Fitrah Manusia Menurut Ibn Asyur
Menurut Ibn ‘Āsyūr, teori maqāsid
didasarkan kepada atribut syariat terbesar, yaitu fitrah, sesuai firman Allah
dalam surat al-Rum:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ
لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا
تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (الروم :30)
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah);
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S. al-Rum [30]: 30).
Ayat ini memerintahkan umat agar tetap dalam agama Islam yang mana
manusia diciptakan dalam fitrah Islam. Menurut Ibn ‘Āsyūr, maksud kata agama (al-dīn)
di sini mencakup keseluruhan ajaran Islam, baik akidah mau pun syariat.[1]
Berbeda dengan Fakhr al-Dīn al-Rāzī dan al-Baydawī,
keduanya membatasi makna fitrah Islam dalam bidang akidah saja.[2] Namun
redaksi ayat mendukung penafsiran Ibn ‘Āsyūr, sebab ayat sebelumnya berbicara
tentang syirik yang harus dijauhi umat. Lalu kata “fa aqim“
ialah perintah agar manusia mengikuti agama fitrah ini dan meninggalkan
segala bentuk kekufuran. Penafsiran Ibn ‘Āsyūr ini senada dengan al-Zamakhsyarī,
bahwa Allah menciptakan manusia dengan potensi yang membuatnya bisa menerima
ajaran tauhid, dan ajaran Islam lainnya.[3]
Menurut Ibn Manzūr,
fitrah berarti penciptaan (al-khalq), sebagaimana bunyi Hadis “Kullu
mawlūd yūlad ‘alā al-fitrah.”[4]
Ada pun secara terminologis, al-Jarjānī menyatakan fitrah sebagai penciptaan
manusia yang dipersiapkan untuk dapat menerima agama.[5]
الفطرة:
الجبلية المهيئة لقبول الدين
Adapun Ibn ‘Āsyūr memilah terminologi fitrah dalam konteks umum dan
khusus. Secara umum fitrah adalah suatu tatanan yang dijadikan Allah pada
setiap makhluknya. Adapun fitrah manusia secara khusus, adalah suatu tatanan
yang dijadikan Allah atas manusia, baik zahir, maupun batin, artinya jasad dan
akal. Berjalan dengan kaki adalah fitrah jasad, maka berjalan dengan tangan
berarti mengingkari fitrah. Penyimpulan dengan kausalitas secara rasional
merupakan fitrah akal manusia, maka penyimpulan yang tidak rasional adalah
pengingkaran terhadap fitrah.[6]
الفطرة: الخلقة، أي النظام
الذي أوجده الله في كل مخلوق. ففطرة الإنسان هي ما فطر، أي خلق عليه الإنسان ظاهرا
وباطنا أي جسدا وعقلا
Menurut M. ‘Usman Najati, dalam fitrah penciptaan manusia terdapat
kesiapan alamiah untuk memahami keindahan ciptaan Allah dan menjadikannya bukti
tentang adanya Allah.[7] Ini
senada dengan pandangan Ibn ‘Āsyūr, bahwa fitrah dalam konteks khusus berkaitan
langsung dengan fitrah Islam sebagai agama, dari itu ia juga berbicara dalam
konteks fitrah pensyariatan Islam. Dalam hal ini, Ibn ‘Āsyūr, menyimpulkan
bahwa fitrah Islam adalah fitrah ‘aqliyyah. Artinya, seluruh ajaran
Islam--baik akidah, maupun syariat--merupakan perkara ‘aqliyyah, atau
sesuai dengan apa yang mampu ditangkap dan dibenarkan oleh akal.[8]
Adapun fitrah manusia adalah suatu keadaan di mana akal manusia
diciptakan dalam keadaan bersih, tidak bercampur dengan kerancuan (al-ra‘ūnāt)
dan kebiasan buruk. Bagi Ibn ‘Āsyūr, inilah maksud dari kata “fitrat Allāh allatī
fatara
al-nās ‘alayhā” dalam ayat 30 surat al-Rum. Hal ini cocok dengan jiwa
orang-orang yang diberi kelebihan oleh Allah sebagaimana firman-Nya dalam surat
al-Tīn.
