PENDEKATAN SIRKULER DALAM KAJIAN PERBANDINGAN MAZHAB

A.  Pendahuluan
Kajian perbandingan mazhab dalam fikih dapat mengantarkan peneliti pada temuan sifat saling mengisi antar pendapat yang berbeda. Oleh karena itu, kajian perbandingan mazhab sangat urgen di tengah keragaman furukiyah masyarakat muslim, khususnya di Indonesia. Namun jika dilakukan dengan pendekatan keilmuan yang kurang tepat justru akan bertentangan dengan nilai islami yang melihat perbedaan sebagai rahmat. Dalam Hadis yang dibukukan oleh al-Bukhārī (juga al-Nasā’ī), Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ « إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ » .
Diriwayatkan dari ‘Amr ibn ‘Āş, bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Apabila seorang hakim berijtihad dan benar maka ia mendapat dua pahala, dan apabila salah ia mendapat satu pahala.” (H.R. al-Bukhārī).[1]


Hadis ini menunjukkan penerimaan Islam terhadap pluralitas kebenaran dalam konteks furukiyah, sehingga menjadi basis nilai bagi fikih, bahwa perbedaan adalah rahmat. Berbeda dengan pendekatan keilmuan sosial—misalnya yang berbasis teori konflik—diasumsikan bahwa kepentingan adalah unsur alamiah kehidupan sosial sehingga melahirkan konflik struktural.[2] Asumsi ini berbanding terbalik dengan nilai islami, karena perbedaan dilihat secara negatif, yaitu penyebab perpecahan. Sementara Islam melihatnya secara positif, yaitu sebagai keragaman sebagaimana terungkap dalam Hadis di atas yang dinyatakan sahih oleh al-Albānī. Dari itu diasumsikan, bahwa jika memakai pendekatan keilmuan sosial, kajian perbandingan mazhab menuntut pendekatan pascadisipliner[3] atau metadisipliner.[4]
Terkait soal pendekatan, selain yang bersifat teoretik (bidang keilmuan tertentu), dapat juga diambil dari skop epistemologis-metodologis. Dalam skop yang kedua ini, cara pandang menjadi lebih luas dibanding pendekatan yang perspektifnya diambil dari kaca mata ilmu tertentu saja. Hal ini dimungkinkan setelah meleburnya batas-batas bidang ilmiah sekarang ini. Mengingat fikih berlandas nilai “pluralitas kebenaran,” maka penelitian perbandingan mazhab menuntut kajian komprehensif dan menyeluruh (holistik), tidak atomistik.
Dilihat dari sisi keterkaitan fikih dengan interpretasi terhadap nas (Alquran dan Sunah),[5] maka pendekatan atomistik justru dapat menjustifikasi kebenaran pada satu pihak saja sehingga menafikan pluralitas. Dari itu tidak bisa ditawar lagi, kajian perbandingan mazhab fikih harus dilakukan secara sirkuler (dialogis) antara berbagai pendapat dan beragam realitas. Artinya, diperlukan sedikit pemahaman pada tingkat reflektif-filosofis agar peneliti mampu menempatkan pendekatan epistemologi bayānī,[6] burhānī,[7] dan ‘irfānī dalam posisi yang bersifat saling mengisi dan melengkapi.[8]
Sifat saling mengisi (mutualisme simbiosis) hanya bisa dibayangkan oleh penganut pemikiran dualisme, tidak oleh penganut monisme. Sebab sirkularitas hanya dapat terjadi jika disadari bahwa objek kajian perbandingan ternyata tidak saling menafikan. Oleh karena itu, perlu diwaspadai kecenderungan jatuh ke dalam pola pikir monisme. Sebab monisme mengantarkan pikiran pada kecenderungan memihak salah satu dari dua kutub ekstrem. Keduanya saling menafikan, baik itu ekstrem rasionalisme positivistik, mau pun ekstrem rasionalisme metafisik.
Untuk keluar dari pola pikir monisme, perlu diingat bahwa pendekatan sirkuler hanya dapat tumbuh di atas landasan filsafat rasionalisme kritis. Contohnya bisa dilihat seperti yang kembangkan oleh al-Ghazālī di abad klasik,[9] dan Karl R. Popper di abad postmodern.[10] Artinya, peneliti harus menunda keberpihakan sehingga ada kesempatan untuk menimbang berbagai perspektif yang berbeda. Dengan demikian, peneliti punya cukup waktu untuk melihat perbedaan dalam bingkai keragaman. Oleh karena itu, tulisan ini ingin mengelaborasi pesan Hadis di atas ke dalam kajian perbandingan antar mazhab-mazhab fikih. Tujuannya untuk menurunkan nilai dari Hadis itu secara implementatif, sehingga nilai pluralitas kebenaran dapat disaksikan faktual dalam realitas aktual.
Menurut Amin Abdullah, pendekatan sirkuler adalah pendekataan yang memerhatikan kekurangan dan kelemahan pada masing-masing pendapat, dan sekaligus memperbaiki.[11] Namun Amin menggunakannya untuk kajian perbandingan agama, sementara penulis berasumsi bahwa pendekatan ini dapat diterapkan pada kajian perbandingan mazhab. Asumsi ini penulis jadikan hipotesis bagi penelitian dalam artikel ini. Selain itu penulis juga berhipotesa bahwa pendekatan sirkuler dapat menjawab kebutuhan kajian metadisipliner dan penempatan pendekatan bayānī, burhānī dan ‘irfānī pada posisi yang saling mengisi.
Pokok permasalahan yang menjadi objek kajian tulisan ini tentunya tidak lepas dari kerangka teoretik tertentu sebagai struktur fundamental.[12] Oleh karena itu perlu dinyatakan bahwa penulis menyorot persoalan ini dengan teori pengetahuan manusia sebagai prehensi. Ini berbeda dari teori abad modern tentang ilmu sebagai evidensi. Menurut Bambang Sugiharto, pandangan tokoh postmodern terhadap ontologi ilmu manusia telah bergeser, sebab mereka melihat ilmu sebagai ‘pergaulan’ dengan objek, bukan ‘copy’ objek. Jadi pengetahuan ilmiah sama sekali bukan hasil jiplakan terhadap realitas, melainkan realitas hasil konstruksi manusia.[13] Teori ini cukup relevan digunakan bagi kajian perbandingan mazhab. Alasannya, karena objek kajian perbandingan mazhab merupakan realitas empirik, yang mencakup norma hukum yang terkodifikasi, pendapat para fukaha atau jurisprudensi, maupun implementasi di tengah masyarakat secara sosiologis.
Kajian ini menggunakan filsafat sebagai pendekatan dengan penekanan pada struktur fundamental (fundamental structure) dan ide dasar, serta mengabaikan detil persoalan yang kurang relevan.[14] Dalam hal ini, ide dasarnya adalah sifat saling mengisi dan melengkapi antar satu dengan lain pendapat fukaha dalam mazhab-mazhab fikih. Penulis melakukan uji dengan cara membuktikan koherensinya dengan beragam perbedaan dalam mazhab-mazhab fikih. Dengan demikian, persoalan yang diteliti dalam tulisan ini adalah tentang ontologi pendekatan sirkuler dan penerapannya dalam kajian perbandingan mazhab.
Adapun metodenya menggunakan uji falsifikasi dengan pencarian kasus-kasus yang dapat meruntuhkan hipotesis di atas. Namun karena keterbatasan halaman, kasus yang dapat diangkat dalam tulisan ini dibatasi. Penulis berharap, nantinya uji falsifikasi terhadap hipotesis ini dapat dilakukan dengan bantuan mahasiswa Program Studi Perbandingan Mazhab. Jadi kajian yang dilakukan mahasiswa didedikasikan sebagai alat falsifikasi.

B.  Pembahasan
Fiqh muqāran tergolong cabang ilmu baru yang dicetuskan oleh salah seorang Syaikh al-Azhar, yaitu al-Syaikh al-Maraghī. Adapun al-Azhar University adalah universitas yang pertama kali menerapkannya sebagai mata kuliah. ‘Alī al-Sāyis menyatakan, mata kuliah ini tidak dimaksudkan sebagai kajian ilmiah semata, tetapi bertujuan merubah fanatisme mazhab.[15] Menurut Prof. Dr. Tgk. Muslim Ibrahim, MA, Fiqh Muqāran adalah suatu ilmu yang mengumpulkan pendapat-pendapat suatu masalah ikhtilāfiyyah dalam fikih, mengumpulkan, meneliti dan mengkaji, serta mendiskusikan dalil masing-masing pendapat secara objektif, untuk dapat mengetahui yang terkuat, yaitu pendapat yang didukung oleh dalil-dalil yang terkuat, dan paling sesuai dengan jiwa, dasar dan prinsip umum syariat Islam.[16]
Apa yang dicetuskan oleh al-Syaikh al-Maraghī lalu menjadi gerakan yang berhasil merubah kebijakan Pemerintah Mesir kala itu. Sejak tahun 1929 M (1348 H), berangsur-angsur pendapat di luar mazhab resmi mulai diterima. Perlu diketahui, mazhab resmi di Mesir kala itu adalah mazhab Ĥanafī.[17] Selain tujuan di atas, mempelajari fiqh muqāran juga dapat merealisasikan nilai rahmat dalam perbedaan pendapat. Kebanyakan penulis merujuk Hadis: “Ikhtilāf ummatī raĥmah.” Namun menurut al-Albānī ini bukan hadis, bahkan bertentangan dengan Alquran dan Sunah.[18] Tetapi dengan keberadaan Hadis riwayat al-Bukhari, nilai ini bisa diterima sebagai bentuk moderatisme Islam (al-wasaţiyah).
Memerhatikan tujuan di atas, dipastikan ketercapaiannya sangat bergantung pada pendekatan dan metode kajian perbandingan mazhab itu sendiri. Keduanya berbeda, sebab metode adalah cara mengerjakan sesuatu, sedangkan pendekatan adalah cara memperlakukan sesuatu.[19] Dalam hal ini, ilmu perbandingan mazhab (fiqh muqāran) harus diperlakukan berbeda dari kajian perbandingan mazhab. Sebab fiqh muqāran merupakan hasil dari kajian-kajian perbandingan mazhab, sementara kajian perbandingan mazhab itu sendiri merupakan proses. Sebagai proses, ia dapat memberi sumbangsih bagi pengembangan ilmu fiqh muqāran, asal dilakukan dengan pendekatan dan metode yang tepat. Untuk itu perlu dilakukan penelusuran tentang inti perbedaan pendapat dalam mazhab-mazhab fikih.

