Zakat dan Riba; Tafsir ayat 39 Surah al-Rum

Membicarakan ajakan membayar zakat menimbulkan pertanyaan, bukankah zakat telah diperintahkan langsung oleh Allah? Maka perintah Allah ini sudah lebih dari cukup sebagai ajakan. Lalu apa faedahnya ajakan membayar zakat?
Berbagai jawaban bisa diajukan, tetapi Alquran menetapkan agar setiap ajakan dilakukan dengan hikmah dan maw‘idhah hasanah (QS. Al-Nahl [16]: 125). Hal ini meniscayakan ajakan membayar zakat juga dilakukan dengan menyentuh kesadaran muzakki. Untuk itu, perlu dikemukakan satu persoalan dalam zakat yang menuntut sikap bijaksana sehingga ajakan membayar zakat dapat dilakukan dengan hikmah dan maw‘idhah hasanah pula.
Mengingat substansi Islam adalah ajaran Alquran dan Sunah, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengeksplor wacana Alquran tentang zakat. Dalam hal ini, menarik ketika Alquran mengemukakan wacana dalam ayat berikut:
وَمَا آَتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آَتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ (الروم: 39)
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya). (Q.S. al-Rum [30]: 39).
Ayat ini mewacanakan zakat sebagai pertambahan harta. Perhatikan bagaimana dalam ayat ini zakat dipersandingkan dengan riba.
Jika diperhatikan, Alquran berbicara tentang riba dalam dua perspektif. Pertama, perspektif penerima di mana riba dinyatakan haram secara eksplisit (QS. Al-Baqarah [2]: 275). Kedua, dalam perspektif pemberi sebagaimana dapat kita simak dalam Alquran Surah al-Rum (30) ayat 39.
Dilihat dari perspektif penerima, secara lahiriah riba memiliki kesamaan dengan jual beli, yaitu sama-sama pertambahan. Tetapi secara esensial, jual beli bersifat produktif sehingga Allah menegaskan kehalalannya. Sedangkan riba tidak produktif, sebab tidak ada kegiatan ekonomi yang menjadi alasan untuk berhak mendapatkan pertambahan. Maka dengan tegas riba diharamkan. Selain itu, riba dari perspektif penerima juga dilihat dari motivasi penerima, yaitu niat/tujuan memakan harta dari hasil riba.
Sementara riba dalam perspektif pemberi, Alquran Surah al-Rum (30) ayat 39 melihatnya secara harfiah dalam arti kelebihan atau tambahan semata. Artinya, hanya melihat dalam arti bahasa, dan tidak dikaitkan dengan motivasi, baik motivasi pemberi maupun motivasi penerima. Oleh karena itu—sebagaimana dikutip oleh al-Qurthubi—para ulama menyatakan bahwa riba—dalam arti bahasa/pertambahan—ada yang halal dan ada yang haram. Maka pertambahan pada harta penerima—tanpa melihat motivasinya—menjadi tiga macam, yaitu laba, riba, dan hadiah (juga disebut hibah).
Sebaliknya dari sudut pandang pemberi, terdapat dua aspek untuk dikritisi. Pertama, aspek lahiriah, di mana pemberian menjadi pertambahan bagi penerima, tetapi itu berakibat mengurangi harta pemberi. Kedua, aspek batiniah niat, jika pemberi bertujuan untuk membangun relasi (taqarrub), sehingga pemberian menjadi serupa dengan investasi. Maka kekurangan itu bersifat sementara mengingat keuntungan yang akan diperolehnya nanti.
Menariknya, ayat 39 surah al-Rum ini membawa perspektif investasi itu ke dalam wacana zakat. Hal ini tergolong unik, karena zakat merupakan ibadah. Tetapi ini logis, karena berzakat juga berakibat mengurangi harta pemberi, menambah harta penerima, dan sekaligus dapat membangun relasi (taqarrub) secara emosional antara pemberi dan penerima. Hal inilah yang hendak diingatkan Alquran dalam ayat 39 Surah al-Rum ini, bahwa zakat memiliki dimensi duniawinya sebagai sarana membangun relasi (taqarrub). Oleh sebab itu, di satu sisi zakat memiliki keserupaan dengan investasi.
Kiranya tidak salah jika dicontohkan pada kandidat pilkada yang menunaikan zakatnya pada musim kampanye. Sisi duniawi dari zakat ini dapat menghilangkan nilai ibadahnya. Bahkan zakat menjadi sama dengan investasi, subhanallah! Oleh karena itu patutlah Alquran mengingatkan agar zakat ditunaikan demi mengharap ridha Allah semata. Nah, dengan menunjukkan wacana keserupaan zakat dengan investasi (riba), maka orang yang mengikuti akal sehat akan sampai pada kesadaran untuk tulus menunaikan zakat.
Sampai di sini jelaslah bahwa ayat ini mengungkap dua dimensi zakat. Pertama, dimensi insaniah, bahwa niat pelaku dapat menjadikan zakat sebagai ibadah, atau malah investasi duniawi. Kedua, dimensi ilahiah, bahwa Allah memberi gandaan ‘keuntungan’ melebihi investasi duniawi, jika motivasinya demi keridhaan Allah semata. Maka mengutamakan orientasi sosial zakat justru mengurangi transendentalitasnya, terlebih pada zakat fitrah. Dengan demikian khathib hanya mengulang ajakan Alquran saja, mari membayar zakat dengan motivasi mengharap ridha Allah semata. Maka zakat menjadi investasi akhirat yang keuntungannya berlipat ganda, melebihi investasi duniawi yang bisa diperoleh manusia. Wallahu a‘lam bissawab.

Tulisan ini merupakan teks Khutbah Jumat di Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, 24 Juni 2016 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

QURBAN: ISHAK, ATAU ISMAIL? (Penafsiran Ayat 100-103 Surat al-Shaffat)

Kumpulan Kaidah Fiqhiyah

Demi Jiwa (Penafsiran Ayat 7-10 Surat al-Syams)

Ayat-ayat Setan (Satanic Verses): Penafsiran Ayat 52 Surat al-Hajj

Bekas di Dahi (Penafsiran Ayat 29 Surat al-Fath)

Hubungan Teori Sistem dengan Pendekatan Holistik dalam Ijtihad Kontemporer

Pengertian Kaidah Fiqhiyah

Nuzulul Quran Penafsiran Ayat 185 Surat al-Baqarah

Kumpulan Kaidah Maqasidiyah

Kembali ke Fitrah: Tafsir ayat 30 Surah al-Rum