Dasar Hukum Keberlakuan Khitan bagi Umat Muhammad
Khitan telah menjadi kebiasaan di
daerah tertentu—misalnya Mesir—jauh sebelum agama Islam diturunkan. Menurut
sebuah riwayat dalam kitab al-Muwatta’,
Sa‘id ibn
al-Musayyab (w. 93 H/712 M) menyatakan bahwa Nabi Ibrahim as. (w. 1773 SM)[1]
adalah orang pertama yang melakukan khitan.[2]
Pendapat ini diikuti oleh kebanyakan ulama.
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّهُ قَالَ
كَانَ إِبْرَاهِيمُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَوَّلَ النَّاسِ ضَيَّفَ الضَّيْفَ وَأَوَّلَ النَّاسِ اخْتَتَنَ وَأَوَّلَ
النَّاسِ قَصَّ الشَّارِبَ وَأَوَّلَ النَّاسِ رَأَى الشَّيْبَ فَقَالَ يَا رَبِّ مَا
هَذَا فَقَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَقَارٌ يَا إِبْرَاهِيمُ فَقَالَ يَا
رَبِّ زِدْنِي وَقَارًا.
Dari Sa‘id
ibn al-Musayyab, ia berkata: “Adalah Ibrahim orang pertama yang menjamu tamu,
orang pertama yang berkhitan, orang pertama yang memotong kumis, dan ia orang
pertama yang melihat uban lalu berkata: Apakah ini wahai Tuhanku? Maka Allah
berfirman: kewibawaan wahai Ibrahim. Ibrahim berkata: Wahai Tuhanku, tambahkan
aku kewibawaan itu.”
Terkait dengan waktu kejadiannya,
sebuah hadis menjelaskan:[3]
عن
أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( اختتن إبراهيم عليه
السلام وهو ابن ثمانين سنة بالقدوم ).
Dari Abu
Hurayrah, Rasulullah saw. bersabda: “Ibrahim berkhitan kala berusia delapan
puluh tahun di suatu tempat bernama Quddum.”
(H.R. al-Bukhari).
Berdasarkan Hadis ini diketahui
bahwa Nabi Ibrahim telah berkhitan sejak di kampung halamannya, sekitar tahun
1916 SM (usia 80 tahun), diperkirakan usianya 146 tahun saat tiba di Mesir.
Dengan demikian khitan merupakan bagian dari syariat Nabi Ibrahim as. yang
dimaksudkan dalam ayat berikut:
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ
فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي
قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ (124)
Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya
dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya.
Lalu Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh
manusia.” Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga dari keturunanku.” Allah
berfirman: “Janji-Ku ini tidak mengenai orang yang zalim. (Q.S. al-Baqarah
[2]: 124.
Sebagian ulama mengatakan kata “kalimāt”
dalam ayat ini berarti syariat Islam, ada juga yang mengartikannya sebagai
perintah dan larangan, ada yang mengatakan penyembelihan anak, dan ada pula
yang mengatakan kepatuhan menyampaikan risalah. Menurut al-Qurtubi (w. 671 H/1273
M), semua arti ini saling berdekatan.[4]
Oleh karena itu, khitan merupakan syariat Nabi Ibrahim yang sesuai dengan
syariat Nabi Muhammad saw. sebagaimana dapat dipahami dalam ayat berikut:
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ
حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (123)
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad):
“Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif.” Dan bukanlah dia termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (Q.S. al-Nahl [16]: 123).
Menurut Ibn Asyur (w. 1394 H/1973
M), kata “ittabi‘” dalam ayat ini tidak bisa diartikan sebagai perintah
mengikuti agama Ibrahim, sebab Nabi Muhammad saw. tidak mengetahui detil ajaran
agama Nabi Ibrahim as. Jadi tidak logis jika seseorang diperintahkan mengikuti
sesuatu yang tidak diketahuinya. Ini merupakan alasan (qarinah) bahwa
kalimat di atas berupa metafor (majāz isti‘ārah), karena menggunakan
perbuatan orang lain (Nabi Ibrahim as.) untuk menunjukkan hubungan (‘alaqah)
kesesuaian dengan perbuatan yang diperintah kepada orang yang dituju oleh khitāb dalam ayat
ini (Nabi Muhammad saw.).[5]
Dari itu rangkaian kalimat “awhaynā”
dan perintah “ittabi‘ millah Ibrāhim”
harus dilihat sebagai kesatuan.
