “Hari Nahar”, lalu Rasulullah meralat; “ini adalah hari haji akbar”. Kedua, hadis yang di-takhrij al-Bukhari dari Abu Hurairah, bahwa dirinya mendampingi Ali membuat pengumuman bara’ah pada hari Nahar. Menurut al-Qurthubi, pendapat ini juga dipegang oleh Imam Malik.
Kedua hadis yang menjadi dasar pendapat kedua ini bernilai sahih. Hadis Abu Daud di atas telah diteliti oleh al-Albani, dan dinyatakan sahih. Adapun hadis kedua sudah tidak diragukan lagi karena ketatnya syarat sahih al-Bukhari. Bisa saja kedua hadis ini dianggap saling melengkapi, sehingga kuatlah pendapat; hari haji akbar adalah hari Nahar. Tapi sebenarnya kedua hadis ini berbicara tentang dua peristiwa berbeda. Hadis pertama tentang hari haji akbar di masa haji wada’ (tahun 10 H), sementara hadis kedua tentang hari haji akbar pada haji Abu Bakar (tahun 9 H).
Sampai di sini, inti masalah belum terjawab. Apakah hari haji akbar yang disebut Rasulullah pada haji wada’ itu semakna dengan hari haji akbar yang di sebut dalam ayat?

Haji akbar dalam terminologi Alquran
Jika hari Nahar tahun 10 Hijrah sangat jelas disebut Rasul sebagai hari haji akbar, maka itu sangat berbeda dengan hari Nahar tahun 9 Hijrah. Perhatikan teks hadis sahih al-Bukhari berikut:
 حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ فَأَخْبَرَنِي حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ: بَعَثَنِي أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي تِلْكَ الْحَجَّةِ فِي الْمُؤَذِّنِينَ بَعَثَهُمْ يَوْمَ النَّحْرِ يُؤَذِّنُونَ بِمِنًى أَنْ لَا يَحُجَّ بَعْدَ الْعَامِ مُشْرِكٌ وَلَا يَطُوفَ بِالْبَيْتِ عُرْيَانٌ قَالَ حُمَيْدٌ ثُمَّ أَرْدَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ فَأَمَرَهُ أَنْ يُؤَذِّنَ بِبَرَاءَةَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ فَأَذَّنَ مَعَنَا عَلِيٌّ فِي أَهْلِ مِنًى يَوْمَ النَّحْرِ بِبَرَاءَةَ وَأَنْ لَا يَحُجَّ بَعْدَ الْعَامِ مُشْرِكٌ وَلَا يَطُوفَ بِالْبَيْتِ عُرْيَانٌ
Dari Abdullah ibn Yusuf, dari al-Layts, dari ‘Uqayl; Ibn Syihab berkata; “Humayd ibn Abdurrahman mengabari saya, bahwa Abu Hurairah berkata: ‘Pada musim haji itu Abu Bakar ra. mengutus saya bersama utusan lain untuk membuat pengumuman di Mina, bahwa orang-orang musyrikin dilarang berhaji lagi setelah tahun ini, dan dilarang bertawaf secara telanjang”. Humayd berkata: “Kemudian Rasulullah membuat penambahan dengan mengutus Ali ibn Abu Thalib, maka ia membuat pengumuman bara’ah”. Abu Hurairah berkata: ”Maka Ali menyampaikan pengumuman bara’ah bersama kami di hadapan jamaah yang hadir di Mina, sekaligus pengumuman dilarangnya musyrikin berhaji tahun depan, dan tidak boleh bertawaf telanjang”.

