Puasa dan Fitrah (Ayat 46 Surah al-Hajj)

Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada. (Q.S. al-Hajj [22]: 46).

Menurut Qatadah dan Ibn Jubayr, asbabunnuzul ayat ini adalah pertanyaan Ibn Ummi Maktum yang buta matanya: “Ya Rasulullah, kami ini buta di dunia, apakah kami juga buta di akhirat?” Lalu turunlah ayat ini sebagai jawaban, bahwa yang sebenarnya buta—dunia-akhirat—adalah mereka yang ‘buta mata hati’-nya. Masalahnya, apakah ‘buta mata hati’ di sini bersifat majazi (metafor), atau haqiqi?
Secara redaksional ayat ini berupa metafor, sebab ayat sebelumnya berbicara tentang negeri yang dihancurkan (al-Hajj ayat 45: fa ka’ayyin min qaryah ahlaknaha) yang dapat disaksikan dengan mata kepala atau informasi yang sampai ke telinga. Lalu ayat 46 menyuruh manusia berjalan di muka bumi agar memiliki “hati yang berpikir” dan telinga yang mendengar. Kesan (qarinah) metafor menguat ketika penjelasan secara kausasi (ta’lil) terhadap “qulub ya‘qiluna biha” justru menggunakan kata “al-abshar,” yaitu mata kepala. Ini tergolong majaz mursal yang menyebutkan efek (al-musabbab) memiliki hati yang berpikir pada posisi sebab (melihat dengan mata kepala).
Analisis ini tergolong atomistik, sebab kajiannya masih terbatas dalam perspektif linguistik saja. Akibatnya ‘pembaca’ cenderung terhenti pada tataran majazi yang memesona rasa bahasa, bahkan terpuaskan. Padahal ada sisi lain yang diungkapkan ayat ini, jika dikaji secara holistik dengan melibatkan temuan di bidang psikologi, neurosains, ilmu sel, DNA dan lain-lain sesuai relevansi.
Mufasir klasik seperti al-Qurthubi (w. 671 H) telah merintisnya, walaupun sains di masa hidupnya masih sederhana. Dalam kitabnya al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an ia menyatakan, bahwa penyandaran kata “berpikir” pada “hati” karena hati adalah tempat berpikir, sebagaimana telinga sebagai tempat mendengar. Jadi ia keluar dari asumsi metaforis (majazi), dan melihat kedua kata (qulub ya‘qiluna) secara hakiki. Lalu ia mengutip pendapat lain yang menyatakan proses berpikir terjadi di otak (al-dimagh).
Secara mawdhu‘i (tafsir tematik), pandangan al-Qurthubi diperkuat ayat berikut:
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (Q.S. al-A‘raf [7]: 179).

Ayat ini mengandung penjelasan tentang psikofisik manusia yang memiliki hati (qulub) yang dikaitkan dengan pemahaman keagamaan (tafaqquh). Adapun kata tafaqquh ini semakna dengan Hadis dalam Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal: “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, tentu ia akan diberikan pemahaman tentang agama (yufaqqihhu fi al-din).” (HR. Imam Ahmad).
Menariknya, ayat 179 surat al-A‘raf hanya menyerupakan manusia dengan binatang secara epistemologis (kayfiyyah), yaitu sama-sama tidak ber-tafaqquh. Namun secara ontologis (mahiyyah) ia tetap manusia yang berpikir (intelek) meski tidak ber-tafaqquh. Dapat disimpulkan, bahwa ‘intelektualitas’ adalah esensi yang membedakan manusia dengan binatang, sedangkan ‘ber-tafaqquh’ jadi pembeda dari manusia yang dicitakan. Adapun manusia yang dicitakan adalah manusia yang mengikuti fitrah kemanusiaannya, sebagaimana dijelaskan dalam ayat 30 surat al-Rum. Dan salah satu sarananya adalah lewat perintah berpuasa (Q.S. al-Baqarah [2]: 183).
Tentunya fitrah ini hanya bisa dicapai dengan ber-tafaqquh fi al-din. Hal ini dapat dipahami dari penjelasan al-Qur’an, bahwa keberpalingan dari kebenaran (agama hanif) disebabkan oleh faktor eksternal yang memalingkan seseorang dari ber-tafaqquh, bukan karena tidak berpikir-intelek. Perhatikan ayat berikut:
Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaithan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. (Q.S. Muhammad [47]: 25).