Melihat kalimat itu sebagai
kesatuan, terpahami bahwa Nabi Muhammad saw. pun harus mengikuti agama hanif
sebagaimana Nabi Ibrahim as. mengikuti agama hanif. Secara paradigmatik,
pemahaman ini sesuai dengan rangkaian ayat-ayat sebelumnya (munāsabah bayn
al-ayāt). Jadi ayat ini memberitahukan “kesesuaian” ajaran yang diterima
Nabi Muhammad saw. dengan ajaran Nabi Ibrahim as. yang hanif. Dengan kata lain,
syariat Islam memiliki landasan yang sama dengan syariat Nabi Ibrahim as.[6]
Berbeda dengan Ibn ‘Āsyūr,
sebagian ulama menjadikan ayat 123 surat al-Nahl sebagai dalil wajibnya khitan.
Sebagai contoh, misalnya pendirian Syihab
al-Din ibn Hajar
al-Haytami (w. 973
H/1566 M) yang mengikuti mazhab Imam al-Syāfi‘ī, dalam kitabnya Tuhfat al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj (komentar
terhadap kitab Minhaj
al-Talibin, karya Imam
al-Nawawi).[7]
Namun pandangan ini perlu dikritisi, mengingat perintah yang sama pada ayat
lain (surat Ali ‘Imran
ayat 95) juga berupa penegasan hanifnya ajaran yang dibawa Nabi Ibrahim as.
Menurut Ibn ‘Āsyūr, perintah mengikuti agama Ibrahim dalam ayat 95 surat Ali
‘Imran
merupakan konsekuensi dari kebenaran Allah (qul sadaq Allāh
fattabi‘ millah Ibrāhim).[8]
Berdasarkan uraian di atas, maka
yang menjadi masalah adalah bagaimana caranya khitan menjadi bagian dari ajaran
Islam? Sebagaimana diketahui, bahwa menurut usūliyyūn, hukum hanya ada
berdasarkan khitāb
al-Syāri‘.[9]
Lalu adakah khitāb
langsung dari al-Syāri‘ sehingga khitan menjadi wajib berdasar kaidah: “al-amr
al-mutlaq
yaqtadi
al-wujub
mutlaqan?”
(secara umum, perintah menunjukkan wajib).[10]
Jika tidak ada khitāb,
lalu bagaimana cara penetapannya sehingga sah dikatakan statusnya sebagai hukum
Islam?
Merujuk pendapat ulama yang
menjadikan khitāb
dalam ayat 123 surat al-Nahl sebagai dasar kewajiban khitan, maka keberlakuan
hukum harus diakui berpijak pada syariat sebelum Islam (syar‘ man qablana).
Ini berarti masuk dalam perdebatan yang tak pernah selesai. Namun begitu,
diterima atau ditolak, pada akhirnya persoalan ini kembali pada Alquran dan
Sunah. Sebab sebagaimana disimpulkan oleh Wahbah al-Zuhayli, tidak ada
informasi tentang syariat sebelum Islam yang bisa dipercaya selain Alquran dan
Sunah.[11]
Ini berarti ada masalah yang paling mendasar, yaitu soal kebenaran. Secara
epistemologis, yang dipertanyakan adalah kesahihan sumber pengetahuan tentang syar‘
man qablana itu sendiri. Akibatnya ontologi syar‘ man qablana
kembali pada wahyu.
