Peran Ulama dalam Taqnin di Aceh
Tulisan ini pernah dimuat di jurnal Transformasi Administrasi:
Jurnal Pengembangan Kebijakan dan Manajemen Kinerja Pemerintahan, vol. 02, No.
01, Tahun 2012, hlm. 199-217. Diterbitkan oleh Pusat Kajian dan Pendidikan dan
Pelatihan Aparatur IV Lembaga Administrasi Negara (PKP2A IV LAN), Banda Aceh, ISSN:
2088-5474.
A.
Pendahuluan
Pelaksanaan Syariat Islam dan otonomi khusus membebankan ‘urusan’
tambahan bagi Pemerintah Aceh. Pasal 16 ayat 2 Undang undang Republik Indonesia
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menegaskan:
Urusan wajib
lainnya yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh merupakan pelaksanaan
keistimewaan Aceh yang antara lain meliputi:
a.
penyelenggaraan
kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya di
Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat beragama;
b.
penyelenggaraan
kehidupan adat yang bersendikan agama Islam;
c.
penyelenggaraan
pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan
syari’at Islam;
d.
peran
ulama dalam penetapan kebijakan Aceh; dan
e.
penyelenggaraan
dan pengelolaan ibadah haji sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Amanah UUPA ini merupakan wujud dari keistimewaan Aceh. Dalam UU
No. 44 Tahun 1999 disebut sebagai kewenangan khusus untuk menyelenggarakan
kehidupan beragama, adat, pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan
Daerah.
Pertimbangan
yang sama juga disebutkan dalam UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada
konsideran menimbang huruf b:
bahwa salah satu karakter khas yang alami di
dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh adalah adanya ketahanan dan daya juang
yang tinggi yang bersumber pada pandangan hidup, karakter sosial dan
kemasyarakatan dengan budaya Islam yang kuat sehingga Daerah Aceh menjadi
daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Konsideran yang
sama juga termuat dalam UU No. 11 Tahun 2006 yang menggantikan UU No. 18 Tahun
2001. Pada Konsideran menimbang huruf c tertulis:
bahwa ketahanan
dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan
syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi
daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Konsideran di
atas cukup beralasan, sebab sebagaimana disimpulkan seorang sejarawan, bahwa
perang rakyat merupakan pernyataan kebencian yang paling meluap-luap. Dan di
Aceh pernyataan kebencian itu tumbuh karena keyakinan agama mereka yang
mendalam serta perasaan benci kepada kafir.[1] Kesimpulan yang sama juga dapat disimak dari Mohammad Said,
bahwa perang di Aceh bersifat total, bukan perang antara penguasa di Aceh
dengan Belanda, tetapi perang rakyat.[2]
Hal ini tidak
hanya terlihat dalam perang menghadapi Belanda, bahkan menjadi faktor penggerak
dalam pemberontakan DI/TII (NII).[3]
Demikian pula dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM), rakyat menjadi tergerak untuk
naik gunung dan memanggul senjata karena motivasi jihad dan syahid.[4]
Fakta tergeraknya masyarakat oleh isu jihad menjadi argumen
mengakarnya Islam dalam kesadaran rakyat Aceh. Logikanya, tanpa ideologi Islam
mereka tidak akan mau mengorbankan nyawanya. Argumen mengakarnya Islam,
ditambah dengan kenyataan adanya sebagian ajaran Islam yang tidak bisa
dijalankan tanpa formalisasi syariat, maka dapat disimpulkan bahwa
diterapkannya keadilan berdasar nilai-nilai Islam yang diyakini merupakan
harapan dari masyarakat muslim di Aceh.
Sebagai keistimewaan, tentunya kesempatan ini harus disyukuri dan
dimanfaatkan sebaik-baiknya, terutama tentang peran ulama dalam penetapan
kebijakan Aceh yang menjadi fokus tulisan ini. Lebih spesifik lagi, salah satu
bentuk nyata dari penetapan kebijakan adalah penyusunan qanun (peraturan
daerah) yang didedikasikan untuk usaha penerapan Syariat Islam. Hal ini lah
yang menarik perhatian penulis sehingga kajian ini dipersempit dalam masalah taqnin.
Maka pertanyaan penelitian ini adalah sejauhmana Pemerintah Aceh telah
memanfaatkan kesempatan ini? Kelihatannya pertanyaan ini masih menggantung
sehingga cukup relevan untuk dikaji dan disaji dalam tulisan ini.
Sejauh amatan penulis, selama ini belum ada sebuah kajian
komprehensif yang memberi indikator dan ukuran untuk menjawab pertanyaan di
atas. Dari itu tulisan ini melakukan kajian perbandingan dengan peran ulama
pada masa kesultanan Aceh agar didapat suatu ukuran berdasar apa yang sudah
pernah berlaku di Aceh sendiri. Kemudian dilakukan telaah atas qanun (Perda)
yang terkait dengan peran ulama, yaitu Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang
Tata Cara Pembentukan Qanun, dan Qanun Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan
Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Propinsi Daerah
Istimewa Aceh, dan qanun terkait lainnya.
Tulisan ini merupakan kajian kepustakaan (library research) yang
menggunakan metode komparatif. Sumber sekunder yang berupa manuskrip koleksi
Tarmizi A. Hamid merupakan data yang dikomparasikan dengan sumber hukum
lainnya. Perbandingan ini memperlihatkan tingkat pelibatan ulama dalam dua masa
yang berbeda. Lalu analisis terhadap beberapa qanun terkait memperlihatkan
tingkat keterlibatan ulama dalam era otonomi sekarang ini.
B.
Pembahasan
a.
Pentingnya
taqnin dalam pelaksanaan syariat Islam
Kata qanun secara etimologis berarti kaedah yang berlaku sesuai
dengan aturan tertentu yang telah ditetapkan. Sedangkan secara etimologis, kata
qanun berarti kumpulan kaedah yang mengatur hubungan masyarakat—di mana jika perlu—seseorang akan dipaksa oleh pemerintah
untuk mengikuti aturan tersebut.[5] Dengan pengertian seperti
ini, maka kata qanun digunakan untuk semua aturan apa pun dasar keberlakuannya,
baik berdasar agama atau bukan. Dari itu kata qanun memiliki konotasi yang
berdimensi profan karena buatan manusia, berbeda dengan syariat yang berdimensi
sakral karena merupakan wahyu ilahi (khithâb Allah).[6]
Di sisi lain ditemukan kenyataaan bahwa syariat memilih diam dalam
hal-hal yang detilnya kemudian diijtihadkan oleh ulama. Oleh karena itu, hasil ijtihad
ulama tidak bisa dipandang sakral, ia memiliki sisi kesamaan dengan qanun lain
yang merupakan produk akal. Perbedaannya terletak pada metodologi yang
digunakan (ushûl al-fiqh) yang mempertautkannya dengan nas (baik umum
maupun khusus). Hasil ijtihad ini pun dapat dipilah lagi dalam apa yang disebut
fikih,[7] dan al-siyâsat al-syar‘iyyah (politik Islam).[8]
Al-Siyâsat al-syar‘iyyah
disusun dalam bentuk undang-undang, bukan berbentuk fatwa yang dibukukan
menjadi fikih. Dari sisi ini, qanun menjadi lebih spesifik sehingga proses
penyusunan qanun ini menjadi suatu metode tersendiri yang disebut fikih qanuni
dalam pengertian yang berbeda dengan fikih pada umumnya.[9] Dari penggabungan kata
fikih yang berorientasi syar‘î dengan kata qanun yang berorientasi wadh‘î, maka dapat disimpulkan bahwa fikih qanuni adalah upaya mengkaji
dan merumuskan ulang ketentuan fikih agar menjadi hukum positif dalam konstelasi
negara bangsa. Perumusan makna fikih qanuni ini sesuai dengan penggunaan kata
qanun itu sendiri sebagai istilah operasional bagi ketentuan hukum Islam dalam
wilayah tertentu yang ditetapkan berdasar kebijakan pemerintah.[10]
Kata qanun tidak asing lagi bagi negara-negara Melayu, sejak lama ia
telah digunakan sebagai istilah dalam budaya dan bahasa Melayu. Hal ini dapat
dilihat dari kitab Undang-undang Melayu (disusun pada abad XV atau XVI masehi)
yang telah menggunakan istilah qanun. Demikian pula dalam bahasa Aceh istilah
qanun cukup populer dan tetap digunakan masyarakat sebagaimana dalam ungkapan hadih
maja berikut:
Adat bak Poeteumeruhom
Hukom bak Syiah Kuala
Qanun bak Putroe Phang
Reusam bak Lakseumana.
