MENGGAGAS TAFSIR AYAT HUKUM DALAM KERANGKA FIQH AL-IKHTILĀF

Tulisan ini telah dimuat di Jurnal Substantia, Vol 18, No. 2, tahun 2016  http://www.substantiajurnal.org/index.php/subs/article/view/175

Abstrak
Perbedaan pendapat dalam penafsiran terhadap ayat hukum dapat menimbulkan kesan adanya disharmoni antara satu sama lain ajaran Alquran. Padahal ayat 82 Surah al-Nisa menegaskan bahwa tidak ada kontradiksi dalam Alquran. Namun persoalan ini tidak terakomodir dalam kajian fikih karena perbedaan dilihat sebagai masalah furukiyah saja. Padahal tidak sedikit perbedaan itu terjadi pada isu-isu fundamental ajaran Islam. Sayangnya hal ini juga tidak tertangani oleh disiplin ilmu tafsir karena orientasinya yang terfokus pada penemuan makna. Oleh karena itu, tulisan ini menawarkan agar tafsir ayat hukum dilakukan dalam kerangka teoretik fiqh al-ikhtilāf yang melihat perbedaan sebagai keragaman (al-ta‘addud al-tanawwu‘). Dalam tulisan ini, metode deduktif interpretif dipadukan dengan metode analisis kritis, lalu digunakan untuk melakukan kajian terhadap landasan filosofis tafsir ayat hukum. Landasan filosofis itu mencakup asumsi dasar, paradigma dan kerangka teori. Nah, dengan menggunakan pendekatan filsafat, kajian ini sampai pada simpulan bahwa kerangka teoretik fiqh al-ikhtilāf tepat digunakan untuk menyikapi perbedaan penafsiran dalam tafsir ayat hukum.



A.  Pendahuluan
Perbedaan pendapat dalam fikih—antara lain—disebabkan oleh perbedaan penafsiran terhadap ayat hukum.[1] Sayangnya perbedaan tafsir ini tidak mendapat perhatian yang layak, sebab fikih melihatnya sebagai perbedaan furukiyah. Misalnya perbedaan antara Ĥanafiyyah dan Syāfi‘iyyah tentang keberlakuan kisas bagi muslim yang membunuh nonmuslim. Jika dilihat dari posisi Alquran sebagai sumber utama ajaran Islam, masalah ini bisa naik ke posisi uşūliyyah karena terkait dengan prinsip fundamental Islam. Sebab adanya perbedaan penafsiran dapat menimbulkan kesan disharmoni antar prinsip dan ajaran-ajaran Alquran. Padahal Alquran sendiri menyatakan tidak ada kontradiksi di dalamnya (Q.S. al-Nisa’ [4]: 82). Lalu mungkinkah Alquran tidak menentukan sikap pada persoalan fundamental sekrusial ini?
Demikian pula dalam disiplin keilmuan tafsir, persoalan seperti di atas juga tidak tertangani sebagaimana mestinya. Sebab ilmu tafsir melihat objeknya sebagai persoalan bahasa dan makna yang mana perbedaan merupakan fitrahnya.[2] Selain itu, ilmu tafsir terfokus pada dua sebab umum perbedaan penafsiran, yaitu perbedaan internal dan perbedaan eksternal.[3] Akibatnya perbedaan penafsiran yang menimbulkan ketidakpastian hukum luput dari perhatian. Padahal persoalan tafsir ayat hukum menuntut pengelolaan perbedaan penafsiran itu sendiri agar terwujud harmoni antar satu dan lain pendapat dalam ajaran Islam.
Beranjak dari realita di atas, tulisan ini menawarkan gagasan tafsir ayat hukum dalam kerangka teoretik fiqh al-ikhtilāf. Hal ini dimaksudkan agar tafsir ayat hukum dilakukan dengan kesadaran bahwa perbedaan penafsiran adalah fenomena yang tidak terpisahkan dari kajian tafsir ayat hukum sehingga harus disikapi secara bijak. Oleh karena itu, tulisan ini melihat kerangka teoretik fiqh al-ikhtilāf sebagai perspektif alternatif bagi tafsir ayat hukum.
Fiqh al-ikhtilāf berangkat dari penerimaan terhadap keragaman (pluralitas) sebagai fitrah. Dari itu muncullah teori perbedaan sebagai keragaman (al-ta‘addud al-tanawwu‘).[4] Teori ini dapat digunakan untuk melihat perbedaan penafsiran secara moderat, yaitu dengan memahami dimensi-dimensi perbedaan. Lalu penafsiran yang berbeda itu ditempatkan pada dimensinya masing-masing sehingga terwujud keragaman yang harmoni. Namun untuk itu kajian tafsir ayat hukum harus ditingkatkan ke taraf hikmah dengan mengintegrasikan ilmu maqasid al-syari‘ah ke dalamnya.
Mengingat kajian ini menyentuh landasan filosofis keilmuan tafsir ayat hukum, maka tulisan ini menggunakan pendekatan filsafat yang rasional, kritis, reflektif, dan argumentatif.[5] Artinya filsafat dijadikan alat untuk mengkritisi gagasan yang ditawarkan. Maka analisis kritis ditujukan kepada asumsi dasar, paradigma dan kerangka teori sebagai landasan filosofis tafsir ayat ahkam ini.[6] Adapun metode yang digunakan adalah metode deduktif interpretif, yaitu berangkat dari konsep deduktif kebenaran uiversal sebagai premis mayor, lalu kasus-kasus diposisikan sebagai premis minor.[7] Semakin banyak kasus perbedaan penafsiran yang dapat disikapi secara bijak dengan teori al-ta‘addud al-tanawwu‘, maka semakin beralasan untuk membenarkan ketepatan kerangka fiqh al-ikhtilāf bagi tafsir ayat hukum.  
B.  Pembahasan
1.    Kebutuhan khusus tafsir ayat hukum
Kata tafsīr berarti menjelaskan (al-iďāĥ wa al-tabyīn).[8] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata tafsir berarti keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Alquran agar maksudnya lebih mudah dipahami.[9] Secara terminologis tafsir berarti ilmu yang dengannya diketahui tentang pemahaman kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi saw., penjelasan makna dan hukum-hukum yang dikeluarkan darinya.[10] Sekilas definisi ini mencakup tafsir ayat hukum karena penjelasan hukum juga masuk dalam pengertian tafsir. Tetapi ini menjadi berbeda ketika tafsir dipandang sama dengan takwil sehingga jelas bahwa orientasi tafsir berkisar pada lafaz.
Kata tawīl secara bahasa berarti kembali (al-rujū),[11] seolah-olah seorang mufasir mengembalikan ayat kepada apa yang menjadi kandungan maknanya.[12] Dalam KBBI takwil berarti penafsiran makna ayat Alquran, mengandung pengertian yang tersirat (implisit).[13] Secara terminologis, menurut ‘Alī al-Şābūnī, takwil berarti tarjih sebagian makna yang diragui (muĥtamal) dari ayat Alquran yang memiliki beberapa makna.[14] Menurut Mannā‘ al-Qaţţān, ulama klasik memandang sama takwil dengan tafsir, tapi ulama masa kini membedakannya. Maka takwil berarti memalingkan lafaz dari makna yang jelas ke makna yang kurang jelas berdasar dalil yang menyertainya.[15]
Memerhatikan definisi dan pembedaan tafsir dengan takwil di atas, maka jelas lah tafsir diperkhusus pada lafaz, sedangkan takwil diperkhusus pada makna kandungan.[16] Jadi tafsir adalah penjelasan makna lahiriah dari Alquran yang jelas petunjukannya atas makna yang dikehendaki Allah. Sedangkan takwil adalah makna tersembunyi yang diistinbatkan dari ayat Alquran yang membutuhkan pemikiran (ta’ammul).[17]
Secara ontologis (māhiyah), tafsir sebagai ‘ada/mawjūd’ bersifat dualisme. Pertama, ada secara objektif ‘di luar sana’ (mawjūd fī al-khārij) sebagai konsekuensi sifat empirik (maĥsūs) lafaz ayat Alquran. Kedua, ada secara subjektif (mawjūd fī al-aźhān) sebagai konsekuensi dari pemahaman penafsir.[18] Dalam konteks tafsir sebagai ilmu, yang pertama merupakan objek material (mawďū‘) ilmu tafsir. Sedangkan yang kedua merupakan objek formal (al-istimdād al-isnādiyyah), berupa faktor ekstrinsik (isnādiyyah) objek material ilmu tafsir.[19]
Adapun jika ditinjau dari aspek epistemologi (kayfiyyah), perbedaan penafsiran dalam keilmuan tafsir dilihat sebagai perbedaan metode. Maka persoalan tidak menemukan hadis sebagai penjelas ayat merupakan problem epistemologis antara tafsīr bi al-ma’tsur[20] dan tafsīr bi al-raky.[21] Nah, orientasi keilmuan tafsir yang terfokus pada makna cenderung abai terhadap keragaman informasi Alquran yang mencakup makrokosmos dan mikrokosmos (lihat ilustrasi di bawah). Maka sebagian informasi Alquran bersifat metafisis (mawjūd ilāhiyyah), sebagian empiris (mawjūd fī al-khārij), dan sisanya empirik-rasional atau metaempiris (mawjūd fī al-ażhān). Akibatnya metode dalam keilmuan tafsir berkisar pada usaha ‘menghasilkan’ makna.