1.    Inti perbedaan pendapat dalam mazhab fikih
Fikih merupakan aturan perilaku manusia yang secara kefilsafatan berada dalam ranah aksiologi, yaitu berbicara tentang nilai. Nilai tidak lepas dari dugaan subjektivitas karena tiga alasan, sebagaimana dipaparkan oleh K. Bertens: 1) nilai berkaitan dengan subjek; 2) nilai tampil dalam suatu konteks praktis; 3) nilai menyangkut sifat yang ditambahkan oleh subjek pada objek.[20] Dalam konteks pluralitas kebenaran, subjektivitas nilai mengakibatkan pikiran terjebak dalam relativisme. Nah untuk keluar dari subjektivitas, Islam menjadikan Alquran dan Sunah sebagai sumber nilai. Lalu para ulama mensyaratkan rujukan kepada Alquran dan Sunah, baik secara tekstual maupun kontekstual. Ini menunjukkan kesepakatan para ulama bahwa Alquran dan Sunah merupakan substansi Islam, karena ajaran Islam terbentuk dari keduanya.
Keberadaan Alquran sebagai sumber ajaran Islam mengharuskan kajian fikih dilakukan dengan pendekatan bayānī sebagai langkah pertama. Sebagaimana terlihat dalam kitab uşūl al-fiqh yang pertama kali ditulis (al-Risālah), kaidah kebahasaan seperti umum-khusus, muţlaq-muqayyad, haqīqī-majāzī dan sebagainya, dibahas cukup detil di samping kias.[21] Pada langkah pertama ini sudah terlihat adanya perbedaan metode. Lalu perbedaan semakin melebar saat masuk dalam persoalan interpretasi konteks (al-ma‘nā) dari kandungan nas. Namun secara epistemologis, perbedaan pendapat dalam fikih hanya terjadi dalam wilayah pengetahuan aposteriori (‘ilm al-naźarī), bukan apriori (‘ilm ďarūrī).[22]
Menurut Muşţafā Sa‘īd al-Khinn, perbedaan pendapat dalam fikih terjadi karena delapan sebab berikut: [23]
1)   perbedaan qirā’ah pada ayat;
2)   tidak menemukan hadis;
3)   ragu tentang kekuatan Hadis;
4)   berbeda dalam memahami nas dan tafsirnya;
5)   homonim (isytirāk) pada lafaz;
6)   adanya pertentangan dalil;
7)   tidak ditemukan nas pada suatu masalah;
8)   perbedaan dalam kaidah uşūliyyah.
Jika dipertajam, kedelapan sebab perbedaan versi al-Khinn ini dapat dipilah dalam dua kelompok. Pertama karena keragaman interpretasi atas teks, kedua akibat perbedaan metode inferensi pada kasus yang tidak ditemukan nas sebagai dalil.
a.    Inti sebab perbedaan interpretasi
Memerhatikan pendapat Muşţafā Sa‘īd al-Khinn, lima di antara kategori yang ia buat merupakan perbedaan pendapat dalam fikih akibat berbeda interpretasi terhadap nas:
1.      Perbedaan qirā’ah pada ayat menyebabkan beda interpretasi.
2.      Tidak ditemukan hadis sebagai penjelas ayat menyebabkan beda interpretasi.
3.      Perbedaan dalam memahami nas dan tafsirnya menyebabkan beda interpretasi.
4.      Adanya makna ganda (isytirāk) pada lafaz menimbulkan ambiguitas sehingga terjadi perbedaan interpretasi.
5.      Adanya pertentangan antar satu dan lain dalil sehingga terjadi beda interpretasi.
Kelima sebab perbedaan pendapat fukaha di atas tersimpul pada satu persoalan, yaitu tentang dilālah, apakah ia merupakan sifat bagi pendengar (al-sāmi‘), atau sifat bagi lafaz? Imam al-Zarkasyī (w. 794 H/1392 M) dalam kitabnya al-Baĥr al-Muĥīţ, memilih yang kedua, bahwa dilālah adalah sifat bagi lafaz. Ia menukil pendapat Ibn Sīnā (w. 428 H/ 1037 M),[24] bahwa yang dimaksud dengan al-fahm adalah al-ifhām. Keduanya berbeda, sebab al-fahm adalah sifat bagi pendengar (al-sāmi‘), sedang al-ifhām adalah sifat bagi pembicara (al-mutakallim), atau secara metafor (majāzī) disebut sifat bagi lafaz.[25]
Al-Ifhām merupakan sifat yang dilihat dari sudut pandang objek (text), sedangkan al-fahm merupakan sifat dari sudut pandang pembaca (interpreter). Secara kefilsafatan, yang pertama merupakan sudut pandang ontologis, yaitu tentang apa yang ‘ada’ di luar sana yang ditunjuk oleh teks. Sedangkan yang kedua adalah sudut pandang epistemologis, yaitu tentang apa yang bisa ‘diperoleh’ interpreter dari petunjukan teks. Imam al-Syāţibī mengingatkan bahwa syariat diturunkan dalam bahasa Arab untuk dipahami oleh manusia (waď‘ al-syarī‘ah li al-ifhām).[26] Masalahnya, tidak semua interpreter bisa membedakan kedua sudut pandang ini. Lalu muncul pertanyaan, mungkinkan diperoleh pemahaman yang objektif dari perspektif mutakallim? Kalau bisa, lalu mengapa terjadi perbedaan penafsiran?
Menurut al-Rāzī (w. 606 H/1210 M) perbedaan dalam memahami teks merupakan fitrah. Sebab petunjukan dalil-dalil tekstual kepada makna sangat bergantung pada sepuluh perkara yang semuanya bersifat źannī:[27]
1.    Bergantung kepada mufradāt secara bahasa, naĥw, dan taşrīf yang diriwayatkan oleh sedikit orang sehingga tidak lepas dari kemungkinan salah, dari itu ia bersifat źannī.
2.    Bergantung pada ketiadaan isytirāk, karena isytirāk pada kata dan kalimat berakibat pada adanya kemungkinan bahwa makna yang sebenarnya bukan seperti yang dipahami. Bahkan dugaan tidak adanya isytirāk pada suatu ungkapan juga bersifat probabilitas (maznūn), tidak bisa dipastikan.
3.    Bergantung pada kaidah; bahwa pada dasarnya yang dimaksud dalam suatu ungkapan adalah makna denotasinya (haqīqah), sebab tidak jarang suatu ungkapan dimaksudkan secara konotatif (metafor/majāzī). Maka makna denotasi pada suatu ungkapan masih bersifat probabilitas (maznūn).
4.    Bergantung pada tidak adanya kata tersembunyi (al-idmār dan al-ĥażf).
5.    Bergantung pada tidak adanya yang didahulukan dan akhirkan dalam struktur kalimat, misalnya mendahulukan objek dari subjek yang berakibat pada perbedaan makna, ketiadaan hal ini juga bersifat probabilitas (maźnūn).
6.    Bergantung pada ketiadaan pengkhusus (takhşīş), kebanyakan kata umum dalam Alquran dan Hadis memiliki mukhaşşiş, jadi ketiadaan mukhaşşiş juga probabilitas (maźnūn).
7.    Bergantung pada ketiadaan pertentangan. Semua dalil lafźiyyah dimungkinkan memiliki pertentangan, sehingga diperlukan tarjīĥ, maka menyatakan tiada pertentangan masih berupa dugaan (maźnūn).
8.    Bergantung pada ketiadaan pertentangan dengan dalil akal, karena pertentangan ini mengharuskan berpaling dari lahiriah teks. Menyatakan dalil lafźiyyah tidak bertentangan dengan dalil akal menunjukkan sifatnya yang berupa probabilitas semata (maźnūn).
9.    Dalil lafźiyyah yang bersifat naqliyyah ini adakala bersifat pasti pada teks (mutawatir), tapi masih dimungkinkan źannī pada dilālah-nya, maka kepastian dilālah-nya masih bersifat probabilitas (maźnūn).
10.    Petunjukan lafaz Alquran kepada makna tidak lepas dari kemungkinan pemahaman atas lawannya, dari itu dilālah lafźiyyah bersifat źanniyyah.
Apa yang dikemukakan al-Rāzī merupakan ulasan secara epistemologis, yaitu tentang al-fahm. Dari perspektif ini perbedaan dalam fikih merupakan fitrah, karena Alquran dan Hadis sebagai teks membuka kemungkinan bagi munculnya pemahaman yang berbeda di kalangan mujtahid. Namun hal ini tidak menafikan aspek ontologis, yaitu ‘ada’-nya informasi objektif tertentu yang hendak disampaikan (al-ifhām). Untuk tujuan al-ifhām, nas (teks) harus dilihat potensial memuat makna, sebab makna tidak bisa meng-‘ada’ tanpa nas (teks).
Misalnya tentang idah (masa tunggu/tidak boleh menikah) bagi wanita yang ditalak. Kata “qurū’” dalam ayat 128 Surah al-Baqarah menimbulkan perbedaan pendapat, apakah berarti suci atau haid, namun para fukaha tidak berselisih tentang kewajiban idah.[28] Ini menunjukkan bahwa perbedaan pendapat hanya terjadi pada cabang (furū‘) yang sifatnya pengetahuan aposteriori. Sedangkan pada inti informasi apriori dari nas (kewajiban idah), tidak terjadi beda pendapat. Jadi beda interpretasi terjadi karena keterbatasan al-fahm, oleh karena itu, penerimaan terhadap pluralitas kebenaran menjadi satu-satunya pilihan.
Sampai di sini dapat disimpulkan, bahwa inti perbedaan interpretasi terletak pada keterbatasan pemahaman manusia. Ini merupakan konsekuensi dari fitrah jasmaniah manusia yang terkurung dalam ruang dan waktu. Dengan merujuk teori prehensi, yaitu pengetahuan manusia sebagai ‘pergaulan’ dengan objek,[29] maka perbedaan tidak bisa dihindari. Hal ini berarti interpretasi satu dan lain orang sebagai al-fahm bisa benar dan bisa salah. Nah, dengan pendekatan sirkuler, semua interpretasi (al-fahm) diteliti untuk dipertimbangkan sebagai bagian-bagian yang keberadaannya membuat informasi objektif (al-ifhām) menjadi utuh. Dengan demikian ciri pendekatan sirkuler adalah asumsi saling mengisi dan melengkapi (dialogis).