Lebih jauh
lagi, dalam literatur Aceh pun kata qanun sudah digunakan sejak lama, dan
diartikan sebagai aturan yang berasal dari hukum Islam yang telah menjadi adat.
Salah satunya naskah berjudul Tazkirât al-Tabâqât al-Qanûn al-Syar‘î Kerajaan Aceh yang ditulis pada masa Sultan ‘Alî Mughâyat Syâh (919-937 H/1514-1530 M). Naskah
ini merupakan Undang-undang Dasar Kerajaan Aceh Darussalam yang pertama, jadi status
dan keberlakuannya tidak jauh berbeda dari Undang-undang Melaka.
Undang-undang Melaka memiliki keragaman isi yang di antaranya
memuat ketentuan hukum Islam di samping beberapa ketentuan yang tidak dikenal
dalam Islam. Bahkan ada ketentuan yang tidak dibolehkan Islam, misalnya hukuman
cabut gigi bagi budak yang mengolok orang lain. Meskipun masih ada percampuran
dengan nilai-nilai lokal yang tidak islami, namun masuknya norma Islam dalam
undang-undang ini membuktikan telah dilakukannya upaya taqnin.[11] Kesimpulan yang sama juga
dapat ditarik dari Tazkirât al-Tabâqât al-Qanûn al-Syar‘î Kerajaan Aceh yang berisi berbagai aturan yang berlaku dalam
Kerajaan Aceh Darussalam.[12]
Fakta di atas menunjukkan pentingnya taqnin, dan setidaknya
ada tiga alasan mengapa taqnin menjadi penting. Pertama, tidak adanya
ketentuan tentang bentuk tertentu bagi negara dalam Islam. Kedua, tidak
mungkin menjadikan fikih secara langsung sebagai undang-undang, apalagi ada
bagian dari fikih yang perlu penyesuaian agar tetap relevan dengan kekinian. Ketiga,
hal-hal yang harus diatur oleh negara di masa belakangan lebih kompleks dibanding
masa lalu, sebab kehadiran teknologi menimbulkan ketergantungan hidup manusia
pada produk teknologi.
Alasan pertama memungkinkan umat Islam untuk tetap dapat
mengamalkan keyakinannya dalam berbagai bentuk pemerintahan. Berdasar analisis
historis, inti persoalan di sini—menurut ‘Abid al-Jabiri—adalah pada keberadaan negara sebagai
kekuasaan yang melaksanakan hukum syariat di satu sisi, dan negara sebagai
lembaga sosial di sisi lain.[13] Adanya perintah (taklîf)
dalam Alquran yang menuntut peranan penguasa sebagai pelaksana, menjadi dasar
terikatnya Islam dengan suatu lembaga pemerintahan. Namun diamnya al-syâri‘
dari penetapan bentuk pemerintahan tertentu, berarti kelonggaran bagi bentuk lembaga
sosial apapun sebagai pelaksana hukum Islam. Dengan demikian, berdasarkan analisis
historis al-Jabiri dapat disimpulkan, bahwa negara yang diinginkan Islam adalah
lembaga sosial yang dapat menjalankan hukum Islam, apapun bentuknya.
Alhasil, bentuk negara bangsa yang sekarang dipraktekkan di
mayoritas negara muslim harus diterima sebagai dinamika, bukan paksaan
peradaban tertentu sebagai bentuk hegemoni. Hegemoni politik atau hegemoni
peradaban harus ditolak, sebab kita percaya adanya pluralitas dan perbedaan di
berbagai hal; seperti perbedaan ras, bahasa, agama politik dan budaya.[14] Maka negara bangsa
menjadi ideal kala ia mampu mengemban perintah (taklîf) dari firman
Allah (khithâb) yang pelaksanaannya butuh lembaga.
Kenyataan ini menjadi tantangan bagi umat Islam, sekaligus alasan
memperbaharui mekanisme hukum Islam dari fikih klasik ke fiqh al-qanuni.
Tuntutan mengamalkan hukum Islam (fikih) dalam negara bangsa menuntut
perombakan mekanisme pembentukan dan implementasinya. Namun hal ini
meniscayakan adanya metodologi yang kuat sebagai pondasi, khususnya pada norma
yang dipandang telah terjadi pergeseran agar tidak tercerabut dari akar keislamannya.
Adapun pada hal-hal yang belum terakomodir dalam fikih klasik, ini menjadi
alasan lain pentingnya usaha taqnin fikih.
Ketergantungan hidup manusia kepada teknologi berimplikasi kepada
perlunya pengaturan hal-hal baru yang kasusnya belum muncul di abad klasik.
Dalam konteks ini, al-siyâsah al-syar‘iyyah memegang peranan penting,
apalagi jika nilai maslahat dari suatu kasus cenderung dicermati dari sudut
pandang yang sangat beragam. Dalam hal ini, kekuatan negara sangat penting
untuk menengahi dan mengeksekusi salah satu dari sekian maslahat yang
diperdebatkan banyak pihak pada suatu kasus.
Hal ini dapat disimak dari ilustrasi Imam al-Ghazali saat menulis
tentang hubungan seorang faqîh dengan politik; “Jika manusia mendapatkan
segala persoalan dunia dengan cara adil, maka perpecahan dan kerusuhan tidak
akan terjadi, para fuqahâ’ pun bisa menganggur! Sayangnya, manusia
mencapai kebutuhan dunianya dengan nafsu yang berakibat timbulnya permusuhan di
mana-mana. Untuk itu, kita membutuhkan seorang pemimpin yang dapat mengatur
rakyat, dan seorang pemimpin membutuhkan undang-undang untuk mengatur
rakyatnya.[15]
Pernyataan Imam al-Ghazali ini menunjukkan dua hal; 1) kebutuhan
kepada undang-undang, 2) relasi antara fikih dan taqnin. Di sini al-Ghazali
memundak tanggung jawab taqnin kepada ahli fikih (fuqahâ’),
sayangnya justru hal ini yang mengemuka sehingga umumnya umat Islam sulit
menerima saat taqnin diprakarsai pemerintah. Sampai di sini, pertanyaan yang
jawabannya perlu diberi landasan; apakah qanun sebagai hukum positif dapat
dinyatakan sebagai hukum Islam? Misalnya Undang-undang Perkawinan Indonesia
dapatkah dinyatakan; bahwa mentaatinya berarti taat kepada aturan agama? Untuk
itu, makalah ini berangkat dari asumsi bahwa al-siyâsah al-syar‘iyyah memberi legitimasi bagi
pemerintah dalam negara bangsa untuk membuat suatu aturan (qanun).
b.
Peran
ulama dalam sejarah Aceh
Berperannya ulama
sebagai mitra sejajar pemerintah bukanlah sesuatu yang baru bagi masyarakat Aceh.
