Seni Desain Islami dalam Sejarah Aceh

A.    Pendahuluan
Sebuah karya seni, khususnya seni rupa, mengandung nilai-nilai estetika sesuai dengan budaya yang melatarbelakangi karya tersebut. Misalnya karya seniman muslim yang menghindari bentuk-bentuk berperspektif karena menimbulkan kesan hidup. Hal ini jelas karena keyakinan sang seniman muslim bahwa Islam tidak meganjurkan penggambaran makhluk hidup yang bernyawa. Oleh karena itu dalam masyarakat muslim berkembang desain dekorasi floral dan kaligrafi Islam.
Para seniman muslim mengimprovisasi seni rupa dekorasi floral dengan bentuk-bentuk simetris dan diametral sehingga timbullah aliran seni rupa tersendiri yang tidak kurang indahnya dari seni rupa yang berkembang di Eropa dan Barat secara umum. Dengan demikian seni rupa Islami memiliki gaya dan cita rasa estetis tersendiri yang oleh Sayyed Hoseyn Nasr dikaitkan dengan spiritualitas Islam itu sendiri. Istilah spiritualitas dalam Islam dikaitkan dengan h yang merujuk kepada spirit atau ma‘nā, dengan demikian istilah itu sebenarnya menunjuk kepada hal-hal yang tinī (bagian dalam/interioritas). Artinya, ia berada dalam dimensi batin tradisi Islam sehingga seseorang harus mencari cikal bakal seni Islam, dan kekuatan yang menciptakan dan menopangnya sepanjang masa.[1]
Salah satu wujud dari seni rupa adalah seni desain grafis. Perkembangan yang pesat di bidang seni desain grafis ditandai dengan munculnya berbagai aplikasi komputer sebagai alat menuangkan gagasan. Merujuk pernyataan Nasr di atas, seni rupa Islami tidak akan kehilangan ciri dan karakternya meski dituangkan dalam media grafis. Berangkat dari tesis ini, maka bidang desain grafis menjadi salah satu bagian di mana seni Islami itu diekspresikan.

B.     Sekilas tentang Desain Grafis
Kata design secara etimologis berasal dari kata designo (Itali) yang berarti gambar. Dalam abad ke XVII kata ini diberi makna baru dalam bahasa Inggris, kata ini digunakan untuk bentuk school of design (1836). Dalam praktek ia seringkali bermakna kerajinan/ketrampilan (craft). Kemudian atas jasa Ruskin dan Morris, dua tokoh gerakan anti industrialisasi di Inggris abad XIX, kata design diberi bobot sebagai art and craft, yaitu paduan antara seni dan keterampilan.[2]
Pada dasarnya pengertian kata design dan designing digunakan secara terbatas pada aktivitas para arsitek, ahli teknik dan para perancang di beberapa bidang yang memerlukan gambar dalam rangka pembuatan sebuah barang (karya desain). Namun seiring perkembangan ilmu yang semakin kompleks serta kebutuhan hidup yang semakin beragam menimbulkan aktivitas perancangan yang tidak hanya menghasilkan benda konkret secara fisik (tangible).[3]
Dari pengertian desain yang sedemikian luas terlihat, bahwa desain grafis hanyalah satu bagian dari sekian aktivitas desain. Desain grafis termasuk dalam pengertian desain secara visual (bersifat seni rupa). Jenis desain visual meliputi tiga bidang utama, yaitu Desain Produk, Desain Interior dan Desain Komunikasi Visual atau disebut juga Desain Grafis.
Dalam senirupa Indonesia kata desain kerapkali dipadukan dengan reka bentuk, reka rupa, tatarupa, perupaan, rancangan, rancang bangun, gagas rekayasa, perencanaan, kerangka, sketsa ide, gambar, busana, hasil keterampilan, karya kerajinan, kriya, teknik presentasi, penggayaan, komunikasi hasil rupa, denah, layout, ruang (interior), benda yang bagus, pemecahan masalah rupa, seri rupa, susunan rupa, tata bentuk, tata warna, ukiran, motif, ornamen, grafis, dekorasi (kata benda), atau menata, mengkombinasi, merancang, merencana, menghias, memadu, menyusun, mencipta, berkreasi, menghayal, merenung, menggambar, meniru gambar, melukis, menginstal dan lain-lain yang seumpamanya.[4]
Meski pun sedemikian luas, namun secara historis kata design tidak bisa dipisahkan dari kegiatan seni rupa dalam arti luas. Ada yang rancu dalam penggunaan kata ini disekitar tahun 1930, pelbagai kalangan memadankan kata art semakna dengan seni dalam berbagai makna. Namun tokoh pembaharu tetap menggunakan kata ini dengan makna gambar. Dalam abad XX ini kata desain dipahami sebagai kata yang mengandung makna kreasi seniman.[5] Oleh karena itu seorang seniman grafis dituntut untuk memiliki keahlian dalam visualisasi ide secara kreatif yang mengarah pada penciptaan karya seni. Visualisasi grafis memiliki beberapa elemen, di antaranya garis, bentuk, ruang warna dan tekstur dengan berpegang pada prinsip keseimbangan, kesatuan, penekanan dan kesederhanaan.