Peristiwa yang diuraikan Abu Hurairah di atas merupakan pelaksanaan atas pengumuman bara’ah dalam ayat 3 surat al-Taubah, dan Alquran menyebut waktu pelaksanaannya pada hari haji akbar. Masalahnya, apakah Alquran memaksudkan hari haji akbar itu sebagai hari Nahar?
Penjelasan untuk itu tidak ditemukan dalam hadis sahih bukhari di atas, walaupun hadis itu jelas-jelas sedang mengurai peristiwa pengumuman bara’ah (haji tahun 9 Hijrah). Redaksi ucapan Abu Hurairah di atas hanya memberitahu bahwa pengumuman bara’ah dilaksanakan pada hari Nahar, dan bertempat di Mina. Jadi tidak secara tegas menjelaskan hari Nahar sebagai hari haji akbar. Bisa saja yang dimaksud dengan hari haji akbar merupakan keseluruhan hari-hari haji tahun 9 Hijrah, sehingga Abu Bakar bebas memilih salah satu hari dalam musim haji itu sebagai waktu membuat pengumuman. Lalu Humayd ibn Abdurrahman menyimpulkan sendiri bahwa yang dimaksud hari haji akbar adalah hari Nahar.
Pendapat Humayd ini bisa saja ditinggalkan, dan bisa pula diterima. Namun tentu harus dipikirkan konsekuensinya sebelum memutuskan penerimaan atau penolakan ini.
Jika ditolak, maka hari haji akbar dalam hadis haji wada’ menjadi berbeda dari hari haji akbar dalam ayat. Artinya, penjelasan hadis bisa dipahami secara mandiri tanpa harus terkait dengan konteks ayat. Sebab dalam hadis Abu Daud, jelas ditentukan hari Nahar sebagai hari haji akbar, sementara dalam ayat tidak ditentukan harinya. Lalu, apakah dengan memahami hadis secara mandiri ini mengantarkan pada petunjuk afdhaliyah haji akbar yang jatuh pada hari Jumat?
Apa yang dipahami masyarakat umum tidak terjawab lewat hadis ini. Sebab hari Nahar yang disebut dalam hadis sahih Abu Daud itu jatuh pada hari Sabtu, 10 Zulhijjah tahun 10 Hijrah/7 Maret 632 M. Sedangkan hari Jumat, 9 Zulhijjah tahun 10 Hijrah yang merupakan hari Arafah, tidak bisa dinyatakan sebagai hari haji akbar, sebab hadis yang mendasarinya bernilai dha’if. Sebagaimana disebutkan di atas, dalam sanadnya terdapat Sufyan ibn Waki‘ yang dicatat Ibn Hajar dalam kitab Tahzib al-Kamal sebagai orang yang diduga dusta.
Sebaliknya, jika didasarkan kepada analisa Humayd ibn Abdurrahman berdasar informasi Abu Hurairah, maka hari Nahar tahun 9 Hijrah jatuh pada hari Selasa, 19 Maret 631 M. Jadi hari Arafah dan hari Nahar tahun 9 Hijrah tidak jatuh pada hari Jumat, maka hadis dan ayat tidak menginformasikan haji akbar dalam konteks jatuh pada hari Jumat. Hal ini menjadi semakin kabur karena tidak sahihnya hadis yang dikutip sebagian ulama. Misalnya hadis yang dikutip dalam kitab I‘anat al-Thalibin tentang afdhal-nya haji yang hari Arafahnya jatuh pada hari Jumat.
 Sampai di sini, pendekatan secara parsial terhadap ayat atau hadis, ternyata tidak memberi pemahaman yang komprehensif. Lalu mungkinkah ayat dan hadis ini dipahami secara terintegrasi?

Kiranya kesepakatan usuliyun ,tentang berposisinya hadis sebagai penjelas ayat, patut dijadikan pendekatan dalam memahami hari haji akbar ini. Maka berdasar asbabun nuzul, ayat 3 surat al-Taubah berbicara tentang pengumuman bara’ah. Adapun hari haji akbar, disebutkan sebagai informasi tambahan yang tidak perlu diperdetil, sebab ia bukan pokok pembicaraan. Jika kemudian Rasul memberikan informasi yang lebih kurang sama dengan terminologi ayat, maka dapat diyakini sebagai tambahan penjelasan, kecuali ada petunjuk sebaliknya. Dengan demikian, interpretasi Humayd ibn Abdurrahman dapat diterima, sebab ia mempertautkan hadis dengan ayat. Wallahu a‘lam.

Komentar

  1. Jadi ust intinya pendapat ttg haji akbar maknanya adalah hari nahar yg jatuh pada hari jumat itu lemah?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Berdasar kajian ini, begitulah adanya, terima kasih.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

QURBAN: ISHAK, ATAU ISMAIL? (Penafsiran Ayat 100-103 Surat al-Shaffat)

Kumpulan Kaidah Fiqhiyah

Demi Jiwa (Penafsiran Ayat 7-10 Surat al-Syams)

Bekas di Dahi (Penafsiran Ayat 29 Surat al-Fath)

Ayat-ayat Setan (Satanic Verses): Penafsiran Ayat 52 Surat al-Hajj

Hubungan Teori Sistem dengan Pendekatan Holistik dalam Ijtihad Kontemporer

Pengertian Kaidah Fiqhiyah

Kumpulan Kaidah Maqasidiyah

Kembali ke Fitrah: Tafsir ayat 30 Surah al-Rum

Kumpulan Kaidah Usūliyyah