Berhasilnya misi
pengislaman masyarakat Hindu di Aceh merupakan indikator betapa besarnya peran
ulama sehingga sangat dihormati masyarakat. Keterlibatan ulama secara intensif
dalam masyarakat menyebabkan ulama mendapat kehormatan yang bahkan melebihi
kemuliaan seorang raja. Bukti lain tentang besarnya peran ulama adalah kenyataan
terbentuknya wilayah mukim sebagai akibat dari dorongan kebutuhan ‘amaliyah agama.[16]
Merujuk data
sejarah pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, terlihat fakta bahwa ternyata
ulama telah berperan sebagai Qadhi Mâlik al-‘Adil yang merupakan
penasehat raja dan Ketua Mahkamah Agung. Selain itu, ulama Aceh juga terlibat
dalam penyusunan undang-undang dasar di Kerajaan Aceh Darussalam sebagaimana dapat
dilihat dalam tabulasi berikut:
Tabel I. Undang-undang
Dasar Kerajaan Aceh Darussalam
No.
|
Naskah Undang-undang
|
Masa Penulisan
|
1.
|
Tazkirât
al-Tabâqât al-Qanûn al-Syar‘î Kerajaan Aceh
|
Sultan ‘Alî Mughâyat Syâh (919-937 H/1514-1530 M)
|
2.
|
Adat
Meukuta ‘Alam
|
Sultan Iskandar Muda (1607-1636
M)
|
3.
|
Syarh
Tazkirah Thabaqât
|
Sultan ‘Ala’ al-Dîn Mansûr Syâh (1858-1870 M)
|
Adapun contoh penerapan hukum Islam—antara lain—dapat dilihat dalam Adat Meukuta Alam pasal 26 tentang diyat dalam
pembunuhan: “Adapun bangun (diyat) orang yang merdeka dengan seratus unta
dibayar kepada ahli waris orang yang mati demikianlah banyak bangun orang yang
merdeka”. Pasal 27 menyatakan: “Jikalau sudah dibayar bangun yang mati kepada
ahli warisnya tiada boleh dibunuh orang yang aniaya itu karena sudah taubat dan
berdamai.” Lalu pasal 28 tentang qisas, menegaskan: “Jikalau ahli waris yang
mati tiada suka terima diyat itu hendak dibunuh juga yang aniaya.”[17]
Pasal-pasal ini membuktikan bahwa Islam telah masuk dalam tata hukum yang
berlaku di Kerajaan Bandar Aceh Darussalam kala itu.
Tentang penerapan pasal-pasal di atas, Amirul Hadi mengutip kesaksian Thomas
Bowrey yang berkunjung ke Aceh pada abad 17. Menurut Bowrey, hukum yang
diterapkan di Aceh sangat keras dalam banyak hal, terutama bagi pencuri, bahkan
lebih keras lagi bagi pembunuh yang hukumannya adalah ‘mati’ dengan sesegera
mungkin, hukuman bagi pencuri dilakukan secara bertahap, tetapi [juga] sangat
keras. Laporan lain bersumber dari Pieter Willem yang berkunjung ke Aceh
pada tahun 1642 M. Ia mengatakan bahwa seorang warga Aceh divonis mati oleh Qâdhî
Mâlik al-‘Adil dan dewan hakim lainnya dalam kasus pembunuhan. Terdakwa
diberitakan mengajukan petisi untuk membayar 388 tahil sebagai ganti
vonis mati tersebut. Qâdhî kemudian membawa kasus ini kepada
Ratu Safiatuddin.[18]
Belakangan pada
masa pemerintahan Sultanah Safiatuddin dan setelahnya, para ulama beranjak
lebih maju. Mereka tidak hanya berpartisipasi dalam penyusunan undang-undang
dasar saja, bahkan telah berhasil menyusun kitab-kitab hukum yang menjadi
pedoman para hakim di seluruh wilayah Kesultanan Aceh Darussalam, dan daerah
taklukannya. Kitab-kitab itu disusun berdasar perintah dari lingkungan
kerajaan, baik dari sultan langsung, atau pejabat istana. Kitab-kitab itu bisa
dilihat dalam tabulasi berikut:
Tabel II.
Kitab-kitab Kodifikasi Hukum Islam di Kerajaan Aceh Darussalam
No
|
Nama Kitab
dan Tahun
|
Penulis
|
Masa
Penulisan
|
1
|
Mir’at al-Tullâb, 1672 M
|
Syaykh ‘Abd al-Ra’ûf al-Sinkilî
|
Sultanah Tâj al’Alam Safiyyat al-Dîn (1641-1675 M)
|
2
|
Safînat al-Hukkâm fî Takhlîs al-Khassam,
1740 M
|
Jalâl al-Dîn al-Tarûsanî
|
Sultan ‘Ala’ al-Dîn Johan Syâh (1735-1760 M)
|
3
|
Hujjah Bâlighah,
1745 M
|
Jalâl al-Dîn ibn Syaykh Kamâl al-Dîn ibn al-Qâdî
|
Sultan ‘Ala’ al-Dîn Johan Syâh (1735-1760 M)
|
Dua kitab
pertama ditulis atas permintaan sultan/sultanah. Adapun kitab ketiga, ditulis
atas permintaan salah seorang pegawai yang bertugas sebagai hakim di
pengadilan, jadi ketiga kitab itu jelas dimaksudkan sebagai pedoman para hakim.
Dalam kitab Mir’at al-Thullâb, hal ini terlihat pada pembahasannya yang
dimulai dengan kata; “Adapun setengah daripada segala hukum yang seyogyanya
diketahui oleh qâdhî akan dia itu maka yaitu hukum bay‘…” Selain
itu, kitab ini juga dapat dinyatakan sebagai hukum positif yang berlaku kala
itu, sebab ditulis atas perintah penguasa, dan memang ditujukan sebagai
pegangan para qâdhî. Dalam sebuah salinan Mir’at al-Thullâb milik
Saudara Tarmizi A. Hamid tertulis:
Maka
bahwasanya adalah hadarat yang mahamulia bersabda kepadaku daripada sangat
lobanya akan agama Rasulullah bahwa kukarang baginya sebuah kitab dengan bahasa
Jawi yang dibangsakan kepada bahasa Pasai yang muhtaj kepadanya orang
yang menjabat jabatan qâdhî pada pekerjaan hukum-hukumnya daripada
segala hukum syarak Allah yang muktamad pada segala ulama yang dibangsakan
kepada Imam Syâfi‘î radhiy Allâh ‘anh.
Adapula kitab
yang ditulis berdasarkan permintaan pejabat kerajaan sebagai pedoman
melaksanakan tugas, misalnya kitab Hujjah Bâlighah yang ditulis oleh
Jalâl al-Dîn ibn Syaykh Kamâl al-Dîn ibn al-Qâdhî pada tahun 1745 M. Dalam
mukadimah kitabnya, Jalâl al-Dîn menulis:
Kemudian
dari itu maka tatkala adalah hijrah Nabi saw. seratus lima puluh delapan tahun
kemudian daripada seribu pada masa empat hari bulan Muharram waktu dhuhâ
hari Sabtu zaman sayyidinâ wa mawlânâ paduka Sri Sultan ‘Alâ’ al-Dîn Johan Syâh
berdaulat zill Allâh fî al-‘Âlam telah meminta
kepadaku setengah seorang dari pada laki-laki kekasihku salah seorang daripada
pegawai sultan yang tersebut itu bahwa kusuratkan baginya suatu risalah yang
simpan pada menyatakan segala rukun da‘wâ dan bayyinah yaitu
saksi dan barang yang bergantung dengan keduanya.