b.   Inti sebab perbedaan inferensi
Kembali pada sebab perbedaan pendapat dalam fikih versi Muşţafā Sa‘īd al-Khinn, tiga di antaranya disebabkan oleh perbedaan metode inferensi (penyimpulan logis), yaitu:
1.      ragu tentang kekuatan Hadis, sehingga harus memilih antara berpegang pada Hadis itu sendiri atau beralih menggunakan dalil ‘aqlī (inferensi);
2.      tidak ditemukan nas pada suatu masalah sehingga satu-satunya jalan adalah menggunakan dalil ‘aqlī (inferensi); dan
3.      perbedaan dalam perumusan kaidah uşūliyyah sebagai metode inferensi.[30]
Poin satu dan dua adalah sebab yang mengharuskan penggunaan akal. Adapun sebab inti perbedaan ada pada poin ketiga yang merupakan wujud nyata akal sebagai alat penyimpulan. Perbedaan metode inferensi yang dipilih (kaidah uşūliyyah) menunjukkan perbedaan paradigma yang dianut seorang fukaha. Suatu paradigma lahir berdasarkan asumsi dasar tertentu, oleh karena itu teori tertentu bekerja tidak keluar dari ‘wilayah’ paradigmanya.[31] Dengan demikian, seorang fukaha akan merasa puas dan berhenti ketika simpulan yang diperoleh telah sesuai dengan paradigma yang dianutnya. Beranjak dari kenyataan ini, maka jelas bahwa inti perbedaan metode inferensi ditimbulkan oleh perbedaan paradigma. Perbedaan paradigma seorang fukaha dari fukaha yang lain bermuara pada terjadinya perbedaan pendapat dalam fikih.
Sejarah fikih menunjukkan adanya dua paradigma dominan dalam fikih, yaitu madrasah ahl al-ĥadīŝ dan madarasah ahl al-ra’y.[32] Kedua paradigma dominan ini dapat didudukkan pada dua kutub ekstrem tanpa menafikan adanya paradigma moderat di antara keduanya. Secara kefilsafatan, madrasah ahl al-ĥadīŝ dapat digolongkan ekstrem ke arah tekstualitas (teologis-linguistik/rasionalisme metafisik), sementara madarasah ahl al-ra’y ekstrem ke arah rasionalitas (rasionalisme positivistik). Di antara kedua kutub ekstrem ini ada pemikiran-pemikiran moderat yang bertahan lebih lama sampai akhirnya filsafat Islam stagnan di abad keenam Hijriyyah.[33]
Menelisik lebih dalam, perbedaan paradigma disebabkan oleh perbedaan asumsi dasar. Dalam hal ini (epistemologi), perbedaan asumsi dasar bermula dari asumsi masing-masing fukaha tentang peran akal dalam penyimpulan logis (inferensi). Karena dalam akal tertanam pengetahuan apriori, maka terjadi keserupaan antara akal sebagai sumber pengetahuan dan akal sebagai alat. Hal ini tidak mudah diurai saat masuk ke ranah hukum (fikih), khususnya pada kasus yang tidak ada penetapan hukum dari nas. Sebab baik dan buruk sebagai kualitas pada suatu objek/fenomena dipahami akal sebagai dasar hukum. Tetapi soal ketentuan hukum (boleh-tidaknya melakukan sesuatu/perbuatan manusia) benarkah bersumber dari akal? Menurut Louay Safi, dalam hal ini akal tidak bekerja sebagai sumber, tapi sebagai metode atau mekanisme penyimpulan (inferensi) saja.[34] Namun yang melihatnya sebagai sumber juga tidak sedikit.
Secara umum, inferensi dilakukan dengan dua cara, yaitu inferensi langsung (al-istidlāl al-mubāsyir) dan inferensi tidak langsung (al-istidlāl ghayr al-mubāsyir).[35] Operasionalisasi inferensi tidak langsung dilakukan dengan metode sillogisme (al-qiyās/al-istintāj) yang menggunakan dua proposisi untuk sampai pada konklusi. Proposisi pertama bersifat universal-preskriptif, adapun proposisi kedua bersifat partikular-deskriptif. Sedangkan inferensi langsung menggunakan satu proposisi untuk sampai pada konklusi. Inferensi langsung digunakan dalam modus al-istiĥsān, al-maşlaĥat al-mursalah, al-istişlāĥ, dan sebagainya. Operasionalisasi masing-masing modus ini berbeda, tetapi secara umum memiliki ciri yang sama, yaitu merujuk pada proposisi universal (al-qawā‘id al-kulliyyah/al-qaďāya al-jumaliyyah).
Ada dua hal yang disorot pada proposisi universal, pertama soal sifat pengetahuan padanya, apakah berupa pengetahuan apriori atau aposteriori. Kedua soal kebenaran, apakah kebenaran korespondensi atau koherensi.[36] Kedua hal ini menimbulkan perbedaan pola berpikir yang kemudian diturunkan pada metode inferensi. Pengetahuan apriori mewujud dalam pola berpikir deduktif yang metode inferensinya dilakukan secara tidak langsung (dua proposisi). Sedangkan pengetahuan aposteriori menjadi pola berpikir induktif yang metode inferensinya dilakukan secara langsung (satu proposisi). Adapun soal kebenaran, menimbulkan diskusi lain tentang mana yang lebih kuat dari dua metode inferensi ini.
Terkait masalah kebenaran, perbedaan mendasar pada kedua metode inferensi ini adalah basis kebenaran proposisinya. Inferensi tidak langsung menggunakan dua proposisi, di mana proposisi pertama (universal) berupa pengetahuan apriori yang basis kebenarannya bersifat self evident (benar dari dalam dirinya sendiri). Adapun proposisi kedua (partikular) adalah pengetahuan empirik yang basis kebenarannya bersifat inderawi (korespondensi). Dalam konteks hukum Islam, proposisi pertama (universal) bersumber dari wahyu (tauqīfī), yaitu Alquran.[37] Oleh karena itu, ia berupa pengetahuan apriori yang benar dari dalam dirinya sendiri (self evident). Jadi ia bukan produk akal, bahkan berada di atas akal sehingga nilai yang terkandung di dalamnya bersifat transenden.
Sebagai contoh, perintah menjauhi khamar dalam ayat 90 Surah al-Mā’idah yang di dalamnya terkandung nilai transenden. Dari ayat ini dirumuskan satu proposisi universal apriori, bahwa setiap minuman yang memabukkan adalah harus dijauhi.[38] Lalu dengan penelitian empirik ditemukan bahwa sifat memabukkan juga ada pada arak, yaitu air hasil perasan dari enau yang difermentasi. Hasil penelitian empirik ini dijadikan sebagai proposisi partikular aposteriori. Proposisi ini bersifat deskriptif semata, namun penggabungan kedua proposisi ini menghasilkan proposisi preskriptif sebagai konklusi, bahwa arak harus dijauhi. Jadi nilai pada proposisi pertama lah yang menjadikan konklusi yang preskriptif bukan proposisi kedua.
Berbeda halnya dengan inferensi langsung, proposisi universal dirumuskan secara induktif berdasar pada fakta-fakta empirik yang diamati, jadi ia bersifat deskriptif dan imanen. Ini jelas karena kajian empirik berurusan dengan dunia ‘apa adanya’ dan bukan yang ‘seharusnya.’ Oleh karena itu, sifat preskriptif juga tidak terdapat pada proposisi yang dihasilkan dari penelitian empirik secara induktif. Mengingat inferensi langsung dilakukan dengan satu proposisi deskriptif, maka simpulan (konklusi) juga bersifat deskriptif pula. Nah, jika dari proposisi deskriptif ini dikeluarkan konklusi preskriptif, maka timbul gugatan tentang validitasnya.
Gugatan ini tidak mudah dijawab, sebab proposisi yang dirumuskan secara aposteriori ini merupakan produk akal manusia dan bersifat imanen, dengan kata lain ia tidak ada sebelumnya. Dengan demikian, persoalan kebenaran objektif di sini menemui jalan buntu. Bayangkan, bagaimana kebenaran objektif bisa dicapai jika kebenaran suatu produk ditanyakan kepada produsennya, tentu yang didapat adalah jawaban subjektif. Oleh karena itu, dibutuhkan sumber nilai kebenaran lain (transenden) di luar akal itu sendiri. Jadi yang sebenarnya dihadapi di sini adalah persoalan kebenaran objektif-ilmiah di satu sisi, dan kebenaran objektif-moralitas di sisi lain.[39] Kebenaran yang pertama didasarkan pada kausalitas natural, sedangkan kebenaran yang kedua didasarkan pada kausalitas moral.[40]
Para fukaha berbeda keyakinan tentang keberlakuan kausalitas natural dan kausalitas moral. Sebagian bersikap ekstrem dengan memberlakukan keduanya secara absolut (determinan) atau menolak keduanya secara mutlak. Sebagian yang lain bersikap moderat dengan cara menempatkan masing-masing kausalitas pada porsinya.[41] Bagi yang beraliran determinisme kausalitas ekstrem, akal dilihat sebagai sumber pengetahuan secara mutlak sehingga mereka berpendirian bahwa hukum bisa diketahui meski tanpa wahyu. Sebaliknya bagi yang menolak secara ekstrem, hukum hanya diketahui dari wahyu semata. Jadi masalah ini bermula dari percampuradukan kausalitas natural dan moral.
Seharusnya kausalitas natural dibedakan dari kausalitas moral, sebab penyamaan keduanya mengakibatkan kontradiksi. Misalnya pada hubungan kausal antara minum arak dengan mabuk, dianggap sama determinannya dengan hubungan kausal antara sifat minuman yang memabukkan dengan keharusan menjauhinya. Padahal yang pertama adalah kausalitas natural yang kembali kepada sunnatullāh fīl ‘ālam, sedangkan yang kedua kembali pada pilihan bebas manusia. Adanya pilihan bebas manusia menjadikan kausalitas moral tidak berlaku secara determinan, maka terjadilah kontradiksi karena menyatukan dua hal yang bertentangan.
Hal ini berhubungan langsung dengan asumsi dasar terhadap keberlakuan dan kekuatan metode inferensi. Bagi yang menyamakan kausalitas moral dengan kausalitas natural, metode inferensi langsung (istiqrā’) dianggap sama kuat dengan metode inferensi tidak langsung (istintāj). Ini artinya mereka tidak membedakan antara akal sebagai sumber pengetahuan dengan akal sebagai metode. Akibatnya, proposisi preskriptif yang dihasilkan kehilangan landasan objektivitasnya, karena diturunkan dari proposisi deskriptif, bukan preskriptif yang berupa nilai moralitas tertentu. Dalam Islam, nilai moralitas dimaksud bersumber dari perintah dan larangan Alquran, maka tanpanya hasil inferensi dapat tertuduh subjektif (mengikut hawa nafsu).
Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa inti sebab beda inferensi berada pada tingkat paradigmatik, yaitu persoalan objektivitas proposisi preskriptif. Karena ini berada di tingkat paradigmatik, maka ia kerap luput dari kesadaran banyak fukaha, bahkan sebagian jauh terperosok dalam sikap ekstrem. Sebagian fukaha madrasah ahl al-ĥadīŝ menganut paradigma teosentris sampai menafikan realitas empirik. Sementara sebagian fukaha madarasah ahl al-ra’y ekstrem menganut paradigma antroposentris sampai-sampai abai terhadap realitas metafisik.
Disorot dari kacamata teori prehensi, paradigma yang berbeda-beda dalam mazhab fikih dapat diperlakukan sebagai sudut pandang yang saling melengkapi. Oleh karena itu, dalam kajian perbandingan mazhab, dituntut penerapan satu tahap uji terhadap beragam paradigma di kalangan fukaha, agar dapat dipertimbangkan sifatnya; apakah bisa melengkapi atau tidak. Inilah alasannya mengapa kajian perbandingan mazhab harus dilakukan dengan pendekatan sirkuler, dari tingkat instrumental sampai ke tingkat paradigmatikal.