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (4)
ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ (5) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ (6)
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya (4), kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang
serendah-rendahnya (neraka) (5), kecuali orang-orang yang beriman dan beramal
saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya (6). Q.S. al-Tīn [95]: 4-6.
Menurut Ibn ‘Āsyūr, maksud kata taqwīm dalam ayat 4 surat al-Tīn
adalah fitrah penciptaan akal manusia (taqwīm al-‘aql), bukan
fitrah penciptaan fisik manusia (taqwīm al-sūrah).[9] Maksud kata taqwīm dalam ayat
adalah penciptaan akal (taqwīm al-‘aql) yang merupakan landasan
akidah yang benar, dan amalan yang salih. Ada pun maksud kalimat radadnāhu
asfala sāfilīn, adalah berbaliknya manusia melakukan perbuatan hina karena
akidah yang rusak, dan perbuatan tercela. Kata taqwīm dalam ayat
tidak bisa diartikan penciptaan rupa manusia (sūrah),
karena rupa manusia tidak berubah menjadi rendah. Lagi pula yang dikecualikan (istithnā’)
dalam ayat adalah sifat iman (illā al-ladhīna āmanū), jadi tidak mungkin
pengecualian itu dari hal yang lahiriah, karena tidak ada pengkhususan sifat
iman dan amal salih kepada rupa yang cantik saja.
Fitrah Islam yang mendasar adalah sesuatu yang di atasnya manusia
diciptakan guna memakmurkan alam ini. Fitrah membuat manusia patut mengemban
tugas menata alam sesempurna mungkin. Itulah yang dikandung Islam, sesuatu yang
dikehendaki oleh Allah untuk menjadikan alam ini indah setelah terjadi
kerusakan.[10] Namun
sebagaimana dikutip sebelumnya, al-Ghazzālī cenderung melihat fitrah manusia secara
negatif, bahwa manusia cenderung destruktif.[11]
فلو
تناولوها بالعدل لانقطعت الخصومات وتعطل الفقهاء ولكنهم تناولوها بالشهوات فتولدت
منها الخصومات...
Setelah membicarakan fitrah dalam konteks penciptaan alam dan manusia,
serta mengungkapkan fitrah Islam yang ternyata bersifat ‘aqliyyah, Ibn ‘Āsyūr
masuk dalam pembahasan fitrah Islam yang kedua. Menurut Ibn ‘Āsyūr, Islam
disifatkan sebagai agama fitrah karena dasar-dasar yang dibawa Islam adalah
fitrah itu sendiri, demikian pula cabang-cabangnya. Pandangan yang benar yang
bersumber dari adat yang baik, diterima dan dipelihara Islam, karena ia kembali
kepada dasar fitrah, misalnya malu (al-hayā’),
dan tidak malu (al-waqāhah)
pada tataran tidak merusak. Ibn ‘Āsyūr mengambil kesimpulan, bahwa yang masuk
dalam fitrah hanya lah hal-hal yang tidak bercampur dengan praduga dan khayalan,
karena kedua hal ini bukan bagian dari fitrah.[12]
Praduga atau waham (al-awhām) merupakan dugaan (imajinasi) yang
tercipta oleh waham itu sendiri, tanpa hubungan dengan suatu realitas yang
benar. Contohnya rasa takut kebanyakan orang terhadap mayat sehingga
menggerakkannya untuk lari. Dalam kasus ini, terpadu suatu pengimajinasian (al-fi‘l)
dan respon (al-infi‘āl), karena seseorang menciptakan sendiri
imajinasinya (al-fa‘il), dan sekaligus merespon (al-munfa‘il)
seolah ia mendapatinya sebagai kenyataan.[13]
Demikian pula halnya dengan khayalan, yaitu al-ma‘nā yang tercipta oleh
kemampuan berfantasi (quwwat al-khayyāl). Fantasi ini tercipta oleh
bantuan waham, di mana khayalan terbentuk oleh berbagai pemahaman dari empiri
yang tersimpan dalam memori. Contoh, pemahaman sebagian orang bahwa babi laut
haram karena ia disebut khinzīr.[14]
Dari pembahasan ini dapat disimpulkan, bahwa berdasar ayat 30 surat
al-Rum, Ibn ‘Āsyūr mengemukakan dua sisi fitrah Islam. Pertama, berupa fitrah
batin yaitu sifat rasionalitas Islam, jadi bukan fitrah jasmaniah. Kedua,
berupa fitrah zahir, bahwa dasar-dasar dan cabang ajaran yang dibawa Islam
merupakan fitrah. Berpijak pada uraian ini, terlihat bahwa Syaykh Tāhir ibn ‘Āsyūr
mengutamakan sisi keterhubungan antara fitrah Islam--baik usūl mau pun furū‘--dengan
fitrah ‘aqliyyah manusia. Hubungan ini merupakan fitrah yang diciptakan
Allah atas manusia itu sendiri.
