Ketrampilan di Dayah: Sebuah Studi dengan Pendekatan Sejarah
Tulisan ini
dipresentasikan pada acara Workshop Pengelolaan
Lifeskill bagi Guru Pondok Pesantren di Oasis Hotel, Kamis 12 September 2013. Diselenggarakan
oleh Kanwil Kemenag Prov. Aceh.
A.
Pendahuluan
Kata history (Ing.) adalah kalimat
serapan dari bahasa Yunani yang artinya belajar dengan bertanya-tanya.
Historisitas bermakna ke-sejarah-an atau secara kesejarahan, atau sudut pandang
sejarah. Kata sejarah dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab yaitu
kata syajarah yang berarti pohon, dan juga berarti keturunan atau asal
usul.[1] Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia kata sejarah diartikan sebagai: 1) asal-usul
(keturunan) silsilah; 2) kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada
masa lampau; dan 3) pengetahuan atau uraian tentang perisiwa dan kejadian yang
benar-benar terjadi di masa lampau.[2]
Membicarakan masa lampau tentunya tidak bisa
lepas dari kesahihan sumber data. Untuk konteks Indonesia (khususnya Aceh), selain
sumber asing, data sejarah juga dapat diakses dari bahan lokal seperti hikayat.[3] Menurut
Amirul Hadi, perlu dilakukan verifikasi timbal-balik antara sumber lokal (indigenous
works) dengan sumber asing.[4] Oleh
karena itu, makalah ini akan mempergunakan kedua sumber itu secara terpadu/integratif
agar diperoleh data yang akurat sebagai dasar melakukan analisis.
Melihat sejarah sebagai kejadian masa lampau
tentu takkan berguna tanpa adanya relevansi dengan masa sekarang dan masa
depan. Dari itu, Menurut Kuntowijoyo, sejarah adalah ilmu, bukan mitologi. Sejarah
juga merupakan bentuk kejiwaan dengan apa sebuah kebudayaan menilai masa
lalunya.[5]
Sebagai sebuah disiplin ilmu, meskipun sejarah tidak memiliki suatu metodologi
khusus tapi ia memiliki suatu metodenya sendiri. Dari landasan utamanya, metode
sejarah adalah bagaimana kita menangani bukti-bukti sejarah dan bagaimana meng-hubungkannya.[6] Maka
sejarah akan mengantarkan pada sebuah peradaban, di mana peradaban adalah
gabungan dari spirit dan moueurs, yaitu semangat dan sikap, serta cara-cara
yang menuntun kehidupan sosial dan perilaku masyarakat.[7]
Pernyataan di atas merupakan landasan teoritis
bagi tulisan kecil yang memakai pendekatan sejarah ini. Hal ini diperlukan
untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang diteliti. Landasan teoritis
ini juga berguna untuk melihat ukuran atau kriteria yang dapat dijadikan dasar
pembuktian. Dari itu
perlu dilakukan penggalian data sejarah secara objektif dengan memadukan sumber
lokal dan sumber asing. Setelah itu baru dilakukan analisis dengan menggunakan
metode analisis intertekstualitas.[8] Mengingat
panjangnya rentang masa yang akan dikaji, maka untuk memudahkan kajian, penulis
menawarkan periodisasi berikut:
1.
Periode kegemilangan (masa
kesultanan)
2.
Periode kemunduran (masa
perang kolonial Belanda dan Jepang)
3.
Periode transisi (masa
kemerdekaan sampai meletusnya peristiwa DI/TII)
4. Periode kebangkitan (setelah DI/TII sampai munculnya dayah-dayah
cabang Labuhan Haji).
B.
Lifeskill dalam
Lintas Sejarah Dayah Aceh
Dayah adalah lembaga
pendidikan yang eksistensinya dianggap sebagai kesinambungan dari tradisi Aceh
masa lalu. Setidaknya hal ini bisa dilacak dari kata zawiyyah (Arab,
dalam dialek Aceh: dayah) yang telah digunakan sejak masa Sultan
Iskandar Muda (1607-1636 M) dalam Undang-undang Kesultanan Aceh.[9] Dalam
hal ini, peran ulama sebagai pribadi dan dayah secara kelembagaan tidak
bisa dipisahkan. Maka data yang meriwayatkan peran seorang ulama juga dapat
dianggap sebagai peran dayah itu sendiri.
Pada masa itu para ulama
(terutama teungku chik) adalah satu-satunya korps teknokrat Aceh. Karena
itu tidaklah mengherankan manakala Sultan dan rakyat memohon nasehat dan
pertimbangan mereka hampir dalam segala aspek kehidupan. Mulai dari susunan
kampung, bentuk rumah, tata pergaulan, cara mencari nafkah, perkawinan,
kelahiran, perceraian, kematian, turun ke sawah, penyesuaian musim, membuka
areal persawahan atau perkebunan baru, pem-bangunan irigasi dan saluran air,
kenduri selamatan, doa dan restu sampai pada urusan perhubungan (jalan) di
dalam kampung. Semua ini ditanyakan kepada ulama, dan sering dilaksanakan di
bawah pimpinan mereka.[10]
Asumsi di atas dapat dibenarkan
secara logis, tapi tidak secara empiris. Sebab tidak ditemukan data tentang
kurikulum pendidikan dayah di masa lalu sehingga sulit dilakukan penelitian.