Sampai di sini jelaslah adanya perbedaan nilai menurut al-Qur’an, antara proses berpikir intelek-rasional dengan proses berpikir yang melibatkan hati (qulub). Al-Qur’an memberi penghargaan pada proses berpikir yang melibatkan hati, yaitu tafaqquh. Sementara proses berpikir intelek-rasional yang tidak ber-tafaqquh disamakan dengan binatang. Hal ini menarik karena al-Qur’an punya pandangan bahwa fitrah manusia adalah fitrah Islam sebagai agama hanif (Q.S. 30: 30), maka meninggalkan tafaqquh fi al-din berarti berpaling dari fitrah manusia. Lalu, apakah berarti jatuh ke derajat binatang?
Lewis Wolpert, profesor emeritus biologi di Universitas College London, dalam bukunya The Miracle of Cells menyatakan, bahwa proses berpikir merupakan aktivitas di tingkat sel. Ada sekitar seratus miliar sel saraf yang disebut neuron dalam otak, bahkan lebih banyak lagi sel-sel pendukung. Sel-sel inilah yang melakukan proses berpikir dan merasakan. Tetapi tentang bagaimana sel-sel ini berkomunikasi sehingga menghasilkan pikiran, emosi, gerakan, dan bahkan kesadaran, masih merupakan misteri.
Ilmu sel telah sampai pada temuan, bahwa sel-sel saraf bertugas membawa pesan dengan cepat ke sel-sel lain, termasuk ke sel otot. Sebaliknya sel saraf juga membawa informasi dari berbagai bagian tubuh ke otak sehingga kondisi di sekitar diketahui. Ada sel saraf yang terlibat pada indera perasa sehingga rasa sakit dirasakan dan timbul usaha menyingkirkan penyebabnya. Semua transfer terjadi dengan mengirim pesan di sepanjang sel saraf berdasarkan perubahan muatan listrik lintas membran sel. Temuan ini menjadi penjelas bagi asumsi ilmu psikologi tentang hubungan dorongan fisiologis dan psikis.
Dorongan fisiologis berhubungan dengan kebutuhan tubuh dan kekurangan atau hilangnya keseimbangan yang terjadi dalam jaringan tubuh. Dorongan ini mengarahkan tingkah laku individu pada tujuan-tujuan yang bisa memenuhi kebutuhan fisiologis tubuh atau menutup kekurangan yang terjadi pada jaringan tubuh dan mengembalikannya pada keseimbangan yang ada sebelumnya.
Usman Najati, dalam bukunya Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, mencontohkan dua dorongan fisiologis yang disebut dalam Alquran: 1) dorongan menjaga diri; 2) dorongan untuk mempertahankan kelestarian hidup jenis yang terdiri dari dorongan seksual dan dorongan keibuan. Bagi orang yang tidak berpikir (tentunya juga tidak ber-tafaqquh), dorongan-dorongan fisiologis dapat menjadi stimulus bagi perbuatan yang merusak (agresi) dan menjatuhkan manusia pada perilaku yang tidak berperikemanusiaan.
Ilmu tentang otak (neurosains) menjelaskan bahwa manusia memiliki tiga lapisan otak. Pertama, lapisan terendah adalah otak reptil yang mendukung kegiatan vegetatit tubuh seperti bernafas dan aliran darah. Lapisan kedua disebut otak paleomamalia, yaitu otak yang juga ada pada binatang, tugasnya mengatur emosi. Otak ini menanggapi stimulus dengan agresi. Lapisan ketiga adalah otak neomamalia, yaitu otak berpikir yang bertugas memilih respon jika ada stimulus. Menurut Paul McLaen, tindakan agresif berarti respon terhadap stimulus berhenti pada lapisan otak kedua, jadi tidak terjadi proses berpikir. Kiranya inilah alasan penyamaannya dengan binatang oleh al-Qur’an.
Selain cara di atas, tindakan agresi juga dapat terjadi jika otak neomamalia tidak memiliki data untuk dijadikan pilihan dalam menanggapi stimulus. Tapi sebenarnya ini tidak beralasan, sebab akal memiliki kemampuan berkreasi menciptakan alternatif-alternatif baru. Maka patutlah dipertanyakan, jika kebutuhan fisiologis memberi dorongan psikis yang menggerakkan tubuh kala sampainya informasi dari sel saraf ke sel otot, lalu apa yang bisa menentukan tindakan yang boleh dan tidak boleh dilakukan?
Penelitian tentang DNA menjawab, bahwa genlah yang memerintahkan sel-sel tersebut sehingga suatu perbuatan terlaksana atau tidak terlaksana. Adapun fungsi otak berpikir tergantung dari informasi yang dikandung oleh sel-sel otak. Di sinilah inti permasalahan, sebab sel-sel otak mengadung gen, lalu gen menentukan fungsi dari sel.
Menurut Kazuo Murakami, seorang ahli genetika asal Jepang, semua sel memiliki struktur dan fungsi yang sama. Namun dalam proses pembelahan ia berdiferensiasi dan terspesialisasi, sebagian sel menjadi otak, sebagian lainnya menjadi hati, dan seterusnya. Informasi yang tersimpan dalam setiap gen dari seluruh sel tubuh manusia adalah sama, namun sebagian aktif dan sebagian nonaktif. Misalnya sel yang menyusun otak tidak pernah berubah menjadi sel hati, ia bekerja sesuai informasi genetik yang aktif di dalamnya, maka ia hanya menjalankan peran sebagai otak saja.
Beranjak dari asumsi nyala-padam/aktif-nonaktif informasi genetik dalam sel tubuh manusia, Kazuo Murakami mengembangkan teori aktivasi gen positif. Ia yakin tindakan positif atau negatif tergantung dari informasi genetika yang teraktivasi dalam sel tubuh. Namun kita bisa melakukan aktivasi gen positif dan menonaktifkan gen negatif dengan menerapkan pola pikir positif. Kiranya teori Kazuo Murakami dapat menjelaskan secara saintifik tentang proses berpikir intelek, dan proses berpikir yang melibatkan hati.
Proses berpikir intelek hanya melibatkan sel-sel otak, sementara berpikir yang melibatkan hati berarti keterlibatan seluruh sel dalam tubuh. Jika ini diikuti, maka kata qulub harus diartikan sebagai gen yang aktivitasnya bukan terpusat di otak, tapi di jantung sebagai sentral peredaran logistik bagi sel-sel yang ada di seluruh tubuh manusia. Aksi ber-tafaqquh mengaktifkan info/kode positif pada gen dalam setiap sel tubuh, dan menonaktifkan info/kode negatif, maka terwujudlah “qulub ya‘qiluna biha.”
Perwujudan hati yang berpikir (qulub ya‘qiluna biha) adalah syarat mencapai takwa. Ini menimbulkan tanda tanya, mengapa al-Qur’an menjadikan takwa sebagai konsekuensi dari amalan ibadah puasa?