2.    Paradigma moderat dalam perbandingan mazhab
Uraian terdahulu mengerucutkan sebab perbedaan dalam fikih menjadi dua, yaitu perbedaan interpretasi dan perbedaan inferensi. Jika dikritisi lebih dalam lagi, perbedaan interpretasi pun sebenarnya dimunculkan oleh perbedaan paradigma.[42] Sebab kecenderungan kepada salah satu dari sekian kemungkinan makna dari teks ditentukan oleh paradigma yang dianut interpreter. Maka dapat disimpulkan bahwa sebab inti perbedaan fikih yang sebenarnya adalah paradigma yang dianut oleh masing-masing fukaha mazhab.
Mengingat perbedaan pendapat didasari oleh perbedaan paradigma, maka peneliti kajian perbandingan mazhab harus memiliki paradigma yang lebih luas dari paradigma pemilik pendapat yang dibandingkan. Kalau memakai salah satu dari paradigma fukaha yang diteliti, maka yang dilakukan bukan perbandingan, tetapi malah penghakiman terhadap pendapat fukaha lainnya. Oleh karena itu, objektivitas hanya bisa dicapai jika peneliti menggunakan paradigma yang moderat, sebab tidak mengandung keberpihakan.
Kata moderat berasal dari bahasa Inggris ‘moderate,” padanannya dalam bahasa Arab adalah “mu‘tadil” atau “mutawasiţ,[43] artinya pertengahan.[44] Kata wasaţa (w, s, ţ) dalam bahasa Arab berarti sesuatu yang berada di antara dua tepi.[45] Dalam Alquran kata ini digunakan dengan beberapa ragam makna, namun tidak lepas dari arti kebaikan (al-khayriyyah) dan pertengahan (al-bayniyyah).[46] Menurut Kamus Besar Bahasa Indoenesia (KBBI), kata moderat berarti sikap yang selalu menghindari perilaku atau pengungkapan yang ekstrem, atau kecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah.[47]
Merujuk uraian sebelumnya, perbedaan pendapat dipicu oleh pola berpikir monisme, yaitu menganut kepercayaan bahwa realitas hanya satu.[48] Akibatnya terjadi kecenderungan pada salah satu paradigma ekstrem, kalau bukan ekstrem pada paradigma teosentrisme[49] maka seseorang akan cenderung ekstrem pada paradigma antroposentrisme.[50] Nah, untuk keluar dari paradigma ekstrem, maka seseorang harus bersikap mendua sehingga berada di tengah. Dengan demikian, moderatisme (pertengahan) berarti dualisme, yaitu menganut paradigma teoantroposentrisme[51] yang merupakan perpaduan antara teosentrisme dan antroposentrisme.
Mengartikan moderatisme sebagai dualisme tidak lepas dari fakta, bahwa pola pikir monisme terjebak dalam kontradiksi antara pengetahuan partikular dan univesal. Sebab secara epistemologis,[52] generalisasi pengetahuan partikular menimbulkan reduksi, padahal masalah sangat kompleks. Hal ini tidak disadari oleh orang yang berparadigma monisme, karena ia hanya melihat dari satu perspektif. Kompleksitas masalah hanya disadari oleh penganut paradigma dualisme. Alasannya jelas, sebab dengan paradigma dualisme, pikiran akan terbuka dan tergugah untuk mencoba cara pandang dari sudut yang berbeda.
Terkait dengan kajian perbandingan mazhab, hal ini bisa dijelaskan sebagai alasan perlunya pendekatan sirkuler. Sebab seorang peneliti dalam kajian perbandingan mazhab yang berparadigma satu (monisme), hanya punya satu perspektif atomistik sehingga tidak muncul kesadaran perlunya analisis holistik. Demikian pula peneliti yang berparadigma teosentrisme hanya punya satu sudut pandang atomistik dari perspektif teosentris (monisme). Peneliti yang berparadigma atomistik segera berhenti kala kajian telah memuaskan paradigmanya, maka dipastikan kajian perbandingan telah gagal. Oleh karena itu, peneliti perbandingan mazhab harus menggunakan paradigma teoantroposentris, agar penelitian dilakukan secara holistik.

3.    Pendekatan sirkuler dalam perbandingan mazhab
Paradigma berkaitan dengan keyakinan subjektif, bukan pengetahuan objektif. Itulah mengapa Thomas S. Kuhn mengatakan bahwa perubahan paradigma adalah revolusi, sebab ia terjadi tiba-tiba dan bersifat intuitif.[53] Dengan demikian, seorang fukaha tidak bisa keluar dari paradigma yang diyakininya, bahkan menuntutnya keluar berarti membebankan sesuatu yang tidak bisa dilakukan (taklīf yuţāq).[54] Dalam hal ini Alquran mengingatkan sebagaimana dapat dibaca dalam ayat berikut:
أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (الأنعام: 122ا)
Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. al-An ‘am [6]: 122).
Ayat ini menjawab pertanyaan tentang orang-orang musyrik yang terus bertahan dalam kesyirikannya. Padahal Alquran telah memberi tuntunan yang kebenarannya dapat diterima secara rasional, lalu apakah rasionalitas tidak bisa menuntun kepada kebenaran? Menariknya, Alquran menamsilkan mereka seperti orang yang terjebak di dalam kegelapan dan tidak bisa keluar darinya. Memerhatikan lanjutan ayat, maka ‘kegelapan’ yang dimaksud itu dapat dipadankan dengan kata paradigma. Dari itu sikap yang realis adalah menerima perbedaan pendapat sebagai fitrah yang diakibatkan oleh paradigma berpikir. Namun ini tidak berarti nihilnya kebenaran sejati sehingga terjatuh dalam relativisme.
Meski lamban, namun kebenaran tetap akan tersingkap seiring perubahan paradigma. Thomas S. Kuhn menegaskan bahwa proses perkembangan dan perubahan dalam paradigma ilmu pengetahuan berjalan lambat dan besifat tetap. Tetapi menurut Karl R. Popper, hal ini bisa lebih cepat jika seseorang bersedia mencoba perspektif lain dalam memandang sesuatu.[55] Kedua cara ini tentunya juga bekerja dalam ranah fikih, dan kajian perbandingan mazhab memberi kontibusi besar guna memahami paradigma yang berkembang di kalangan fukaha. Namun dengan syarat dilakukan dengan pendekatan sirkuler. [56]
Sikularitas adalah salah satu prinsip yang menjadi ciri sebuah sistem.[57] Dalam konteks filsafat, kata sirkuler (dawr) diartikan sebagai lingkar yang tidak berujung pangkal.[58] Oleh karena itu, sirkularitas sebuah sistem berarti hubungan antar komponen secara sirkuler, artinya hubungan awal yang bersifat kausalitas tidak bisa dilacak berasal dari sebuah komponen tertentu.[59] Sirkuler berbeda dengan dialektika, sebab dialektika berarti komfirmasi antar satu dengan lainnya, sedangkan sirkuler berarti saling membutuhkan dan bahkan ketergantungan antar satu dengan lainnya. Menurut Amin Abdullah, pendekatan sirkuler adalah pendekataan yang memerhatikan kekurangan dan kelemahan pada masing-masing pendapat, dan sekaligus memperbaiki.[60]
Memerhatikan uraian di atas, maka pendekatan sirkuler dalam perbandingan mazhab dapat dipahami sebagai penelitian yang menempatkan pendapat berbeda dalam mazhab secara saling melengkapi. Artinya peneliti perbandingan mazhab melihat perbedaan sebagai keragaman, bukan pertentangan. Alasannya karena pengetahuan manusia adalah ‘pergaulan’ dengan objek, bukan ‘copy’ objek.[61] Hasil ‘pergaulan’ itu tidak lah lengkap, dan kelengkapan hanya terwujud jika semua hasil ‘pergaulan’ itu dipadukan sebagai kesatuan pengamatan menyeluruh. Dengan demikian, pendapat yang berbeda dalam fikih diasumsikan sebagai bagian-bagian dari pengamatan yang menyeluruh sehingga saling melengkapi.
Kerangka teori ini sesuai dengan teori yang dibangun dalam fiqh al-ikhtilāf, bahwa perbedaan dilihat dalam dua kategori, yaitu berupa keragaman (tanawwu‘) di satu sisi,[62] dan pertentangan (taďādud) di sisi lain.[63] Jika suatu perbedaan mengandung kontradiksi, maka itu adalah pertentangan. Tapi jika tidak mengandung kontradiksi, maka perbedaan itu adalah keragaman (al-ta‘addud al-tanawwu‘).[64] Ciri kontradiksi adalah kondisi di mana salah satu dari pendapat yang bertentangan itu harus dinyatakan invalid.
Kontradiksi terjadi dalam dua ranah, pertama dalam ranah universal, kedua dalam ranah partikular. Kontradiksi dalam ranah universal adalah kontradisi yang terjadi pada konsep-konsep yang lepas dari ruang dan waktu. Dalam hal ini, kontradiksi merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip akal.[65] Kontradiksi pada ranah ini dapat diketahui dengan adanya inkonsistensi atau inkoherensi pada sebuah konsep yang digunakan pemilik pendapat sebagai perspektif. Kontradiksi pada ranah partikular terjadi ketika dua pendapat berbeda mengalami pertentangan dalam ruang dan waktu yang sama, sebab ciri partikularitas adalah sifatnya yang kasuistik serta terikat dengan ruang dan waktu. Sebaliknya keragaman akan terlihat ketika dua pendapat yang bertentangan dapat dinyatakan berlaku pada ruang dan waktu yang berbeda.
Berdasar uraian ini dapat disimpulkan, bahwa kajian perbandingan mazhab dengan pendekatan sirkuler dilakukan dalam dua konteks umum berikut:
1.      Mengkaji perspektif dari pendapat yang dibandingkan. Jika yang satu menggunakan perspektif teosentris dan yang lain antroposentris, maka keduanya dapat diduga saling melengkapi. Sebab yang satu berlaku sebagai idealita (yang seharusnya), sedangkan yang lain berlaku sebagai realita (yang senyatanya). Idealita terlepas dari ruang dan waktu, sedangkan realita terikat dalam ruang dan waktu tertentu. Keduanya tidak bertentangan, sebab yang satu berlaku secara universal sedang yang lain berlaku secara partikular. Persperktif yang antroposentris menjadi ciri partikularitas atau lokalitas, sebab pendapat seseorang tidak lepas dari budaya dan perspektif yang mempengaruhinya.
2.      Mengkaji ruang dan waktu keberlakuan pendapat yang dibandingkan. Jika masing-masing pendapat yang dibandingkan dapat berlaku dalam ruang dan waktu yang berbeda maka kedua pendapat itu bersifat saling melengkapi.
Kedua konteks di atas bisa saja dilakukan bersama-sama dalam satu penelitian, tetapi umumnya kajian strata satu terbatas pada konteks yang kedua saja. Sampai di sini dapat disimpulkan, bahwa kajian perbandingan mazhab dengan pendekatan sirkuler bertujuan untuk menemukan sifat saling melengkapi.