Mawjūd Ilāhiyyah
(Metafisik)
Mawjūd                                                                   Mawjūd fī al-ażhān
Makro Kosmos                                                           (Metaempirik)
                                    Mawjūd Insāniyyah
                                     Mikro Kosmos                           Mawjūd al-a‘yān
(Empirik)

Pengabaian ini berujung pada anggapan bahwa kategori tafsir menjadi al-tafsīr al-fiqhī, al-tafsīr al-falsafī, al-tafsīr al-şūfī, dan sebagainya, hanya sebagai perbedaan kecenderungan penafsir. Secara aksiologis (ghāyah), hal ini benar sebagai akibat perbedaan tujuan penafsir. Tetapi ini aksiologi (ghāyah) dari perspektif keilmuan tafsir yang secara epistemologis berorientasi pada makna saja. Sedangkan jika dilihat dari kandungan informasi Alquran, masing-masing memiliki ontologi (māhiyah) dan epistemologi (kayfiyyah) tersendiri. Oleh karena itu, metode keilmuan tafsir menjadi abai terhadap perbedaan pendapat yang diakibatkan oleh keragaman informasi Alquran. Bahkan dalam konteks tafsir ayat hukum, paradigma keilmuan tafsir tidak mengakomodir isu kepastian hukum.
Kekhususan ini semakin jelas ketika melihat ciri ayat hukum sebagai pembeda dari lainnya. Dengan mengakomodir cirinya, ayat hukum didefinisikan sebagai ayat-ayat Alquran yang berisikan titah (khiţāb) Allah yang berkenaan dengan tuntutan (ţalab) untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, atau pilihan (takhyīr) antara mengerjakan dan tidak.[22] Jika dikaitkan dengan gagasan yang ditawarkan tulisan ini, definisi di atas dapat dipersempit. Maka tafsir ayat hukum dalam kerangka fiqh al-ikhtilāf dapat didefinisikan sebagai penjelasan terhadap ayat-ayat yang mengatur perbuatan manusia dari perspektif keragaman pengetahuan dan realitas sosial.
Secara ontologis, objek material[23] tafsir ayat hukum sama dengan objek material ilmu tafsir pada umumnya. Maksudnya sama-sama bersifat empirik-sensual karena berupa ayat dan penafsiran yang terindera sebagai teks.[24] Dengan demikian, asumsi dasar ontologis tafsir ayat hukum dalam kerangka fiqh al-ikhtilāf terhadap objek kajiannya juga berupa asumsi fisis (empirik-sensual). Adapun tambahan kata “dari perspektif keragaman pengetahuan dan realitas sosial” menunjukkan objek formal[25] tafsir ayat hukum.
Kekhususan tafsir ayat hukum dalam kerangka fiqh al-ikhtilāf merupakan konsekuensi dari sikap Islam sendiri terhadap pluralitas pengetahuan manusia dan pluralitas realitas sosial. Hal ini dapat dipahami dari Hadis Rasulullah saw. berikut:
عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ « إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ » .
Diriwayatkan dari ‘Amr ibn ‘Āş, bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Apabila seorang hakim berijtihad dan benar maka ia mendapat dua pahala, dan apabila salah ia mendapat satu pahala.” (H.R. al-Bukhārī)[26]
Hadis ini menunjukkan penerimaan Islam terhadap pluralitas pengetahuan manusia dalam konteks furukiyah, sehingga menjadi basis nilai bagi fikih. Karena fikih merupakan dialektika antara nilai (al-naşş) dengan realitas sosial (al-wāqi‘), maka Hadis ini juga menunjukkan penerimaan Islam terhadap pluralitas realitas sosial. Penerimaan ini dimungkinkan terjadi karena Islam melihat perbedaan secara netral, bukan positif atau negatif. Nilai positif ditujukan pada persatuan, sedang nilai negatif ditujukan pada perselisihan, bukan perbedaan. Hal ini dapat dipahami dari pernyataan Alquran berikut:
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (213)
Manusia adalah umat yang satu, (setelah timbul perselisihan) maka Allah mengutus (para nabi), sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang ini yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang benar. (QS. al-Baqarah: 213).
Para mufasir memahami ayat ini sebagai keutamaan Islam di tengah perselisihan antar umat beragama. Sebab Allah menjadikan Islam sebagai jalan lurus (şiraţ al-mustaqim) untuk keluar dari perselisihan itu. Namun sebelumnya, diawali dengan informasi penting tentang fitrah manusia. Bahwa manusia diciptakan dengan fitrah bersatu dalam kebajikan, namun dalam perjalanan hidupnya timbul perselisihan akibat pengaruh lingkungan (dengki).[27]

2.    Paradigma tafsir ayat hukum dalam kerangka fiqh al-ikhtilāf
Perspektif keragaman di sini menunjukkan hubungan langsung tafsir ayat hukum dengan kerangka fiqh al-ikhtilāf, yaitu perbedaan berupa keragaman (tanawwu‘). Hal ini penting agar pikiran terbuka untuk siap menguji (falsifikasi) kebenaran dalam berbagai penafsiran yang berbeda. Dalam hal ini, Imam al-Ghazālī mewasiatkan agar di satu sisi kita tidak mendustakan akal, dan di sisi lain kita tidak memaksakan takwil.[28] Oleh karena itu, perlu dibangun kesadaran epistemologis agar penafsiran dilakukan dengan metode yang moderat dan holistik (tidak subjektif dan atomistik).[29]
Lebih jauh lagi, tafsir ayat hukum dalam kerangka fiqh al-Ikhtilaf bukan sekadar menjelaskan petunjukan nas terhadap hukum saja. Tetapi bertujuan untuk merealisasi sikap moderat (tawāsuţ) terhadap perbedaan tafsir ayat hukum dan hukum sekaligus.
Moderat berarti selalu menghindari perilaku atau pengungkapan yang ekstrem, atau kecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah.[30] Kata moderat berasal dari bahasa Inggris ‘moderate,” padanannya dalam bahasa Arab adalah “mu‘tadil” atau “mutawasiţ[31] yang berarti pertengahan.[32] Kata wasaţa (w, s, ţ) dalam bahasa Arab berarti sesuatu yang berada di antara dua tepi.[33] Dalam Alquran kata ini digunakan dengan beberapa ragam. Menurut Doktor ‘Alī Muĥammad al-Şalābī, maknanya tidak lepas dari arti kebaikan (al-khayriyyah) dan pertengahan (al-bayniyyah).[34] Adapun wacana yang dibangun Alquran dengan kata al-wasaţiyyah dapat dilihat dalam penggunaannya pada ayat berikut:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ (البقرة: 143)
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (Q.S. al-Baqarah [2]: 143).