Namun tentang berbagai keahlian khusus para ulama pimpinan dayah dapat
dibuktikan dari artefak dan manuskrip yang masih tersisa. Dari itu banyak penulis
berasumsi, bahwa lembaga pendidikan di Aceh juga mengajarkan berbagai
ketrampilan, seperti kerajinan pandai besi dan lain-lain yang dibutuhkan dalam
kehidupan sehari-hari. Agaknya kerajinan menenun kain sarung Aceh (Pek
teupeun) dan pandai besi termasuk hasil belajar pada waktu itu yang
diwariskan secara turun temurun.[11]
Adapun dari berbagai manuskrip
yang masih bisa dirujuk sampai sekarang, diyakini dayah juga mengajarkan
bidang ilmu pengetahuan tertentu sesuai dengan keahlian teungku chik. Di
antara mereka ada yang ahli dalam ilmu falak, yang lainnya menonjol dalam ilmu
hisab, ada lagi yang pintar dalam ilmu tibb
(kedokteran). Di samping itu, ada juga teungku chik yang cakap dalam ilmu
bangunan, pertanian, irigasi dan lain-lain. Untuk memperdalam vak-vak khusus
itu, sebagian teungku di balee belajar kepada teungku chik.
Dan para teungku chik, pada umumnya, memperoleh keahliannya itu
di luar negeri seperti di Mekah, Mesir, Turki, India dan negara-negara lainnya.[12] Hal
ini perlu diperdetil dengan membandingkannya berdasar berbagai periode yang
dikemukakan di atas.
a. Periode kegemilangan (masa kesultanan)
Masa kesultaan dapat dianggap
masa kegemilangan dayah, sebab capaian teknologi kala itu dapat
dinyatakan sebagai hasil pendidikan dayah. Rentang waktu periode ini
dapat ditarik dari masa Kesultanan Samudera/Pasai sampai berakhirnya perang
Aceh melawan kolonial Belanda. Hal ini karena ketersediaan sumber asing yang
saling menjelaskan dengan sumber lokal (antara lain Kronika Pasai). Maka berikut
ini dikemukakan beberapa fakta sejarah tentang kemajuan teknologi di masa kesultanan.
Hal ini dipilah dalam dua kategori, yaitu keahlian (skill) yang
dikembangkan secara masal, dan keahlian khusus.
1. Keahlian yang berkembang secara umum
Ibn Battutah (1304-1369 M)[13]
yang sempat tinggal selama lima belas hari di Pasai, bercerita tentang dirinya
yang diberikan pakaian yang terbuat dari sutera asli. Ia juga menyaksikan saat
Sultan mengendarai gajah menuju masjid untuk salat Jumat dengan diiringi oleh
pengawal berkuda.[14]
Kesaksian ini menjadi indikator, bahwa sejak masa Kesultanan Samudera/Pasai,
produksi kain sutera telah digalakkan secara masal sehingga dapat dijadikan
komoditas yang diekspor ke luar negeri. Demikian pula halnya dengan budidaya
ulat sutera, sebab tidak mungkin tersedia material yang cukup jika tidak ada
budidaya secara massif.
Mengenai nilai dan mutu produk
sutera Pasai ini bisa ditakar dari daya tarik yang diperlihatkan oleh
Albuquerque (Portugis). Dengan mengutip Anthony Reid, Amirul Hadi menulis:[15]
Albuquerque
banyak mempelajari mengenai sutera Pasai ketika ia dalam perjalanan untuk
menaklukkan Melaka di tahun 1511. Ia memerintahkan seorang tangan kanannya yang
berasal dari Genoa, bernama Giovanni da Empoli, untuk kembali dari India dan melakukan
negosiasi mengenai suplai sutera yang mampu diproduksi oleh Pasai. Empoli
diberitahu oleh Raja bahwa untuk itu Portugis harus membayar seratus ribu
ducat.
Jenis keterampilan lain yang juga dikembangkan di Aceh masa kesultanan
dapat dilihat dari laporan perjalanan Augustin De Beaulieu (Perancis).[16] Ia
mengabarkan bahwa di Aceh seni kerajinan yang berhubungan dengan pertukang-an
sangat dihargai. Di kota tersebut banyak terdapat tukang besi yang pandai
membuat bermacam-macam alat dari besi, tukang kayu yang ahli membuat kapal dan
perahu dari kayu dan juga tukang penuang tembaga yang mahir. Raja sendiri mempunyai 300 pandai besi di
istananya.[17]
Kesaksian yang lain dapat dilihat
dari Ibrāhīm ibn Muhammad,[18]
ia melihat pulau Aceh dipenuhi tambang emas yang tidak digali. Ia menyatakan:[19]
Sudah
menjadi kebiasaan penduduk asli untuk mengayak pasir di sepanjang pinggiran
sungai setelah banjir surut. Mereka menemukan banyak butiran kecil emas dan
potongan-potongan emas sebesar biji buncis atau kacang polong. Butiran-butiran
kecil yang mereka temukan di dalam atau di dekat sungai tidak semuanya
dihitung, tetapi sepersepuluh dari semua gumpalan emas yang berukuran lebih
besar menjadi harta raja. Sembilan persepuluh sisanya menjadi milik siapa pun
yang menemukan emas tersebut.