C.    Seni Grafis Islami
Telah disinggung pada awal tulisan ini, bahwa dalam masyarakat muslim berkembang desain dekorasi floral dan kaligrafi Islam. Desain ini diekspresikan pada Mushaf Alquran berupa iluminasi sebagaimana terlihat pada mushaf-mushaf kuno. Di kerajaan Islam nusantara, iluminasi juga dipakai pada surat-surat kerajaan. Selain itu seni dekorasi floral juga diekspresikan dalam bentuk ukiran pada mesjid, atau mimbar mesjid sebagaimana terlihat pada mesjid-mesjid kuno di seantero nusantara.
Iluminasi adalah istilah khusus dalam ilmu penaskahan (kodikologi) untuk menyebut gambar dalam naskah. Istilah itu pada awalnya digunakan sehubungan dengan penyepuhan emas pada beberapa halaman naskah untuk memeroleh keindahan. Pada perkembangannya, iluminasi yang semula mengacu pada gambar yang membingkai teks sebagai gambar muka (frontispiece), tidak lagi sekadar hiasan tetapi menjadi meluas maknanya karena juga berkaitan dengan teks.[6]
Iluminasi mushaf pada umumnya terdiri atas tiga bagian, yaitu: 1) iluminasi pada bagian awal, tengah dan akhir Alquran. Biasanya disebut Umm al-Qur’ān, nisf al-Qur’ān, dan khatam al-Qur’ān; 2) iluminasi pada kepala surat Alquran; 3) iluminasi pada pias (pinggir halaman) berupa tanda juz, nisf, hizb, nisf al-hizb dan lain-lain. Iluminasi pada awal, tengah, dan akhir yang dipandang penting sering dalam bentuk kombinasi sepasang halaman yang membentuk komposisi tunggal.[7]
Selain pada Alquran, iluminasi juga dipakai pada surat-surat resmi kerajaan. Untuk konteks nusantara, naskah beriluminasi dalam bentuk surat pernah didaftar dalam dua buku, yakni Golden Letters: Writing Traditions of Indonesia (Surat Emas: Budaya Tulis di Indonesia) dan The Legacy of the Malay Letter (Warisan Warkah Melayu). Kedua buku tersebut adalah karya Annabel Teh Gallop yang terbit pada tahun 1991 dan 1994. Menurut Mu’jizah, surat beriluminasi berbahasa Melayu termegah adalah surat Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) yang dikirim kepada Raja James I di Inggris. Surat ini ditulis pada tahun 1615 M.[8] Menurut Annabel Teh Gallop, surat yang panjangnya hampir satu meter itu sangat kaya dengan motif bunga popi (poppy) atau madat (papaver) yang ditaburi emas.[9]
Adapun seni dekorasi floral yang diukir dapat dilihat pada beberapa masjid kuno di Aceh. Antara lain Masjid Tuo al-Khairiyah, Tapaktuan, Aceh Selatan yang didirikan pada tahun 1276 H/1855 M.[10] Ukiran dekorasi floral yang lebih tua dapat dilihat pada Masjid Indrapuri, Aceh Besar yang dibangun pada masa Sultan Iskandar Muda, sekitar tahun 1207 H (1618 M).[11]
Ukiran yang ada pada mimbar Masjid Indrapurwa juga menunjukkan suatu ciri tersendiri. Pada gaya ukiran telihat adanya pengaruh dekorasi floral Persia. Mungkin saja pembuatnya terinspirasi dari gaya Persia atau Timur Tengah lainnya, namun tidak mengikutinya secara penuh. Bentuk-bentuk yang diadopsi sebagai unsur disain tidak mengambil pola yang lazim digunakan seniman Persia, tapi pola-pola floral lokal yang dekat dengan keseharian orang Aceh.
Pada mimbar ini juga tampak pola lekukan yang lazim ditemukan pada disain arsitektur dan pola dekorasi Hindu yang ditolerir dan berkembang menjadi bagian seni budaya Islam-Aceh. Hal ini dapat diasumsikan sebagai gaya lokal yang dipengaruhi unsur senibudaya Hindu, tapi telah jauh meninggalkan pola-pola kearcaan. Kiranya ini menjadi bukti lain akan kuatnya pengaruh Islam terhadap masyarakat Hindu yang bermukim di Aceh.
Selain pada masjid dan mimbar masjid, seni dekorasi floral juga dapat ditemukan pada rumah (rumah adat Aceh). Umumnya motif dekorasi floral ini memiliki gaya yang senada, antara lain dapat dilihat pada rumah peninggalan almarhum Teungku Chik Awe Geutah. Rumah ini berada di Desa Awe Geutah, Kuta Blang, Aceh Utara.
Dari uraian ini terlihat bahwa seni rupa Islam dikembangkan lewat kaligrafi dan dekorasi floral. Hal ini juga berlaku di Aceh yang telah menerima Islam sejak dari abad ke 13. Dari itu seni rupa di Aceh tidak jauh dari seni rupa yang berkembang di belahan lain dunia Islam. Sampai di sini penulis cenderung berkesimpulan bahwa seni rupa asli Aceh adalah seni dekorasi floral dengan motif-motif yang telah dikembangkan sejak ratusan tahun lampau.