Menurut al-Ţabarī, kata “wasaţa” dalam ayat ini bermakna pertengahan “al-‘adl,” ini berarti orang-orang baik “al-khayyār.” Sebab orang yang baik di antara manusia adalah orang yang bersikap pertengahan.[35] Para mufasir menafsirkan ayat ini dengan merujuk ayat berikut:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آَمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ (آل عمران: 110)
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 110).

Menurut Ibn ‘Āsyūr, kedua ayat ini merupakan pujian untuk kaum muslimin, karena Allah mempersiapkan mereka untuk suatu keutamaan. Mereka dilengkapi dengan bekal yang dapat menjadikan mereka moderat (tawásuţ), yaitu berupa ajaran syariat yang tipologinya menuntun pikiran. Dengan demikian, selama akal pikiran sehat, mereka (umat Islam) tidak akan jatuh dalam kesesatan seperti yang dialami oleh kebanyakan umat.[36]
Merujuk penjelasan Ibn Āsyūr ini dapat disimpulkan bahwa moderatisme Islam berarti ajarannya yang pertengahan. Lalu umat Islam dikatakan sebagai umat moderat karena timbul sikap pertengahan sebagai akibat mengamalkan ajaran Islam. Melihat ajaran Islam dalam Alquran dan Sunah bersentuhan dengan realitas metafisik, metaempirik dan empirik, maka diyakini ajaran Islam bersifat moderat dalam ontologi, epistemologi dan aksiologinya.
Mengingat pluralitas (tanawwu‘) dan perselisihan (taďāddud) dibedakan dengan ciri adanya kontradiksi, maka metode penafsiran dalam kerangka fiqh al-ikhtilāf berwatak perbandingan. Dari itu tafsir ayat hukum ini menuntut eksplorasi terhadap berbagai penafsiran yang telah ada (objek material), lalu masing-masing penafsiran itu dibandingkan untuk menemukan mana penafsiran yang berupa tanawwu‘ dan mana yang taďāddud. Untuk itu perlu dipertimbangkan pendekatan fenomenologi deduktif[37] dari Karl R. Popper (1902-1994 M),[38] tokoh rasionalisme kritis yang memperkenalkan uji falsifikasi.
Kegiatan membandingkan antara penafsiran tanawwu‘ dan taďāddud dapat berujung pada tarjih penafsiran. Hal ini menjadi lebih luas cakupannya akibat adanya metodologi alternatif  dan penafsiran baru dari tokoh kontemporer, terutama liberalis. Maka tugas tafsir ayat hukum bertambah berat, karena selain harus menjawab masalah kekinian, juga harus menimbang metode dan penafsiran kontemporer. Oleh karena itu, metode tafsir ayat hukum dalam kerangka fiqh al-ikhtilāf menuntut analisis secara menyeluruh (holistik) dan komprehensif.
Kesadaran akan kebutuhan analisis secara holistik dan komprehensif hanya muncul jika penafsir mampu menempatkan dimensi ilahiyah dan dimensi insaniyah secara proporsional, artinya menganut paradigma[39] teoantroposentrisme.[40] Sebab penafsir yang berparadigma antroposentris,[41] hanya punya satu perspektif atomistik sehingga tidak muncul kesadaran perlunya analisis holistik. Misalnya ilmu sosial modern, melihat perbedaan sebagai fitrah secara negatif. Khususnya yang berbasis teori konflik, diasumsikan bahwa ‘kepentingan adalah unsur alamiah kehidupan sosial sehingga melahirkan konflik struktural’ (perselisihan).[42]
Demikian pula penafsir yang berparadigma teosentrisme[43] hanya punya satu sudut pandang atomistik dari perspektif teosentrisnya saja (monisme). Dengan kata lain, penafsir yang paradigmanya atomistik segera berhenti kala penafsirannya memuaskan paradigma berpikirnya yang atomistik. Jadi hanya penafsir yang menganut paradigma teoantroposentrisme yang sadar akan perlunya analisis holistik. Seperti dalam wasiat al-Ghazālī, para mufasir moderat (al-mutawasiţ) tidak mendustakan akal dan tidak memaksakan takwil.[44]

3.    Kerangka fiqh al-ikhtiláf bagi tafsir ayat hukum
Sikap proporsional yang tidak melihat pluralitas secara negatif dan juga tidak mendewakan pluralitas merupakan cara pandang yang sesuai dengan petunjuk Alquran. Cara pandang ini menjadi landasan filosofis fiqh al-ikhtilāf, sebab perbedaan tidak serta merta menimbulkan perselisihan. Tetapi jika perbedaan dihubungkan secara niscaya dengan perselisihan, maka fiqh al-ikhtilāf tidak akan tegak, sebab tidak ada peluang untuk mempertimbangkan keragaman dalam perbedaan. Dari asumsi dasar epistemologis ini muncul lah teori perbedaan sebagai keragaman (al-ta‘addud al-tanawwu‘).[45]
Memahami teori di atas tidak bisa dilakukan dari perspektif perbedaan sebagai keragaman saja. Oleh karena itu, dalam fiqh al-ikhtilāf, perbedaan dilihat dalam dua kategori, yaitu berupa keragaman (tanawwu‘) di satu sisi,[46] dan pertentangan (taďādud) di sisi lain.[47] Kedua sisi ini menjadi pembanding untuk mengenal satu dari lainnya, sebab pembeda di antara keduanya cuma satu, yaitu kontradiksi. Artinya, di antara pendapat-pendapat yang berbeda itu hanya satu saja yang valid. Jika suatu perbedaan mengandung kontradiksi, maka itu adalah pertentangan. Tapi jika tidak mengandung kontradiksi, maka itu adalah keragaman.
Kontradiksi merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip akal. Semua orang berakal dapat segera merasakan adanya kontradiksi, hanya saja orang yang terlatih lebih peka. Ada empat prinsip dasar akal (universal postulates of all reasoning), keempat prinsip itu adalah: 1) prinsip identitas (principium identitatis/law of identity); 2) prinsip kontradiksi (principium contradictionis/law of contradiction); 3) prinsip penyisihan jalan tengah (principium exclusi tertii/law of excluded middle); 4) prinsip alasan memadai (principium rationis sufficient/law of sufficient reason).[48]
Kempat prinsip ini bekerja saat kita melakukan predikabel atau kategorisasi (taşawwur)[49] guna mendefinisikan sesuatu (ta‘rīf)[50] dan membangun tesis (taşdīq).[51] Untuk mempertajam kemampuan taşawwur diperlukan pemahaman filsafat kritis, sedangkan untuk mempertajam kemampuan taşdīq diperlukan pemahaman filsafat analitis. Selain pemahaman, faktor pengalaman juga sangat menentukan kemampuan seseorang sehingga terjadi perbedaan kemampuan. Namun perbedaan seperti ini masih dalam tahap berproses, oleh karena itu diperlukan kesabaran menghadapi perbedaan pendapat. Sebab jika tidak sabar, berarti menutup peluang untuk maju mencapai kebenaran bagi mereka yang kemampuan intelektualnya sedang dalam tahap proses.
Realita ini menuntut penghayatan landasarn moral fiqh al-ikhtilāf, sebab teori bisa menyimpang di tangan orang-orang yang tidak bermoral. Dalam hal ini, Yusuf al-Qaradhawi mengemukakan beberapa landasan moral fiqh al-ikhtilāf:[52]
1.      Ikhlas karena Allah dan terbebas dari hawa nafsu.
2.      Meninggalkan fanatisme terhadap individu, mazhab, dan golongan.
3.      Berprasangka baik kepada orang lain.
4.      Tidak menyakiti dan mencela.
5.      Menjauhi jidal dan permusuhan sengit.
6.      Dialog dengan cara yang lebih baik.