Selain keterampilan di atas,
teknologi pelayaran juga cukup berkembang di Aceh. Sumber asing mengisahkan
bahwa sebuah kapal jong milik Kesultanan Pasai diserang oleh Portugis,
butuh waktu dua hari dua malam baru dapat ditundukkan. Amirul Hadi mengutip
penjelasan Gaspar Correra berikut ini:[20]
Ketika
melihat bahwa kapal jong hendak melakukan penyerangan, Gubernur
(Albuquerque) mendekatinya dengan semua kapal-kapal perangnya. Kapal-kapal
perangnya mulai menembaki jong tersebut, namun semua tembakan tidak
sedikitpun mengenainya, dan ia terus melaju… Kapal-kapal Portugis selanjutnya
menembaki tiang-tiang layarnya… dan ia segera menurunkan layar. Karena ia
tingggi… orang-orang kita (Portugis) tidak berani menyerang dan menaikinya dan
tembakan yang kita lakukanpun juga tidak sama sekali mengenai sasaran, karena
ia memiliki pinggiran yang berlapis empat, dan meriam kita yang terbesar tidak
melakukan tembakan lebih dari dua kali… Melihat kenyataan ini, Gubernur
memerintahkan nau(?)nya untuk mengelilingi kapal tersebut. Ini adalah
Flor de La Mar, yang memiliki sistem pertahanan bagus.
Teknologi pelayaran juga diteruskan oleh Kesultanan Aceh Darussalam.
Augustin De Beaulieu melaporkan sebagai berikut:[21]
Raja Aceh lebih kuat dibandingkan
tetangga-tetangganya di daerah pesisir. Ia memiliki sekitar 100 kapal, sebagian
ditempatkan di Aceh dan sebagian lagi di Daya dan Pedir, dan semuanya siap
digunakan. Sepetiga dari kapal-kapal tersebut berukuran jauh lebih besar
daripada kapal-kapal yang dibangun di negara-negara Kristen. Saya pernah
melihat luas salah satu kapal ini, berukuran medium dengan panjang sekitar 120
kaki (kurang-lebih 36,6 meter).
Dapat dianalisa, seratusan kapal tentu menuntut ratusan ahli navigasi dan
pelayaran yang tidak bisa dihasilkan secara ototidak saja. Oleh karena itu
banyak penulis menganalisis, bahwa keterampilan seperti itu pastilah dihasilkan
lewat pendidikan yang sistematis.[22]
Sedangkan satu-satunya lembaga pendidikan di masa kesultanan adalah dayah.
2. Keahlian khusus
Teknologi persenjataan perang juga termasuk bagian yang mendapat perhatian
serius di Aceh, tentunya ditangani oleh tenaga ahli khusus. Persenjataan
artileri Aceh dikembangkan dengan melakukan kerjasama internasional. Maka ia juga
berkaitan erat dengan keahlian khusus diplomasi kalangan terdidik di Aceh kala
itu. Hal ini sudah dilakukan semenjak Kesultanan Pasai di masa Sultan Mālik al-Sālih.[23] Pada
tahun 1282 M, Pasai telah mengirim dua dutanya ke Cina yang diidentifikasi bernama
Sulaymān dan Syams al-Dīn. Amirul Hadi menjelaskan sebagai berikut:[24]
Pasai dan Cina saling menukar cinderamata yang
dibawa oleh duta masing-masing, seperti yang terjadipada masa pemerintahan
Cheng-Tsu (1403-1424 M). Laksamana Cina yang tersohor, Cheng Ho, pernah diutus
ke Pasai sebanyak tiga kali, yaitu pada tahun 1405, 1414, dan 1430, sementara
Pasai pernah mengirim dutanya ke Cina dengan membawa berbagai hadiah dan
cinderamata pada tahun 1426, 1433, dan 1434.
Hubungan diplomasi juga dilakukan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa
Sultan ‘Alā’ al-Dīn Ri‘ayat Syāh (w 1571 M), antara lain ke Belanda. Delegasi
dipimpin oleh Teungku Abdul Hamid, wafat di Belanda, 10 Agustus 1602 M. Beliau
dimakamkan di dalam Gereja Saint Peter, di Middleburg, sesuai upacara pemakaman
orang besar yang berlaku di Belanda.[25] Mengenai
kunjungan bangsa lain, sebagai contoh, Hikayat Aceh mencatat kedatangan tamu
dari Turki:
Takdir Allah subhanahu wata'ala
berapa lama mereka itu didalam laut maka / sampailah mereka itu kenegeri Dar
as-Salam. Maka berlabuh kapal itu antara makam Tukul berbetulan dengan pulau
Aberama. Maka pada ésok harinja maka tengga(h)lah kedua tjelebi itu dengan
segala Rumi jang sertanja itu. Maka duduklah mereka itu di Bandar Ma'mur
seperti 'adat kelakuan segala sjaudagar. Kata jang bertjeritera: bahwa tatkala
Agha Jakut Istambul dating ke Atjéh Dar as-Salam itu seri sultan Perkasa 'Alam
berangkat mengalahkan negeri Deli. Maka berapa lama Agha Jakut di Atjéh maka
setemi dari Delipun datang mengatakan Deli sudah alah. Dan berapa lamanja maka
sultan Perkasa 'Alampun berangkat kembali ke Atjéh. Maka kemudian dari itu
daripada berapa hari maka Jakut Istambul dan kedua Rumi itupun musta'idkan
segala persembahannja* daripada segala benda jang mulia dan daripada permata
benda jang mulia.[26]
Menurut Bustān al-Salātin (Nūr al-Dīn al-Raniry [w 1069
H/1658 M]), Sultan ‘Alā’ al-Dīn Ri‘ayat Syāh (w 1571 M) berinisiatif membangun
hubungan diplomatik dengan Turki dalam rangka pengembangan kekuatan militer.[27]
Ia-lah yang meng-‘adat-kan segala isti‘adat
kerajaan Aceh Dār al-Salām dan menyuroh utusan kepada Sultan Rūm, ke negeri
Istambul, kerana menegohkan agama Islam. Maka di-kirim Sultan Rūm daripada
jenis utus dan pandai yang tahu menuang bedil. Maka pada zaman itu-lah di tuang
orang meriam yang besar-besar.