Rahasianya sangat dalam, sebab selain dorongan fisiologis, dalam diri manusia juga terdapat dorongan psikis yang juga bisa memicu aktivasi kode gen negatif. ‘Usman Najati mencontohkan empat dorongan psikis yang disebutkan Alquran: 1) dorongan memiliki; 2) dorongan memusuhi; 3) dorongan berkompetisi; 4) dorongan beragama. Selain yang keempat, tiga dorongan lainnya dijamin tidak cukup ampuh dipositivasi dengan pola berpikir positif saja, sebab ia berada dalam gen itu sendiri. Maka diperlukan langkah yang melemahkan tiga dorongan itu terlebih dahulu, yaitu puasa. Inilah kenapa puasa dapat mengantarkan manusia pada fitrahnya, yaitu memiliki hati yang berpikir, “qulub ya‘qiluna biha,” wa Allah a‘lam.
Tulisan ini telah dipublikasi pada Majalah Santunan Kanwil Kemenag Prov. Aceh, Edisi II Juni 2015 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

QURBAN: ISHAK, ATAU ISMAIL? (Penafsiran Ayat 100-103 Surat al-Shaffat)

Kumpulan Kaidah Fiqhiyah

Demi Jiwa (Penafsiran Ayat 7-10 Surat al-Syams)

Bekas di Dahi (Penafsiran Ayat 29 Surat al-Fath)

Ayat-ayat Setan (Satanic Verses): Penafsiran Ayat 52 Surat al-Hajj

Hubungan Teori Sistem dengan Pendekatan Holistik dalam Ijtihad Kontemporer

Pengertian Kaidah Fiqhiyah

Kumpulan Kaidah Maqasidiyah

Kembali ke Fitrah: Tafsir ayat 30 Surah al-Rum

Kumpulan Kaidah Usūliyyah