Memperhatikan landasan moral fiqh al-ikhtilāf di atas, jelaslah memerlukan latihan keras dan kesabaran dalam penelitian ilmiah. Sebab semua sikap moralitas itu hanya bisa muncul dari penghayatan terhadap kejujuran ilmiah. Kuncinya adalah pemahaman terhadap epistemologi, atau metodologi ilmiah yang harus diikuti dalam langkah-langkah kajian ilmiah. Metodologi ini lebih kompleks dalam kajian tafsir ayat hukum yang dilakukan dalam kerangka fiqh al-ikhtilāf.
Adapun metode yang digunakan dapat memakai metode tafsir tematik (tafsīr mawďū‘ī)[53] yang dipadu dengan langkah-langkah perijtihadan. Secara etimologis kata tema berarti pokok pikiran.[54] Menurut Muşţafā Muslim, metode tafsīr mauďū‘ī dilakukan dengan delapan langkah berikut:[55]
1.    Menentukan judul untuk tema qur’ānī sebagai lapangan pembahasan, setelah mengetahui batas luas sempitnya informasi yang tersedia dalam ayat Alquran.
2.    Mengumpulkan ayat-ayat Alquran yang membahas tema dimaksud, atau ayat-ayat yang memiliki sisi bersinggungan dengan tema dimaksud.
3.    Mengurut ayat sesuai masa turunnya (zamān al-nuzūl), karena biasanya ayat yang turun di Mekah lebih umum, terkait dengan ajaran-ajaran dasar yang tidak terbatas seperti perintah berinfak, zakat, atau berbuat baik dan sebagainya.
4.    Kajiannya bersifat menyeluruh (wāfiyyah) dengan merujuk kepada kitab-kitab tafsir taĥlīlī dan pengetahuan terhadap asbabunnuzul (jika ada). Kajian ini juga merujuk pada penggunaan lafaz (semantik) dan penggunaannya (sintaksis), dan hubungan antara lafaz dalam penggunaannya pada kalimat berbeda, ayat berbeda, dan surat berbeda (dalam tema yang sama).
5.    Setelah menjangkau makna ayat yang terkumpul, peneliti beralih pada istinbat unsur-unsur dasar bagi tema dimaksud berdasar arah yang ditunjuk oleh ayat-ayat tersebut. Peneliti harus mengedepankan unsur-unsur utama yang mengemuka berdasar tuntunan ayat, atau tuntutan rasionalitas.
6.    Langkah berikutnya adalah kembali pada metode penafsiran umum (al-tafsīr al-ijmālī) sesuai dengan pola penalaran yang dituntut oleh objek pembahasan. Hal ini dilakukan agar peneliti tidak terpaku pada makna semantik (dilālat al-alfāź al-lughawiyyah), tetapi mencapai petunjuk yang terkandung di dalam nas Alauran. Misalnya, mengungkap kandungan makna yang diisyaratkan teks Alquran dengan merujuk Hadis Nabi saw., atau pemahaman sahabat. Jika diduga ada kontradiksi, maka dugaan ini harus dihilangkan dengan menunjukkan hikmah ilahiyah dalam keberadaan ayat-ayat seperti itu (metode istiqrā).
7.    Peneliti harus berpegangteguh pada metodologi ilmiah, baik dalam penelitian maupun penulisan.
8.    Peneliti harus berkomitmen untuk mengungkap kandungan Alquran yang hakiki.

Penafsiran yang komprehensif menuntut satu pendekatan yang terpadu, yaitu pendekatan sistem, di mana entitas analisis diasumsikan sebagai sebuah sistem.[56]. Pendekatan ini beranggapan ada banyak sebab terjadinya sesuatu, jadi pendekatan sistem berusaha menyadari adanya kerumitan di dalam kebanyakan benda, sehingga terhindar dari memandangnya sebagai sesuatu yang amat sederhana atau bahkan keliru.[57] Semua realitas dalam teks dan kedua dimensinya dianalisis secara sistematis, lalu ditempatkan pada posisinya secara proporsional.

4.    Menyikapi ikhtilāf dalam tafsir ayat hukum
Metode menafsirkan ayat hukum ditentukan oleh asumsi dasar ontologis terhadap ayat hukum. Pertanyaan ontologisnya, apakah hakikat ayat hukum berupa mawjūd al-a‘yān, mawjūd fī al-aźhān, atau mawjūd ilāhiyyah? Sikap moderat yang berupa dualisme mengharuskan ayat hukum dilihat sebagai mawjūd al-a‘yān, mawjūd fī al-aźhān, dan mawjūd ilāhiyyah sekaligus. Misalnya pada ayat berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ. وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (البقرة: 178-179)
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (Q.S. al-Baqarah [2]: 178-179).

Sebagaimana ciri ayat hukum umumnya, di sini terdapat khiţāb berupa perintah menerapkan kisas. Sebagai kalamullah perintah ini berada dalam dimensi ilahiyah yang lepas dari ruang dan waktu sehingga bersifat metafisik. Tetapi wahyu ini diturunkan kepada manusia berupa lafaz dalam ruang dan waktu, maka ia juga bersifat empirik. Kedua sisi ini tidak kontradiktif, sebab yang satu dalam dimensi ilahiah (lepas dari ruang-waktu), sedang yang satunya dalam dimensi insaniyyah.
Selanjutnya perintah ini berkaitan dengan perbuatan manusia yaitu kisas, maka manusia menyaksikan sendiri relevansi perintah dengan objeknya. Dari sini manusia mengkonsep suatu kausa finalis (al-ĥikmah) yang meng-’ada’ secara metaempirik. Sebagian dari kausa ini disebutkan dalam ayat sehingga diterima ke-‘ada’-annya secara sepakat, dalam ayat di atas, pada kalimat “wa lakum fī al-qişāş ĥayāh.” Ini merupakan perpotongan dimensi ilahiah dengan dimensi insaniah, antara yang metafisik dengan metaempirik. Tapi sebagian lainnya tidak disebut dalam ayat sehingga ada ulama menolak keras, dan ada pula ulama yang menerimanya.
Adanya tiga realitas ontologis pada ayat hukum berpotensi menjadikan asumsi dasar ontologis penafsir terpaku pada salah satunya. Akibatnya pendekatan dan metode dilakukan dari satu sudut pandang saja (atomis), sehingga terjadilah perbedaan tafsir. Misalnya dalam ayat di atas, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mazhab tentang kesetaraan oleh keberadaan hadis ini:
سَمِعْتُ أَبَا جُحَيْفَةَ قَالَ: سَأَلْتُ عَلِيًّا -رضى الله عنه- هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ مِمَّا لَيْسَ فِى الْقُرْآنِ -وَقَالَ ابْنُ عُيَيْنَةَ مَرَّةً مَا لَيْسَ عِنْدَ النَّاسِ- فَقَالَ: وَالَّذِى فَلَقَ الْحَبَّةَ وَبَرَأَ النَّسَمَةَ مَا عِنْدَنَا إِلاَّ مَا فِى الْقُرْآنِ إِلاَّ فَهْمًا يُعْطَى رَجُلٌ فِى كِتَابِهِ وَمَا فِى الصَّحِيفَةِ. قُلْتُ وَمَا فِى الصَّحِيفَةِ قَالَ الْعَقْلُ، وَفِكَاكُ الأَسِيرِ، وَأَنْ لاَ يُقْتَلَ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ.
Abū Juĥayfah berkata: “Aku bertanya kepada ‘Ali, tahukah kamu suatu ketentuan yang tidak ada dalam Alquran?” Ibn ‘Uyaynah menanggapi; “Sesuatu yang tidak ada pada manusia.” Maka ia berkata: “Demi Yang mengecambahkan benih dan menciptakan manusia, tidak ada suatu ketentuan pun yang tidak bersumber dari Alquran, kecuali suatu pemahaman yang disarikan seseorang dari Kitābullāh, maka tidak ada dalam lembaran Alquran.” Aku berkata: Dalam lembaran Alquran tidak ada ketentuan tentang ‘aqīlah (al-‘aql), tentang menebus tawanan (fikāk al-asīr), dan ketentuan tentang tidak diqisasnya seorang muslim karena membunuh seorang kafir.