4.    Contoh kasus
Berikut dikutip contoh pada masalah zakat yang harus dikeluarkan dari dua harta yang bercampur. Para fukaha berbeda pendapat dalam hal zakat dua harta yang bercampur. Jika kedua harta yang bercampur itu masing-masing mencapai nisab sendiri-sendiri, apakah zakat wajib atas keduanya secara sendiri-sendiri?
Menurut Imam al-Syāfi‘ī, jika dua orang yang mencampurkan harta itu ahli zakat keduanya, maka keduanya mengeluarkan satu zakat. Dengan catatan, terpenuhinya syarat-syarat percampuran harta, yaitu satu tempat minum (masyrab), satu tempat istirahat (masrah), satu kandang (al-murāh), satu tempat memerah susu (mawda‘ al-halab), satu pejantan (al-fahl), satu penggembala (al-rā‘ī), satu penjaga (al-nātūr). Dalam hal pertanian, disyaratkan satu tempat pengeringan buah (al-jarīn fī al-thimār), satu tempat penjualan (al-dukkān), satu penjaga (al-hāris), satu tempat penyimpanan (makān al-hifz), dan yang seumpamanya. Dikatakan, jika ahli zakat berserikat pada binatang ternak (māsyiyyah, baik unta, sapi, atau domba), keduanya mengeluarkan zakat seperti milik satu orang.[66]
Hal ini juga berlaku pada percampuran yang masih dapat dipisah (mujāwarah), dengan syarat tidak dibedakan tempat minum (masyrab), tempat istirahat (masrah), kandang (al-murāh), tempat memerah (mawda‘ al-halab), pejantan (al-fahl), dan penggembala (al-rā‘ī). Menurut pendapat terkuat (al-asahh), bersatunya tempat memerah susu (al-niyah) tidak menjadi syarat. Selain pada ternak, menurut pendapat al-azhar, percampuran memiliki pengaruh bagi zakat, baik pada buah-buahan, biji-bijian, mata uang, atau harta perniagaan, dengan syarat tidak dibedakan penjaga (al-nātūr), tempat pengeringan buah (al-jarīn fī al-thimār), tempat penjualan (al-dukkān), penjaga (al-hāris), tempat penyimpanan (makān al-hifz), dan yang seumpamanya.[67]
Pendapat di atas merupakan hasil ijtihad terhadap dua Hadis berikut:[68]
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ حَدَّثَنِي ثُمَامَةُ أَنَّ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّثَهُ: أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ لَهُ الَّتِي فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا يُجْمَعُ بَيْنَ مُتَفَرِّقٍ وَلَا يُفَرَّقُ بَيْنَ مُجْتَمِعٍ خَشْيَةَ الصَّدَقَةِ
Dari Anas, ia berkata: Abū Bakr ra. Menulis kepadanya sesuatu yang difardhukan Rasulullah saw.: Jangan disatukan yang terpisah, dan jangan dipisahkan antara yang disatukan karena takut zakat. (H.R. al-Bukhārī).
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ حَدَّثَنِي ثُمَامَةُ أَنَّ أَنَسًا حَدَّثَهُ: أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ لَهُ الَّتِي فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا كَانَ مِنْ خَلِيطَيْنِ فَإِنَّهُمَا يَتَرَاجَعَانِ بَيْنَهُمَا بِالسَّوِيَّةِ.
Dari Anas, ia berkata: Abū Bakr ra. Menulis kepadanya sesuatu yang difardhukan Rasulullah saw.: Sesuatu yang telah disatukan, maka sungguh keduanya kembali secara sama di antara keduanya. (H.R. al-Bukhārī).[69]

Hadis “lā yujma‘ bayna mutafarriq...” dinafsirkan sebagai percampuran seratus dua puluh ekor kambing, Jika dizakati bersama, maka yang wajib hanya satu ekor kambing. Adapun jika kambing itu dimiliki oleh tiga orang, dan menzakati sendiri-sendiri, maka masing-masing mengeluarkan satu ekor kambing (jumlah zakat menjadi tiga ekor). Oleh karena itu, jangan dipisahkan dari kumpulan, maka yang wajib hanya satu ekor kambing. Sebaliknya jika dua orang masing-masing memiliki kambing sejumlah seratus dan seratus satu ekor, apabila dikumpulkan mereka harus mengeluarkan tiga ekor kambing, dan jika terpisah masing-masing mengeluarkan satu ekor. Maka jangan disatukan, tapi dikeluarkan sendiri-sendiri.[70]
Bagi ulama kalangan Syāfi‘iyyah, maksud kata takut (al-khasyyah) pada teks Hadis di atas adalah ketakutan pemerintah terhadap menurunnya jumlah zakat. Sementara di pihak pemilik harta, ketakutannya adalah bertambahnya jumlah zakat yang harus dikeluarkan. Jadi Hadis ini memberi jalan tengah bagi dua ketakutan ini. Di sisi lain, teks Hadis “ma kāna min al-khalītayn...” ditafsirkan bahwa percampuran ini memberi kesamaan jumlah (taswiyyah) zakat yang dikeluarkan oleh masing-masing pemilik, sebagaimana ditafsirkan oleh al-Syāfi‘ī dalam kitabnya al-Umm.[71] Penafsiran yang sama juga diberikan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal.
Berbeda dari ulama Syāfi‘iyyah, ulama Hanafiyyah justru berpendapat percampuran itu tidak berpengaruh bagi zakat yang dikeluarkan. Pemilik harta hanya wajib mengeluarkan sejumlah zakat yang dikenakan sebelum hartanya disatukan. Bagi mereka, maksud kata “lā yujma‘ bayna mutafarriq...” dalam teks Hadis, adalah jangan disatukan dalam hal kepemilikan, bukan pada tempat. Jika seseorang memiliki empat puluh ekor kambing, dan yang lain memiliki empat puluh ekor kambing, maka tidak boleh disatukan agar bisa membayar zakat satu ekor kambing saja. Lalu bagi orang yang memiliki kambing empat puluh ekor, jangan dipisahkan sehingga tidak terkena zakat. Dan juga bagi yang memiliki delapan puluh ekor kambing, jangan dipisahkan sehingga harus membayar dua ekor kambing. Sementara kalimat “mā kāna min al-khalītayn...” diartikan sebagai kongsi (al-syārikayn), maka keduanya membayar secara kongsi.[72]
Berbeda dari dua pendapat di belakang, kalimat “mā kāna min al-khalītayn...” bagi Mālik berarti tidak wajib zakat, kecuali masing-masing mereka memiliki jumlah yang sampai nisab. Adapun jika seseorang memiliki domba sejumlah empat puluh ekor lebih, sedangkan teman kongsinya kurang dari empat puluh ekor, maka yang wajib zakat hanya terhadap orang yang memiliki empat puluh ekor lebih. Jadi taswiyyah di sini, diartikan sama-sama memiliki harta yang mencapai jumlah nisab.[73]
Sementara Hadis “lā yujma‘ bayna mutafarriq...” ditafsir sebagai larangan menyatukan harta untuk menghindar dari zakat. Karena tiga orang yang masing-masing memiliki empat puluh ekor kambing, wajib membayar satu ekor kambing per orang. Tapi jika disatukan, jumlahnya menjadi lebih kecil (satu ekor untuk bertiga), dari itu mereka harus dilarang menyatukannya. Demikian pula yang dipisahkan untuk mengurangi jumlah zakat, harus dilarang. Misalnya dua orang yang masing-masing memiliki seratus satu domba yang bercampur, harus membayar tiga ekor domba, tapi jika dipisah hanya dibayar dua ekor saja.[74]
Sekilas pendapat-pendapat di atas terkesan mengalami kontradiksi. Tetapi ketika diteliti, ternyata masing-masing pendapat mazhab di atas dapat berlaku dalam tiga konteks dan waktu yang berbeda. Pendapat Imam al-Syāfi‘ī cocok dipegang dalam menengahi konflik antara kepentingan pemerintah dengan hak masyarakat. Sedangkan Abu Hanifah berada dalam konteks pertimbangan pribadi di tengah masyarakat. Adapun pendapat Imam Mālik dapat dirujuk dalam konteks menengahi persoalan di antara orang-orang yang berserikat itu sendiri. Jadi dengan pendekatan sirkuler, seorang peneliti perbandingan mazhab dapat memosisikan pendapat yang berbeda menjadi saling mengisi. Dengan demikian, kajian perbandingan mazhab dapat merealisir makna perbedaan sebagai rahmat.

