Ontologi Maqāsid al-Syarī‘ah
Menurut
Muhammad Hisyām al-Burhānī, ketika
maslahat sebagai maqāsid dibicarakan usūliyyūn, objeknya bukan lagi maqāsid dalam arti al-kulliyyāt al-khamsah,
tapi sarananya (wasā’il).[1]
Menurut Mustafā Syalabī, ini muara dari perdebatan usūliyyūn dalam ilmu kalam. Mereka
mempertanyakan tentang kausa finalis (final cause/al-‘illat al-ghā’iyyah) yang disebut maqāsid al-Syāri‘. Lalu mereka sampai pada pengakuan
bahwa pensyariatan bertujuan untuk maslahat.[2]
Masalahnya, apakah hakikat maslahat di sini dilihat sebagai maqāsid li al-Syāri‘, atau maqāsid li al-nās?
Masalah
ini kembali pada persoalan ta‘līl perbuatan Allah di mana maqāsid dipandang semakna dengan al-gharad. Menurut al-Tahānuwī, kata al-gharad berarti motivasi[3] (al-bā‘ith)
bagi pelaku, atau faktor yang menggerakkannya (al-muharrik) untuk berbuat. Dari itu al-‘illat al-ghā’iyyah disebut juga al-‘illat al-fā‘iliyyah.[4]
بفتح الغين والراء المهملة ما لأجله فعل الفاعل ويسمى علة غائية
أيضا، أي الغرض هو الأمر الباعث للفاعل على الفعل، فهو المحرك الأول للفاعل وبه
يصير الفاعل فاعلا. ولذا قيل إن العلة الغائية علة فاعلية لفاعلية الفاعل كذا في
شرح العقائد العضدية للدواني.
Dalam
al-Mu‘jam al-Falsafī, kata bā‘ith diartikan sebagai dorongan
jiwa, yaitu pikiran yang memberi dorongan untuk melakukan suatu perbuatan yang
dikehendaki pada suatu waktu. Adapun pendorong itu ada kalanya berupa faktor
eksternal.[5]
183- باعث: عامل
نفسى، وهو فكرة تنزع إلى إحداث عمل إرادى، في حين أن الدافع قد يكون خارجيا.
Diskusi
usūliyyūn terpecah menjadi dua konteks yang saling memengaruhi. Pertama, mengenai
kausa finalis (final cause/al-‘illat al-ghā’iyyah/al-‘illat al-fā‘iliyyah) dalam konteks
teologi. Kedua, tentang maslahat sebagai maqāsid dalam konteks kebutuhan untuk kias di mana maslahat
tidak keluar dari realitas manusia. Memerhatikan pembahasan usūliyyūn, jelas terlihat pendirian mazhab
kalam yang mereka anut berpengaruh bagi pandangan mereka tentang ta‘līl.[6]
Dilihat
secara moderat, ontologi maqāsid al-syarī‘ah dalam ilmu kalam dan usūl al-fiqh masih satu, yaitu al-bā‘ith (al-‘illat al-ghā’iyyah/al-‘illat al-fa‘iliyyah). Jadi ontologi
maqāsid
al-syarī‘ah dilihat sebagai motivasi al-Syāri‘ (al-gharad/al-bā‘ith/al-muharrik), namun dibatasi dalam hal
pensyariatan. Secara epistemologis,[7] maqāsid dalam wilayah pensyariatan masih dalam jangkauan
pengetahuan manusia. Pertama, Alquran sendiri menyatakan tujuan
pensyariatan umum seperti dalam ayat berikut:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ
وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
Hai
manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhan mu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta
rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Q.S. Yūnus [10]: 57).
Alquran
juga menyatakan sebagian tujuan pensyariatan dalam ketentuan khusus seperti
dalam ayat berikut:
شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ
الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ
كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ
بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ
وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (185)
(Beberapa
hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalammnya
diturunkan permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari yang lain.