Dalam hal
materi hukum perdata, sumbangan para ulama Aceh sangat nyata dalam usaha
menjawab kebutuhan umat atas berbagai persoalan sehari-hari. Ulama Aceh sangat
moderat, terbukti mereka mampu menerjemahkan norma hukum Islam ke dalam
aturan-atuan dan kasus-kasus hukum paratikular (juz’iyyah). Bahkan pada
detil-detil hukum yang tidak ditemukan adanya petunjuk nas mereka justru mampu
beristinbat secara bertanggungjawab. Sebagai contoh dapat dilihat pada
ketentuan hukuman dera dalam kitab Hujjah Bâlighah berikut ini:
Fasal,
apabila menampar seorang akan seorang dengan tangannya pada mukanya atau pada
kepalanya maka wajib atasnya pada tiap-tiap satu tampar itu lima dera, dan jika
ada tampar itu dengan kaus (sandal) maka wajib atasnya tiga puluh dera…
Melihat peran
ulama dalam catatan sejarah, dapat diyakini bahwa semangat inilah yang hendak
diturunkan sebagai salah satu unsur keistimewaan Aceh di zaman sekarang. Jika
di sana-sini terdapat lebih kurang tentu bisa dimaklumi, sebab penerapan
syariat Islam di dua zaman ini telah mengalami perbedaan yang alamiah. Namun
melihat beban tanggung jawab yang dipikulkan kepada ulama di era otonomi
sekarang ini, ternyata beban itu belum sesuai dengan akses yang diberikan,
terutama dalam hal proses perumusan qanun syariat Islam. Menurut penulis, hal
ini tidak boleh diabaikan, sebab qanun syariat Islam merupakan bagian dari
penyelenggaraan pemerintahan yang berwibawa serta islami, tentu hal ini tidak
bisa diwujudkan tanpa melibatkan ulama secara penuh.
c.
Agama
dan adat
Intensifnya keterlibatan
ulama di masa Kerajaan Aceh Darussalam memungkinkan terkristalnya norma agama
dalam adat masyarakat di Aceh. Kesadaran akan hal ini dapat dilihat dalam butir
keputusan rapat kerja Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) pada tanggal 8-11
Oktober 1990. Antara lain dinyatakan, bahwa identitas adat dan budaya Aceh
adalah Islam, segala sistem dan kemasyarakatan di Aceh berpadu menjadi satu
dengan ajaran Islam.[19]
Perpaduan agama
dengan adat juga berarti keterpaduan semua perangkat pelaksana pemerintahan.
Kiranya asumsi inilah yang mengantarkan James T. Siegel pada kesimpulan bahwa
Aceh adalah satu kesatuan yang di
dalamnya terdiri dari uleebalang, ulama, masyarakat petani, dan sultan. Mereka
adalah satu kelompok masyarakat yang memiliki pandangan tersendiri yang
bersumber dari Islam dan adat.[20]
Tesis ini cukup mudah dimengerti jika merujuk ke zaman kesultanan.
Denys Lombart—dengan
mengutip laporan Beaulieu—memaparkan adanya empat macam kekuasaan yang
melakukan peradilan di Aceh: yaitu: 1) perdata, dipimpin oleh orang kaya yang paling berada; 2) pidana, dipimpin oleh beberapa orang kaya secara bergantian; 3) agama, dipimpin oleh qadhi yang mengadili pelanggaran agama meliputi akhlak
dan perilaku beragama; dan 4) niaga, dipimpin oleh orang kaya Laksamana yang menangani kasus perselisihan antara pedagang baik asing maupun
pribumi.[21]
Praktek peradilan sebagaimana dilaporkan Beaulieu
dijalankan di bawah kendali Kali Malikon Ade. Dengan kewenangan memegang kekuasaan kehakiman tertinggi, Kali Malikon Ade dilukiskan sebagai punggawa istana terkemuka.
Menurut Snouck Hurgronje, ia dijadikan sejenis Uleebalang Poteu atau Hulubalang
Raja Kami yang setingkat kedudukannya dengan kepala wilayah propinsi dengan
segala kebesaran yang melekat pada kedudukan tersebut, namun tanpa wilayah ke-uleebalang-an.[22]
Menurut Amirul Hadi, sepanjang abad ke tujuhbelas peran al-Qâdî Mâlik al-‘Adil sangat
mencolok dalam lembaga kenegaraan selama kekuasaan
al-Mukammil dan Iskandar Muda. Bahkan tidak mengalami perubahan sesudah masa pemrintahan keduanya. Al-Qâdî Mâlik al-‘Adil tetap menempati posisi pertama dalam urusan
administrasi hukum dan peradilan. Adanya pendelegasian peradilan merupakan fakta bahwa sultan adalah penguasa peradilan tertinggi di mana hukum
yang berlaku adalah adat dan hukum Islam.[23]
Adapun dalam
teknis pelaksanaan, menurut Cik Hasan Bisri, tingkat pertama (perkara-perkara ringan) diselenggarakan oleh pengadilan tingkat gampong yang dipimpin oleh keuchik. Sedangkan perkara-perkara yang berat diselenggarakan oleh Balai Hukum
Mukim. Apabila pihak berperkara tidak merasa puas atas putusan pengadilan
tingkat pertama dapat mengajukan banding kepada Panglima Sagi. Selanjutnya
kepada Uleebalang (pengadilan tingkat kedua),
selanjutnya dapat diajukan banding kepada Panglima Sagi. Selanjutnya dapat
dilakukan banding kepada Sultan yang pelaksanaannya dilakukan oleh Mahkamah
Agung yang keanggotaannya terdiri atas al-Qâdî Mâlik al-‘Adil, orang
Kaya Sri Paduka Tuan, orang Kaya Raja Bendahara dan Fakih.[24]
Catatan sejarah di atas menunjukkan bagaimana hukum Islam telah
dijalankan secara integratif—meminjam istilah sejarawan, Taufik Abdullah—di mana raja juga dipandang sebagai pemimpin agama. Hasilnya,
terbentuklah tradisi yang menempatkan Islam sebagai landasan budaya dan
politik yang berlaku. Dalam kondisi seperti ini, ulama merupakan unsur
terpenting yang memberikan kontribusi sangat berarti pada upaya perumusan
realitas dalam tema-tema Islam. Lalu bagaimana
sekarang saat kekuasaan telah dipecah menjadi triaspolitika?
Patut diperhatikan, pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2006 telah mempertegas
keberadaan wadah untuk ulama dan pemangku adat dengan tugas khusus. Dalam Bab
Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 16 disebutkan, bahwa Majelis
Permusyawaratan Ulama yang selanjutnya disingkat MPU adalah majelis yang anggotanya
terdiri atas ulama dan cendekiawan muslim yang merupakan mitra kerja Pemerintah
Aceh dan DPRA. Lalu pada angka 17 dinyatakan bahwa Lembaga Wali Nanggroe adalah
lembaga kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat dan pelestarian
kehidupan adat dan budaya.
Selain Lembaga
Wali Nanggroe juga ada lembaga adat (BAB XIII LEMBAGA ADAT, Pasal 98). Lembaga
adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang
keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat (ayat 1).
Selanjutnya ditetapkan bahwa penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara
adat ditempuh melalui lembaga adat (ayat 2). Lalu pada ayat 3 diuraikan bahwa
lembaga adat terdiri dari:
a.
Majelis Adat
Aceh;
b.
imeum mukim
atau nama lain;
c.
imeum chik atau
nama lain;
d.
keuchik atau
nama lain;
e.
tuha peut atau
nama lain;
f.
tuha lapan atau
nama lain;
g.
imeum meunasah
atau nama lain;
h.
keujreun blang
atau nama lain;
i.
panglima laot
atau nama lain;
j.
pawang glee
atau nama lain;
k.
peutua
seuneubok atau nama lain;
l.
haria peukan
atau nama lain; dan
m.
syahbanda atau
nama lain.