C.  Penutup
Memerhatikan perkembangan mutakhir di Aceh secara khusus, perbedaan mazhab tampak rentan memunculkan konflik. Hal ini merupakan tantangan berat, terutama bagi Fakultas Syariah. Bagi penulis, jalan keluar untuk menjawab tantangan ini harus dimulai dari Fiqh Muqaran. Sebab Fiqh Muqaran mampu mengajarkan sikap moderat (tawāsut) yang akan mewarnai setiap aspek peristinbatan yang dilakukan ulama, khususnya saat menempuh jalan keluar berbagai masalah kekinian. Namun untuk itu, Fiqh Muqaran harus dkembangkan dengan penelitian dan kajian perbandingan mazhab yang dilakukan dengan pendekatan sirkuler.
Pendekatan sirkuler menjadikan peneliti memulai kajiannya dengan cara pandang positif. Sebab dari awal termotivasi mencari ruang dan waktu keberlakuan pendapat-pendapat yang berbeda. Dengan demikian, peneliti diarahkan untuk menghargai berbagai pendapat. Di sisi lain, peneliti akan memiliki ketajaman analisis yang menyeluruh, sebab ia diarahkan untuk mencoba berbagai perspektif yang berbeda.
Kajian perbandingan mazhab dapat dilakukan dalam dua konteks. Pertama, mengkaji perspektif dari pendapat yang dibandingkan, khususnya pada pembelajaran di strata dua dan tiga. Kedua, mengkaji ruang dan waktu keberlakuan pendapat yang dibandingkan. Kajian pada tingkat ini cocok diterapkan pada strata satu, khususnya pada Program Studi Perbandingan Mazhab. Kedua konteks kajian ini dapat menjadi kekhususan bagi Fakultas Syariah, dan UIN pada umumnya. Sebab lulusan yang dihasilkan memiliki spesifikasi ilmu yang dapat berdaya guna di tengah pluralitas pemahaman keagamaan masyarakat muslim di Indonesia.
Daftar Pustaka
Abū Zahrah, Muĥammad. Uşūl al-Fiqh. Beirut: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1985.
Ahmad Baidowi, dkk. (penyunting). Rekonstruksi Metodologi Ilmu-ilmu Keislaman. Yogyakarta: SUKA Press, 2003.
Ahmad Daudy. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Akhyar Yusuf Lubis. Postmodernisme: Teori dan Metode. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Al-Albānī, Muĥammad Nāşir al-Dīn. Silsīlat al-Aĥādiŝ al-Ďa‘īfah wa al-Mawďū‘ah, terj. A. M. Basalamah, cet. IV, jld. I. Jakarta: GIP, 1988.
Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor. Kamus Kontemporer Arab Indonesia, cet. VIII. Krapyak, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003.
Baker, Anton dan Ahmad Charis Zubair. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Bambang Sugiharto, I. Postmodernisme; Tantangan bagi Filsafat, cet. V. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Al-Barhāmī, Yāsir Ĥusayn. Fiqh al-Khilāf bayn al-Muslimīn; Da‘wah ilā ‘Alaqah Afďal bayn al-Ittijāhāt al-Islāmiyyah al-Mu‘āşirah. Kairo: Dār al-‘Aqīdah, 2000.
Al-Ba‘albakī Munīr. Al-Mawrid; Qāmūs Inklīzī-‘Arabī, edisi keenam. Beirut: Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn, 1973.
Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia, 2004.
Blackburn, Simon. Kamus Filsafat, cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
A. C. Ewing, The Fundamental Questions of Philosophy. London: Routledge, 1951.
Al-Bukhārī, Muĥammad ibn Ismā‘īl Abū ‘Abd Allāh. Al-Jāmi‘ al-Şaĥīĥ al-Mukhtaşar, cet. III. Beirut: Dār Ibn Kaŝīr, 1987.
Al-Ghazzālī. Al-Mustaŝfā min ‘Ilm al-Uşūl. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000.
________. Muĥk al-Nazari fi al-Mantiq. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000.
________. Al-Mankhūl min Ta‘līqāt al-Uşūl. Beirut: Dār al-Fikr, 1998.
________. Asās al-Qiyās. Riyad: Maktabah al-‘Ubaykān, 1993.
Husni Muadz, M. Anatomi Sistem Sosial: Rekonstruksi Normalitas Relasi Intersubyektivitas dengan Pendekatakan Sistem. Mataram: IPGH, 2014.
Graib, Ian. Teori-teori Sosial Modern; dari Parsons sampai Habermas, terj. Paul S. Baut, T. Effendi, cet. II. Jakarta: Rajawali Pers, 1992.
Ibn Manźūr. Lisān al-‘Arab, jld. III. Kairo: Dār al-Ĥadīŝ, 2003.
Jabbar Sabil, “Masalah Ontologi dalam Kajian Keislaman” Jurnal Ilmiah Islam Futura XIII, No. 02, 2014.
Al-Jabiri, Muhammad Abed. Formasi Nalar Arab, terj. Imam Khoiri. Yogyakarta: IRCiSod, 2003.
Al-Khinn, Muşţafā Sa‘īd. Aŝr al-Ikhtilāf fī al-Qawā‘id al-Uşūliyyah. Beirut: Mū’assasah al-Risālah, 2000.
Kuhn, Thomas S. The Structure of Scientific Revolutions, edisi kedua. Chicago: University of Chicago Press, 1970.
Kuntowijoyo. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, edisi kedua. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Madkūr, Ibrāhīm. Fī al-Falsafat al-Islāmiyyah: Manhaj wa Taţbiquh. Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 2003.
Al-Maĥallī, Jalāl al-Dīn. Syarĥ Minhāj al-Ţālibīn. Kairo: Muşţafā al-Bāb al-Halabī, t.th.
Mahmoud Syaltout dan M. Ali as-Sayis. Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqih, terj. Ismuha. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Majma‘ al-Luhghah al-‘Arabiyyah. Al-Mu‘jam al-Falsafī. Kairo: al-Amīriyyah, 1983.
Mālik. al-Muwaţţā’. Beirut: Maktabah al-‘Aşriyyah, 2003.
Al-Mīdānī, ‘Abd al-Raĥmān al-Jankah. Ďawābiţ al-Ma‘rifah. Damaskus: Dār al-Qalam, 1993.
Mohammad Muslih. Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, edisi revisi, cet. II. Yogyakarta: Belukar, 2005.
Muhyar Fanani. Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi Pengetahuan sebagai Cara Pandang, cet. 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Muslim Ibrahim. Pengantar Fiqh Muqaran. Jakarta: Erlangga, 1991. 
Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, cet. II. Yogyakarta: Belukar, 2005.
Al-Nasā’ī, Aĥmad ibn Syu‘ayb Abū ‘Abd al-Raĥmān. Sunan al-Nasā’ī, jld. VIII. Kairo: Maktabah al-Maţbū‘at al-Islāmiyyah, 1986.
Popper, Karl R. Logika Penemuan Ilmiah, terj. Saut Pasaribu dan Aji Sastrowardoyo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Al-Qaradhawi,Yusuf. Fiqh Perbedaan Pendapat Antar Sesama Muslim, terj. Airur Rofiq Shaleh Tamhid. Jakarta: Robbani Press, 1991.
Rapar, Jan Hendrik. Pengantar Logika; Asas-asas Penalaran Sistematis. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Al-Rāzī. Al-Matālib al-‘Āliyyah. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Arabī, 1987.
Safi, Louay. The Foundation of Knowledge; A Comparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry. Malaysia: International Islamic University Press, 1996.
Al-Sarakhsī, Syams al-Dīn. Al-Mabsūţ,. Beirut Dār al-Fikr, 1989.
Al-Sāyīs, Muĥammad ‘Alī. Tārīkh al-Fiqh al-Islāmī. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.
Soerjanto Poespowardojo T. M., dan Alexander Seran. Filsafat Ilmu: Hakikat Ilmu Pengetahuan, Kritik terhadap Visi Positivisme Logis, serta Implikasinya (Jakarta: Kompas, 2015.
Al-Syāfi‘ī. Al-Umm. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009.
Al-Syahrastānī. Al-Milal wa al-Niĥal. Beirut: Dār al-Fikr, 2005.
al-Syarbīnī, Syams al-Dīn. Mughnī al-Muhtāj ilā Ma‘rifah Ma‘ānī Alfāź al-Minhāj. Kairo: Muşţafā al-Bāb al-Halabī, t.th.
Al-Syātibī. Al-Muwāfaqāt. Kairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah, 2003.
Al-Syawk­ānī, Muĥammad ibn ‘Alī ibn Muĥammad. Irsyād al-Fuĥūl. Beirut: Dār al-Fikr, t.th.
Tim KBBI. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat. Jakarta: Gramedia, 2008.
Al-Zarkasyī. Al-Bahr al-Muhit, cet. III. Kairo: Dār al-Kutub, 2005.