Dengan berpegang pada hadis ini ulama Syāfi‘iyyah berpendirian bahwa seorang muslim tidak dikisas karena membunuh seorang nonmuslim. Tetapi sebaliknya, kisas diberlakukan jika seorang nonmuslim membunuh seorang muslim, baik ia Nasrani, Yahudi atau lainnya, karena semua agama itu dipandang satu sebagai kafir.[58] Demikian pula ulama Ĥanābilah, mereka juga berpegang kepada hadis al-Bukhārī di atas. Bahkan Ibn Qudāmah (w. 620 H) mengecam kelompok yang dianggapnya menyetarakan muslim dengan nonmuslim. Menurutnya, memberlakukan kisas muslim dengan nonmuslim berarti melecehkan umat Islam, juga berarti menyamakannya dengan Majusi.[59]
Adapun ulama Hanafiyyah,-antara lain al-Jaşşāş (w. 370 H)- melihat kata al-qatlā dalam ayat 178 surat al-Baqarah sebagai bentuk umum yang selain berarti pembunuhan di kalangan muslim, juga mencakup pembunuhan antara muslim dan nonmuslim. Dan kalimat itu dipandang sudah sempurna, sehingga lanjutan kata al-ĥurr bi al-ĥurr, dan kalimat fa man ‘ufiya lahu min akhīhi, tidak menjadi mukhaşşiş bagi keumuman kata al-qatlā.[60] Bagi ulama Ĥanafiyyah, hadis al-Bukhārī di atas di-takhşīş oleh hadis riwayat Rabī‘ah ibn ‘Abd al-Raĥmān. Dengan demikian, ketentuan dalam hadis al-Bukhārī hanya berlaku dalam konteks muslim membunuh kāfir ĥarbī yang tidak terikat perjanjian damai dengan umat Islam. Jadi, seorang muslim tetap dikisas jika membunuh seorang żimmī, atau musta’mān.[61]
Perbedaan ini akan terlihat sebagai pertentangan jika tidak menyadari adanya tiga realitas di atas. Dalam dimensi insaniah (realitas empirik/mawjūd fī al-a‘yān), kisas terhadap muslim yang membunuh nonmuslim dapat menimbulkan efek yang beragam, termasuk politik. Sedangkan dalam dimensi ilahiah (metafisik/maqāşid al-Syāri‘), penerapan kisas bertujuan untuk melestarikan kehidupan, sebab orang menjadi tidak sembarangan membunuh. Di sisi lain, dalam kondisi tertentu, manusia bisa memprediksi (metaempirik/mawjūd fī al-ażhān) pada kasus tertentu, bahwa mengkisas muslim justru tidak merealisasi pelestarian kehidupan yang menjadi tujuan al-Syāri‘, bahkan meningkatkan arogansi. Nah, ini tidak bertentangan, sebab berada dalam ruang dan waktu tertentu (dimensi insaniyah), sedangkan tujuan al-Syāri‘ tidak terikat ruang dan waktu (dimensi ilahiah). Dengan menempatkan keduanya dalam masing-masing dimensi, maka keduanya tidak bertentangan. Sebab keputusan tidak mengkisas muslim dalam kasus tertentu bukan merubah ketetapan syariat. Ketetapan syariat itu tetap berlaku untuk kasus pada ruang dan waktu yang sesuai dengan tujuan pemberlakuannya. Adapun hadis di atas, menjadi petunjuk dalam menyikapi kondisi tertentu, di mana melaksanakan perintah tekstual ayat (mawjūd fī a‘yān) justru tidak merealisasi tujuan al-Syāri‘ (mawjūd fi al-azhan).
Uraian ini memperlihatkan bahwa moderatisme dalam penafsiran ayat hukum berarti kemampuan menempatkan ketiga realitas (metafisik, metaempirik, dan empirik) sesuai dimensinya. Kemampuan ini hanya muncul jika kita mampu bersikap bijak, yaitu dengan memahami hikmah pensyariatan hukum (ĥikmat al-tasyrī‘). Sikap bijak inilah hakikat moderatisme (al-wasaţiyyah) yang diajarkan Alquran:
وَلَقَدْ آَتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (لقمان: 12)
Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu: “Bersyukur-lah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguh-nya ia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Luqman [31]: 12).
Bersyukur adalah contoh hikmah terbaik yang diberikan Alquran, sebab ia puncak hikmah. Hikmah berarti mendahulukan yang lebih bermanfaat dari lainnya, atau memposisikan sesuatu pada tempatnya.[62] Untuk sampai pada kemampuan ini, perlu pengetahuan yang benar, kesadaran, dan kesabaran. Para ulama merumuskan bahwa rukun hikmah itu ada tiga:
1.    Al-‘Ilm, yaitu ilmu yang benar dan kokoh. Mengingat telah terputusnya wahyu dan tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad saw., maka untuk menjadi bijaksana manusia harus meninggalkan waham (praduga). Oleh karena itu, ilmu yang benar dan kokoh dibuktikan oleh validitas metode dan pendekatan, serta ketahanan terhadap berbagai uji (falsifikasi).
Hal lain yang menjadi rukun hikmah dapat dilihat dalam Hadis yang dibukukan oleh Muslim. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah memuji al-Asyāj, seorang pemimpin kabilah, dengan ucapan: “Pada dirimu ada dua perkara yang dicintai Allah, yaitu al-ĥilm dan al-unnah.” Para ulama menjadikannya sebagai rukun kedua dan ketiga bagi hikmah.
2.    Al-Ĥilm, yaitu berarti cerdik. Al-Ĥilm merupakan perpaduan antara pengetahuan mendalam dan kasih sayang. Seorang yang cerdik mampu mengendalikan diri saat marah, padahal ia punya kekuatan dan kesempatan melampiaskan. Kecerdikan membuat seseorang dapat mengelola energi marah (al-quwwah al-ghaďabiyyah) menjadi positif. Sebab pengetahuan yang mendalam dan kasih sayang yang tulus menimbulkan dorongan mental untuk memperbaiki kesalahan.
3.    Al-Unnah, yaitu kehati-hatian. Al-Unnah berarti tidak tergesa-gesa dalam hal memutuskan sesuatu. Ukurannya adalah terpenuhinya perintah “fatabayyanu” dengan melakukan survey, observasi dan sebagainya sesuai konteks.
Sampai di sini jelas penafsiran ayat hukum tidak bisa dilakukan dengan pendekatan yang atomistik (menggunakan satu sudut pandang saja). Bahkan tafsir ayat hukum harus dilakukan dengan pendekatan yang menyeluruh (holistik), dan dilakukan dengan komprehensif. Kesadaran ini hanya muncul jika seseorang mampu bersikap moderat, yaitu mampu memahami tiga realitas (metafisik, metaempirik, dan empirik) dan menempatkan dalam masing-masing dimensinya (dimensi ilahiah dan insaniyah).

