Dimensi Dosa
رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم
- يَقُولُ « كُلُّ أُمَّتِى مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ ، وَإِنَّ مِنَ الْمَجَانَةِ
أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ
، فَيَقُولَ يَا فُلاَنُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ
رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ » .
Seluruh umatku dimaafkan, kecuali orang yang
mempertontonkan dosanya. Perumpamaannya seperti orang yang berbuat dosa di
malam hari, lalu ia menyambut pagi dalam kondisi dosanya ditutupi oleh Allah. Ironisya,
ia malah membeberkan: “Wahai Polan, aku telah melakukan ini dan itu tadi
malam.” Jadilah ia membuka selubung yang ditutupkan Allah untuknya. (HR. al-Bukhari)
Hadis ini membicarakan dosa dalam tiga dimensi,
yaitu dimensi empirik, metaempirik dan metafisik. Ketiga dimensi ini
disampaikan secara lugas oleh Rasulullah, dengan membuat perumpamaan gelap
malam sebagai selubung. Perumpamaan ini membangun citra dalam imajinasi kita
sebagai rekonstruksi dari pesan yang disampaikan. Dengan demikian pesan itu
dapat tersampaikan secara utuh tanpa butuh penjelasan berbelit. Padahal itu
masalah pelik, karena berpotongan dengan dimensi ilahiah.
Dimensi ilahiah bersifat metafisik sehingga
tidak dapat dijangkau oleh pengetahuan manusia. Satu-satunya sumber yang dapat
dipercaya hanyalah informasi dari Rasul, sebab wahyu pun diterima manusia dari
Rasul. Dalam hal ini, Hadis di atas merupakan informasi transenden, bahwa dalam
dimensi ilahiah (metafisik), dosa adalah ‘persoalan’ antara hamba dan Rabb-nya.
Dalam dimensi ini, informasi tentang hak mutlak Allah untuk memaafkan siapa
saja harus diterima apa adanya, tanpa peluang kritik.
Sebaliknya dalam dimensi insaniah yang bersifat
empirik, dosa adalah perbuatan manusia yang terikat oleh ruang dan waktu. Dari
itu dosa yang dilakukan pada suatu waktu dapat menjadi sesalan di waktu
berikutnya, atau waktu lain. Mengingat waktu bersifat relatif, maka sebagai
rentang hidup seseorang, waktu adalah satu rangkaian perjalanan hidup
seseorang. Dengan demikian, perbuatan salah dan dosa merupakan bagian dari
proses perubahan seseorang menjadi lebih baik, sehingga patut dimaafkan.
Tapi tunggu dulu, Hadis di atas berbicara
tentang pembeberan dosa kepada orang lain. Ini bukan masalah sederhana, sebab
apa yang kita sampaikan kepada orang lain tersimpan dalam memorinya. Artinya,
dosa sebagai perbuatan yang semula terikat dengan ruang dan waktu, kini telah dikeluarkan
dari ruang dan waktu. Dengan kata lain, dosa itu telah diabadikan dalam dimensi
metaempirik manusia. Dengan demikian, dosa itu telah dikeluarkan dari hak
mutlak Allah, yaitu hak memaafkan siapa saja kecuali musyrik.
Dimensi metaempirik merupakan mawjud fil
adzhan, yaitu ada dalam pikiran manusia, tetapi ia masih dalam realitas
mikrokosmos manusia. Oleh karena itu, dosa yang diketahui oleh orang lain
menjadi cacat abadi meski telah bertobat.
Tulisan ini telah dipublikasi pada kolom Tadabbur Tabloid Pikiran Merdeka edisi 122, 02-08 Mei 2016
Komentar
Posting Komentar