[1] Muĥammad ibn Ismā‘īl Abū ‘Abd Allāh al-Bukhārī, al-Jāmi‘al-Şaĥīĥ al-Mukhtaşar, cet. III, jld. VI (Beirut: Dār Ibn Kaŝīr, 1987), 2676. Kitāb I‘tişām bi al-Kitāb wa al-Sunnah, bāb ajr al-ĥākim iża ijtahada fa aşaba aw akhţa’a. Lihat juga: Aĥmad ibn Syu‘ayb Abū ‘Abd al-Raĥmān al-Nasā’ī, Sunan al-Nasā’ī, jld. VIII (Kairo: Maktabah al-Maţbū‘at al-Islāmiyyah, 1986), 223.
[2] Ian Graib, Teori-teori Sosial Modern; dari Parsons sampai Habermas, terj. Paul S. Baut, T. Effendi, cet. II (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), 91.
[3] Akhyar Yusuf Lubis, Postmodernisme: Teori dan Metode (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 96.
[4] Soerjanto Poespowardojo T. M., dan Alexander Seran. Filsafat Ilmu: Hakikat Ilmu Pengetahuan, Kritik terhadap Visi Positivisme Logis, serta Implikasinya (Jakarta: Kompas, 2015), 335.
[5] Jabbar Sabil, “Masalah Ontologi dalam Kajian Keislaman” Jurnal Ilmiah Islam Futura XIII, No. 02 (2014), 18.
[6] Epistemologi bayānī adalah ijtihad dalam memahami teks keagamaan di dalam wilayah sirkulasinya sendiri. Pemecahannya harus dicari di dalam dan melalui teks, dan qiyās sama sekali bukan rakyu, tetapi “suatu proses yang dilakukan berdasar dalil sesuai dengan informasi yang telah ada dalam kitab dan sunah.” Muhammad Abed al-Jabiri. Formasi Nalar Arab, terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: IRCiSod, 2003), 171-172.
[7] Epistemologi burhānī adalah metode ilmu-ilmu rasional dan dasar-dasar epistemologisnya: dasar “akal universal.” Al-Jabiri, Formasi…, 504.
[8] Epistemologi ‘irfānī adalah pengetahuan yang diperoleh tanpa pencarian, tanpa usaha keras dan tidak membutuhkan waktu, tapi atas kehendak Allah dengan cara membersihkan jiwa. Ilmu seperti ini merupakan ilmu para rasul, yaitu melalui imaginasinya (intuisi). Al-Jabiri, Formasi…, 395 dan 409.
[9] Bagi al-Ghazālī, semua mujtahid benar, berarti ia menerima pluralitas kebenaran di bidang hukum (halal, haram, dsb.). Sebab sesuatu yang halal bagi seseorang dapat berstatus haram bagi orang lain, dan ini tidak kontradiktif. Pandangan seperti ini menghindarkan mujtahid dari sikap yang mengabsolutkan kebenaran satu pihak tertentu. Al-Ghazālī, Al-Mustaŝfā min ‘Ilm al-Uşūl (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), 350.
[10] Menurut Popper, ilmu kita bukanlah pengetahuan (episteme): ia tidak pernah dapat mengklaim telah memperoleh kebenaran, atau bahkan penggantinya, seperti probabilitas. Karl R. Popper, Logika Penemuan Ilmiah, terj. Saut Pasaribu dan Aji Sastrowardoyo (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 254.
[11] Ahmad Baidowi, dkk. (penyunting), Rekonstruksi Metodologi Ilmu-ilmu Keislaman (Yogyakarta: SUKA Press, 2003), 22.
[12] Struktur fundamental adalah ‘kerangka’ paradigma keilmuan (asumsi filosofis), yang dengannya bisa dilihat konsistensi ‘kerja’ konsep-konsep atau teori-teori keilmuan. Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, edisi revisi, cet. II (Yogyakarta: Belukar, 2005), 24.
[13] Bambang Sugiharto, I, Postmodernisme; Tantangan bagi Filsafat, cet. V (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 39.
[14] Anton Baker dan Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 116.
[15] Muĥammad ‘Alī al-Sāyis, Tārīkh al-Fiqh al-Islāmī (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), hlm. 189.
[16] Muslim Ibrahim. Pengantar Fiqh Muqaran (Jakarta: Erlangga, 1991),  7.
[17] Mahmoud Syaltout dan M. Ali as-Sayis. Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqih, terj. Ismuha (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 15.
[18] Muĥammad Nāşir al-Dīn al-Albānī. Silsīlat al-Aĥādiŝ al-Ďa‘īfah wa al-Mawďū‘ah, terj. A. M. Basalamah, cet. IV, jld. I (Jakarta: Gema Insani Press, 1988), 68.
[19] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi Pengetahuan sebagai Cara Pandang, cet. 2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), xxiii.
[20] Bertens, K.. Etika (Jakarta: Gramedia, 2004), 141.
[21] Muĥammad Abū Zahrah, Uşūl al-Fiqh (Beirut: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1985), 13-14.
[22] Menurut al-Ghazz­ali, pengetahuan yang diperoleh lewat pendengaran termasuk pengetahuan apriori. Al-Ghazz­ali, Muĥk al-Nazari fi al-Mantiq, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), 232.
[23] Muşţafā Sa‘īd al-Khinn, Aŝr al-Ikhtilāf fī al-Qawā‘id al-Uşūliyyah (Beirut: Mū’assasah al-Risālah, 2000), 38, dst.
[24] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), 66. Ibn Sīnā, nama lengkapnya Abū ‘Alī al-Husein ibn ‘Abd Allāh ibn Hasan ibn ‘Alī ibn Sīnā. Lahir tahun 370 H/980 M, di Desa Efsyanah, Bukhara. Ia dikenal sebagai filosof besar Islam, ahli kedokteran, matematika, fisika, dan logika, wafat tahun 428 H/1037 M).
[25] Al-Zarkasyī, al-Baĥr al-Muĥ­īţ, cet. III, jld. II (Kairo: Dār al-Kutub, 2005), 268.
[26] Al-Syātibī, al-Muwāfaqāt, jld. II (Kairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah, 2003), 54.
[27]Al-Rāzī, al-Matālib al-‘Āliyyah, jld. IX (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Arabī, 1987), 113-118.
[28] Al-Khinn, Aŝr al-Ikhtilāf…, 72.
[29] Sugiharto, Postmodernisme…, 39.
[30] Al-Khinn, Aŝr al-Ikhtilāf…, 38, dst.
[31] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, cet. II (Yogyakarta: Belukar, 2005), 30.
[32] Muĥammad ‘Alī al-Sāyīs, Tārīkh al-Fiqh al-Islāmī (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), 111.
[33] Ibrāhīm Madkūr, Fī al-Falsafat al-Islāmiyyah: Manhaj wa Taţbiquh, jld. II (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 2003), hal. 45 dan 54. Stagnasi ini terlihat dari pendapat-pendapat kalāmiyyah yang mengemuka setelahnya hanyalah berupa pengulangan dari pendapat-pendapat sebelumnya.
[34] Louay Safi. The Foundation of Knowledge; A Comparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry (Malaysia: International Islamic University Press, 1996), 175.
[35] ‘Abd al-Raĥmān al-Jankah al-Mīdānī, Ďawābiţ al-Ma‘rifah (Damaskus: Dār al-Qalam, 1993), 150. Inferensi langsung (al-istidlāl al-mubāsyir) dilakukan berdasarkan satu proposisi (qaďiyyah), sedangkan inferensi tidak langsung (al-istidlāl ghayr al-mubāsyir) dilakukan dengan dua proposisi atau lebih. Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika; Asas-asas Penalaran Sistematis (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 40.
[36] A. C. Ewing, The Fundamental Questions of Philosophy (London: Routledge, 1951), 53,55. Menurut teori korespondensi, kebenaran tergantung pada adanya relasi antara pengetahuan dengan fakta. Sedangkan menurut teori koherensi, kebenaran ditentukan oleh relasi di antara penilaian-penilaian itu sendiri.
[37] Al-Ghazzālī, Asās al-Qiyās (Riyad: Maktabah al-‘Ubaykān, 1993), 44.
[38] Al-Ghazzālī, Asās …, 43.  Menurut al-Ghazzālī, setiap al-‘illah yang telah ditunjuk­kan oleh dalil sebagai tempat bergantung hukum, maka darinya tersusun proposisi umum yang berlaku sebagaimana berlaku­nya lafaz umum dari al-Syāri‘. Bahkan lebih kuat, karena keu­muman lafaz masih memiliki kemungkinan takhşīş. Sedangkan manāţ al-ĥukm menghimpun semua sifat (al-‘illat al-murāka­bah) yang berlaku umum dan tidak mungkin di-takhşīş.
[39] Husni Muadz, M., Anatomi Sistem Sosial: Rekonstruksi Normalitas Relasi Intersubyektivitas dengan Pendekatakan Sistem (Mataram: IPGH, 2014), 42.
[40] Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali; Dimensi Ontologi dan Aksiologi (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 160. Kausalitas natural adalah prinsip, atau hukum umum tentang hubungan sebab akibat peristiwa alam, bahwa sebab efektif menghasilkan akibat. Maka secara objektif dan konstan (mekanik deterministik), sebab yang sama dipandang pasti menghasilkan akibat yang sama pula. Adapun kausalitas moral adalah hukum sebab akibat perbuatan moral-kreatif manusia, bahwa ia pasti terbit dari sebab tertentu dan menimbulkan akibat tertentu. Demikian pula sebab yang sama dianggap akan menimbulkan akibat yang sama.
[41] Muĥammad ibn ‘Alī ibn Muĥammad al-Syawk­ānī, Irsyād al-Fuĥūl (Beirut: Dār al-Fikr, t.th.), 207. Ragam pandangan uşūliyūn tentang al-‘illah adalah sebagai berikut;