C.  Kesimpulan
Berdasar uraian ini dapat disimpulkan bahwa Alquran mengajarkan sikap moderat dalam ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Hal ini menjadi paradigma tafsir ayat hukum dalam kerangka fiqh al-ikhtilāf. Sikap moderat di sini berarti dualisme tapi bukan kontradiksi, sebab dua kutub ekstrim ini berbeda dimensi. Kutub idealisme, teosentrisme, dan teleologisme merupakan dimensi ilahiah, sementara kutub materialisme, antroposentrisme, dan hedonisme adalah dimensi insaniah. Kedua kutub ini tidak kontradiksi jika ditempatkan sesuai dimensinya, namun untuk itu diperlukan kemampuan seorang ahli hikmah (ĥukamā’). Objek materialnya bukan hanya ayat Alquran, tapi juga penafsiran para ulama yang menghasilkan pendapat fikih.
Prinsip dasar tafsir ayat ahkam dalam kerangka fiqh al-ikhtilaf adalah perbedaan sebagai keragaman merupakan sunnatullah (fitrah). Maka perbedaan itu harus dikelola sehingga tetap menimbulkan harmoni. Objek formalnya tafsir ayat ahkam dalam kerangka fiqh al-ikhtilaf adalah cara pandang terhadap perbedaan pendapat sebagai keragaman (al-ikhtilāf al-tanawwu‘). Suatu perbedaan dinyatakan sebagai pertentangan (al-ikhtilāf al-taďadud) jika mengandung kontradiksi, di mana salah satu harus dinyatakan invalid.  
Disarankan agar dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap berbagai perbedaan tafsir ayat hukum. Semakin banyak perbedaan tafsir yang bisa diharmonisasi dengan kerangka teoretik fiqh alikhtilaf, semakin beralasan untuk membenarkan ketepatan kerangka fiqh al-ikhtilāf bagi tafsir ayat hukum.



Daftar Pustaka
Abdul Mustaqim. Aliran-aliran Tafsir. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005.
Ahmad Baidowi, dkk. (penyunting). Rekonstruksi Metodologi Ilmu-ilmu Keislaman. Yogyakarta: SUKA Press, 2003.
Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor. Kamus Kontemporer Arab Indonesia, cet. VIII. Krapyak, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003.
Al-Ba‘albakī, Munīr. Aal-Mawrid; Qāmūs Inklīzī-‘Arabī, edisi keenam. Beirut: Dār al-‘Ilm li al- Malāyīn, 1973.
Al-Barhāmī. Yāsir Ĥusayn Fiqh al-Khilāf bayn al-Muslimīn; Da‘wah ilā ‘Alaqah Afďal bayn al-Ittijāhāt al-Islāmiyyah al-Mu‘āşirah. Kairo: Dār al-‘Aqīdah, 2000.
Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer; Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia, 2002.
Al-Bukhārī, Muĥammad ibn Ismā‘īl Abū ‘Abd Allāh. Al-Jāmi‘al-Şaĥīĥ al-Mukhtaşar, cet. III. Beirut: Dār Ibn Kaŝīr, 1987.
Al-Damanhūrī. Īďāĥ al-Mubham min Ma‘ānī al-Sulam. Semarang: Toha Putra, t.th.
Al-Ghazālī. Mi‘yār al-‘Ilm fī al-Manţiq, tahkik: Sulaymān Dunyā. Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1961.
_________. Qanūn al-Ta‘wīl. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992.
Graib, Ian. Teori-teori Sosial Modern; dari Parsons sampai Habermas, terj. Paul S. Baut, T. Effendi. Jakarta: Rajawali Pers, 1992.
Ibn ‘Āsyūr, Muĥammad al-Ţāhir. Tafsīr al-Taĥrīr wa al-Tanwīr, cet. II. Tunisia: al-Syirkah al-Tūnisiyyah li al-Tawzī‘, 1985.
Ibn Ĥajar. Tuĥfat al-Muĥtāj. t.tp.: al-Maktabah al-Syāmilah, t.th.
Ibn Manźūr. Lisān al-‘Arab, jld. VII. Kairo: Dār al-Hadīŝ, 2003.
Ibn Qudāmah. Al-Mughnī. Kairo: Dār al-Hadīŝ, 2004.
Ibn Rusyd. Bidāyat al-Mujtahid wa Nihāyat al-Muqtaşid. Beirut: Dār al-Kutub al-Islāmiyyah, t.th.
Jan Hendrik Rapar. Pengantar Logika; Asas-asas Penalaran Sistematis. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Al-Jassās, Abū Bakr. Aĥkām al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Fikr, 1993.
Jasser Auda. Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law; A System Approach. London: IIIT, 2007.
Al-Khinn, Muşţafā Sa‘īd. Aŝr al-Ikhtilāf fī al-Qawā‘id al-Uşūliyyah. Beirut: Mū’assasah al-Risālah, 2000.
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, edisi kedua. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Muslim, Muşţafā. Mabāĥiŝ fī al-Tafsīr al-Mawďū‘ī. Damaskus: Dār al-Qalam, 2005.
Moh. Amin Suma. Pengantar Tafsir Ahkam, cet. II. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.
Mohammad Muslih. Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, cet. II. Yogyakarta: Belukar, 2005.
Noeng Muhadjir. Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Axiologi First Order, Second Order & Third Order of Logics, dan Mixing Paradigms Implementasi Methodologik, edisi pengembangan 2011. Yogyakarta: Rake Sarasin, 2011.
Popper, Karl R. The Logic of Scientific Discovery. New York: Science Edition Inc., 1961.
Al-Qaradhawi, Yusuf. Fiqh Perbedaan Pendapat Antar Sesama Muslim, terj. Airur Rofiq Shaleh Tamhid. Jakarta: Robbani Press, 1991.
Al-Qaţţān, Mannā‘. Mabāĥiŝ fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut: Mansyūrāt al-‘Aşr al-Ĥadīŝ, 1973.
Al-Rāzī. Al-Maţālib al-‘Āliyyah. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Arabī, 1987.
Al-Şābūnī, Muĥammad ‘Alī. Al-Tibyān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Kutub al-Islāmiyyah, 2003.
Al-Şalābī, ‘Alī Muĥammad. Al-Wasaţiyyah fī al-Qur’ān al-Karīm. Kairo: Maktabah al-Tābi‘īn, 2001.
Soerjanto Poespowardojo T. M., dan Alexander Seran. Filsafat Ilmu: Hakikat Ilmu Pengetahuan, Kritik terhadap Visi Positivisme Logis, serta Implikasinya. Jakarta: Kompas, 2015.
Al-Suyūţī, Jalāl al-Dīn. al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, cet. III. Beirut: Dār al-Fikr, 1951.
Al-Ţabarī. Tafsīr al-Ţabarī. Beirut: Dār al-Fikr, t.th.
Tatang  M. Amirin. Pokok-pokok Teori Sistem, cet. VIII. Jakarta: Rajawali Pers, 2003.
Tim KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat. Jakarta: Gramedia, 2008.
Tim Penyusun Fakultas Filsafat UGM. Filsafat Ilmu; Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Klaten: Intan Pariwara, 1997.
Al-Zarkasyī. Al-Baĥr al-Muĥīţ, cet. Kairo: Dār al-Kutub, 2005.