Jika ontologi syar‘ man qablana
adalah wahyu berupa ayat-ayat Alquran, maka ayat-ayat seperti ini bersifat
informatif. Kalau tidak, pendapat yang menyatakan perintah “ittabi‘ millah
Ibrāhim”
dalam ayat 123 surat al-Nahl sebagai dalil wajib khitan mengandung kontradiksi.
Sebab di satu sisi mereka menjadikan khitāb dalam ayat ini sebagai
indikator wajib khitan, tapi di saat yang sama mereka menolak keberlakuan syar‘
man qablana.[12]
Padahal mematuhi perintah “ikutilah millah Ibrāhim” berarti
keberlakuan syar‘ man qablana (yang salah satunya adalah khitan) bagi
umat Muhammad.
Kontradiksi ini menjadi penguat,
bahwa khitāb
dalam ayat 123 surat al-Nahl bukan dalil kewajiban khitan. Dari itu penulis
sependapat dengan Ibn ‘Āsyūr, bahwa perintah mengikuti millah Ibrāhim menunjukkan
bangun agama yang dibawa Nabi Muhammad memiliki pondasi yang sama dengan agama
yang dibawa Nabi Ibrahim. Pondasi itu adalah fitrah dan tawasut (moderasi
antara kesempitan dan kemudahan).[13]
Di sisi lain, jika yang dimaksud
dengan wahyu adalah ilham kepada Nabi Muhammad saw., maka dalil keberlakuan
khitan adalah khitāb
dari Sunah. Dalam hal ini Rasulullah bersabda:[14]
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رِوَايَةً
«الْفِطْرَةُ خَمْسٌ -أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ- الْخِتَانُ، وَالاِسْتِحْدَادُ،
وَنَتْفُ الإِبْطِ، وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ، وَقَصُّ الشَّارِبِ» .
Dari Abu
Hurayrah, Rasulullah bersabda: “Fitrah ada lima, yaitu khitan, mencukur bulu di
sekitar organ vital, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan memotong kumis.”
(H.R. al-Bukhari).
Memerhatikan Hadis ini, secara
redaksional tidak terdapat khitāb
yang eksplisit menyatakan wajib. Tetapi penyebutan lima hal ini menunjukkan
keutamaan tertentu dari hal lain yang juga fitrah. Menurut Ibn Hajar al-‘Asqalani, adanya Hadis
lain yang menyebut lebih dari lima fitrah menunjukkan bahwa fitrah tidak
terbatas pada lima hal di atas saja.[15]
Bahkan kata fitrah dipahami dengan makna yang luas. Secara etimologis, menurut
Ibn Manzūr,
fitrah berarti penciptaan (al-khalq), sebagaimana bunyi Hadis “Kullu
mawlūd yūlad ‘alā al-fitrah.”[16]
Lalu secara terminologis, al-Jarjānī menyatakan fitrah sebagai penciptaan
manusia yang dipersiapkan untuk dapat menerima agama.[17]
Sebagian ulama mengartikan fitrah
sebagai agama (al-din)
Islam, dan sebagian yang lain mengartikan fitrah sebagai sunnah, yaitu sunnah
para nabi.[18]
Secara ontologis, hal ini kembali pada makna yang satu, sebab al-din itu sendiri
merupakan syariat yang sesuai dengan fitrah manusia.[19]
Sebaliknya, fitrah manusia itu adalah fitrah Islam, jika ia menyalahi ajaran Islam,
maka ia keluar dari fitrah manusia dan jatuh dalam derajat binatang. Oleh
karena itu, jika manusia ingin tahu fitrahnya, maka ia harus merujuknya dalam al-din. Sampai di
sini dapat disimpulkan bahwa fitrah manusia adalah penciptaan manusia dari
semula yang sesuai dengan tuntunan agama Islam. Jadi memaknai fitrah sebagai al-din juga
berarti kondisi manusia saat pertama kali diciptakan, adapun penyimpangan dari
agama menjadi indikator penyimpangan dari fitrah manusia.