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah
ata petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (Q.S. al-Baqarah
[2]: 185).
Kedua, hukum disyariatkan dalam lingkup
perbuatan, maka secara epistemologis,[8]
manusia bisa membuktikan kebenaran maqāsid al-Syāri‘ berdasar maslahat yang terwujud dari
hukum.
Menurut
al-Ghazzālī, al-Syāri‘ memberlakukan kaidah umum (kulli) atas
partikular (juz’i) sehingga tidak butuh dalil tertentu (asl mu‘ayyan).[9]
ونحن نعلم أن الشرع يؤثر
الكلي على الجزئي، فإن حفظ أهل الإسلام عن اصطلام الكفار أهم في مقصود الشرع من
حفظ دم مسلم واحد فهذا مقطوع به من مقصود الشرع والمقطوع به لا يحتاج شهادة أصل.
Jadi ia melihat maqāsid al-Syāri‘ secara transenden (al-muta‘āli)[10]
sehingga maslahat sebagai maqāsid al-Syāri‘ berada di luar realitas empirik
manusia yang imanen.[11]
Dengan demikian, al-Ghazzālī melihat ontologi maqāsid al-Syāri‘ sebagai nilai transenden yang
dipahami berdasar Kitabullah, Sunah, dan ijmak, bukan realitas empirik.[12]
Demikian pula nas partikular yang mengatur suatu perbuatan, dilihat sebagai
nilai transenden yang dijadikan proposisi umum untuk melakukan kias.[13]
Melihat
maslahat sebagai nilai transenden yang berupa maqāsid al-Syāri‘ tidak lepas dari soal epistemologi,
sebab ia berada di luar pengalaman manusia.[14]
Dari itu maqāsid al-Syāri‘ hanya pasti pada tataran al-kulliyyat
al-khamsah, sebab disimpulkan berdasar induksi sempurna. Adapun maslahat
sebagai nilai transenden pada nas partikular tidak bisa dinyatakan pasti. Namun
al-Ghazzālī tetap berpegang pada nilai dari nas partikular, sebab jika maslahat
dinyatakan berdasar realitas semata, maka ia disebut al-maslahat al-gharībah.[15]
Berbeda
dari al-Ghazzālī, al-Syātibī memperluas cakupan maslahat, sehingga maslahat
yang dipandang mursal oleh al-Ghazzālī menjadi mu‘tabar. Maka
setiap fenomena yang dominan maslahatnya dapat dinyatakan tercakup dalam maqāsid al-syarī‘ah (maqāsid al-Syāri‘).[16]Adapun
lawannya dianggap tidak ada karena terikat dengan waktu dan tempat. Menurut
al-Syātibī, maslahat di suatu waktu bisa
menjadi mafsadat di waktu lain, demikian pula mafsadat di suatu daerah bisa
jadi maslahat di daerah lain.[17] Ini
menunjukkan ia membicarakan maqāsid dalam konteks realitas empirik. Di sini ia
menggunakan terminologi al-qasd al-tasyrī‘ī, qasd al-Syāri‘, dan maqsūd al-Syāri‘ dalam arti final cause
(al-‘illat al-ghā’iyyah/al-‘illat al-fa‘iliyyah), tapi tidak
dibedakan dari maqāsid al-khalq
seperti sikap al-Ghazzālī.[18]
Maka penulis berasumsi, bahwa ontologi maqāsid bagi al-Syātibī ialah nilai maslahat dalam
realitas itu sendiri, di satu sisi dilihat dari keterwujudannya, dan di sisi lain
dilihat dari sisi hubungannya dengan khitāb al-syar‘ī.[19]
المصالح المثبوتة في هذه الدار ينظر فيها من جهتين: من جهة مواقع الوجود، ومن
جهة تعلق الخطاب الشرعي بها.