[1] Menurut Mustafa Sa‘īd al-Khinn, perbedaan pendapat dalam fikih terjadi karena delapan sebab berikut: 1) perbedaan qiraah pada ayat; 2) tidak menemukan hadis; 3) ragu tentang kekuatan Hadis; 4) berbeda dalam memahami nas dan tafsirnya; 5) homonim (isytirāk) pada lafaz; 6) adanya pertentangan dalil; 7) tidak ditemukan nas pada suatu masalah; 8) perbedaan dalam kaidah uşūliyyah. Muşţafā Sa‘īd al-Khinn, Aŝr al-Ikhtilāf fī al-Qawā‘id al-Uşūliyyah (Beirut: Mū’assasah al-Risālah, 2000), 38, dst.
[2]Al-Rāzī, al-Maţālib al-‘Āliyyah, jld. IX (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Arabī, 1987), 113-118.
[3] Perbedaan internal, berupa faktor di dalam teks itu sendiri, seperti perbedaan qiraah dan adanya lafaz yang bermakna ganda sehingga menimbulkan ambiguitas. Perbedaan eksternal, berupa faktor di luar teks yang mempengaruhi penafsir, seperti kondisi sosio-kultural, politik, dan persinggungan dunia Islam dengan dunia luar. Abdul Mustaqim, Aliran-aliran Tafsir (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), 8.
[4] Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh Perbedaan Pendapat Antar Sesama Muslim, terj. Airur Rofiq Shaleh Tamhid (Jakarta: Robbani Press, 1991), 10.
[5] Ahmad Baidowi, dkk. (penyunting), Rekonstruksi Metodologi Ilmu-ilmu Keislaman (Yogyakarta: SUKA Press, 2003), 22.
[6] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, cet. II (Yogyakarta: Belukar, 2005), 30.
[7] Noeng Muhadjir. Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Axiologi First Order, Second Order & Third Order of Logics, dan Mixing Paradigms Implementasi Methodologik, edisi pengembangan 2011 (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2011), 237.Soerjanto Poespowardojo T. M., dan Alexander Seran. Filsafat Ilmu: Hakikat Ilmu Pengetahuan, Kritik terhadap Visi Positivisme Logis, serta Implikasinya (Jakarta: Kompas, 2015), 89.
[8] Ibn Manźūr, Lisān al-‘Arab, jld. VII (Kairo: Dār al-Hadīŝ, 2003), 101.
[9] Tim KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat (Jakarta: Gramedia, 2008), 1409.
[10] Muĥammad ‘Alī al-Şābūnī, al-Tibyān fī ‘Ulūm al-Qur’an (Beirut: Dār al-Kutub al-Islāmiyyah, 2003), 65.
[11] Ibn Manźūr, Lisān al-‘Arab, jld. I, 279.
[12] ‘Alī al-Şābūnī, al-Tibyān..., 66.
[13] Tim KBBI, Kamus Besar, 1382.
[14] ‘Alī al-Şābūnī, al-Tibyān..., 66.
[15] Mannā‘ al-Qaţţān, Mabāĥiŝ fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirut: Mansyūrāt al-‘Aşr al-Ĥadīŝ, 1973), 326.
[16] Jalāl al-Dīn al-Suyūţī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, cet. III, jld. II (Beirut: Dār al-Fikr, 1951), 173.
[17] ‘Alī al-Şābūnī, al-Tibyān..., 66. Mannā‘ al-Qaţţān, Mabāĥiŝ…, 327.
[18] Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm fī al-Manţiq, tahkik: Sulaymān Dunyā (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1961), 75-77. Menurut al-Ghazālī, ‘ada’ terdiri dari empat wujud secara hirarkis, yaitu: 1) ada secara empirik-sensual (mawjūd fī al-khārij); 2) ada secara metafisik-rasional/metaempirik (mawjūd fī al-ażhān); 3) ada dalam bentuk lafaz (mawjūd fī al-alfāź); 4) ada dalam bentuk tulisan (mawjūd fī al-kitābah).
[19] Al-Zarkasyī, al-Baĥr al-Muĥīţ, cet. III, jld. II (Kairo: Dār al-Kutub, 2005), 46.
[20] Al-Qaţţān, Mabāĥiŝ…, 347.
[21] Al-Qaţţān, Mabāĥiŝ…, 351.
[22] Moh. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, cet. II (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), 30.
[23] UGM, Tim Penyusun Fakultas Filsafat, Filsafat Ilmu; Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, (Klaten: Intan Pariwara, 1997), 13. Objek material adalah sesuatu hal yang dijadikan sasaran pemikiran (gegenstand). Sesuatu hal yang diselidiki, atau sesuatu hal yang dipelajari. Objek material mencakup apa saja, baik hal-hal konkret, misalnya manusia, tumbuhan, dan batu mau pun hal-hal yang abstrak, misalnya ide-ide, nilai-nilai, dan kerohanian.
[24] Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm…, 75-77. Menurut al-Ghazālī, sebagai objek fisis, lafaz (mawjūd fi al-alfāz) menduduki urutan ketiga dalam hirarki mawjūdāt, yaitu setelah ‘ada’ secara empirik-sensual (mawjūd fi al-khārij), ‘ada’ secara metafisik-rasional (mawjūd fi al-adhhān). Adapun tulisan (mawjūd fi al-kitābah) berada pada urutan keempat dalam arti wujud terendah dalam hirarki mawjūdāt. Sebab tulisan menunjuk pada lafaz, lafaz menunjuk pada makna dalam jiwa, dan makna itu semisal dengan objek empirik-sensualnya.
[25] Tim UGM, Filsafat Ilmu…, 13. Objek formal adalah adalah cara memandang atau cara meninjau yang dilakukan oleh seorang peneliti terhadap objek materialnya, serta prinsip-prinsip yang digunakannya. Objek formal suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu, tetapi pada saat yang sama dibedakannya dari bidang-bidang lain. Satu objek material dapat ditinjau dari berbagai sudut pandangan sehingga menimbulkan ilmu yang berbeda-beda.
[26] Muĥammad ibn Ismā‘īl Abū ‘Abd Allāh al-Bukhārī, al-Jāmi‘al-Şaĥīĥ al-Mukhtaşar, cet. III, jld. VI (Beirut: Dār Ibn Kaŝīr, 1987), 2676. Kitāb I‘tişām bi al-Kitāb wa al-Sunnah, bāb ajr al-ĥākim iża ijtahada fa aşaba aw akhţa’a.
[27] Muĥammad al-Ţāhir ibn ‘Āsyūr, Tafsīr al-Taĥrīr wa al-Tanwīr, cet. II, jld. II (Tunisia: al-Syirkah al-Tūnisiyyah li al-Tawzī‘, 1985), 299.
[28] Abū Ĥāmid al-Ghazālī, Qanūn al-Ta‘wīl (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), 21-22.
[29] Karl R. Popper. The Logic of Scientific Discovery (New York: Science Edition Inc., 1961), 15. Menurut Karl R. Popper, tugas epistemologi ialah memberikan analisis logis terhadap metode dan prosedur penelitian, terutama mengenai ilmu-ilmu empirik, untuk menghasilkan apa yang disebut “rekonstruksi rasional” pada tahap yang membawa saintis menemukan kebenaran-kebenaran baru.
[30] Tim KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat (Jakarta: Gramedia, 2008), 924.