Bagian penting lainnya dari
angkatan perang Aceh adalah gajah. Usaha pelatihan gajah yang telah dilakukan
di Kesultanan Pasai terus berlanjut di masa Kesultanan Aceh Darussalam. Peter
Mundy[28]
mencatat bahwa pusat pelatihan gajah di Aceh Darussalam adalah yang terbesar dibanding
daerah lain, misalnya India. Ukuran gajahnya ada yang mencapai tinggi 3,5 m
sampai 3,9 m.[29]
Selain itu, menurut Baihaqi A.K.,
para ulama Aceh masa kesultanan memiliki keahlian khusus yang beragam. Misalnya
dalam bidang pertanian dan irigasi, Teungku Chik di Pasi, membangun irigasi yang
dikenal masyarakat sebagai “Lueng Bintang,” sepanjang 40 kilometer.
Berikutnya Teungku Chik di Bambi: irigasi “Lueng Guda Agam,” 40
kilometer. Teungku Chik di Trungcampli: irigasi “Lueng Trungcampli,” 45
kilometer. Teungku Chik di Ribee: irigasi “Lueng Ribee,” 35
kilometer. Dengan irigasi dan lueng itu areal persawahan rakyat yang
luas di Pidie mendapat pengairan yang cukup.[30]
Hal lain yang tidak boleh
diabaikan adalah tradisi menulis dan menyalin. Teungku Chik di Kutakarang (Aceh
Besar) mempunyai keahlian khusus dalam ilmu kesehatan (tibb). Teungku
Chik di Tanoh Abee dan Teungku Haji Hasan Krueng Kalee dikabarkan mempunyai
keahlian dalam bidang Ilmu Falak dan Ilmu Hisab.[31] Ulama
yang disebutkan di atas hanya contoh kecil dari keseriusan para ulama di Aceh
dalam pelestarian ilmu lewat tulisan. Hal ini bisa disaksikan sampai sekarang
pada koleksi naskah Dayah Tanoh Abe.[32]
b. Periode kemunduran (perang Belanda dan Jepang)
Masa perang[33] melawan kolonialis Belanda dapat dinyatakan
sebagai masa kemunduran bagi dayah. Para ulama pemimpin dayah bersama para muridnya turun ke medan pertempuran,
akibatnya dayah-dayah dibakar musnah karena dianggap pusat pelatihan perang.
Dalam kondisi perang proses belajar mengajar dijalankan seadanya dan terbatas dalam hal fard ‘ayn saja.
Setelah Belanda menguasai sebagian besar wilayah Aceh,
para ulama masih tetap melancarkan perang gerilya. Namun
pertimbangan menjadi berbeda ketika Sultan Muhammad Dāwd Syāh, Panglima Polem dan pejabat kerajaan
lainnya ditangkap oleh Belanda di tahun 1903. Pada bulan Agustus 1909, Tuanku Mahmud, Tuanku Raja
Keumala, dan T. Panglima Polem mengajak para ulama turun gunung. Kondisi yang semakin sulit sudah cukup
menjadi alasan untuk taslīm kepada Belanda. Alasannya, perlawanan sudah
tidak mungkin dilakukan lagi, sedangkan Belanda tidak melarang penerapan agama Islam.[34] Pada
masa ini sebagian ulama meneruskan perlawanan, dan sebagian turun demi terpenuhinya kebutuhan pendidikan bagi
anak-anak Aceh.
Sungguhpun perang melawan Belanda
belum dapat dikatakan berakhir, para ulama dengan segera mendirikan dayah.