Uraian di atas memperlihatkan terintegrasinya agama dan adat dalam
kesadaran masyarakat Aceh. Kesadaran ini menimbulkan asumsi bahwa pelaksanaan
adat akan berarti melaksanaan syariat yang meliputi aqidah, syar’iyah dan
akhlak. Namun perlu diperhatikan, bahwa UU No. 11 Tahun 2006 mengamanatkan
pelaksanaan syariat Islam yang meliputi ibadah, ahwal alsyakhshiyah (hukum
keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’
(peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam (pasal
125 ayat 2). Dan ternyata, sebagian dari aspek itu berada di luar kewenangan
lembaga adat, jadi tidak semua aspek syariat terintegrasi dalam adat.
Jika didalami, ada
beberapa aspek hukum syariat yang tidak bisa ditangani oleh lembaga adat,
misalnya hukum jinayat (pidana) seperti qisas, dan hudud seperti rajam. Merujuk
pada qanun tentang lembaga adat, penyelesaian kasus seperti ini justru telah
keluar dari kewenangan lembaga adat itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dalam dua
Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang adat di Aceh. Pertama, Perda
Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat. Kedua, Qanun Aceh
Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat.
Dalam pasal 5
Perda Nomor 7 Tahun 2000 disebutkan: “Lembaga Adat sebagaimana tersebut dalam
ayat (1), (2), (3) dan (4) merupakan alat penggerak partisipasi masyarakat
dalam pembangunan termasuk Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA).” Lalu dalam
pasal 6 dinyatakan: “Lembaga adat sebagaimana dimaksud pada pasal 5 berfungsi
sebagai alat kontrol keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban
masyarakat, baik preventif maupun represif, antara lain: a. Menyelesaikan masalah
sosial kemasyarakatan; b. Penengah (Hakim Perdamaian) mendamaikan sengketa yang
timbul di masyarakat.
Fungsi represif
Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) di atas lebih diperjelas lagi dalam
Qanun Nomor 9 Tahun 2008. Namun nama lembaganya sudah dirubah menjadi Majelis
Adat Aceh (MAA) berdasar Qanun Nomor 3 Tahun 2004. Dalam pasal 13 ayat (1)
Qanun Nomor 9 Tahun 2008 disebutkan, bahwa sengketa/perselisihan adat dan adat
istiadat meliputi:
a.
perselisihan
dalam rumah tangga;
b.
sengketa antara
keluarga yang berkaitan dengan faraidh;
c.
perselisihan
antar warga;
d.
khalwat/mesum;
e.
perselisihan
tentang hak milik;
f.
pencurian dalam
keluarga (pencurian ringan);
g.
perselisihan
harta sehareukat;
h.
pencurian
ringan;
i.
pencurian
ternak peliharaan;
j.
pelanggaran
adat tentang ternak, pertanian, dan hutan;
k.
persengketaan
di laut;
l.
persengketaan
di pasar;
m.
penganiayaan
ringan;
n.
pembakaran
hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat);
o.
pelecehan,
fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik;
p.
pencemaran
lingkungan (skala ringan);
q.
ancam mengancam
(tergantung dari jenis ancaman); dan
r.
perselisihan-perselisihan
lain yang melanggar adat dan adat istiadat.
Terlihat uraian
pasal ini tidak mengakomodir pelanggaran yang sampai pada taraf jarimah yang
dikenakan hudud, jadi kasus semisal zina tidak menjadi kewenangan hukum adat.
Poin (r) tentang “perselisihan lain” juga tidak bisa ditafsirkan mencakup zina,
sebab Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat
Istiadat, pasal 8 menyebutkan: “Majelis Adat dan lembaga-lembaga adat lainnya
melakukan pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat istiadat yang
sesuai dengan Syari’at Islam.” Pasal ini menunjukkan kode etik dari lembaga
adat itu sendiri, yaitu tidak boleh melanggar syariat Islam.
Demikian pula
dalam hal sanksi yang dapat dijatuhkan. Pasal 16 ayat (1) Qanun Nomor 9 Tahun
2008 menyebutkan, bahwa jenis-jenis sanksi yang dapat dijatuhkan dalam
penyelesaian sengketa adat sebagai berikut:
a.
nasehat;
b.
teguran;
c.
pernyataan
maaf;
d.
sayam;
e.
diyat;
f.
denda;
g.
ganti kerugian;
h.
dikucilkan oleh
masyarakat gampong atau nama lain;
i.
dikeluarkan
dari masyarakat gampong atau nama lain;
j.
pencabutan
gelar adat; dan
k.
bentuk sanksi
lainnya sesuai dengan adat setempat.
Dengan
demikian, sanksi hukum syariat yang semestinya tidak bisa diterapkan untuk
kasus seperti pembunuhan sengaja yang terencana, dan zina muhsan. Jadi jelas
lembaga adat tidak serta merta dapat memenuhi amanat UU No. 11 Tahun 2006,
khususnya yang terkait dengan hukum pidana (jinayat). Dalam kondisi ini,
kehadiran ulama dan cendekiawan muslim menjadi penentu dalam upaya menjalankan
syariat Islam di Aceh sesuai amanah UU No. 11 Tahun 2006. Tentunya upaya ini
hendaklah maksimal dalam ranah regulasi (taqnin) agar syariat Islam
dapat dijalankan di tengah sistem yang telah memerdekakan kekuasaan kehakiman
dari cengkraman eksekutif.
d.
Termarjinalnya
Ulama dalam proses taqnin di Aceh
Pelaksanaan
syariat Islam di Aceh didasarkan kepada Undang-undang Republik Indonesia No. 44 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Jika pada pada
tahun 1959 Aceh telah diberi keistimewaan dalam bidang agama, adat, dan
pendidikan, dalam UU ini diperluas menjadi empat bidang, yaitu ditambah peran
ulama dalam bidang penetapan kebijakan daerah.
Keberperanan
ulama dipertegas kembali oleh UU No. 11 Tahun 2006 di tengah implementasi
syariat Islam yang meliputi ibadah, ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga),
muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah
(pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam (pasal 125 ayat 2).
Peran ulama
dikukuhkan secara kelembagaan yang dalam UU No. 11 Tahun 2006 disebut sebagai
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU). Dalam pasal 138 ayat 3 ditegaskan, bahwa
MPU berkedudukan sebagai mitra Pemerintah Aceh, pemerintah kabupaten/kota,
serta DPRA dan DPRK. Selanjutnya dalam pasal 139 dijelaskan bahwa MPU berfungsi
menetapkan fatwa yang dapat menjadi salah satu pertimbangan terhadap kebijakan
pemerintahan daerah dalam bidang pemerintahan, pembangunan, pembinaan
masyarakat, dan ekonomi.
Perlu
diperhatikan, undang-undang ini sama sekali tidak menyebut peran MPU dalam hal taqnin,
termasuk saat menguraikan tugas regulasi oleh legislatif. Bahkan saat
menjelaskan tentang tugas MPU dalam pasal 140, MPU hanya bertugas: a) memberi
fatwa baik diminta maupun tidak diminta terhadap persoalan pemerintahan, pembangunan,
pembinaan masyarakat, dan ekonomi; dan b) memberi arahan terhadap perbedaan
pendapat pada masyarakat dalam masalah keagamaan. Tugas ini tidak memberi akses
yang cukup terhadap usaha taqnin, padahal diketahui, tidak ada masalah
sosial masyarakat muslim yang terlepas dari agama, sementara pelaksana tugas
peradilan belum memiliki kemampuan berijtihad dalam menghadapi masalah itu.
