Ahli Hikmah

Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Luqman [31]: 12).
Sebagian ulama mengira Lukman al-Hakim adalah nabi. Namun Ibn Umar pernah mendengar penjelasan Rasul bahwa Lukman bukan nabi, tapi seorang hamba Allah yang banyak melakukan perenungan. Benar, sebab ayat ini sama sekali tidak menyiratkan kenabian Lukman. Maka kata al-hikmah disini bermakna pengetahuan tentang hakikat sesuatu oleh selain nabi. Jadi ini merupakan pengakuan, bahwa manusia biasa juga bisa mencapai kebijaksanaan.
Selain pengakuan ayat di atas juga mencontohkan, bahwa hikmah bukan hanya pengetahuan, tapi tindakan yang bijaksana. Bersyukur adalah contoh terbaik yang diberikan Alquran, sebab ia puncak hikmah. Hikmah berarti mendahulukan yang lebih bermanfaat dari lainnya, atau memosisikan sesuatu pada tempatnya. Untuk sampai pada kemampuan ini, perlu pengetahuan yang benar, kesadaran, dan kesabaran.
Memerhatikan contoh di atas, maka rukun hikmah pertama adalah ilmu yang benar dan kokoh. Mengingat telah terputusnya wahyu dan tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad saw., maka untuk menjadi bijaksana manusia harus meninggalkan waham (praduga). Oleh karena itu, ilmu yang benar dan kokoh dibuktikan oleh validitas metode dan pendekatan, serta ketahanan terhadap berbagai uji (falsifikasi).
Hal lain yang menjadi rukun hikmah dapat dilihat dalam Hadis yang dibukukan oleh Muslim. Diriwayatkan bahwa Rasulullah pernah memuji al-Asyaj, seorang pemimpin kabilah, dengan ucapan: “Pada dirimu ada dua perkara yang dicintai Allah, yaitu al-hilm dan al-unnah.” Para ulama menjadikannya sebagai rukun kedua dan ketiga bagi hikmah.
Al-Hilm berarti cerdik, ia merupakan perpaduan antara pengetahuan mendalam dan kasih sayang. Seorang yang cerdik mampu mengendalikan diri saat marah, padahal ia punya kekuatan dan kesempatan melampiaskan. Kecerdikan membuat seseorang dapat mengelola energi marah (al-quwwah al-ghadhabiyyah) menjadi positif. Sebab pengetahuan yang mendalam dan kasih sayang yang tulus menimbulkan dorongan mental untuk memperbaiki kesalahan.

Terakhir al-unnah, yaitu kehati-hatian yang berarti tidak tergesa-gesa dalam memutuskan sesuatu. Ukurannya adalah terpenuhinya perintah “fatabayyanu” dengan melakukan survey, observasi dan sebagainya sesuai konteks. Inilah kriteria ahli hikmah, tentunya sangat kita dambakan kehadirannya di bumi Aceh ini…
Tulisan ini dimuat di Tabloit Pikiran Merdeka, Edisi 93, 12-18 Oktober 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

QURBAN: ISHAK, ATAU ISMAIL? (Penafsiran Ayat 100-103 Surat al-Shaffat)

Kumpulan Kaidah Fiqhiyah

Demi Jiwa (Penafsiran Ayat 7-10 Surat al-Syams)

Bekas di Dahi (Penafsiran Ayat 29 Surat al-Fath)

Ayat-ayat Setan (Satanic Verses): Penafsiran Ayat 52 Surat al-Hajj

Hubungan Teori Sistem dengan Pendekatan Holistik dalam Ijtihad Kontemporer

Pengertian Kaidah Fiqhiyah

Kumpulan Kaidah Maqasidiyah

Kembali ke Fitrah: Tafsir ayat 30 Surah al-Rum

Kumpulan Kaidah Usūliyyah