Uraian ini memperlihatkan bahwa
Hadis di atas lebih bersifat informatif, dari pada taklif. Dengan demikian,
Hadis di atas dan ayat 123 surat al-Nahl tidak bisa dinyatakan sebagai dalil
langsung karena sifatnya yang informative. Maka kewajiban khitan sebagai bagian
dari fitrah hanya bisa dinyatakan berlaku berdasar khitāb dalam ayat
berikut:
فَأَقِمْ
وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (الروم: 30)
Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada Agama (Allah); (tetap-lah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S. al-Rum [30]: 30).
Perintah dalam ayat ini merupakan
khitāb
yang menunjukkan wajibnya mengikuti fitrah. Sesuai dengan kaidah: “al-amr
al-mutlaq
yaqtadi
al-wujub
mutlaqan,
maka khitan sebagai bagian dari fitrah manusia sejak dari mula penciptaan,
dapat dinyatakan berlaku sebagai kewajiban bagi umat Nabi Muhammad saw.
Daftar Pustaka
Amstrong, Karen. Sejarah Tuhan, terj. Zaimul
Am, cet. XIII. Bandung: Mizan, 2009.
Al-Bahārī, Muhibb al-Dīn ibn ‘Abd al-Syakūr. Musallam al-Thubūt.
Beirut: Dār al-Fikr, t.th.
Al-Bukhārī, Muhammad ibn Ismā‘īl Abū
‘Abd Allāh al-Ja‘fi. Al-Jami‘al-Sahīh al-Mukhtasar, tahkik: Mustafa
Dib al-Bigha, cet. III, Beirut: Dār Ibn Kathir, 1987
Al-Haytami,
Syihab al-Din ibn Hajar. Tuhfat al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj, cet. II,
jld. XI (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2007.
Ibn ‘Āsyūr, Muhammad al-Tāhir. Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr. Tunisia: Dār al-Tūnisiyyah, 1984.
______. Maqāsid al-Syarī‘at
al-Islāmiyyah. Kairo: Dār
al-Salām, 2005.
Ibn Hajar al-‘Asqalānī. Fath al-Bārī fī Syarh Sahīh al-Bukhārī. Kairo: Dār Masr, 2001.
Ibn Manzūr. Lisān al-‘Arab.
Kairo: Dār al-Hadīth,
2003.
Al-Jarjānī. Kitāb al-Ta‘rīfāt. Singapura: al-Haramayn, t.th.
Mālik ibn Anas. Al-Muwattā’, tahkik: Muhammad Mustafa al-A‘zami, cet. I. Beirut:
Zayid Ibn
Sultan Ali Nahyan, 2004.
Al-Najjār, Ahmad ibn Muhammad ibn al-Sādiq. Al-Qawā‘id al-Usūliyyah allatī
Tubnā ‘alayha Thamarat ‘Amaliyyah. Madinah al-Munawwarah: Dār al-Īhah, 1434 H.
Al-Qurtubī, Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad al-Ansari. Al-Jāmi‘ li Ahkām al-Qur’ān. Kairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah, t.th.
Al-Zuhaylī,
Wahbah.Usūl al-Fiqh al-Islāmī.
Beirut: Dār al-Fikr, 1986.
[1] Nabi Ibrahim lahir di Ur tahun 1996 SM,
wafat tahun 1773 SM, dan ia berpindah dari Ur ke Kanaan sekitar tahun 1850 SM. Muhammad al-Tāhir ibn ‘Āsyūr. Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr, jld. I (Tunisia: Dār al-Tūnisiyyah, 1984),
hlm. 701. Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, terj. Zaimul Am, cet.
XIII (Bandung: Mizan, 2009), hlm. 38.
[2]
Mālik ibn Anas. Al-Muwattā’,
tahkik: Muhammad
Mustafa al-A‘zami, cet. I, jld. V
(Beirut: Zayid
Ibn Sultan Ali Nahyan, 2004), hlm.
1349.