Pembagian tugas
ini dirasakan belum berimbang, mengingat UU No. 11 Tahun 2006 juga telah menguatkan
kembali keberadaan Mahkamah Syar’iyah yang sebelumnya diatur oleh UU No. 18
Tahun 2001. Dinyatakan bahwa Peradilan Syari’at Islam di Aceh adalah bagian
dari sistem peradilan nasional dalam lingkungan peradilan agama yang dilakukan
oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak mana pun (pasal 128 ayat
1). Dan Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan
menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum
keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan
atas syari’at Islam (pasal 128 ayat 2). Lalu bagaimana Mahkamah Syar’iyah
menegakkan hukum syariat sementara qanun yang disusun malah di luar jangkauan
pengawasan MPU?
MPU sudah
mengalami ‘kecolongan’ ini saat Rancangan Qanun Jinayat dan Hukum Acara Jinayat
‘diobok-obok’ legislatif. Akibatnya, saat disahkan qanun itu sudah dalam
keadaan ‘sumbang’ sehingga urung diberlakukan. Padahal pasal 132 UU No. 11
Tahun 2006 menyatakan Hukum acara yang berlaku pada Mahkamah Syar’iyah adalah
hukum acara yang diatur dalam Qanun Aceh. Akibat ‘kecelakaan’ ini MPU juga
terkena getahnya, meski pasal-pasal ‘sumbang’ itu bukan hasil kerja mereka.
Maka sampai sekarang Aceh belum memiliki qanun jinayat, dan qanun acara jinayat.
Jadi usaha penerapan syariat Islam tidak mengalami kemajuan pasca penerapan UU
No. 11 Tahun 2006. Qanun yang berlaku masih saja seperti sebelumnya, sebagaimana
ditampilkan pada tabulasi berikut:
Tabel III. Qanun
yang Telah Disahkan Dalam Rangka Pelaksanakan Syariat Islam
No.
|
Qanun
|
Tentang
|
1.
|
Nomor 3 Tahun 2000
|
Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan
Ulama (MPU) Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
|
2.
|
Nomor 5 Tahun 2000
|
Pelaksanaan Syariat Islam di Propinsi Daerah Istimewa Aceh
|
3.
|
Nomor 33 Tahun 2001
|
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Syariat Islam
|
4.
|
Nomor 10 Tahun 2002
|
Peradilan Syariat Islam
|
5.
|
Nomor 11 Tahun 2002
|
Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam
|
6.
|
Nomor 12 Tahun 2003
|
Minuman Khamar dan Sejenisnya
|
7.
|
Nomor 13 Tahun 2003
|
Maisir (Perjudian)
|
8.
|
Nomor 14 Tahun 2003
|
Khalwat (Mesum)
|
9.
|
Nomor 7 Tahun 2004
|
Pengelolaan Zakat
|
Tentu saja qanun
yang sudah disahkan itu dirasakan belum memadai, dan butuh waktu untuk memenuhi
tuntutan Islam kaffah yang hendak diterapkan di Aceh. Kekurangan yang paling
terasa adalah ketiadaan hukum acara untuk menjalankan materi hukum yang telah
ditetapkan. Peristiwa penyusunan Rancangan Qanun tentang Hukum Acara Jinayat
yang disahkan oleh DPR Aceh pada tanggal 15 September 2009 pun tinggal sebagai
catatan kelam.
Demikian pula
halnya dengan Rancangan Qanun tentang Hukum Jinayat yang diproyeksikan sebagai
pengganti qanun Nomor 12, 13, dan 14 Tahun 2003. Sebagaimana diketahui,
rancangan qanun ini segera menuai kontroversi begitu DPRA mengetuk palu. Pihak
eksekutif keberatan, akibatnya baik Qanun Jinayat maupun Qanun Hukum Acara
Jinayat, keduanya urung diberlakukan, maka pelaksanaan syariat Islam di Aceh
tetap tinggal dalam kondisi tidak memiliki hukum acaranya sendiri.
Ketiadaan qanun
hukum jinayat dan qanun hukum acara jinayat menyebabkan banyak kasus
pelanggaran syariat tidak bisa ditangani, terutama pelanggaran (jarimah) yang
sanksinya masuk dalam kategori hudud. Kelihatannya, untuk mengatasi kekurangan
ini ditempuh solusi lain lewat pemberdayaan lembaga adat. Maka hukum adat pun
menjadi andalan, di mana aparat hukum terlebih dahulu memberikan kesempatan
kepada pengadilan adat untuk menyelesaikan kasus di gampong atau mukim.
Namun sejauhmana kemampuan hukum adat menangani pelanggaran yang terjadi?
Untuk menjawab
pertanyaan ini, cukup relevan jika di sini diangkat pegakuan Kasatpol PP, WH
dan PK Aceh Barat Daya (Abdya) yang diberitakan harian Serambi Indonesia,
Sabtu, 17
September 2011. Dikabarkan bahwa Perangkat desa
beserta pemangku adat dan tokoh masyarakat Gampong Kepala Bandar, Kecamatan
Susoh, Aceh Barat Daya (Abdya) akhirnya menjatuhkan sanksi adat berupa
pengusiran dari gampong terhadap dua pelaku hubungan seksual sedarah
(inses). Kepala Satuan Polisi Pamong Praja, Wilayatul Hisbah dan Pemadam
Kebakaran (Kasatpol PP, WH dan PK) Abdya, Muddasir, yang dikonfirmasi Serambi
Rabu (14/9), mengakui kewalahan mencari dasar hukum yang tepat dalam khazanah
hukum positif Indonesia untuk mengganjar pelaku inses (incest) di
Gampong Kepala Bandar Kecamatan Susoh Abdya.
Putusan adat
dalam kasus di atas menunjukkan sisi lemah dari penerapan syariat Islam di
Aceh, yaitu tidak adanya materi hukum jinayat (pidana) sehingga Mahkamah
Syar’iyah tidak bisa menanganinya. Akibatnya penanganan kasus inses di atas
terpaksa diserahkan kepada lembaga adat, padahal lembaga adat tidak memiliki
kewenangan untuk menetapkan hukum dalam masalah ini. Jadi sangatlah
disayangkan, sebab urungnya pemberlakuan qanun jinayat telah menimbulkan ketidakpastian
hukum.
Mari lebih
detil melihat akibat fatal dari marjinalisasi ulama dari proses taqnin. Sejauh
yang bisa disimak dari Draf Rancangan Qanun Jinayat, penolakan pihak eksekutif terhadap
pemberlakuan qanun jinayat itu ada benarnya. Terkait dengan kasus inses di Abdya,
Bagian Kelima Draf Raqan Jinayat tentang Zina, pasal 24 ayat (1)
menyebutkan, “Setiap orang
yang dengan sengaja melakukan zina diancam dengan ‘uqubat hudud 100 (seratus)
kali cambuk bagi yang belum menikah dan ‘uqubat hudud 100 (seratus) kali cambuk
serta ‘uqubat rajam/hukuman mati bagi yang sudah menikah.”
Kalimat “‘uqubat
rajam/hukuman mati….”
dalam pasal ini menimbulkan ketidakpastian hukum. Terkesan qanun ini menyamakan
‘uqubat rajam dengan hukuman mati, padahal kedua jenis hukuman ini jelas sangat
berbeda. Akibatnya ketentuan hukum ini dipandang tumpang tindih, dan perlu ditinjau
ulang demi kepastian hukum, alhasil, pihak eksekutif bisa berlepas tangan. Lalu
mengapa kekurangan itu bisa terjadi, bukankah para ulama sebagai mitra sejajar
Pemerintah Aceh dan DPRA bisa berkontribusi menyempurnakan raqan tersebut?
Sampai di sini masalah menjadi kabur, sebab MPU bisa berkelit karena tidak
dilibatkan dalam tahapan rancangan qanun sampai pengesahannya oleh DPRA. Untuk
lebih jelas, dapat dirujuk Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Pembentukan Qanun.