Namun sayang para Teungku chik yang memiliki keahlian khusus telah syahid
dalam perang. Maka kekurangan tenaga ilmiah dan guru sangat terasa.[35] Hal lain
yang memilukan adalah kenyataan bahwa pihak Belanda menjanjikan kebebasan bagi mereka
yang menyerah, dan dibolehkan mengajar kembali. Tetapi pihak Belanda membuat batasan tentang mata pelajaran yang boleh diajarkan.[36] Akibatnya,
dayah menjadi tidak setaraf dengan sebelum perang. Pendidikan
ketrampilan telah lenyap seiring syahid-nya ulama yang memiliki keahlian
khusus. Kontak antara ulama di satu daerah (afdeeling) dengan daerah
lain pun terputus akibat politik pecah belah Belanda sehingga mereka “buta” dengan
perkembangan suasana dan mudah diperalat.[37]
Para ulama yang di masa
kesultanan berpengaruh dalam bidang politik dan kebijakan pemerintah, kini
terkurung di dayah. Bahkah peran ulama yang sangat kuat di masyarakat kala
masih berperang, kini kian menyempit. Menurut Ibrahim Alfian, elit agama
terpecah dalam tiga kelompok: 1) mereka yang duduk sebagai qadi (hakim
agama) dalam pemerintahan uleebalang yang telah mengakui kedaulatan
Belanda. Artinya mereka masuk dalam struktur pemerintahan Belanda; 2) Ulama
yang menarik diri dari saf perang, tapi tidak bergabung dalam struktur
pemerintahan Belanda. Mereka fokus mengajar dengan segala keterbatasan yang
diberlakukan Belanda terhadap dayah; 3) Ulama yang terus berjihad.[38]
Para ulama yang fokus mengajar
juga menghadapi kesulitan lain, yaitu tidak adanya Dayah Teungku Chik
sebagai lanjutan (strata dayah). Hal ini berbanding terbalik dengan dayah
masa lalu yang memiliki jenjang rangkang, bale, dan dayah manyang.[39]
Dari itu dapat disimpulkan bahwa dayah mengalami perubahan dari tiga aspek: 1)
perubahan strata kependidikan; 2) perubahan kurikulum; 3) perubahan visi-misi. Dalam
kondisi seperti ini, dayah berjuang menghadapi gencarnya pengembangan
sekolah umum oleh Belanda.[40]
c. Periode transisi (masa kemerdekaan sampai DI/TII)
Masa ini penulis lihat sebagai
masa transisi bagi dayah dalam artian tradisional. Sebab pada masa ini
terjadi tolak-tarik antara tradisionalis dengan modernis yang ditandai dengan
lahirnya madrasah.[41]
Mahmud Yunus mencatat Madrasah Sa‘adah Abadiyah (didirikan oleh Abu Beureu’eh
pada tahun 1930) sebagai madrasah pertama.[42]
Secara umum, kurikulum dayah
tradisional tidak mengalami perubahan dari kurikulum masa perang, namun terjadi
perbedaan orientasi. Umpamanya murid-murid Teungku Haji Muda Wali dari dayah
Darussalam, Labuhan Haji, Aceh Selatan, setelah kurang lebih 10 tahun
Indonesia merdeka mendirikan dayah-dayah yang sebagian besarnya
berorientasi kepada Perti.[43] Hal
ini berbeda dengan madrasah yang berorientasi pada modernisasi.
Perbedaan orientasi berakibat
langsung bagi output yang dihasilkan. Sebagian besar alumni madrasah menjadi
pemimpin perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Aceh. Dan,
selanjutnya, menduduki posisi-posisi penting dalam pemerintahan, baik sipil
maupun militer. Sebagian besar mereka ini, menurut anggapan masyarakat Aceh,
terhitung ulama. Pandangan sebaliknya, mungkin dari sebagian kalangan dayah tradisionil,
menganggap bahwa yang sesungguhnya ulama adalah keluaran dayah saja.[44]
Perlu dicatat bahwa para ulama
kalangan madrasah juga alumni dayah tradisional, namun pola pemikiran
mereka beraliran moderat.[45]
Adanya dua aliran ini menjadikan peran dayah tradisional terbatas
sehingga tidak berkesempatan berkiprah di pemerintahan. Hal lain yang tidak
memberi kemajuan bagi peran dayah tradisional adalah kurangnya kesadaran bagi
misi bersama. Menurut Bayhaqi AK, Hubungan antar ulama dayah, tidak
erat, jika tidak dapat dikatakan masing-masingnya berdiri sendiri.[46]
d. Periode kebangkitan kembali
Kurikulum dayah tradisional baru mengalami pembaharuan
setelah berakhir pemberontakan DI/TII. Yaitu setelah anak para tokoh agama di
berbagai daerah kembali ke kampung halamannya setelah meudagang di Dayah
Darussalam Labuhan Haji yang dipimpin oleh Abuya Muda Wali. Menurut Muhibuddin
Waly, pembaharuan dilakukan Abuya Muda Waly dengan menambahkan beberapa cabang
ilmu, antara lain ilmu balāghah, ilmu ma‘ānī, ilmu bayān,
ilmu badī‘, ilmu usūl
al-fiqh, mustalah
al-hadīth,
ilmu tafsīr, ilmu mantiq, ilmu ‘arūd, dan
tasawuf.[47]
Momen berkembangnya dayah-dayah alumni Labuhan Haji dapat
dikatakan sebagai periode kebangkitan kembali dayah.
Awal masa kebangkitan dayah masih fokus pada
pembenahan internal, belum mengembangkan kebutuhan praksis seperti pendidikan
ketrampilan. Sebagai alumni dayah, penulis menyaksikan sendiri penolakan
terhadap tambahan kurikulum pendidikan ketrampilan di tahun 90-an. Memasuki
milenium ketiga (awal tahun 2000), dayah telah membuka diri. Indikatornya dapat
ditunjukkan dengan hadirnya STAI al-Aziziyah di dayah LPI MUDI Mesra pada tahun
2003.