[3]
Al-Bukhārī, Muhammad ibn Ismā‘īl Abū ‘Abd Allāh
al-Ja‘fi. Al-Jami‘al-Sahīh al-Mukhtasar, tahkik: Mustafa
Dib al-Bigha, cet. III (Beirut: Dār Ibn Kathir, 1987), jld. III, hlm. 1224.
[4] Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad al-Ansari al-Qurtubī. Al-Jāmi‘ li Ahkām al-Qur’ān, jld. II (Kairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah,
t.th.), hlm. 87.
[7] Syihab
al-Din ibn Hajar
al-Haytami.
Tuhfat
al-Muhtaj, cet. II,
jld. XI (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2007), hlm. 573.
وَيَجِبُ
أَيْضًا ( خِتَانُ ) الْمَرْأَةِ وَالرَّجُلِ حَيْثُ لَمْ يُولَدَا مَخْتُونَيْنِ لِقَوْلِهِ
تَعَالَى { أَنْ اتَّبِعْ مِلَّةَ إبْرَاهِيمَ حَنِيفًا } .
[9] Muhibb al-Dīn ibn ‘Abd al-Syakūr al-Bahārī. Musallam
al-Thubūt, jld. I (Beirut: Dār al-Fikr, t.th.), hlm. 54. والحكم عند الأصوليين هو: خطاب الله المتعلق بافعال المكلفين بالإقتضاء،
أو التخيير، أو الوضع.
[10] Ahmad ibn Muhammad ibn al-Sādiq al-Najjār. Al-Qawā‘id al-Usūliyyah allatī
Tubnā ‘alayha Thamarat ‘Amaliyyah (Madinah: Dār al-Īhah,
1434 H), hlm. 151. (الأمر المطلق يقتضي الوجوب مطلقا)
[11] Wahbah al-Zuhaylī.Usūl al-Fiqh al-Islāmī, jld. II (Beirut: Dār al-Fikr,
1986), hlm. 849. Tiga
pendapat ulama: 1) Kebanyakan ulama Hanafiyyah,
Malikiyyah,
sebagian ulama Syafi‘iyyah
dan Imam Ahmad
(berdasar riwayat kebanyakan sahabatnya) menyatakan bahwa syariat yang
diketahui berdasar wahyu dan bukan dari kitab mereka yang telah digantikan itu
adalah wajib diamalkan selama tidak ada ketentuan yang sebaliknya atau
pembatalan dari syariat Islam; 2) mazhab Asya‘irah,
Mu‘tazilah, Syi‘ah, Syafi‘iyyah
seperti al-Ghazzālī, al-Amudi, al-Razi, dan Ibn Hazm
dari mazhab Zahiri, menyatakan
bahwa syariat sebelum Islam tidak berlaku untuk umat Islam. Pendapat ini juga
dipegang oleh kebanyakan ulama; 3) pendapat yang menunda (tawaqquf)
sampai ada dalil yang jelas.
[12]
Al-Zuhaylī.Usūl al-Fiqh…, jld. II, hlm. 842. Menurut Wahbah
al-Zuhayli, kebanyakan ulama berpendapat bahwa syariat sebelum Islam tidak berlaku
untuk umat Islam.
[13] Ibn ‘Āsyūr, Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr, jld. XIV, hlm. 320. Menurut Ibn ‘Āsyūr,
detil dan cabang syariat yang dibangun atas asas (usul) syariat
dipandang sama dengan syariat itu sendiri. Oleh karena itu, para ulama
pentahkik menyatakan bahwa hukum yang ditetapkan berdasar kias cukup sahih
dinyatakan sebagai agama Allah, walau tidak sahih sebagai perkataan Allah.
[15] Ibn Hajar al-‘Asqalānī. Fath al-Bārī fī Syarh Sahīh al-Bukhārī, jld. X (Kairo: Dār Masr, 2001), hlm. 476.
[19] Muhammad al-Tāhir ibn ‘Āsyūr. Maqāsid al-Syarī‘at
al-Islāmiyyah (Kairo: Dār
al-Salām, 2005)., hlm. 57.
Komentar
Posting Komentar