1.   Pendapat yang mengatakan bahwa al-‘illah adalah al-mu‘arrif bagi hukum dengan dijadikannya oleh al-Syâri‘ sebagai tanda atas hukum, hukum menjadi ada dengan adanya tanda.
2.   Bahwa al-‘illah mewajibkan wujud hukum dengan sendirinya, bukan dengan dijadikan oleh Allah.
3.   Al-‘illah adalah pengwajib wujudnya hukum dengan dijadikan oleh Allah.
4.   Al-‘illah adalah sesuatu yang secara adat menjadi pengwajib wujudnya hukum.
5.   Al-‘illah adalah motivasi dalam penetapan hukum, yaitu al-maşlaĥah.
6.   Al-‘illah adalah sesuatu yang diketahui oleh Allah sebagai kebaikan dalam mengikuti ketentuan hukum.
7.   Al-‘illah adalah al-ma‘nā yang dibangun hukum atasnya.
[42] Muslih, Filsafat Ilmu…, 76. Paradigma merupakan seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menentukan seseorang dalam bertindak pada kehidupan sehari-hari.
[43] Munīr al-Ba‘albakī, al-Mawrid; Qāmūs Inklīzī-‘Arabī, edisi keenam (Beirut: Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn, 1973), 586.
[44] Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, cet. VIII (Krapyak, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003), 1621, 1760.  
[45] Ibn Manźūr, Lisān al-‘Arab, jld. III. (Kairo: Dār al-Ĥadīŝ, 2003), 297.
[46] ‘Alī Muĥammad al-Şalābī, al-Wasaţiyyah fī al-Qur’ān al-Karīm (Kairo: Maktabah al-Tābi‘īn, 2001), 38.
[47] Tim KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat (Jakarta: Gramedia, 2008), 924.
[48] Monisme menemukan satu sedangkan dualisme menemukan dua. Fisikalisme adalah dokritn bahwa segala yang ada bersifat fisik, sebuah monisme, lawan dari dualisme jiwa-tubuh; idealisme absolut adalah doktrin bahwa satu-satunya realitas terdapat dalam modifikasi yang Absolut. Permenides dan Spinoza yakin terdapat alasan filosofis yang kuat untuk mengasumsikan hanya ada satu jenis hal yang ril dan sanggup menunjang dirinya sendiri. Simon Blackburn, Kamus Filsafat, cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 549.
[49] Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, edisi kedua (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), 96. Teosentrisme, orang yang mengagungkan wahyu sebagai satu-satunya kebenaran.
[50] Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu…, 51. Antroposentrisme dalam rasionalisme manusia menempati kedudukan yang tinggi. Manusia menjadi pusat kebenaran, etika, kebijaksanaan dan pengetahuan. Manusia adalah pencipta, pelaksana, dan konsumen produk-produk manusia sendiri.
[51] Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu..., 54. Agama memang mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan, dan sedikit pengetahuan. Agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan melupakan kecerdasan manusia, atau sebaliknya, menganggap pikiran manusia sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan melupakan Tuhan. Jadi sumber pengetahuan itu dua macam, yaitu yang berasal dari Tuhan dan yang berasal dari manusia, dengan kata lain teoantroposentrisme.
[52] Karl R. Popper. The Logic of Scientific Discovery (New York: Science Edition Inc., 1961), 15. Menurut Karl R. Popper, tugas epistemologi ialah memberikan analisis logis terhadap metode dan prosedur penelitian, terutama mengenai ilmu-ilmu empirik, untuk menghasilkan apa yang disebut “rekonstruksi rasional” pada tahap yang membawa saintis menemukan kebenaran-kebenaran baru.
[53] Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, edisi kedua (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 122-123. Paradigms are not corrigible by normal science at all. Instead, as we have already seen, normal science ultimately leads only to the recognition of anomalies and to crises. And these are terminated, not by deliberation and interpretation, but by a relatively sudden and unstructured event like the gesalt swich. Scientists then often speak of the “scales falling from the eyes” or of the “lightning flash” that “inundates” a previously obscure puzzle, enabling its components to be seen in a new way that for the first time permits its solution.
[54] Al-Syahrastānī, al-Milal wa al-Niĥal (Beirut: Dār al-Fikr, 2005), 77. Taklīf mā lā yuţāq adalah pembebanan sesuatu yang di luar kemampuan seseorang untuk melakukannya. Pendapat umum para pengikut Asy‘ariyyah justru menerima Taklīf mā lā yuţāq. Namun tokoh moderat seperti al-Ghazzālī justu menolaknya. Al-Ghazzālī, al-Mankhūl min Ta‘līqāt al-Uşūl (Beirut: Dār al-Fikr, 1998), 81. Lebih jelas lihat catatan kaki nomor 10.
[55] Soerjanto Poespowardojo T. M., dan Alexander Seran. Filsafat Ilmu…, 98.
[56] Kata sirkuler dalam bahasa Inggris (circle, circular) berarti gerak melingkar, padanannya dalam bahasa Arab adalah mustadīr atau dā’irī. Al-Ba‘albakī, al-Mawrid…, hlm. 179.
[57] Husni Muadz, Anatomi Sistem Sosial…, hlm. 58, dst. Beberapa konsep teoretik sistem adalah: 1) keutuhan (unity), 2) organisasi dan struktur sistem, 3) determinisme struktur sistem, 4) keterhubungan dan penyesuaian struktural, 5) sirkularitas, 6) fitur kebaruan.
[58] Majma‘ al-Luhghah al-‘Arabiyyah, al-Mu‘jam al-Falsafī (Kairo: al-Amīriyyah, 1983), hlm. 85. 
[59] Husni Muadz, Anatomi Sistem Sosial…, hlm. 71.
[60] Ahmad Baidowi, dkk. (penyunting), Rekonstruksi Metodologi Ilmu-ilmu Keislaman (Yogyakarta: SUKA Press, 2003), 22.
[61] Sugiharto, Postmodernisme…, 39. Jadi pengetahuan ilmiah sama sekali bukan hasil jiplakan terhadap realitas, melainkan realitas hasil konstruksi manusia.
[62] Yāsir Ĥusayn al-Barhāmī, Fiqh al-Khilāf bayn al-Muslimīn; Da‘wah ilā ‘Alaqah Afďal bayn al-Ittijāhāt al-Islāmiyyah al-Mu‘āşirah (Kairo: Dār al-‘Aqīdah, 2000), 12. Ikhtilāf sebagai keragaman (ikhtilāf al-tanawwu‘) berarti pendapat yang satu tidak berlawanan dengan pendapat yang lain, bahkan semua pendapat itu benar.
[63] Al-Barhāmī, Fiqh al-Khilāf..., 19. Ikhtilāf sebagai pertentangan (ikhtilāf al-taďādud) berarti semua pendapat berbeda saling bertentangan satu dengan lainnya, dan salah satunya harus dinyatakan valid atau invalid.  
[64] Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh Perbedaan Pendapat Antar Sesama Muslim, terj. Airur Rofiq Shaleh Tamhid (Jakarta: Robbani Press, 1991), 10.
[65] Jan Hendrik Rapar. Pengantar Logika; Asas-asas Penalaran Sistematis (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 18.  Ada empat prinsip dasar akal (universal postulates of all reasoning), keempat prinsip itu adalah: 1) prinsip identitas (principium identitatis/law of identity); 2) prinsip kontradiksi (principium contradictionis/law of contradiction); 3) prinsip penyisihan jalan tengah (principium exclusi tertii/law of excluded middle); 4) prinsip alasan memadai (principium rationis sufficient/law of sufficient reason). Tiga yang pertama dirumuskan oleh Aristoteles (382-322 SM), sedangkan yang keempat dirumuskan oleh Gottfried Wilhelm Leibniz (1645-1716 M).
[66] Jalāl al-Dīn al-Maĥallī, Syarĥ Minhāj al-Ţālibīn (Kairo: Muşţafā al-Bāb al-Halabī, t.th.), jld. II, hlm. 11.
[67] Syams al-Dīn al-Syarbīnī, Mughnī al-Muhtāj ilā Ma‘rifah Ma‘ānī Alfāź al-Minhāj (Kairo: Muşţafā al-Bāb al-Halabī, t.th.), jld. I, hlm. 276-278.
[68] Al-Bukhārī, Sahīh al-Bukhārī, jld. II, hlm. 117. Dalam Kitāb al-Zakāh,bāb lā yujma‘ bayna mutafarriq...
[69] Al-Bukhārī, Sahīh al-Bukhārī, jld. II, hlm. 117. Dalam Kitāb al-Zakāh,bāb mā kāna min al-khalītayn...
[70] Al-Khinnī, Atsr al-Ikhtilāf…, hlm. 62.
[71] Al-Syāfi‘ī. al-Umm (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009), jld. II, hlm. 19.
[72] Syams al-Dīn al-Sarakhsī, al-Mabsūţ, (Beirut Dār al-Fikr, 1989), jld. II, hlm. 154.
[73] Mālik, al-Muwaţţā’, (Beirut: Maktabah al-‘Aşriyyah, 2003), hlm.156.
[74] Mālik, al-Muwattā’, hlm.157.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

QURBAN: ISHAK, ATAU ISMAIL? (Penafsiran Ayat 100-103 Surat al-Shaffat)

Kumpulan Kaidah Fiqhiyah

Demi Jiwa (Penafsiran Ayat 7-10 Surat al-Syams)

Ayat-ayat Setan (Satanic Verses): Penafsiran Ayat 52 Surat al-Hajj

Bekas di Dahi (Penafsiran Ayat 29 Surat al-Fath)

Hubungan Teori Sistem dengan Pendekatan Holistik dalam Ijtihad Kontemporer

Pengertian Kaidah Fiqhiyah

Nuzulul Quran Penafsiran Ayat 185 Surat al-Baqarah

Kumpulan Kaidah Maqasidiyah

Kembali ke Fitrah: Tafsir ayat 30 Surah al-Rum