Adapun
Ibn ‘Āsyūr melihat maqāsid al-syar‘iyyat
al-khāssah dalam konteks realitas, dan membahasnya dalam dimensi
tujuan (maqāsid) dan sarana (wasā’il). Dalam dimensi ini, di
satu sisi objek bahasan maqāsid tertuju pada perbuatan itu sendiri (al-a‘māl wa
al-tasarrufāt), dan di sisi lain tertuju pada motivasi. Oleh karena itu, ontologi maqāsid al-syar‘iyyat
al-khāssah dipecahnya kepada maqāsid li al-Syāri‘ dan maqāsid li al-nās.[20]
Hal ini mengindikasikan pembedaan ontologi maqāsid al-Syāri‘ dari maqāsid al-khalq oleh
Ibn ‘Āsyūr.
Penulis
melihat pemikiran Ibn ‘Āsyūr ini sebagai cara pandang tersendiri atas maqāsid al-khalq.
Bagi Ibn ‘Āsyūr, al-maqāsid al-khāssah didedikasikan sebagai sarana (wasā’il) untuk
mewujudkan maqāsid al-syarī‘at al-‘āmmah. Dengan demikian,
maqāsid
li al-nās juga dipandang sebagai bagian dari wasā’il untuk
mewujudkan al-maqāsid al-‘āmmah. Jadi maqāsid al-khalq tidak melulu subjektif, tapi suatu
penemuannya dituntun oleh syariat lewat maqāsid al-khāssah.
المقاصد: هي الأعمال و التصرفات
المقسودة لذاتها، و التي تسعى النفوس إلى تحصيلها بمساع شتى أو تحمل على السعي
إليها امتثالا. وتلك تنقسم إلى قسمين: مقاصد للشارع، و مقاصد للناس في تصرفاتهم.
Sampai
di sini dapat disimpulkan, bahwa ontologi maqāsid al-syari‘ah harus dilihat dalam dua kategori. Yaitu maqāsid al-syari‘at al-‘āmmah, dan maqāsid al-syari‘at al-khassāh.
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar
Bahasa Indonesia, edisi
keempat. Jakarta, Gramedia,
2008.
Al-Ghazzālī.
al-Mustasfā fī ‘Ilm al-Usūl. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000.
Al-Ghazzālī. Asās al-Qiyās. Riyad: Maktabah
al-‘Ubaykān, 1993.
Jujun. S
Suriasumantri. Filsafaat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2005.
Majma‘
al-Luhghat al-‘Arabiyyah. Al-Mu‘jam al-Falsafī. Kairo: al-Amīriyyah,
1983.
Mohammad Muslih.
Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu
Pengetahuan, cet. II. Yogyakarta: Belukar, 2005.
Muhammad
Hisyām al-Burhānī. Sadd al-Dharā’i‘ fī al-Syarī‘at al-Islāmiyyah.
Damaskus: Dār al-Fikr, 1985.
Muhammad al-Tāhir ibn ‘Āsyūr. Maqāsid al-Syarī‘at
al-Islāmiyyah. Kairo: Dār
al-Salām, 2005.
Mustafā
Syalabī. Ta‘līl al-Ahkam. Beirut: Dār
al-Nahdah
al-‘Arabiyyah, 1981.
Rizal
Mustansyir, dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001.
Al-Syātibī. Al-Muwāfaqāt fī Usūl al-Syarī‘ah. Kairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah, 2003.
Al-Tahānuwī, Muhammad
‘Alī. Mawsū‘ah Kasysyāf Istilāhāt al-Funūn wa ‘Ulūm, tahkik: ‘Alī Dahrūj. Beirut: Maktabah Libnān, 1996.
[1] Muhammad Hisyām al-Burhānī. Sadd al-Dharā’i‘ fī al-Syarī‘at al-Islāmiyyah
(Damaskus: Dār al-Fikr, 1985), hlm. 43. Alasannya, karena hanya wasā’il-lah
yang bisa didiskusikan dalam konteks mulghā dan mursal, adapun al-kulliyyāt
al-khamsah sudah dipastikan mu‘tabar.