[31] Munīr al-Ba‘albakī, al-Mawrid; Qāmūs Inklīzī-‘Arabī, edisi keenam (Beirut: Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn, 1973), 586.
[32] Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, cet. VIII (Krapyak, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003), 1621, 1760.
[33] Ibn Manźūr, Lisān al-‘Arab, 297.
[34] ‘Alī Muĥammad al-Şalābī, al-Wasaţiyyah fī al-Qur’ān al-Karīm (Kairo: Maktabah al-Tābi‘īn, 2001), 38.
[35] Al-Ţabarī, Tafsīr al-Ţabarī, jld. II (Beirut: Dār al-Fikr, t.th.), 6.
[36] Muĥammad al-Ţāhir ibn ‘Āsyūr, Tafsīr al-Taĥrīr wa al-Tanwīr, cet. II, jld. II (Tunisia: al-Syirkah al-Tūnisiyyah li al-Tawzī‘, 1985), 18.
[37] Menurut Noeng Muhadjir, ada dua pendekatan fenomenologi, yaitu fenomenologi induktif dan fenomenologi deduktif. Tokoh sentral fenomenologi induktif adalah Edmunt Husserl, adapun tokoh sentral fenomenologi deduktif adalah Karl R. Popper.
[38] Bertens, K., Filsafat Barat Kontemporer; Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 2002), 72. Karl R. Popper, seorang filsuf asal Austria, lahir tahun 1902, meninggal tanggal 17 September 1994.
[39] Muslih, Filsafat Ilmu…, 76. Paradigma merupakan seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menentukan seseorang dalam bertindak pada kehidupan sehari-hari.
[40] Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, edisi kedua (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), 54. Agama memang mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan, dan sedikit pengetahuan. Agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan melupakan kecerdasan manusia, atau sebaliknya, menganggap pikiran manusia sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan melupakan Tuhan. Jadi sumber pengetahuan itu dua macam, yaitu yang berasal dari Tuhan dan yang berasal dari manusia, dengan kata lain teoantroposentrisme.
[41] Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu…, 51. Antroposentrisme dalam rasionalisme manusia menempati kedudukan yang tinggi. Manusia menjadi pusat kebenaran, etika, kebijaksanaan dan pengetahuan. Manusia adalah pencipta, pelaksana, dan konsumen produk-produk manusia sendiri.
[42] Ian Graib, Teori-teori Sosial Modern; dari Parsons sampai Habermas, terj. Paul S. Baut, T. Effendi, cet. II (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), 91.
[43] Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu…, 96. Teosentrisme, orang yang mengagungkan wahyu sebagai satu-satunya kebenaran.
[44] Al-Ghazālī, Qanūn al-Ta‘wīl, 19.
[45] Al-Qaradhawi, Fiqh Perbedaan Pendapat, 10.
[46] Yāsir Ĥusayn al-Barhāmī, Fiqh al-Khilāf bayn al-Muslimīn; Da‘wah ilā ‘Alaqah Afďal bayn al-Ittijāhāt al-Islāmiyyah al-Mu‘āşirah (Kairo: Dār al-‘Aqīdah, 2000), 12. Ikhtilāf sebagai keragaman (ikhtilāf al-tanawwu‘) berarti pendapat yang satu tidak berlawanan dengan pendapat yang lain, bahkan semua pendapat itu benar. Misalnya perbedaan dalam hal qira’ah pada beberapa ayat.
[47] Al-Barhāmī, Fiqh al-Khilāf..., 19. Ikhtilāf sebagai pertentangan (ikhtilāf al-taďādud) berarti semua pendapat berbeda saling bertentangan satu dengan lainnya, dan salah satunya harus dinyatakan valid atau invalid.  
[48] Jan Hendrik Rapar. Pengantar Logika; Asas-asas Penalaran Sistematis (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 18.  Tiga yang pertama dirumuskan oleh Aristoteles (382-322 SM), sedangkan yang keempat dirumuskan oleh Gottfried Wilhelm Leibniz (1645-1716 M).
[49] Al-Damanhūrī, Īďāĥ al-Mubham min Ma‘ānī al-Sulam (Semarang: Toha Putra, t.th.), 6. Taşawwur adalah berpikir untuk mengetahui hakikat satu objek tertentu, tujuannya untuk mendefinisikan objek tersebut.
[50] Al-Damanhūrī, Īďāĥ al-Mubham, 8. Ta‘rīf adalah penjelasan (al-qawl al-syāriĥ) yang menjadi sarana untuk memperkenalkan satu objek tertentu.
[51] Al-Damanhūrī, Īďāĥ al-Mubham, 6. Taşdīq adalah pemikiran dalam rangka menautkan hubungan antara subjek dengan prediket.
[52] Al-Qaradhawi, Fiqh Perbedaan Pendapat…, 213, dst.
[53] Muşţafā Muslim, Mabāĥiŝ fī al-Tafsīr al-Mawďū‘ī (Damaskus: Dār al-Qalam, 2005), 16. Tafsir tematik (tafsīr mawďū‘ī) tergolong ilmu baru, ia muncul dalam abad ke empat belas Hijriyyah. Para ulama menyatakan bahwa ilmu Tafsīr Mawďū‘ī adalah ilmu yang mencakup berbagai topik sesuai dengan maksud Alquran dalam berbagai surat.
[54] Tim Redaksi. Kamus Besar..., 1482.
[55] Muşţafā Muslim, Mabāĥiŝ..., 37-38.
[56] Jasser Auda. Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law; A System Approach (London: IIIT, 2007), 33. Systems analysis is based on the definition of system itself, i.e., the analiyst assumes that the analysed entity is ‘a system.’
[57] Tatang M. Amirin. Pokok-pokok Teori Sistem, cet. VIII (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), 7.
[58] Ibn Ĥajar, Tuĥfat al-Muĥtāj, jld. 36, (t.tp.: al-Maktabah al-Syāmilah, t.th.), 347.
[59] Ibn Qudāmah, al-Mughnī, jld. XI (Kairo: Dār al-Hadīth, 2004), 303
[60] Al-Jassās, Abū Bakr, Aĥkām al-Qur’ān, jld. I (Beirut: Dār al-Fikr, 1993), 188.
[61] Ibn Rusyd, Bidāyat al-Mujtahid wa Nihāyat al-Muqtaşid, jld. II (Beirut: Dār al-Kutub al-Islāmiyyah, t.th.), 299.
[62] Menurut Tafsir Jalālayn, kata al-ĥikmah di sini dapat dipahami sebagai ilmu bermanfaat yang mengantar pada amalan. Demikian pula menurut tafsir al-Taĥrīr wa al-Tanwīr, al-ĥikmah adalah ilmu yang kokoh dan perbuatan dijalankan berdasar ilmu tersebut. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

QURBAN: ISHAK, ATAU ISMAIL? (Penafsiran Ayat 100-103 Surat al-Shaffat)

Kumpulan Kaidah Fiqhiyah

Demi Jiwa (Penafsiran Ayat 7-10 Surat al-Syams)

Ayat-ayat Setan (Satanic Verses): Penafsiran Ayat 52 Surat al-Hajj

Bekas di Dahi (Penafsiran Ayat 29 Surat al-Fath)

Hubungan Teori Sistem dengan Pendekatan Holistik dalam Ijtihad Kontemporer

Pengertian Kaidah Fiqhiyah

Nuzulul Quran Penafsiran Ayat 185 Surat al-Baqarah

Kumpulan Kaidah Maqasidiyah

Kembali ke Fitrah: Tafsir ayat 30 Surah al-Rum