Menurut Bin Zaghībah, fitrah adalah sifat yang dimiliki semua individu,
menjadi pembatas gerak dan kecenderungan, serta mewujudkan kebutuhan dan
kemaslahatan. Orang yang keluar dari fitrah--baik personal mau pun kolektif--berarti
melanggar fitrah yang berupa faktor kemasyarakatan, kependidikan, dan
sebagainya. Itulah kenapa Islam yang dikehendaki Allah berlaku sepanjang masa,
implementasinya dikaitkan dengan fitrah. Di sisi lain, fitrah yang benar
merupakan pergumulan untuk memperoleh yang terkuat dan terbesar dalam
eksistensi, agar ia diikuti dengan penuh kesadaran dan ketaatan, baik pada
perintah, mau pun larangan. Tujuan yang hendak dicapai di baliknya bukanlah
perolehan manfaat materil, tapi filosofi (al-ruwāq) yang dapat menggerakkan
penerimaan langit dan bumi.[15]
Daftar
Pustaka
Bin Zaghībah. ‘Izz al-Dīn.
Al-Maqāsid al-‘Āmmah li al-Syarī‘at al-Islāmiyyah. Kairo: Dār al-Safwah, 1996.
Al-Baydawī. Tafsīr al-Baydawī. Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, t.th.
Fakhr al-Dīn al-Rāzī. Tafsīr al-Kabīr. Beirut:
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.
Al-Ghazzālī. Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn. Kairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah,
t.th.
Muhammad al-Tāhir Ibn ‘Āsyūr. Maqāsid al-Syarī‘at
al-Islāmiyyah. Kairo: Dār al-Salām, 2005.
______. Usūl al-Nizām al-Ijtimā‘ī fī al-Islām, cet. II. Tunisia: al-Syirkah al-Tūnisiyyah li al-Tawzī‘, 1985.
______. Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr.
Tunisia: Dār
al-Tūnisiyyah, 1984.
Ibn Manzūr. Lisān al-‘Arab.
Kairo: Dār al-Hadīth, 2003.
Al-Jarjānī. Kitāb
al-Ta‘rīfāt. Singapura: al-Haramayn, t.th.
Najati, M. ‘Usman. Al-Qur’an
dan Ilmu Jiwa, terj. Ahmad Rofi’i ‘Usmani. Bandung: Pustaka, 1985.
Al-Zamakhsyarī.
Tafsīr
al-Kasyāf
. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.
[1] Ibn
‘Āsyūr. Maqāsid al-Syarī‘at
al-Islāmiyyah (Kairo: Dār al-Salām, 2005), hlm.
54. Ibn ‘Āsyūr. Usūl al-Nizām al-Ijtimā‘ī fī
al-Islām, cet. II (Tunisia: al-Syirkah al-Tūnisiyyah li
al-Tawzī‘, 1985), hlm. 17.