Sebagaimana
tertuang dalam UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Propinsi Daerah Istimewa Aceh, dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah
Aceh, keberadaan ulama merupakan salah satu unsur keistimewaan Aceh, dan
berfungsi sebagai mitra sejajar DPRA dan pemerintah. Peran ulama diperjelas
lagi dalam Qanun Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata
Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Propinsi Daerah Istimewa Aceh, yaitu
sebagai mitra sejajar Pemerintah Daerah dan DPRD (pasal 3 ayat 2).
Pada pasal 4
dinyatakan; “MPU mempunyai tugas memberi masukan, pertimbangan, bimbingan dan
nasehat serta saran-saran dalam menentukan kebijakan Daerah dari aspek Syariat
Islam, baik kepada Pemerintah Daerah maupun kepada masyarakat di daerah.”
Selanjutnya pada pasal 5 dijelaskan; “Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana
dimaksud pada pasal 4, MPU berfungsi menetapkan Fatwa Hukum, memberikan pertimbangan
baik diminta atau tidak terhadap kebijakan Daerah, terutama dalam bidang
pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan serta tatanan ekonomi
yang islami.”
Pasal 6 Qanun
Nomor 3 Tahun 2000 menggariskan; “MPU ikut bertanggungjawab atas terselenggaranya
pemerintah yang jujur dan berwibawa serta islami di Daerah.” Sementara tugas
dan fungsi MPU hanya memberi masukan dan pertimbangan yang bisa saja diabaikan
oleh pemerintah. Lebih ironis lagi, keterlibatan MPU dalam tahapan perancangan
qanun sama sekali tidak disebut dalam Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang
Tata Cara Pembentukan Qanun. Dengan begitu, peran dan keterlibatan MPU dalam
tahapan pembentukan qanun dipandang sejajar dengan masyarakat umum lainnya
(lihat konsideran menimbang huruf c, pasal 25, dan pasal 26), jadi sama sekali
tidak memiliki kekuatan mengawal.
Pasal 10 Qanun
Aceh Nomor 3 Tahun 2007 menetapkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sebagai
pemrakarsa yang mempersiapkan pra rancangan qanun. Pra rancangan qanun disusun
menjadi naskah akademik, dan dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi atau
pihak ketiga yang mempunyai keahlian (pasal 12 angka 3). Sampai di sini
keterlibatan MPU sama sekali tidak disebut, padahal tidak ada qanun yang tidak
butuh pandangan ulama, bukankah semua sektor kehidupan umat Islam tidak lepas
dari ajaran Islam?
Keterlibatan
MPU baru disebutkan setelah tahapan sampai pada rancangan qanun, itu pun hanya
“unsur MPU sebagai anggota” dalam Tim Asistensi pembahasan rancangan qanun
(pasal 16, ayat 2, huruf d). Secara teknis (pasal 17, huruf b), tugas Tim
Asistensi membuat Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Jika masalah yang
diangkat tidak masuk dalam DIM, maka masalah itu pun tidak akan dibahas, jadi
peran di tahapan ini berpeluang menjadi kecil pengaruhnya.
Pada tahap
berikutnya, rancangan qanun yang telah disiapkan oleh gubernur/bupati/ walikota
diajukan kepada DPRA/DPRK dengan melampirkan naskah akademik/kajian akademik
(pasal 27). Pasal ini semakin memperlihatkan betapa kecilnya peran MPU dalam
tahapan pembahasan qanun, apa salahnya jika ditambahkan tembusan untuk MPU?
Tahapan puncak
pembahasan rancangan qanun dilakukan di DPRA/DPRK oleh DPRA/DPRK bersama
gubernur/bupati/walikota. Tingkat pembicaraan dilakukan dalam Rapat
Komisi/Gabungan Komisi/Panitia Legislasi/Panitia Khusus, dan Rapat Paripurna
DPRA/DPRK (pasal 34, ayat 3). Di sinilah kemungkinan-kemungkinan seperti yang
dialami Rancangan Qanun Jinayat dapat terjadi, lalu apa artinya keberadaan MPU
sebagai “mitra sejajar Pemerintah Daerah dan DPRD?”
C.
Penutup
Sampai disini
dapat disimpulkan bahwa ulama pernah berperan sangat intensif di bumi Serambi
Mekah ini sehingga Islam mengakar dalam adat Aceh. Keterlibatan ulama tidak
hanya dalam kehidupan sosial masyarakat di mana mereka memperoleh kehormatan
yang bahkan melebihi penghormatan terhadap penguasa, tapi juga dalam hal
legislasi. Ulama ikut menyusun Undang-undang Dasar Kerajaan Aceh Darussalam,
dan bahkan menyusun undang-undang yang menjadi pedoman para hakim di seluruh
daerah kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam.
Berpijak pada
pengalaman masa lalu, kebutuhan akan peran ulama dalam proses taqnin di
era otonomi khusus sekarang ini jelas sangat vital, sebab tidak ada aspek
kehidupan masyarakat muslim yang lepas dari agama. Bentuk keterlibatan ulama
juga sangat jelas, yaitu dalam usaha positivisasi fikih berupa penyusunan Qanun
Aceh yang dituangkan dalam lembaran daerah. Harus diakui bahwa positivisasi
fikih melewati proses yang—lebih kurang—serupa dengan ijtihad, dan ini tidak
bisa dipahami dan dilakoni oleh selain ulama.
Termarjinalnya
ulama dari proses penyusunan qanun selama ini telah memakan korban, tidak patut
kesalahan yang sama terulang kembali, bahkan keledai pun tidak akan terperosok
dalam lubang yang sama. Cukup lah peristiwa 15 September 2009 sebagai
peringatan, bahwa anggota DPRA/DPRK hari ini telah mengambil peran ulama,
sedangkan penguasaan ilmu fikih dan usul fikih mereka rata-rata dangkal—kalau
bukan nol sama sekali. Jika hal ini tidak segera diperbaiki, maka nasib Qanun
Syariat Islam akan selalu berujung pada kesiaan, padahal anggaran sidang DPRA
tidak lah sedikit. Atau mungkin para ulama perlu terjun langsung ke dunia
politik praktis untuk mengisi kursi di DPRA?
Daftar
Pustaka
Abdul
Jalil, Tuanku, Adat Meukuta Alam,
Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1991.
Al
Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka, Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan Negara Islam,
t.tp.: Madani Press, cet. II, 2000.
Alfian,
Ibrahim, Perang di Jalan Allah, Jakarta: Sinar Harapan, 1987.
_____________,
dalam Kusumo, Sardono, W, Aceh Kembali ke Masa Depan, Jakarta: IKJ
Press, 2005.
Ali
Abubakar, Undang-undang Melaka; Kodifikasi Hukum Islam Abad XV di Asia
Tenggara, Jakarta: Studia Press, 2005.
Al
Yasa’ Abubakar, dan Marah Halim, Hukum Pidana Islam di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Prov. NAD.
‘Awdah, ‘Abd
al-Qâdir, al-Islâm wa Awdhâ‘unâ al-Siyâsiyyah, Kairo: Dâr al-Kitâb
al-‘Arabî, 1951
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996
Al-Ghazâlî,
Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Kairo: Maktabah al-Tawfîqiyyah, t.th.
Hadi,
Amirul, Islam and State in Sumatra, Leiden: Koninklijke Brill NV, 2004.
__________, Aceh;
Sejarah, Budaya, dan Tradisi, Jakarta: Obor, 2010.
Hasan
Saleh, Revolusi Islam di Indonesia, Darussalam: Pustaka Djihad, 1956.
Hurgronje,
Snouck, Aceh di Mata Kolonialis, terj. Ng. Singarimbun, Jakarta: Soko
Guru, 1985.