C.
Penutup
Menutup pembahasan ini penulis ingin menegaskan pentingnya
visi[48] dayah
dibicarakan kembali sebagai kesadaran kolektif.[49] Teungku
Ibrahim Ishak (Abu BUDI, Lamno) mengatakan, bahwa tujuan pendidikan dayah ialah
membina ulama. Berapa banyak yang mungkin akan berhasil tidaklah menjadi
masalah atau beban pikiran. Dayah, menurutnya, secara minimal berusaha mendidik
manusia agar gemar mengamalkan agama sekurang-kurangnya untuk dirinya sendiri
dan secara maksimal berilmu agama yang tinggi, maka beramal dan mengajarkannya
kepada orang lain.[50]
Pandangan di atas merupakan visi ideal dayah. Namun
kita tidak bisa menutup mata pada realitas, bahwa tidak semua santri potensial
untuk mencapai taraf ideal itu. Ditambah lagi dengan kenyataan banyaknya santri
yang putus di tengah jalan. Lalu bagaimana dayah menyikapinya?
Daftar Pustaka
Abdul Jalil, Tuanku, Adat
Meukuta Alam. Banda Aceh: PDIA, 1991.
Amirul Hadi. Respons Islam
terhadap Hegemoni Barat: Aceh vs Portugis 1500-1579. Banda Aceh: Balai
Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2006.
Bertens, K. Filsafat Barat
Abad XX; Jilid II Perancis. Jakarta: Gramedia, 1985.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat. Jakarta, Gramedia, 2008.
Depdiknas. Sejarah Pendidikan Daerah
Istimewa Aceh. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1984.
Gade Ismail, Muhammad. Pasai dalam
Perjalanan Sejarah : Abad Ke-13 Sampai Awal Abad Ke-16. Jakarta: Depdikbud,
1993.
Hasbi Amiruddin. Ulama
Dayah; Pengawal Agama Masyarakat Aceh, cet. II. Lhokseumawe: Nadiya
Foundation, 2007.
Hasjmy, A. Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh. Jakarta: Bulan Bintang: 1978.
Ibrahim Alfian. Perang di Jalan Allah. Jakarta: Sinar Harapan,
1987.
Ibrahim Alfian. Wajah Aceh
dalam Lintasan Sejarah. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh,
2004.
Iskandar, Teuku. De Hikajat
Atjéh. Belanda: 'S-GRAVENHAGE-MARTINUS NIJHOFF, 1958.
Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.
Mahmud Yunus. Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung, 1993.
Muhibuddin Waly. Maulana
Teungku Syeikh Haji Muhammad Waly al-Khalidy; Ulama Besar Aceh dan Perannya
dalam Pembangunan Pendidikan. Jakarta: Intermasa, 1997.
Muin Umar, H. A. Historiografi
Islam. Jakarta: Rajawali Press, 1988.
Oman Fathurrahman, Katalog
Naskah Dayah Tanoh Abee Aceh Besar. Jakarta: Komunitas Bambu, 2010.
Reid,Anthony. Sumatera Tempo Doeloe: dari
Marco Polo sampai Tan Malaka. Jakarta: Komunitas Bambu, 2010.
Taufik Abdullah (ed.). Agama dan Perubahan
Sosial. Jakarta: Rajawali Pres, bekerjasama dengan Yayasan Ilmu Ilmu Sosial
[YIIS] 1983.
Van Langen, KFH., Susunan
Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan, alih bahasa: Aboe Bakar. Banda Aceh:
Pusat Dokumentasi dan Informasi, 1997.
William, H. Frederick dan Soeri Soeroto
(Penyunting). Pemahaman Sejarah Indonesia, cet. 3. Jakarta: LP3ES, 1991.
[1] William,
H. Frederick dan Soeri Soeroto (Penyunting). Pemahaman Sejarah Indonesia,
cet. 3 (Jakarta: LP3ES, 1991), hlm. 1.
[2] Departemen Pendidikan Nasional. Kamus
Besar Bahasa Indonesia,
edisi keempat (Jakarta,
Gramedia, 2008), hlm. 1241.
[3]
H. A. Muin Umar. Historiografi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1988),
hlm. 185. Muin Umar mencontohkan karya HAMKA yang mempergunakan Hikayat
Raja-raja Pasai sebagai salah satu sumber sejarah Indonesia.
[4]
Amirul Hadi. Respons Islam terhadap Hegemoni Barat: Aceh vs Portugis
1500-1579 (Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2006),
hlm. 14.
[8]
Menurut Jaques Derrida, tidak ada sesuatu yang di luar teks. Jika fenomenologi
dulu asyik berbicara tentang intersubjektivitas, maka Derrida sekarang
berbicara tentang inter-tekstualitas, karena suatu teks tidak pernah terisolir,
tetapi selalu berkaitan dengan teks-teks lain. K. Bertens. Filsafat Barat
Abad XX; Jilid II Perancis (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 496.