[3] Motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri
seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan
tujuan tertentu. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat (Jakarta, Gramedia, 2008), hlm. 930.
[4] Muhammad ‘Alī al-Tahānuwī. Mawsū‘ah Kasysyāf
Istilāhāt al-Funūn wa ‘Ulūm, tahkik: ‘Alī Dahrūj.
Beirut: Maktabah Libnān, 1996., jld. II,
hlm. 1249.
[5] Majma‘ al-Luhghat al-‘Arabiyyah. Al-Mu‘jam
al-Falsafī (Kairo: al-Amīriyyah, 1983), hlm. 30.
[7] Kata epistemologi berasal dari bahasa Yunani “episteme”
dan “logos”. Episteme artinya pengetahuan (knowledge), logos
artinya teori. Dengan demikian epistemologi berarti teori pengetahuan. Rizal
Mustansyir, dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001), hlm. 16.
[8] Mohammad Muslih. Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi
Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, cet. II (Yogyakarta:
Belukar, 2005), hlm. 20. Dalam bidang ini terdapat tiga persoalan pokok: (a)
apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Dari manakah pengetahuan yang benar itu
datang, dan bagaimana kita mengetahuinya? (b) Apakah sifat dasar pengetahuan
itu? Apakah ada dunia yang benar-benar di luar pemikiran kita? Kalau ada,
apakah kita dapat mengetahuinya? (ini adalah persoalan yang mengarah pada
problem phenomena dan noumena). (c) Apakah pengetahuan kita itu
benar (valid)? Bagaimanakah kita dapat membedakan yang benar dari yang
salah? (poin terakhir ini adalah yang mengarah pada problem verifikasi).
[10] Majma ‘. Al-Mu‘jam…, hlm. 169. Al-Muta‘āli
(A), Transcendant (F), Transcendent (E).
876- المتعالى: ما سما على الواقع فلا يستمد من
تجريبية ولا تختلط بالعلم (الحسي) فيقال فكرة متعالية،
[11] Majma ‘. Al-Mu‘jam…, hlm. 153. 783- كامن: ما ينطوى عليه الشئ بصفة
دائمة، فيقال قوة كامنة.
[13] Perlu dicatat, bahwa nas partikular juga dijadikan
proposisi umum. Bagi al-Ghazzālī, jika al-‘illah sebagai tempat
bergantung hukum telah ditunjukkan oleh dalil, maka darinya tersusun proposisi
umum yang berlaku seperti lafaz umum. Bahkan lebih kuat, karena keumuman lafaz
masih memiliki kemungkinan takhsis. Sedangkan manāt al-hukm menghimpun
semua sifat dan hal terkait lainnya yang tidak mungkin di-takhsis. Al-Ghazzālī. Asās al-Qiyās (Riyad: Maktabah
al-‘Ubaykān, 1993), hlm. 43.
[14] Jujun. S Suriasumantri. Filsafaat Ilmu; Sebuah
Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hlm. 91.
[16] Al-Syātibī. Al-Muwāfaqāt fī Usūl al-Syarī‘ah (Kairo: Maktabah
al-Tawfīqiyyah, 2003), jld. II, hlm. 21.
Dari sisi keterwujudan dalam realitas, suatu perbuatan dapat dinyatakan
maslahat atau mafsadat sesuai hal yang dominan berdasar kebiasaan (‘urf).
[18] Al-Ghazzālī membedakan dengan cara menetapkan syarat
yang ketat untuk beramal dengan al-istislāh, yaitu syarat darūrah, qat‘iyyah, dan kulliyah
untuk tataran al-darūriyyah, dan syarat syahādat al-syara‘ pada
tataran al-hājiyyah dan al-tahsīniyyah. Jika
syarat ini terpenuhi, maka suatu maslahat dapat dinyatakan sebagai maqāsid al-Syāri‘.
Komentar
Posting Komentar