D.    Penutup
Untuk konteks kekinian seni rupa khas Aceh ini dapat dikembangkan lebih jauh dalam dunia desain grafis. Kiranya pengembangan seni rupa yang berakar dari budaya Aceh yang Islami lebih baik daripada mengadopsi gaya seni asing lainnya. Alasannya karena ini meneguhkan identitas Islam dan keacehan kita, sementara gaya asing akan memarginal budaya kita sendiri.
Sudah sepatutnya para seniman muslim mempertahankan budaya sendiri dengan cara mengangkatnya dalam karya dengan medium yang beragam. Misalnya dalam bidang desain logo. Bagi penulis hal ini sangat efektif, sebab ia mengisi ruang publik dalam setiap lini, sejak dari pamflet, sampai pada kop surat.
Demikian tulisan ringkas yang tentunya tidak luput dari kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik membangun untuk menyempurnakannya di masa mendatang. Penulis akan memanfaatkan forum ini sebagai kesempatan untuk menyempurnakan karya ini berdasarkan input dari forum.

Daftar Pustaka
Agus Sahari dan Yan yan Sunaryo. Sejarah dan Perkembangan Design dan Dunia Kesenirupaan Indonesia. Bandung: ITB, 2002.  
Fadhal AR Bafadhal dan Rosehan Anwar. Mushaf-Mushaf Kuno di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2005.
Folsom, Rose. The Calligraphers Dictionary. London: Thames and Hudson, 1990.
Jabbar Sabil (ed.). Masjid Bersejarah di Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh: Bid. Penamas Kanwil Kemenag Prov. Aceh, 2010.
Jonathan Sarwono dan Hary Lubis. Metode Riset untuk Desain Komunikasi Visual. Yogyakarta: Andi, 2007.  
Mu’jizah. Iluminasi dalam Surat-Surat Melayu Abad ke-18 dan ke-19. Jakarta: KPG dan KITLV, 2009.
Sigit Suyantoro (ed.). Menjadi Seorang Desainer Grafis. Yogyakarta: Andi, 2007.
Seyyed Hossein Nasr. Spiritualitas dan Seni Islam, terj. Sutejo. Jakarta: Mizan, 1993.
Togama Naibaho. Metodologi Riset Senirupa dan Desain. Jakarta: Trisakti, 1998.




[1] Seyyed Hossein Nasr. Spiritualitas dan Seni Islam, terj. Sutejo (Jakarta: Mizan, 1993), hlm. 16
[2] Agus Sahari dan Yan yan Sunaryo. Sejarah dan Perkembangan Design dan Dunia Kesenirupaan Indonesia (Bandung: ITB, 2002), hlm. 10. 