[9]
Pada pasal 7 tentang jabatan dan tugas/kewajiban Hulubalang, antara lain
membuat jalan, masjid, zawiyyah, dan madrasah. Van Langen, KFH., Susunan
Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan, alih bahasa: Aboe Bakar (Banda Aceh:
Pusat Dokumentasi dan Informasi, 1997), hlm. 75. Abdul Jalil, Tuanku, Adat
Meukuta Alam (Banda Aceh: PDIA, 1991), hlm. 11.
[10] Taufik
Abdullah (ed.). Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: Rajawali,
bekerjasama dengan Yayasan Ilmu Ilmu Sosial [YIIS] 1983), hlm.186.
[11]
Depdiknas. Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Aceh
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1984), hlm. 11.
[12] Taufik.
Agama dan Perubahan Sosial, hlm. 161.
[13]
Nama lengkapnya Muhammad
ibn ‘Abd Allāh ibn Batūtah (1304-1369 M), berasal dari Tangier, Maroko. Ia
memulai pengembaraan pada tahun 1324 M, yaitu menuntut ilmu ke Mekah. Setelah
beberapa tahun di Mekah, Ibn Batutah mengembara ke Delhi, India, tinggal selama
tujuh tahun dan sempat menjabat sebagai qadhi mazhab Mālikī. Pada tahun 1342 M,
ia berlayar menuju Mongol, Cina tapi gagal mencapainya. Lalu ia berkelana ke
Malabar (Kerala), Maladewa, Srilanka dan Beggala. Sekitar tahun 1345 M, ia
berlayar ke Samudera/Pasai.
[14] Anthony
Reid, Sumatera Tempo Doeloe: dari Marco Polo sampai Tan Malaka,
(Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), hlm. 14.
[15]
Amirul Hadi. Respons Islam…, hlm. 30.
[16]
Pada tahun 1619 M, Augustin De Beaulieu memimpin armada dari sebuah perusahaan
di Perancis yang terdiri dari tiga kapal. Ia tiba di Aceh pada 30 Januari 1621,
dan tinggal sampai 25 Juli 1621.
[17] Depdiknas.
Sejarah…, hlm. 17, Reid. Sumatera Tempo Doeloe…, hlm. 83.
[18]
Ibrāhīm ibn Muhammad
adalah penyair dan diplomat Persia. Pada tahun 1685 ia dan rombongan diutus
oleh Syekh Persia, Sulaymān (1666-1694 M) menuju Siam. Rombongan sempat singgah
di Aceh pada masa kekuasaan ratu Aceh ke III, yaitu Inayat Syah (1678-1688 M).
[19]
Reid. Sumatera Tempo Doeloe…, hlm. 117.
[20]
Amirul Hadi. Respons Islam…, hlm. 132.
[21]
Reid. Sumatera Tempo Doeloe…, hlm. 93.
[22]
Depdiknas. Sejarah…, hlm. 17. Kapal-kapal galley orang Aceh amat bagus, penuh dengan
ukiran-ukiran, berbadan tinggi dan lebar. Layar-layar pada kapal itu berbentuk
segi empat sama dengan layar-layar pada kapal milik Perancis. Papan-papan pada
sisi kapal tebalnya enam jari jempol, karenanya sebuah kapal milik kerajaan
Aceh tidak kalah dengan sepuluh kapal galley milik orang Portugis.
Kiranya keahlian semacam ini tidak mungkin ada, tanpa melalui lembaga
pendidikan; dan agaknya lembaga tersebut tidak mustahil juga berpusat di Jami'ah-Baitur-Rahman,
mengingat sejumlah lembaga yang telah disebutkan di atas.
[23] Sumber
informasi dari Dinasti Yuan menyebutkan. Bahwa pada tahun 1282 Kerajaan Pasai
mengirimkan dua orang utusannya yang bernama Sulaiman dan Samsuddin ke istana
kaisar Cina. Informasi ini menunjukkan bahwa orang-orang Islam telah menduduki
posisi penting dalam pemerintahan di Kerajaan Pasai yang dipimpin Malik
al-Saleh. Kedua orang ini dapat diperkirakan sebagai pedagang-pedagang Islam
yang bermukim atau menduduki posisi penting dalam pemerintahan. Muhammad Gade
Ismail. Pasai dalam Perjalanan Sejarah: Abad Ke-13 Sampai Awal Abad Ke-16
(Jakarta: Depdikbud, 1993), hlm. 27.
[24]
Amirul Hadi. Respons Islam…, hlm. 34.
[25]
Ibrahim Alfian. Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah (Banda Aceh: Pusat
Dokumentasi dan Informasi Aceh, 2004), hlm. 70.
[26]
Teuku Iskandar. De Hikajat Atjéh (Belanda: 'S-Gravenhage-Martinus
Nijhoff, 1958), hlm. 162.
[27]
Amirul Hadi. Respons Islam…, hlm. 148.
[28]
Peter Mundy, seorang pengembara asal Inggris yang berkunjung ke Aceh pada masa
Sultan Iskandar Sani. Ia berada di Aceh dari tanggal 22 April - 2 Mei 1637.
[29]
Reid. Sumatera Tempo Doeloe…, hlm. 110.
[30] Taufik.
Agama dan Perubahan Sosial, hlm. 117.
[31] Taufik.
Agama dan Perubahan Sosial, hlm. 119.