[2] Fakhr
al-Dīn al-Rāzī. Tafsīr al-Kabīr (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
t.th.), jld. I, hlm. 43. Al-Baydawī.
Tafsīr al-Baydawī
(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), jld. I, hlm. 87.
[3]
Al-Zamakhsyarī. Tafsīr
al-Kasyāf (Beirut:
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), jld. I, hlm. 43.
[7] M.
‘Usman Najati. Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, terj. Ahmad Rofi’i ‘Usmani
(Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 40.
[8]
Ibn ‘Āsyūr. Maqāsid…,
hlm. 55. Ia mengutip pendapat Ibn Sīnā dalam kitab al-Najāh, bahwa
manusia mendapati dirinya terwujud di dunia ini dalam kondisi berakal. Andai manusia
tidak mendengar suatu pendapat, mazhab, tidak bergaul, dan tidak mengenal
politik, tapi ia bisa menyaksikan sesuatu yang terindera, maka manusia akan
menangkap suatu kesan (al-hāl),
lalu kesan itu bertentangan dengan keraguan yang muncul dari dalam dirinya.
Dalam hal ini, jika kesan itu memungkinkan untuk diragui, maka fitrah tidak
menerimanya, sebaliknya jika kesan itu tidak mungkin diragui, maka fitrah
menerima. Menurut Ibn Sīnā, tidak semua yang diterima oleh fitrah manusia dapat
dinyatakan benar, tetapi yang benar adalah fitrah yang terkuat, yaitu sesuatu
yang dinamakan akal (rasionalitas).
Ada pun fitrah pikiran (fitrat al-dhihn) kadang kala--secara
umum--membawa pada kekeliruan, terutama pada hal-hal non inderawi. Maka fitrah
yang benar adalah proposisi dan pandangan-pandangan umum terpuji yang diterima
sebagai kebenaran, baik penerimaan umum (syahādat al-kullī), atau
diterima kebanyakan orang (syahādat al-akthar), diterima oleh ulama (syahādat
al-‘ulamā’), atau diterima oleh pemuka masyarakat (syahādat al-afādil).
Sementara opini umum (al-dha’i‘āt), tidak serta merta menjadi benar
secara fitrah karena diterima orang banyak. Opini umum tidak diawali oleh
rasionalitas (‘aqlī) atau dugaan (wahmī), tapi terjadi karena
melekat dalam jiwa berdasar kebiasaan sejak kecil, oleh karena itu ia bukan
fitrah. Bisa saja opini umum diterima karena disenangi (mahabbat al-tasālum)
atau pura-pura (istinā‘),
keduanya dibutuhkan manusia. Kadang kala ia dimotivasi oleh sesuatu yang
bersumber dari akhlak manusia, seperti rasa malu, dan peri kemanusiaan (istīnās).
Opini bisa mewakili pandangan orang banyak (istiqrā’), atau pendapat
satu orang yang dikemas sedemikian rupa sehingga terkesan benar.
[9] Muhammad al-Tāhir Ibn ‘Āsyūr. Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr (Tunisia: Dār al-Tūnisiyyah, 1984), jld.
XXX, hlm. 424.
[10]
Ibn ‘Āsyūr. Maqāsid…,
hlm. 56.
[11]
Al-Ghazzālī. Ihyā’
‘Ulūm al-Dīn (Kairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah, t.th.), jld. I, hlm. 34.
[12] Ibn
‘Āsyūr. Maqāsid…,
hlm. 57.
[13]
Ibn ‘Āsyūr. Maqāsid…,
hlm. 51.
[14]
Ibn ‘Āsyūr. Maqāsid…,
hlm. 52.
[15] Bin
Zaghībah. ‘Izz al-Dīn. Al-Maqāsid al-‘Āmmah li
al-Syarī‘at al-Islāmiyyah (Kairo: Dār al-Safwah, 1996),
hlm. 76.
Komentar
Posting Komentar