[3] Jonathan Sarwono dan Hary Lubis. Metode Riset untuk Desain Komunikasi Visual (Yogyakarta: Andi, 2007), hlm. 3. Aktivitas perancangan telah meluas kepada hal-hal yang sifatnya konseptual atau non fisik (intangible) yang bentuk visualnya bisa berupa gambar, skema atau diagram, model matematik, tabel dan sebagainya. Bentuk-bentuk ini bisa kita temukan misalnya yang digunakan untuk mempresentasikan sistem pola kerja, panduan kerja atau Term of Reference (TOR), pilihan alternatif kebijakan dan lain-lain. Dari desain ini biasanya tergambar konsep-konsep yang mendasari keputusan dari sebuah desain yang dibuat.
[4] Agus Sahari dan Yan yan Sunaryo. Sejarah dan Perkembangan…, hlm. 11.
[5] Togama Naibaho. Metodologi Riset Senirupa dan Desain (Jakarta: Trisakti, 1998), hlm. 105.
[6] Folsom, Rose. The Calligraphers Dictionary (London: Thames and Hudson, 1990), hlm. 40.
[7] Fadhal AR Bafadhal dan Rosehan Anwar. Mushaf-Mushaf Kuno di Indonesia (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2005), hlm. xv.
[8] Mu’jizah. Iluminasi dalam Surat-Surat Melayu Abad ke-18 dan ke-19 (Jakarta: KPG dan KITLV, 2009), hlm. 11.
[9] Gallop. Golden Letters: Writing Traditions of Indonesia, Surat Emas: Budaya Tulis di Indonesia (Jakarta: Yayasan Lontar, 1991), hlm. 35-50.
[10] Jabbar Sabil (ed.). Masjid Bersejarah di Nanggroe Aceh Darussalam (Banda Aceh: Bid. Penamas Kanwil Kemenag Prov. Aceh, 2010), jld. II, hlm. 11.
[11] Jabbar Sabil (ed.). Masjid Bersejarah di Nanggroe Aceh Darussalam (Banda Aceh: Bid. Penamas Kanwil Depag Prov. Aceh, 2009), hlm. 31.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

QURBAN: ISHAK, ATAU ISMAIL? (Penafsiran Ayat 100-103 Surat al-Shaffat)

Kumpulan Kaidah Fiqhiyah

Demi Jiwa (Penafsiran Ayat 7-10 Surat al-Syams)

Bekas di Dahi (Penafsiran Ayat 29 Surat al-Fath)

Ayat-ayat Setan (Satanic Verses): Penafsiran Ayat 52 Surat al-Hajj

Hubungan Teori Sistem dengan Pendekatan Holistik dalam Ijtihad Kontemporer

Pengertian Kaidah Fiqhiyah

Kumpulan Kaidah Maqasidiyah

Kembali ke Fitrah: Tafsir ayat 30 Surah al-Rum

Kumpulan Kaidah Usūliyyah