[32]
Oman Fathurrahman, Katalog Naskah Dayah Tanoh Abee Aceh Besar, (Jakarta : Komunitas Bambu,
2010), hlm. 151
[33] Surat pernyataan perang disampaikan
Belanda kepada Aceh, bertanggal 26 Maret 1873, lalu pasukan Belanda mendarat di
Aceh (Ule Lheu) pada tanggal 8 April 1873. Agresi pertama ini gagal, Belanda
kalah dan meninggalkan pantai Aceh pada tanggal 29 April 1873. Lalu pada
tanggal 9 Desember 1873, Belanda melancarkan agresi kedua dengan kekuatan dua
kali lipat. Ibrahim Alfian. Perang di Jalan Allah (Jakarta: Sinar Harapan, 1987), hlm. 65.
[34] Ibrahim Alfian. Perang di Jalan
Allah, hlm. 205.
[35] Taufik.
Agama dan Perubahan Sosial, hlm.164.
[36] A. Hasjmy. Bunga Rampai Revolusi
dari Tanah Aceh (Jakarta: Bulan Bintang: 1978), hlm. 84.
[37] Taufik.
Agama dan Perubahan Sosial, hlm. 76.
[38] Ibrahim
Alfian. Wajah Aceh…, hlm. 192.
[39]
Hasbi Amiruddin. Ulama Dayah; Pengawal Agama Masyarakat Aceh, cet. II,
(Lhokseumawe: Nadiya Foundation, 2007), hlm. 51.
[40]
Pada tahun 1907, Gubernur Sipil dan Militer, Van Daalen, memprakarsai
berdirinya sekolah-sekolah desa di Aceh. Mula-mula di Aceh Besar dengan murid
38 orang. Sekolah untuk anak perempuan didirikan pertama kali di Ulee Lheue
pada 1 Mei 1910 atas usaha swasta. Sekolah untuk anak perempuan yang kedua
dibuka di Lam Reung pada tanggal 9 Oktober 1913. Ibrahim Alfian. Wajah Aceh…,
hlm. 195.
[41]
Pada penghujung tahun 1939, ulama PUSA di bawah pimpinan Teungku Muhammad Dawud
Beureueh mendidikan Normal Islam Institut di Bireuen, Aceh Utara, dengan
Direkturnya Al Ustaz Muhammad Nur Al Ibrahimy, didikan Mesir yang termasuk dicurigai oleh pemerintah
Belanda. Sekolah yang lama belajarnya 4 tahun ini mendapat sambutan hangat dan
membangun semangat rakyat Aceh serta sempat memprodusir aluminya dalam jumlah
relatif banyak. Taufik. Agama dan Perubahan Sosial, hlm.
170.
[42]
Mahmud Yunus. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hidakarya
Agung, 1993), hlm. 177.
[43] Taufik
Abdullah (ed.). Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: Rajawali,
bekerjasama dengan Yayasan Ilmu Ilmu Sosial [YIIS] 1983), hlm. 149.
[44] Taufik.
Agama dan Perubahan Sosial, hlm. 170.
[45] Majalah Santunan, “Abu Rawang (1897-1980); Kepala Kantor Djawatan Agama yang Naik Gunung,” edisi Agustus 2011 (Banda
Aceh: Kanwil Kemenag Aceh, 2011), hlm. 49. Abu Rawang merupakan salah seorang alumni dayah Ie Leubeu,
Pidie, ia belajar di sana selama lebih kurang sembilan tahun. Teman
seangkatannya antara lain Tgk. Muhammad Daud (Abu Beureu’eh) yang merupakan
sahabat dekatnya. Hubungan persahabatan dengan Abu Beureu’eh tetap terbina
sampai Abu Rawang mendirikan dayah-nya pada tahun 1925.
[46] Taufik.
Agama dan Perubahan Sosial, hlm. 141.
[47]
Muhibuddin Waly. Maulana Teungku Syeikh Haji Muhammad Waly al-Khalidy; Ulama
Besar Aceh dan Perannya dalam Pembangunan Pendidikan (Jakarta: Intermasa,
1997), hlm. 107.
[48]
Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata visi
berarti kemampuan untuk melihat pada inti persoalan, juga berarti pandangan
atau wawasan ke depan. Departemen
Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat (Jakarta, Gramedia, 2008), hlm. 1548.
[49]
Kata visi semakna dengan kata vision (Inggris), atau al-rawiyyah
(Arab) yang secara falsafati berarti satu tahapan/proses dari aktifitas
kesadaran (al-‘amal al-irādī) yang dibangun atas pemikiran dan
kesadaran. Aktifitas kesadaran ini kemudian diturunkan dalam aktifitas kreatif
dalam arti tindakan konkret. Majma‘ al-Luhghah al-‘Arabiyyah. Al-Mu‘jam
al-Falsafī (Kairo: al-Amīriyyah, 1983), hlm. 94.
مرحلة من مراحل العمل الإرادى تفوم على تفكير وأناة قبل اتخاذ القرار.
[50] Taufik.
Agama dan Perubahan Sosial, hlm. 151. Teungku Ibrahim Ishaq, Kepala
Dayah BUDI (Bahrul Ulum Diniyah Islamiyah) Lamno, Aceh Barat, wawancara,
1975.
Keren dan semakin produktif
BalasHapus