Ismail,
Badruzzaman, Membangun Keistimewaan Aceh dari Sisi Adat Budaya, Banda
Aceh, Majelis Adat Aceh, 2007.
al-Jabiri,
Muhammad ‘Abid, Agama, Negara dan Penerapan Syariah, terj.
Mujiburrahman, Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001.
Jalâl
al-Dîn ibn Syaykh Kamâl al-Dîn ibn al-Qâdî, Hujjah Bâlighah,
Aceh: manuskrip koleksi Tarmizi A. Hamid, 1745.
Al-Juwaynî, al-Waraqât
(dicetak bersama al-Nufahât ‘alâ Syarh al-Waraqât), Singapura:
al-Haramayn, t.th.
Khallâf, ‘Abd
al-Wahhâb, al-Siyâsat al-Syar‘iyyah aw
Nizâm al-Dawlah al-Islâmiyyah fî Syu’ûn al-Dustûriyyah wa al-Khârijiyyah wa
al-Mâliyyah, Kairo: Dâr al-Anshar, 1977
Jalaluddin
al-Tarusani, Safînat al-Hukkâm fî Takhlish al-Khashshâm, Banda Aceh:
Pusat Penerbitan dan Penerjemahan IAIN ar-Raniry, 2001
Lombard,
Denys, Kerajaan Aceh Jaman Sultan
Iskandar Muda, terj. Winarsih Arifin, Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
Al-Najjâr,
Abd Allâh Mabruk, al-Madkhal al-Mu‘ashirah li Fiqh al-Qânûn, Kairo: Dâr
al-Nahdhah, 2001.
Al-Qaradhawi,
Yusuf, Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik, terj. Khoirul Amru
Harahap, Jakarta: Pustaka al-Kautsar: 2007.
Said,
Mohammad, Aceh Sepanjang Abad, Medan: Waspada, cet. II, 1981
Siegel,
James T., The Rope of God, Barkeley: University of California Press,
1969.
Al-Sinkilî,
‘Abd al-Ra’ûf, Mir’at al-Tullâb, Aceh: manuskrip koleksi Tarmizi
A. Hamid, 1672.
Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah,
Jakarta: Rajawali Pers, cet. IV, 1999.
Van Langen, KFH., Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan, (alih bahasa: Aboe
Bakar), Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi, 1997.
[1] Alfian,
Ibrahim, Perang di Jalan Allah, (Jakarta: Sinar Harapan, 1987), hlm. 20,
dan 151.
[2] Said,
Mohammad, Aceh Sepanjang Abad, (Medan: Waspada, cet. II, 1981), hlm.
103.
[3] Hasan Saleh, Revolusi Islam
di Indonesia, (Darussalam: Pustaka Djihad, 1956), hlm. 33.
[4] Al Chaidar, Gerakan Aceh
Merdeka, Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan Negara Islam, (t.tp.: Madani Press,
cet. II, 2000), hlm. 141.
[5] Al-Najjâr, Abd Allâh Mabruk, al-Madkhal
al-Mu‘ashirah li Fiqh al-Qânûn, (Kairo: Dâr al-Nahdhah, 2001), hlm. 13.
[6] ‘Abd al-Qādir ‘Awdah menyatakan
bahwa pemerintahan Islam dan para hakim terikat kepada Alquran dan Sunnah dalam
hal yang didapati adanya nas, sementara dalam hal yang tidak ditemukan adanya
nas, mereka terikat kepada syura. ‘Awdah, ‘Abd al-Qâdir, al-Islâm wa
Awdhâ‘unâ al-Siyâsiyyah, (Kairo: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1951), hlm. 78.
[7] Secara etimologis, fikih berasal
dari kata fiqh yang dalam bahasa Arab berarti paham. Adapun secara
terminologis, fiqh berarti mengenal hukum-hukum syar‘iyyah yang
jalan penggaliannya adalah ijtihâd. Al-Juwaynî, al-Waraqât (dicetak
bersama al-Nufahât ‘alâ Syarh al-Waraqât), (Singapura: al-Haramayn,
t.th.) hlm. 14
[8] Al-Siyâsah al-syar‘iyyah
mengatur urusan umum dalam daulah Islam dengan aturan yang mampu mewujudkan
kemaslahatan dan menolak kemudaratan. Aturan itu sendiri tidak melanggar
batasan-batasan syariat dan ketentuan-ketentuan umum syariat, meskipun tidak
mengikuti pendapat imam mazhab. Khallâf, ‘Abd al-Wahhâb, al-Siyâsat al-Syar‘iyyah aw Nizâm al-Dawlah al-Islâmiyyah fî Syu’ûn
al-Dustûriyyah wa al-Khârijiyyah wa al-Mâliyyah, (Kairo: Dâr al-Anshar,
1977), hlm. 15.
[9] Memerhatikan kitab-kitab siyâsah yang disusun para ulama, dapat
disimpulkan bahwa al-siyâsah al-syar‘iyyah membahas tiga objek; 1)
Peraturan perundang-undangan negara; 2) Pengorganisasian dan pengaturan untuk
mewujudkan kemaslahatan; 3) Mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat serta hak
dan kewajiban masing-masing dalam usaha mencapai tujuan negara. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, (Jakarta : Rajawali Pers,
cet. IV, 1999), hlm. 28.
[10] Menurut ‘Abd al-Wahhâb Khallâf, al-siyâsat al-syar‘iyyah merupakan peraturan yang dilahirkan oleh umara, dan atau
ulama negeri dalam bentuk berbagai peraturan perundang-undangan (qawânin). Khallāf, al-Siyâsat al-Syar‘iyyah…, hlm. 15.
[11] Ali Abubakar, Undang-undang
Melaka; Kodifikasi Hukum Islam Abad XV di Asia Tenggara, (Jakarta: Studia
Press, 2005), hlm. 111.
[12] Alfian, Ibrahim, dalam Kusumo,
Sardono, W, Aceh Kembali ke Masa Depan, (Jakarta: IKJ Press, 2005), hlm.
99.
[13] Al-Jabiri, Muhammad ‘Abid, Agama,
Negara dan Penerapan Syariah, terj. Mujiburrahman, (Yogyakarta: Fajar
Pustaka, 2001), hlm. 62.
[14] Al-Qaradhawi, Yusuf, Meluruskan
Dikotomi Agama dan Politik, terj. Khoirul Amru Harahap, (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar: 2007), hlm. 55.
[15] Al-Ghazâlî, Ihyâ’ ‘Ulûm
al-Dîn, (Kairo: Maktabah al-Tawfîqiyyah, t.th.), jld. I, hlm.34.
[16] Hurgronje, Snouck, Aceh di
Mata Kolonialis, terj. Ng. Singarimbun, (Jakarta: Soko Guru, 1985), jld. I,
hlm. 91.
[17] Abdul Jalil, Tuanku, Adat
Meukuta Alam, (Banda Aceh: Pusat
Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1991), hlm. 21.
[18] Hadi, Amirul, Aceh; Sejarah,
Budaya, dan Tradisi, (Jakarta: Obor, 2010), hlm. 254.
[19] Ismail, Badruzzaman, Membangun
Keistimewaan Aceh dari Sisi Adat Budaya, (Banda Aceh, Majelis Adat Aceh,
2007), hlm. 37.
[20] Siegel, James T., The Rope of
God, (Barkeley: University of California Press, 1969), hlm 10-11.
[21] Lombard, Denys, Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda,
terj. Winarsih Arifin, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hlm. 106.
[22] Hurgronje, Aceh di Mata…, jld. I, hlm. 114.
[23] Hadi, Amirul, Islam and State
in Sumatra, (Leiden: Koninklijke Brill NV, 2004), hlm 161-164.
[24] Cik Hasan
Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996), hlm. 108.
Komentar
Posting Komentar